Anda di halaman 1dari 16

CRITICAL BOOK REPORT

“Pendidikan Agama Katolik”


Dosen Pengampu: Oskar Rafael Tampubolon, M.Pdk

Disusun Oleh:
Nama : Blasius Erik Sibarani
NIM : 7172142011
Kelas : C Reguler

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas lindungan dan
berkat Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Critical Book Report pada mata kuliah
“Pendidikan Agama Katolik”. Critical book report ini sangat lah berguna bagi penulis
untuk mempetanggung jawabkan tugas yang telah diberikan dosen pengampu kepada penulis.
Critical book report ini berisikan materi yang membahas mengenai keimanan agama
Katolik. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah
“Pendidikan Agama Katolik” yaitu Bapak Oskar Rafael Tampubolon, M.Pdk yang telah
memberikan tanggung jawab penulis dan telah membimbing penulis dalam penyelesaian
laporan ini.
Penulis membutuhkan saran dan kritik dari pembaca untuk kesempurnaan penulisan
berikutnya.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.

Medan, Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.............................................................................................1
B. TUJUAN..................................................................................................................1
C. MANFAAT.............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................3
BAB III PENUTUP.............................................................................................................12
A. KESIMPULAN.......................................................................................................12
B. SARAN....................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
“Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga,
Engkau mengindahkannya? (Mzm 8:5). Pertanyaan puitis ini menyiratkan kedalaman
pergumulan iman sang Pemazmur tentang identitas manusia. Baginya, manusia itu misteri ‘Ia
hina sekaligus mulia’.
Sejak awal mula, manusia bergumul dengan misteri dirinya. Para filsuf dan para bijak
pandai berusaha menjawab pertanyaan dasar ini, “siapak au? Apa arti dan makna hidupku?
Apa tujuan hidupku? Dan jawaban yang ditemukan belum pernah secara tuntas
menyingkapkan misteri ini. Sehingga pencarian jati diri, merupakan pencarian tanpa henti.
Kitab kejadian dengan indah meliddskan manusia, sebagai ‘citra Allah’. Gagasan ini
mendasari seluruh refleksi iman yudaisme dan kristianisme sampai sekarang. Sejak abad-
abad pertama, para Bapa gereja terus m,endalami gagasan ini, terutama dalam kaitan dengan
pribadi dan mini Yesus Kristus. Magisterium, gereja dan para teolog pada setiap zaman juga
tidak pernah meninggalkan aspek ini dalam refleksi dan pengajaran mereka. Bahkan pada
zaman ini ketika secara luar biasa pertambahan dan semakin gawat ancaman-ancaman bagi
kehidupan orang-orang dan bangsa-bangsa, terutama terhadap kehidupan lemah dan tanpa
perlindungan, refleksi dan pewartaan tentang martabat manusia sebagaimana diciptakan
Allah semakin penting dan mendesak.
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mahasiswa dapat menerangkan gambaran kitab kejadian tentang manusia sebagai
citra Allah.
2. Mahasiswa dapat menerangkan penegrtian Imago Dei dalam ajaran para bapa
gereja, terutama Agustinus dan thomas Aquinas.
3. Mahasiswa dapat menerangkan perbedaan citra, Allah pada binatang dan manusia.
4. Mahasiswa dapat menerangkan ajaran konsili vatikan tentang manusia sebagai
pribadi.
5. Mahasiswa dapat menerangkan tujuan manusia diciptakan secitra dengan Allah.
6. Mahasiswa dapat menerangkan hubungan manusia dengan manusia lain sebagai
citra Allah.

1
7. Mahasiswa dapat menerangkan dosa bagi kodrat manusia.
8. Mahasiswa dapat menerangkan rahmat kristus bagi pemulihan kodrat manusia.
9. Mahasiswa dapat memberikan beberapa refleksi pemikiran tentang manusia
sebagai citra Allah.
C. Manfaat
 Menambah wawasan mahasiswa katolik mengenai keimanan katolik
 Menambah pengetahuan mahasiswa katolik mengenai jiwa dan badan dalam
pribadi manusia
 Menambah pengetahun mahasiswa katolik mengenai citra Allah Tritunggal

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Manusia Diciptakan Secitra Dengan Allah
Kitab Kejadian menceritakan bahwa manusia diciptakan menurut citra atau gambar
Allah. “Menurut gambar Allah diciptakan dia, laki-laki dan perempuan diciptakan mereka.
(Kej 1:16-27). Dengan diciptakan menurut citraNya, Allah telah menjadikan manusia lebih
unggul dari semua makhluk yang lain. Manusia adalah puncak dan mahkota, seluruh ciptaan
Allah. Semua yang telah diciptakan Allah tertuju manusia (1:29) dan berada dibawah
kekuasaan manusia, “Beranak cuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan
taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap dibumi” (1:28). Maka sejak semula manusia telah dianugerahi
martabat mulia dan rajawi. Martabat yang istimewa itu dimadahkan secara mengagumkan
oleh pemazmur.

B. Manusia Sebagai ‘Amago Dei’ Dalam Ajaran Gereja


Para Bapa gereja, di antaranya Origenes, Gregorius dari Nyssa dan Agustinus
mempertegas ajaran kitab suci tentang kodrat manusia sebagai citra Allah. Manusia adalah
imago Dei. Kodrat manusia itu disebabkan oleh percikkan hidup ilahi sewaktu manusia
diciptakan. Percikan hidup ilahi itu terutama terdapat dalam jiwa atau roh manusia. Oleh
karenanya roh itu sanggup mengenal dan mengekspresikan semua yang ada, menembus
batas-batas kodrat dan struktur materi, mengenal semua tentang semua. Dengan kehausan
yang tak tanpa batas dan kapasitasnya yang tak terbatas, jiwa bahkan mampu menjangkau
yang tak terbatas. Dengan demikian jiwa menjadi jalan bagi manusia menuju Allah.
Pujangga gereja abad pertengahan, Thomas Aquinas mengatakan bahwa percikan-
percikan hidup Allah dalam diri manusia itu menjadi semacam materai Allah dalam diri
manusia dengan daya magnet yang selalu mengarahkan, menarik, mengkonsentrasikan
manusia menuju penyatuan degana Allah. Sehingga, semua orang entah baik atau buruk,
salah atau benar, ditarik kearah pemenuhannya pada Allah. Ia menimbulkan kehausan yang
mempersonakan yang hanya dapat terpuaskan dalam Allah. Materai itu adalah materai abadi
dan kodrati. Ia tidak akan musnah betapapun manusia itu berdosa atau menolaknya.

1. Manusia Sebagai Pribadi

3
Penciptaan manusia sebagai citra Allah memberikan manusia martabat sebagai
pribadi. Pendapat ini ditegaskan oleh para Bapa gereja. St. Agustinus mengatakan bahwa
pribadi manusia merupakan suatu substansi, basil penyatuan substansi jiwa dan badan. Bapa-
bapa gereja berikutnya, meskipun berbeda dalam gagasan tentang relasi antara badan dan
jiwa, tetap mempertahankan gagasan manusia sebagai pribadi. Konsili vatikan II dalam
konstribusi Gaudiwn Et Spess menegaskan kembali, bahwa oleh karena citra Allah dalam
dirinya, manusia memperoleh martabat sebagai pribadi.

2. Jiwa dan Badan Dalam Pribadi Manusia

a. St. Agustinus

(1) Pengaruh Filsafat Plato


Menurut Plato, badan dan jiwa memiliki asal usul yang berbeda. Jiwa berasal dari
dunia idea dan badan berasal dari dunia maya/jasmani. Karena berasal dari dunia idea, jiwa
bersifat abadi dan memiliki kecenderungan ke hal yang baik dan luhur. Sedangkan badan
karena berasal dari dunia maya bersifat fana dan rap[uh, dan memiliki kecenderungan ke hal
yang baik dan buruk.
Pemikiran Plato banyak mempengaruhi para Bapa gereja awal, antara lain Agustinus,
Origenes, Gregorius dari Nyssa dan Anselmus. Mereka melakukan dikotomi berat, sebelah
badan dan jiwa. Keyakinan bahwa jiwa memiliki kekekalan membuat mereka beranggapan
bahwa jiwa sudah memiliki substansi sendiri sebelum menyatu dengan badan. Bahkan
kesatuannya dengan badan justru menghambat penyatuan dengan yang Ilahi.
(2) Asal Usul Jiwa
Agustinus menjelaskan juga perihal asal usul jiwa. Dengan bersumber dari Sir 18:1, !
6:24-17:4 dan berinspirasi dari Kej 1:1-29, Agustinus mengatakan bahwa jiwa manusia
diciptakan oleh Allah dari ketiadaan. Ia menolak pandangan kaum Manikheis yang
menyatakan bahwa jiwa merupakan ‘sebagian’ yang dilepaskan dari substansi ilahi, dan
pandangan Origenes tentang preksistensi jiwa.
(3) Keunggulan Jiwa dari Badan
Agustinus mengatakan bahwa jiwa adalah substansi yang berakal budi yang
dipersiapkan untuk mengemudikan badan. Manusia adalah jiwa berakal budi yang
mempunyai dan memakai badan. Karena itu, jiwa merupakan hakikat manusia yang

4
sesungguhnya. Jiwa bersifat rohani, hadir pada dirinya sendiri dalam keintiman dan keinsafan
akan dirinya sendiri.
(4) Keabadian Jiwa
Menurut Agustinus karena asal usulnya dan karena kodratnya sebagai wadah
kebenaran abadi, maka jiwa juga bersifat abadi. Betapa pun badan mengalami kemusnahan,
tetapi kemusnahan badan tidak dapat memusnahkan jiwa seta kebenaran-kebenaran di
dalamnya; dan sekalipun dosa memang merugikan jiwa, tetapi ia tidak dapat
memusnahkannya. Jiwa memiliki hubungan ontologism dengan kebenaran-kebenaran yang
berdiam didalamnya. Namun jiwa tidak bisa musnah oleh berbagai kontradiksi kebenaran-
kebenaran itu.

b. Thomas Aquinas
Thomas mengatakan bahwa hanya lewat badan, jiwa manusia mampu bereksprensif
dan bereksistensi. Dalam setiap dinamisme penjelajahan, pemikiran cemerlang, pengalaman
rohani paling inters dari jiwa, tetap berakar dan dikondisikan oleh badan, pengindaraan dan
imajinatif, termasuk Allah, tetap dalam kesatuan dengan badan dan menimbulkan efek
badaniaah (seperti emosi, gerakan badan). Di puncak ekstasi itu, manusia mencapai
kehidupan Allah, ia justru menikmati kesenangan indrawi secara sempurna dan utuh. Untuk
itu Thomas mengatakan bahwa kesatuan jiwa dan badan tidaak hanya harus diterima tetaapi
juga dipuji dan dirayakan.

c. Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II menegaskan kembali gagasan Thomas Aquinas. Dalam konstitusi
Gaudium et Spes, para Bapa konsili mengatakan bahwa keastuan jiwaa dan raga dalam
pribadi manusia merupakn kodrat manusia. Badan tidak boleh diremehkan, melainkan harus
pandang baik dan dihargai, sebab badan adalah ciptaan Allah, akan dibangkitkan/dimuliakan
pada hari terakhir. Badan adalah pemersatu semua unsur-unsur jasmani, dan melalui
meluhurkan Allah.
Dengan tanpa merendahkan badan, konsili juga menyadari keunggulan jiwa yang
bersifat rohani dan kekal abadoi, sebab didalamnya Allah berdiam dan memberi pencerahan
kepada pribadi manusia agar dapat menentukan keputusan-keputusannya berdasarkan
kebenran-kebenaran yang mendalam.

3. Menelusuri Citra Allah Tritunggal

5
a. Jejak-jejak Tuhan Trinitas Pada Semua Makhluk
Menurut Agustinus, manusia bukan satu-satunya makhluk yang menampakkan citra
Allah. Semua makhluk karena diciptakan menurut ide-ide Allah, mempunyai kemiripan
dengan Allah. Kemiripan dalam makhluk-makhluk itu tidak memiliki kadar yang sama, tetapi
sesuai dengan derajat kesempurnaan dalam keberadaan ontologisnya. Dalam suatu tatanan
yang teratur, ciptaan-ciptaan secara tidak sama mengambil bagian dalam kesempurnaan ide-
ide Allah Tritunggal. Karena derajat partisipasi yang berbeda, maka makhluk yang satu bisa
lebih jelas menampakkan citra Allah dari pada makhluk lain.
b. Citra Tuhan Trinitas dalam diri Manusia
Pertigaan pertama terdiri dari mens (akal budi), notitia (pengertian, pengenalan) dan
amor (cinta) berbeda satu terhadap yanag lain sekaligus merupakan kesatuan yang hakiki,
saling mengikat sehingga tampak sebagai sebuah pertigaan. Pertigaan ini terjadi ketika
pengenalan dan cinta yang ada dalam akal budi terarah kepada diri sendiri. Menurut
Agustinus, pertigaan antara ketiga, unsur ini memperlihatkan gambaran Allah Tritunggal,
yaitu pertigaan tiga, pribadi ilahi yang saling berhubungan dalam keesaan ilahi.
Pertigaan kedua lebih sempurna menampakkan gambaran Allah Tritunggal. Dalam
pertigaan ini, apa yang sudah dikenal dalam akal budi (mens) digali dan dieksplisitkan secara
lebih sempurna, dalam pengertian, pemahaman, pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan.
Pertigaan yang paling tinggi adalah memoria Dei, intelligentia dan amor. Pada
pertigaan ini, tidak hanya dibentuk suatu relasi dengan dirinya sendiri, tetapi juga suatu relasi
jiwa dengan Allah. Dia bukan lagi seperti pertigaan dalam akal yang diwarnai dengan
mengingat diri sendiri, mengerti diri sendiri dan mencintai diri sendiri. Dalam pertigaan ini
jiwa kita mengingat, mengerti dan mencintai Allah yang adalah pengada.

4. Kehendak Bebas dan Hati Nurani


a. Kehendak Bebas
Tradisi (P) dalam menyajikan kisah penciptaan menekankan kebebasan manusia
sebagai citra Allah. Dengan kebebasan itu manusia memiliki kemmungkinan untuk memilih.
Kitab Sirakh menyatakan bahwa dengan kebebasan itu, Allah menyerahkan kepada manusia,
atas apa yang dilakukannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. Dan berdasarkan
kebebasannya itu, ia harus bertanggung jawab atas semua yang dilakukannya.
Menurut Agustinus, kehendak bebas memainkan peranan penting dalam jiwa
manusia. Ratio berada pada posisi netral, kehendaklah yang mengarahkan jiwa. Kehendaklah

6
yang memberi keterarahan bagi jiwa untuk memilih antara, ke atas, yakni kepada Allah
pencipta atau ke bawah, yakni ke dunia yang bukan kediaman yang sesungguhnya. Dan jiwa
harus bertanggung jawab atas pilihannya. Ia harus menerima segala konsekwensi yang harus
ditanggungnya. Di sinilah letak dimensi moral dan jiwa. Keterarahan ke atas menjadikannya
bermoral baik (bijaksana), sedangkan keterarahan ke bawah akan menjadikannya bermoral
buruk. Keterarahan menentukan moralitas manusia. Jika keterarahan itu jahat, maka semua
dorongan hati dan hasrat pun jahat. Jika keterarahan itu baik, semua dorongan hati dan hasrat
pun baik. Keterarahan jahat timbul dari keangkuhan untuk menikmati ketinggian dan
kemuliaan palsu. Manusia menjauhkan diri dari Allah, asalnya sebenarnya, dan menjadikan
dirinya sendiri sebagai asalnya sendiri.
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa kebebasan manusia yang sejati merupakan
tanda keserupaannya dengan Allah, supaya dengan sukarela dan sadar mencari sang pencipta
dan mengabdi kepadaNya sampai mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang
membahagiakan. Ia dapat mencapai martabat itu, bila membebaskan diri dari penawaran
nafsu-nafsu, secara bebas memilih apa yang baik, serta dengan tepat guna dan jerih payah
yang tekun mengusahakan sarana-sarana yang memadai.
b. Hati Nurani
Selain akal budi dan kehendak, dalam jiwa manusia juga terdapat hati nurani. Konsili
mengatakan bahwa hati nurani adalah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di
situ ia seorang diri bersama Allah yang sapaanNya menggema dalam batinnya.
K. Bertens dalam bukunya, ‘Etika, mengatakan bahwa sesungguhnya hati nurani
adalah bagian dari akal budi manusia, tepatnya akal budi praktis. Akal budi manusia tidak
hanya berada pada tataran teoritis, yang membuatnya bissa bereksplorasi dengan berbagai
gagasan, menembusi batas - batas materi. Akal budi juga berkaitan pada tataran praktis, yakni
ketika seorang berhubungan langsung dengan tindakan konkretnya. Di sinilah letak hati
nurani, ia semacam intuisi yang menilai suatu perbuatan konkret yang sudah, sedang atau
yang akan dilakukan. Hati nurani itu semacam instansi, penghakiman dalam diri individu;
dan menjadi jalan bagi pribadi manusia menerima tanggung jawab personal atas perbuatan
yang dilakukan.
Katekismus gereja Katolik menyatakan bahwa martabat pribadi manusia mengandung
dan merindukan hati nurani yang menilai suatu perbuatan secara tepat. Hati nurani
mengandaikan pemahaman prinsip – prinsip moral dan kehendak bebas dan ketajaman budi
akan situasi konkret yang dihadapi. Kebijaksanaan seorang pribadi manusia terwujud ketika

7
hati nuraninya memutuskan secara konkret menurut kebenaran – kebenaran moral yang
dinyatakan dalam hukum akal budi.

C. Terarah Kepada Hubungan Kasih dengan Sang Pencipta.


Dengan percikan kehidupan Allah dalam diriNya, maka manusia memiliki
kemampuan dasar dan kehausan tanpa batas untuk berjumpa dan berelasi dengan Allah. Hal
ini menjadi inti teologi antropologis Thomas Aquinas. Karl Rahner, hampir dalam seluruh
karyanya berbicara tentang hal yang sama. Pada dasarnya manusia adalah potential
oboedientialis, terarah dan tertuju kepada Dia yang dari pada Nya ia berasal dan kepadaNya
ia dipanggil pulang.
Namun dalam membangun relasi itu, manusia bukan pada posisi inisiatif. Inisiatif
selalu berasal dari Allah yang mewahyukan diri. Posisi manusia adalah memberi tanggapan
atas panggilan Allah. Ia sudah terstruktur sebagai makhluk responsif. Manusia bisa menjadi
diri sendiri hanya bila manusia itu berada dalam relasi. Relasi kasih hanya dapat dibangun
dalam kebebasan. Kesukarelaan adalah dasar dari kasih sejati. Dan sebaliknya dalam kasih
bebas kita menemukan bentuk perwdujudan paling tinggi.

D. Menjadi ‘Wakil’ yang ditentukan Allah


Dengan diciptakan secitra dengan Allah, sesungguhnya manusia (pria dan wanita)
memiliki panggilan untuk menjadi wakil Allah untuk ‘menaklukkan dunia’. Allah memberi
kemungkinan kepada manusia untuk mengambil bagian secara bebas dalam
penyelenggaraanNya dan menyerahkan tanggung jawab, untuk menaklukan dunia dan
berkuasa atasnya. Keistimewaan itu tidak dapat menjadi sumber kelaliman yang
menghancurkan, tetapi mengambil bagian dalam citra Allah yang mengasihi dunia untuk
bertanggung jawab atas semua makhluk ciptaan Allah. Dengan demikian manusia
sesungguhnya adalah partner Allah dalam melengkapi karya ciptaan dan untuk
menyempurnakan harmoninya demi kesejahteraan diri dan sesama. Ia mengaruniakan kepada
kita berbagai kemampuan, talenta – talenta, bakat – bakat, serta kharisma – kharisma supaya
kita dapat ambil bagian dalam tugas ini. Dalam dan melalui kita, Allah bekerja dan selalu
bekerja. Dan dengan itu martabat kita ditinggikan.
St Gregorius dari Nisa mengatakan : “Allah memampukan manusia menjalankan
peranannya sebagai raja bumi .... segala sesuatu memperlihatkan bahwa sejak semula kodrat
manusia ditnadai oleh martabat rajawi ... manusia itu raja. Diciptakan untuk berdaulat atas

8
bumi, dikaruniai keserupaan dengan Raja semesta alam. Ialah citra yang hidup, yang karena
martabatnya berpartisipasi dalam kesempurnaan Sang Pola Dasar Ilahi.
Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae menegaskan kembali ajaran ini.
Panggilan manusia sebagai citra diwujudkan dalam pengadaan keturunan yang dijalankan
dengan cinta kasih dan sikap hormat terhadap Allah, penugasan atas bumi dan berdaulat atas
makhluk – makhluk yang lebih rendah dan atas ‘hidup’ dan dirinya sendiri dalam semangat
pengabdian kepada Allah, dan dijalankan dengan kebijaksanaan dan cinta kasih. Namun
manusia bukan tuan “yang mutlak” atau hakim yang terakhir, melainkan dalam
keagungannya ia merupakan pelayan rencana Allah. Dalam mengembangkan panggilan ini,
manusia wajib mendengarkan rencana Tuhan dan memperhatikannya dalam setiap
tindakannya. Yesus Tuhan, dalam pekerjaanNya sebagai tukang di Nazaret telah
menunjukkan teladan menjalankan panggilan ini.

E. Manusia dan Manusia Lain


Setiap orang diciptakan menurut gambar Allah yang sama, supaya seluruh bangsa
manusia yang mendiami muka bumi ini berasal dari satu asal, menjadi satu keluarga, saling
menghadapi dengan sikap persaudaraan dan dipanggil untuk tujuan yang sama, yakni
mencapai kepenuhan dalam Allah. Paus Pius XII mengatakan bahwa kesamaan asal usul
semua manusia ini menunjukkan semua manusia, berada dalam kesatuan kodrat, kesatuan
tujuan, kesatuan tebusan, dan kesatuan tugas di dunia. Semua umat manusia berdiam dalam
bumi yang sama, maka semua berhak menikmati hasil – hasilnya untuk bertahan dalam
kehidupan dan berkembang. Karena itu meskipun keanekaragaman pribadi, kebudayaan serta
bangsa, semua manusia adalah saudara dan saudari. Inilah hukum solidaritas kasih
masyarakat manusia.
Untuk itu Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa cinta kasih kepada Allah tidak bisa
terpisahkan dari cinta kasih kepada sesama. Yesus Tuhan telah menetapkan ini menjadi
hukum yang utama. Semua hukum lain mencapai kepenuhan dalam hukum ini. “Hendaklah
engkau mengasihi sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Roma 3:9 – 10). Maka
sesungguhnya umat manusia memiliki kesatuan dan kesalingtergantungan. Dalam doaNya,
Yesus menunjukkan bahwa kemiripan kesatuan pribadi-pribadi ilahi (Allah Tritunggal )
merupakan dasar kesatuan semua orang dalam kebenaran dan cinta kasih.

F. Dosa, Melukai Kodrat Manusia sebagai Citra Allah.

9
Kodrat manusia terletak dalam keterarahan hidupnya kepada Allah dan berjuang
mencapai kesempurnaan dalam Allah. Allah adalah pusat dan arah hidup manusia. Kodrat
manusia menjadi terluka ketika ia memilih yang lain sebagai pusat dan arah hidupnya. Inilah
sesungguhnya dosa, yakni menjauhkan diri dari Allah, pusat dan arah hidup asasinya, dan
menjadikan yang lain sebagai pusat dan arah pencapaian hidupnya. Dengan kata lain, dosa
adalah kesombongan manusia yang mencari kebahagiaan di luar Allah.
Akibat yang terjadi, kodrat manusia sebagai citra Allah mengalam keterlukaan. Pada
aspek ini gereja Katolik bertentangan dengan gereja – gereja Protestan. Luther mengatakan
bahwa ketika manusia jatuh dalam dosa, seluruh kodrat manusia mengalami kehancuran.
Gereja Katolik menolak pandangan ini. Bagi para Bapa gereja Katolik, citra Allah dalam diri
manusia tidak rusak secara total. Thomas Aquinas mengumpamakan citra Allah yang terluka
dosa dengan berlian yang terbenam lumpur, Ia tetap berlian namun tak mampu bercahaya
lagi. Dengan menempatkan hal lain (bukan Allah) menjadi pusat dan arah hidupnya, manusia
telah memburamkan cahaya citra Allah dalam dirinya. Relasinya dengan Allah tetap ada
namun terisolasi di samping prioritas – prioritas yang lain. Dalam keadaan demikian manusia
menjadi teralienisasi dengan Allah dan dirinya sendiri. Keadaan dosa adalah keadaan
keterasingan dari Allah pencipta.

G. Dipulihkan dan Diangkat menjadi Anak Angkat Allah


Santo Gregorius dari Nisa berkata : “Kodrat kita yang sakit membutuhkan dokter,
manusia yang jatuh membutuhkan orang yang mengangkatnya kembali; yang kehilangan
kehidupan membutuhkan sesorang yang memberi hidup.
Santo Paulus dalam beberapa suratnya mengatakan bahwa Yesus pertama – tama
adalah citra sejati Allah dan oleh Dia kita semua beroleh pemulihan kodrat dan berpartisipasi
dalam kodrat ilahi. Yesus Kristus adalah gambar yang sesungguhnya dari Allah yang tidak
kelihatan. Penginjil Yohanes juga menegaskan bahwa keserupaan Yesus dengan Allah.
“Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1); “Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa” (Yoh.
14:9). Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus mengatakan bahwa Yesus adalah jalan
pemulihan dan pengangkatan kodrat manusia. Oleh dan dalam Dia, semua anak – anak Adam
tidak hanya dipulihkan dari kodratnya yang terluka dosa, tetapi juga diangkat ke martabat
sebagai anak – anak Allah.

H. Pemikiran Refleksi

10
Hidup manusia oleh karena diciptakan secitra dengan Allah, sejak awal melibatkan
Allah, dan mengarah kepada kepenuhan dalam Allah, memiliki nilai hidup yang agung dan
tak terhingga. Konsili Vatikan II mengatakan bahwa penjelmaan putra Allah yang
menyatukan diri dengan tiap orang, tidak hanya menyingkapkan keselamatan dan cinta kasih
Allah yang tiada bandingnya, melainkan juga nilai tiada bandingnya pribadi manusia. Hidup
manusia meskipun masih akan menuju kepenuhan dalam Allah memiliki nilai keramat dan
mengandung hak – hak kodrati yang tak dapat diganggu gugat. Karena itu Konsili Vatikan II
menyerukan perlunya suatu tatanan dunia yang lebih adil dan mannusiawi supaya semua
orang berhak menikmati hasil – hasilnya untuk bertahan dan berkembang dalam kehidupan.
Dan setiap diskriminasi dalam hak – hak asasi pribadi entah bersifat kondisi sosial, bahasa
dan agama, harus diatasi dan disingkirkan, sebab bertentangan dengan kehendak Allah.
Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae mengatakan bahwa dewasa
ini terjadi serangan – serangan dan ancaman – ancaman terhadap martabat dan hidup manusia
secara meluas dan mencemaskan. Selain karena berbagai malapetaka yang dahulu menimpa
masyarakat, seperti kemiskinan, kelaparan, wabah penyakit, juga bermunculan bentuk –
bentuk baru kekerasan dan perang mengerikan. Menanggapi hal ini, Paus mengulangi lagi
pernyataan para Bapa Konsili : “Apa saja yang berlaawanan dengan kehidupan sehari – hari,
misalnya dalam pembunuhan yang manapun juga, penumpasan suku, pengguguran,
euthanasia dan bunuh diri yang disengaja; apapun yang melanggar keutuhan pribadi manusia,
seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yang ditimpakan pada jiwa maupun badan,
usaha – usaha paksaan psikologis; apapun yang melukai martabat manusia, seperti kondisi –
kondisi hidup yang tidak manusiawi, pemenjaraan sewenang – wenang, hal – hal serupa itu
adalah perbuatan keji. Selain mencoreng peradaban manusia, perbuatan – perbuatan itu
bertentangan dengan kemuliaan sang Pencipta.

 Kelebihan dan Kelemahan Buku

1. Kelebihan Buku
Menjelaskan semua bagian yang berhubungan dengan materi sehingga kita
mendapatkan informasi yang banyak mengenai materi ini.

2. Kelemahan Buku
Pembahasannya monoton sehingga menimbulkan kebosanan terhadap pembaca.
Pembahasannya terlalu bertele-tele dan bagian-bagian setiap pembahsan tidak jelas.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Panggilan utama manusia sebagai citra Allah, tidak hanya membangun relasi dengan
Allah dan berjuang untuk memperoleh kepenuhan dalam. Dia, tetapi mejadi wail Allah dalam
dunia untuk mewujudkan rencana agung bagi diri sendiri, sesama dan alam semesta. Pada
zaman ini kita mempunyai misi pokok mewartakan injil kehidupan bagi masyarakat modern,
dan bersama-sama dengan semua penduduk bumi memulihkan keutuhan dan keharmonisan
alam semesta.

B. Saran
Sebagai generasi muda, kita harus mempejalari lebih memahami bagaimana hidup
manusia diciptakan secitra dengan Allah, dimana sejak awal melibatkan Allah, dan
mengarah kepada kepemilihan Allah, memiliki nilai hidup yang agung dan tak terhingga.

12
DAFTAR PUSTAKA
Pendidikan Agama Katolik Buku Untuk Perguruan Tinggi, Direktorat Jenderal Pembelajaran
dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik
Indonesia, 2016.

13

Anda mungkin juga menyukai