PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menjumpai segala macam jenis berjanjian baik
perjanjian tertulis maupun tidak tertulis, perjanjian bernama maupun tidak bernama, dan
sebagainya. Kita harus sadari bahwa dalam kehidupan kita tidak luput dari perjanjian.
Bahkan dalam hal kecil saja seperti jual beli di pasar atau supermarket kita sudah
melaksnakan perjanjian atau kontrak.
Dalam tahun terkahir ini, konsep bisnis franchise (waralaba) akhir-akhir ini telah menjadi
salah satu perjanjian yang populer yang memberi warna baru dalam dinamika
perekonomian Indonesia. Franchise dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan
kegiatan perekonomian dan memberikan kesempatan kepada golongan ekonomi lemah
untuk berusaha. Hal ini berarti Franchise dapat memberikan kesempatan kerja,
pemerataan dan juga menciptakan lapangan kerja masyarakat.
Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2007 tentang waralaba
sebagaimana yang didukung dengan aturan pelaksana Peraturan Menteri Perdagangan No
3/M-DAG/PER/8/2008 tentang penyelengggaraan waralaba menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan
atau badan usaha terhadap system bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan
dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba[1]
Orang perseorangan atau badan usaha yyang memberikan hak untuk memanfaatkan
dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya. Kepada penerima waralaba disebut
dengan pemberi waralaba (Franchisor) sedangkan orang perseorangan atau badan usaha
yang diberikan hak oleh pemberi waralaba umtuk memanfaatkan dan/atau menggunakan
waralaba yang dimiliki pemberi waralaba disebut dengan penerima waralaba
(Franchisee).
Dari rumusan yang diberikan tersebut diatas dapat dikatakan bahwa franchise merupakan
suatu perikatan yang tunduk pada ketentuan umum mengenai perikatan yang diatur dalam
Kintab Undang-Undang Hukum Perdata. Disamping itu franchise didalam melibatkan
hak pemanfaatan dan atau penggunaan hak atas intelektual atau penemuan atau cirri khas
usaha, yang dimaksudkan dengan hak atas intelektual meliputi antara lain merek, nama
dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten, dan yang dimaksudkan dengan
penemuan atau cirri khas usaha yaitu system manajemen, cara penjualan atau penataan
atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dari pemiliknya.
Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh perseorangan atau badan usaha terhadap
sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/jasa yang
telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain
berdasarkan perjanjian waralaba.[2]
Menurut bahasa franchise berasal dari bahasa Prancis yaitu franch (bebas), fancher
(membebaskan, memberikan hak istimewa), dan dalam bahasa Indonesia Franchis adalah
waralaba. Waralaba itu sendiri adalah berasal dari kata wara yang artinya lebih dan laba
yang artinya untung. Jadi Franchise/waralaba dalam bahasa Indonesia adalah usaha yang
memberikan keuntungan lebih atau istimewa.
Sedangkan menurut para ahli franchise adalah sebagai sebuah lisensi merek dari pemilik
yang mengijinkan orang lain untuk menjual produk atau service atas nama merek
tersebut.[3]
Dalam pengertian yang demikian dapat kita Tarik suatu kesimpulan bahwa seorang
penerima waralaba juga menjalankan usahanya sendiri tetapi dengan mempergunakan
merek dagang atau merek jasa serta dengan memanfaatkan metode dan tata cara atau
prosedur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba. Kewajiban untuk mempergunakan
metode dan tata cara atau prosdur yang telah ditetapkan oleh pemberi waralaba membawa
akibat lebih lanjut bahwa suatu usaha waralaba merupakan usaha yang mandiri yang
tidak mungkin digabungkan dengan kegiatan usaha lainnya (milik penerima waralaba).[4]
A. Kelebihan dan Kekurangan Franchise
Dalam bukunya yang berjudul Franchising the Most Pratical and Excelent Way of
Suceeding, Bambang N. Rachmadi menyatakan bahwa Franchise sebagai kebijakan,
strategi, dan pola untuk mengembangkan Usaha Kecil Mengah (UKM) sudah lama
dikembangkan oleh negara-negara maju. Hal ini dikarenakan franchise mempunyai
banyak kelebihan yaitu secara organisasi fanchise mempresentasikan sebuah aliansi
kolaboratif yang mana keberhasilannya tergantung pada kerjasama antar franchisor [ 5]
dan franchise.[6]
2[] pasal 1 angka (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba
3[] Campbell Black dalam bukunya Black’s Law Dict.
4[] hal.08. Diambil dari Makalah Ani Yunita, S.H. hal. 10.
5[] Orang atau badan usaha yang memiliki konsep, merek produk dan, di mana franchisor menguasai,
mengembangkan dan memberikannya melalui kontrak perjanjian franchise.
6 Orang atau badan usaha yang memperoleh hak mereproduksi konsep franchisor di mana franchisee
terikat dengan kontrak perjanjian.
Selain itu, waralaba juga dapat dipergunakan sebagai model pengembangan usaha ke
pasar internasional utnuk melakukan investasi dan memandukan keuntungan lokal
dengan keuntungan global. Disamping fanchise mempunyai kelebihan juga mempunyai
kelemahan dan keterbatasan yang menimbulkan kerugian.
Dalam Small Business Management, Justin G. Longeneek, Charlos W. Moore dan J.
William Petty mengidentifikasi ada tiga kekurangan franchise yaitu :
a). Biaya yang berhubungan dengan franchise yang seringkali dituntut sangat tinggi
oleh franchisor.
b). Pembatasan operasi yang membatasi kontrak franchise seperti membatasi daerah
penjualan.
c). Hilangnya kebebasan sebagai akibat dibawah pengendalian langsung dari
franchisor.
7[] Jumlah yang dibayarkan untuk penggunaan properti, seperti hak paten, hak cipta, atau sumber alam.
Dalam klausul harus ditentukan penentuan jangka waktu dan dapat diperpanjang kembali,
Hal ini penting sebab dengan jangka waktu yang relatif pendek seandainya terjadi
pengakhiran perjanjian, maka penerima waralaba (franchise) dapat rugi karena investasi
franchise, franchise fee, royalti, serta fee lainnya telah banyak dikeluarkan tetapi belum
mendapat kompensasi keuntungan dari bisnis franchise yang dijalankan.
Perjanjian franchise merupakan salah satu aspek perlindungan hukum kepada para pihak
dari perbuatan merugikan pihak lain. Hal ini dikarenakan perjanjian dapat menjadi dasar
hukum yang kuat untuk menegakan perlindungan hukum bagi para pihak jika salah satu
pihak melanggar perjanjian, maka pihak lain dapat menuntut ganti kerugian kepada pihak
yang merugikan sesuai dengan hukum yang berlaku. Franchise perlu memperoleh
perlindungan hukum akibat ketidakseimbangan kekuatan tawar-menawar (enequal
bargaining power) dalam suatu perjanjian membuat kedudukan franchise tidak
mempunyai posisi tawar yang cukup kuat untuk mempertahankan apa yang menjadi
haknya.
Franchisor menetapkan syarat – syarat dan standar yang harus diikuti oleh franchise yang
memungkinkan franchisor membatalkan perjanjian apabila menilai franchise tidak dapat
memenuhi kewajibannya. Perlindungan hukum bagi franchise dalam hal adanya posisi
yang tidak berimbang dalam perjanjian antara franchisor dan franchise dapat dilakukan
dengan cara yaitu pihak franchise dapat menolak melakukan prestasinya atau menolak
melakukan prestasi selanjutnya, manakala pihak franchisor telah terlebih dahulu
melakukan wanprestasi atau pelanggaran perjanjian. Pasal 8 PP No. 42 Tahun 2007
tentang Waralaba yang berisi franchisor wajib memberikan pembinaan dalam bentuk
pelatihan, pembinaan, bimbingan, operasional, managemen, pemasaran, penelitian dan
pengembangan kepada franchisee secara berkesinambungan. Sehingga apabila franchisee
mengalami kesulitan dalam memasarkan franchisenya, maka franchisor bersedia
melakukan pembinaan. [8]
Berdasarkan pasal tersebut, bila franchisor tidak melaporkan pendaftara prospectus
penawaran waralaba/tidak melaukan pendaftaran perjanjian waralaba maka franchisor
akan dikenakan sanksi.[9] Ini merupakan salah satu usaha pemerintah untuk melindungi
franchisee dari franchisor yang hanya ingin mendapatkan keuntungan pribadi.
Perlidungan hukum yang dapat diberikan kepada franchisee berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 serta Buku III KUHPerdata bersifat preventif atau
pencegahan.
Franchisee juga wajib mendaftarkan perjanjian warabala.[10] Dengan adanya pendaftaran
perjanjian warabala oleh franchisee maka franchisee diberi kesempatan untuk melakukan
pemeriksaan ulang terhadap hal-hal yang disampaikan oleh franchisor terkait propektus
penawaran warabala terutama mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian
franchise. Selain terkait dengan pendaftaran perjanjian warabala maka franchisee juga
11[] Ani Yunita, S.H. dalam seminar ilmiah di ruang sidang FH UMY
DAFTAR PUSTAKA
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2007 Tentang Waralaba
- Makalah Ibu Ani Yunita, S.H. Di dapat pada saat seminar ilmiah. 2013. Ruang sidang
FH UMY.
- Gunawan Widjaja. 2003. Waralaba. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
- Moch. Najib Imanullah. “Pengaruh Berlakunya Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
2007 Tentang Waralaba Terhadap Pertumbuhan Warlaba di Surkarta”. Jurnal Yustisia,
Edisi 80. Agustus 2010.
- Maxmanroe. “Definisi Waralaba atau Franchise”. 14 Januari 2013.
http://www.pengusaha.co/thread-104-definisi-waralaba-atau-franchise.html#. Diakses
pada tanggal 17 Desember 2014.
- Zehan Widiastuti. “Perkembangan Waralaba di Indonesia”. 09 April 2014.
http://zehanwidiastuti.wordpress.com/2014/04/09/perkembangan-waralaba-di-indonesia/.
Diakses pada tanggal 17 Desember 2014.