Anda di halaman 1dari 3

Jusah Muhyidin Umar/16/8A

Judul : Jendala Seribu Sungai


Penulis : Miranda Seftiana dan Avesina Soebli
Pengantar : Putu Fajar Arcana
Jumlah Halaman : 316
Tanggal Terbit : 10 September 2018
ISBN : 9786020511863
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Gramedia Widiasarana Indonesia
Penulis : Rizma Riyandi
Editor : Rizma Riyandi

Arian, anak seorang seniman Kurinding asal Kalimantan Selatan, mungkin tidak pernah
menyangka pertemuannya dengan Bunga, seorang gadis penderita Cerebal Palsy, dan Kejora,
seorang gadis dari Gunung Meratus, membawanya menghadapi petualangan yang tidak pernah ia
duga sebelumnya. Arian yang selalu mendapat nasihat dari sang Abah melalui Kurinding merasa
bertanggung jawab menjaga dua gadis tersebut ketika mereka berpetualangan. Nasihat Kurinding
dari Abah juga menjadi pedoman Arian untuk menjalani hidup dan bergaul dengan teman-
temannya. Arian, Bunga, dan Kejora adalah anak yang berasal dari tempat berbeda, budaya
berbeda, tapi mereka memiliki semangat sama dalam mewujudkan mimpi masing-masing.
Miranda Seftiana dan Avesina Soebli merangkai cerita dalam novel ini dengan apik. Mimpi
ketiga anak tersebut boleh dibilang sangat sederhana. Arian hanya bermimpi agar bisa
mengiringi band Radja dengan Kurinding. Bunga, ingin sekali menjadi penari. Sementara itu,
Kejora mimpinya samar-samar, namun ia memiliki keinginan kuat untuk bersekolah. Mimpi
yang sederhana itu dibuat begitu besar oleh penulis melalui narasi yang mereka susun. Mereka
membuat konflik-konflik kecil dalam setiap petualangan yang dilalui Arain dan teman-
temannya. Konflik yang sebenarnya sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, apa
yang membuat novel ini tampak istimewa? End of ad break in 30 s Keistimewan novel ini
terletak pada unsur budaya yang kuat.
Novel ini berhasil mengeksplorasi sisi-sisi kebudayaan pada masyarakat secara utuh dan
mendalam. Arian dan Bunga mewakili masyarakat yang tinggal di sepanjang aliran sungai.
Kejora mewakili masyarakat di lereng gunung. Perbedaan dua kebudayaan itu ditonjolkan
dengan apik oleh penulis lewat perilaku keseharian tokoh. Melalui dialog, konflik batin, hingga
tindakan dari tokoh. Misalnya, penulis menggambarkan kultur masyarakat sungai dengan
menampilkan adegan-adegan masyarakat yang memaksimalkan fungsi sungai. Masyarakat
ditunjukan dalam novel ini menjadikan sungai sebagai lajur transportasi dan perniagaan.
Kebudayaan yang ditonjolkan dalam novel ini bukanlah hasil imajinasi belaka dari penulis. Salah
satu penulisnya, Miranda, lahir di Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Sebelum menulis
novel ini ia juga melakukan riset mendalam ke berbagai komunitas masyarakat di Kalimantan
Selatan. Ia juga mengunjungi komunitas Dayak di Desa Haratai, Lokasado. Hasil riset yang ia
lakukan terlihat jelas dalam novel ini. Ia masih mempertahankan mantra-mantra dari para balian
(tabib tradisional Dayak Meraturs) dengan bahasa aslinya tanpa diterjemahkan. Ia menulisnya
secara utuh. Tentu untuk menulis itu secara utuh dengan bahasa asli membutuhkan sebuah riset
yang mendalam.
Unsur kebudayaan dalam novel ini semakin terasa kuat dengan digunakannnya istilah-
istilah lokal Kalimantan Selatan, seperti jukung, kelotok, abah, bapang, indung, uma, dan masih
banyak lainnya. Isitilah-istilah itu menjadi kelebihan sekaligus berpotensi menjadi kelemahan.
Menjadi kelebihan karena menambah kuat unsur budaya, menjadi kelemahan karena istilah itu
sukar dipahami pembaca dan kegiatan membaca akhirnya tersendat. Novel ini bukan hanya
berbicara tetang bertemunya kebudayaan sungai dan kebudayaan gunung, tapi ada pesan yang
lebih dalam. Penulis dalam novel ini menggambarkan bagaimana perlawanan komunitas Dayak
Meratus terhadap modernisasi. Kelahiran Kejora menggambarkan itu. Indung (ibu) Kejora
meninggal saat melahirkan, bapang-nya (bapak) saat itu marah sekali pada bidan yang membantu
persalinan. Ia menuduh bidan itu membunuh istrinya sehingga ia berucap tidak akan percaya lagi
pada “orang puskesmas”.
Hal yang dihadapi oleh masyarakat sungai juga sama. Dalam novel ini penulis berhasil
menggambarkan perubahan budaya pada masyarakat sungai melalui narasi yang mereka
bangung. Mereka menggambarkan masyarakat sungai tidak lagi menjadi sungai sebagai “kiblat”.
Rumah mereka tidak lagi memiliki sungai sebagai halaman depan, kini mereka
membelakanginya. Sungai kini juga menjadi tempat pembuangan sampah. Keresahan
masyarakat sungai ini digambarkan lewat sosok Abah. Ia pernah bercerita pada Arian, mimpinya
agar sungai kembali menjadi tempat kehidupan bagi masyarakat. Mimpi itu menggambarkan
resahnya masyarakat melihat sungai tidak lagi seperti dulu. Unsur-unsur dalam novel ini berhasil
dibangun dengan padu oleh penulis. Masing-masing karakter terlihat jelas perbedaan wataknya,
Kejora yang mandiri dan gesit, Arian si pemberani yang taat pada Abah, Bunga yang senang
bermain di tengah kesepiannya. Plot dalam cerita ini tidak terlalu menganggumkan, konflik yang
dibangun kebanyakan konflik-konflik “receh”. Namun karena “receh” konflik itu menjadi sangat
berkaitan erat dengan pembaca, meski dengan latar budaya berbeda sekalipun.
Hal yang menarik dalam novel ini ialah gaya bahasa. Meski disusun oleh dua penulis,
novel ini dari awal sampai akhir memakai gaya bahasa yang konsisten. Pembaca jadi merasa
novel ini ditulis oleh satu orang. Ini hal yang baik, pembaca jadi tidak bingung karena perubahan
gaya bahasa. Novel ini secara keseluruhan sangat menyenangnkan untuk dibaca. Melihat
bagaimana Arian, Bunga, dan Kejora berpetualangan merupakan hal yang menarik. Pembaca
seperti ada di tengah-tengah petualangan itu. Pembaca bisa merasakan senangnya Bunga ketika
berpetualangan dengan Arian. Begitupun sebaliknya. Novel ini sangat cocok bagi mereka yang
senang dengan cerita-cerita yang dibalut dengan sisi-sisi antropologis dari masyarakat. Menurut
saya, novel ini layak untuk dibeli dan dibaca isinya.

Anda mungkin juga menyukai