Anda di halaman 1dari 84

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Rumah sakit biasanya terdiri dari layanan rawat jalan, rawat inap, Unit Gawat

darurat, instalasi laboratorium, farmasi, radiologi, administrasi serta fungsi

penunjang lainnya. Dengan kata lain sebenarnya rumah sakit adalah bentuk pasar

tempat bertemunya penyedia layanan kesehatan dan konsumen.

Sebagai penyedia layanan kesehatan, Rumah sakit mempunyai fungsi ganda

yang mungkin bertolak belakang yaitu misi untuk memberikan pelayanan

kesehatan dan misi untuk mendapat keuntungan. Sebagaimana industri lainnya,

rumah sakit pasti memiliki misi untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Jika

tidak ingin di cap mahal oleh konsumen, maka rumah sakit harus kerja keras

menekan biaya operasional, pembelian dan investasi.

Perkembangan bisnis rumah sakit swasta telah mengalami perkembangan

yang cukup berarti beberapa tahun belakangan ini. Apalagi berdasarkan

keputusan presiden No. 11/2007 yang menyatakan bahwa investor asing bisa

memiliki 67 % saham kepemilikan.

Kebutuhan rumah sakit berdasarkan rasio tempat tidur berbanding jumlah

penduduk masih sangat rendah. Artinya bisnis rumah sakit masih menggiurkan

bagi para pelaku bisnis. Modal yang dibutuhkan untuk mendirikan rumah sakit
2

tidaklah kecil, terutama rumah sakit yang berorientasi segmen menengah atas dan

secara geografis berada di kota besar.

Dengan entitas sebuah bisnis, maka mekanisme pasarpun berlaku dengan nilai

investasi yang tidak sedikit maka kompetisi pun terjadi agar rumah sakit bisa

bertahan dan berkembang.

Sedikitnya ada tiga unsur yang terlibat dalam bisnis rumah sakit yaitu

penyedia pelayanan, pasien sebagai penerima pelayanan dan pihak ketiga yang

tidak secara langsung terlibat seperti asuransi kesehatan dan pemerintah.

Dalam menghadapi kompetisi saat ini, rumah sakit melakukan investasi alat-

alat canggih. Namun disayangkan karena regulasi yang tidak jelas di satu kota

bisa terdapat alat canggih yang sama di beberapa rumah sakit. Padahal

kebutuhannya tidak sebesar itu. Hal itu berdampak terhadap mahalnya tarif yang

dikenakan karena rumah sakit harus menghitung pengembalian biaya investasi.

Pada umumnya rumah sakit mengenakan tarif fee for service, hal ini sering

dikeluhkan oleh pasien karena tidak mengetahui biaya yang dikeluarkan untuk

suatu pemeriksaan tertentu di rumah sakit.

Pola pentarifan prospective payment dianggap masih kurang bisa diterapkan

di rumah sakit swasta, padahal metode tersebut dapat menjadi strategi peningkatan

mutu dan penekanan biaya. Bahkan pada umumnya rumah sakit masih

menerapkan pola tarif operasi berdasarkan kelas perawatan, yang disegmentasikan

berdasarkan kemampuan membayar pasien. Ruangan rawat inap pun seluruhnya

dinamai berdasarkan strata kelas, yang dianggap menunjukan kemampuan bayar


3

pasien. Perilaku dari pasien juga sangat berpengaruh pada kompetisi ini, saat ini

sistem rujukan sepertinya sudah mulai melemah. Pasien terutama kelas menengah

atas lebih suka bertemu langsung dengan dokter spesialis. Bahkan saat ini rumah

sakit berkompetisi secara tidak langsung dengan praktek swasta dokter spesialis.

Pasien yang sepenuhnya dijamin oleh asuransi kesehatan atau perusahaan

tempatnya bekerja memiliki kecenderungan menghabiskan biaya yang besar. Hal

ini ditangkap oleh rumah sakit sebagai market captive nya. Rumah sakit

berlomba- lomba bekerjasama dengan perusahaan dan asuransi bahkan dengan

penawaran tarif yang lebih rendah.

Pada akhirnya rumah sakit sebagai sebuah bisnis berlomba lomba menyasar

segmen ekonomi menengah atas. Namun jangan dilupakan rumah sakit pada

dasarnya memiliki azas pemerataan. Rumah sakit memililki strategi pentarifan

sebagai sebuah bisnis dan mengikuti mekanisme pasar. Namun rumah sakit

memiliki azas persamaan hak dan anti diskriminasi.

Rumah sakit harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

,namun rumah sakit memiliki nilai etika dan profesionalitas, nilai perlindungan

dan keselamatan pasien (patient safety) yang menjadi tanggung jawab rumah sakit

dan dokter.

Karena itu rumah sakit bukan bisnis biasa tetapi bisnis yang luar biasa,

dimana pemilik dan semua orang yang terlibat di dalamnya tidak hanya cukup

memiliki modal yang besar saja, keilmuan yang tinggi tetapi yang paling penting

adalah modal hati yang mau melayani sesama. Sehigga kompetisi yang baik

terjadi antar rumah sakit adalah co-operation.


4

Kompetisi yang sebenarnya adalah bagaimana memberikan pelayanan

kesehatan yang paripurna, bermutu , efisien, terdepan dalam ilmu kedokteran dan

menyentuh hati pasien.

INACBgs adalah singkatan dari Indonesia Cased Base Groups yang

merupakan sebuah sistem pembayaran perawatan pasien dengan sistem paket

diagnosis atau kasus yang relatif sama. INACBgs merupakan kelanjutan dari

aplikasi INADRG yang lisensinya berakhir pada tanggal 30 september 2010 lalu.

Aplikasi INACBgs dikembangkan dari sistem casemix /grouper UNU IIGH (The

United Nations University –international for Global health). Universal grouper

artinya sudah mencakup seluruh jenis perawatan pasien. Sistem ini bersifat

dinamis artinya total CBGs bisa disesuaikan berdasarkan kebutuhan sebuah

negara. Selain itu, sistem ini bisa digunakan bila terdapat perubahan dalam

pengkodean diagnosa dan prosedur dengan sistem klasifikasi penyakit baru.

Pengelompokan dilakukan dengan menggunakan kode-kode tertentu yang

terdiri dari 14.500 kode diagnosa (ICD 10) dan 7.500 kode prosedur/tindakan

(ICD 9 CM). Mengkombinasikan ribuan kode diagnosa dan prosedur tersebut

tidak mungkin dilakukan manual. Untuk itu diperlukan perangkat lunak yang

disebut grouper. Grouper ini menggabungkan sekitar 23.000 kode ke dalam

banyak kelompok atau group.

Penerapan INACBGs ini mengharuskan rumah sakit untuk melakukan

kendali mutu, kendali biaya dan akses, sehingga rumah sakit bisa lebih efisien

terhadap biaya perawatan yang diberikan kepada pasien tanpa mengurangi mutu
5

pelayanan. Dengan demikian tarif dapat diprediksi dan keuntungan yang diperoleh

rumah sakit pun dapat lebih pasti.

Selama ini yang terjadi dalam pembiayaan kesehatan pasien di sarana

pelayanan kesehatan adalah fee for service yaitu provider layanan kesehatan

menarik biaya pada pasien untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan. Setiap

pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada di

rumah sakit. Tarif total ditentukan setelah pelayanan medis dilakukan yang

dikenal dengan dengan sistem pembayaran retrospektif. Dengan sistem fee for

service kemungkinan moral hazard oleh pihak rumah sakit besar, karena tidak ada

perjanjian awal antara pihak rumah sakit dan pasien, tentang standar biaya

maupun standar lama waktu hari perawatan (Length of stay/ LOS).

Manfaat yang dapat diperoleh dari penerapan kebijakan program Case Mix

INACBGs secara umum adalah secara medis dan ekonomi. Dari segi medis, para

klinisi dapat mengembangkan perawatan pasien secara komprehensif langsung

kepada penanganan penyakit yang diderita oleh pasien. Secara ekonomi dalam hal

ini keuangan jadi lebih efisien dan efektif dalam penganggaran biaya kesehatan

sehingga sarana pelayanan akan menghitung secara cermat dan teliti dalam

pengganggarannya.

Di Rumah Sakit AMN PTPN VIII subang semenjak diberlakukannya JKN

telah dilakukan simulasi pemberlakukan tarif INACBGs dan dilakukan telaah

mengenai UU dan peraturan tentang JKN kesehatan. Sehingga untuk melayani

pasien JKN di berlakukan kebijakan sebagai berikut :


6

1. Sebagai tahap awal untuk pelayanan pasien rawat inap hanya menyediakan 25

% dari kapasitas Tempat tidur kelas I, II dan III yang tersedia di RS.

2. Untuk pasien rawat jalan tidak ada pembatasan jumlah kunjungan pasien.

3. Pembatasan /seleksi untuk pasien bedah/operasi.

Tabel I.1. Data pendapatan pasien terhadap RKAP RS AMN thn 2016

Bulan Pendapatan RKAP %


Januari 4.330.998.457 4.598.676.000 94
Februari 4.545.248.494 4.598.676.000 99
Maret 4.425.805.318 4.598.676.000 96
April 4.646.558.967 4.598.676.000 101
Mei 4.878.494.329 4.598.676.000 106
Juni 4.695.718.493 4.598.676.000 102
Juli 4.248.286.907 4.598.676.000 92
Agustus 4.558.828.432 4.598.676.000 99
Septembe
4.377.938.376 4.598.676.000 95
r
Oktober 4.659.838.449 4.598.676.000 101
November 4.733.602.008 4.598.676.000 103
Desember 5.357.799.617 4.598.676.000 117
55.459.117.847 55.184.112.000 100
Sumber data : Laporan manajemen RS AMN tahun 2016.

Tabel diatas menggambarkan bahwa pendapatan pasien baik dari rawat inap

dan rawat jalan RS AMN PTPN VIII sesuai dengan RKAP RS AMN PTPN VIII

sebesar 100 %.

Tabel I.2. Pendapatan pasien rawat inap umum dan pasien JKN tahun 2016

BULAN PASIEN UMUM PASIEN JKN


     
7

JANUARI 3.137.982.036 333.889.313


FEBRUARI 2.916.279.835 179.295.316
MARET 3.255.455.772 273.636.922
APRIL 2.673.635.105 428.565.642
MEI 2.955.601.759 513.068.943
JUNI 2.740.769.166 524.473.871
JULI 2.712.289.591 431.213.698
AGUSTUS 3.100.327.895 526.893.409
SEPTEMBER 2.872.893.018 472.233.478
OKTOBER 2.655.166.704 554.347.300
NOVEMBER 2.534.703.101 509.762.100
DESEMBER 2.116.315.506 572.588.200
     
JUMLAH 33.671.419.488 5.019.968.192
Sumber data : Laporan manajemen RS AMN tahun 2016.

Dari data diatas didapatkan gambaran bahwa pendapatan pasien rawat inap

JKN masih berkisar sekitar 15 % dari pendapatan pasien rawat inap umum.

Tabel I.4. Diagnosis terbanyak rawat inap pasien JKN RS AMN PTPN VIII.

No Kode INACBGs Diagnosa


1 K-4-17-1 Gastroenteritis dan abdominal Pain
2 A-4-14-1 Other Bacterial ad parasitic infections
3 A-4-13-1 Viral and other non bacterial infection
4 A-4-13-1 Eppiglotis tract infection laryngotracheitis and otitis media.
5 K-4-11-1 Gastritis and peptic ulcer
6 K-4-18-1 Other digestive siystem disorder
7 I-4-17-1 Hypertension
8 A-4-12-1 Unspecified Pyrexia
9 J-4-16-1 Simple Pneumonia and pertusis
10 J-4-15-1 Respiratory Infection and inflamation
Sumber : BPJS Cabang Sumedang 2016

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka peneliti tertarik

untuk mengambil judul penelitian “ Analisis Perbandingan Pendapatan Rawat


8

Inap Pasien Umum Dengan Pendapatan Pasien Rawat Inap Jaminan

Kesehatan Nasional Di Rumah Sakit Tipe D” (Studi Kasus Pada Rumah

Sakit Agro Medika Nusantara PTPN VIII Subang ).

I.2 Identifikasi Masalah.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat di

identifikasi masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat perkembangan pendapatan rawat inap pasien

umum RS AMN PTPN VIII Subang?

2. Bagaimana tingkat perkembangan pendapatan rawat inap

INACBGs Rumah Sakit AMN PTPN VIII Subang?

3. Bagaimana perkembangan kinerja keuangan Rumah Sakit AMN

PTPN VIII setelah melayani pasien JKN?

4. Bagaimana pengaruh pendapatan rawat inap pasien umum terhadap

kinerja keuangan Rumah sakit AMN PTPN VIII Subang?

5. Bagaimana pengaruh pendapatan rawat inap INACBGs terhadap

kinerja keuangan Rumah sakit AMN PTPN VIII Subang?

6. Sejauhmana perbandingan pendapatan pasien umum dan pasien

JKN INACBGs terhadap kinerja keuangan Rumah sakit AMN

PTPN VIII Subang.


9

I.3 TUJUAN PENELITIAN

Dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis :

I.3.1 Gambaran tingkat perkembangan pendapatan rawat inap pasien umum

terhadap kinerja keuangan di Rumah Sakit AMN PTPN VIII.

I.3.2 Gambaran tingakat perkembangan pendapatan rawat inap pasien JKN

terhadap kinerja keuangan Rumah Sakit AMN PTPN VIII.

I.3.3 Tingkat perkembangan kinerja keuangan rumah sakit pada pasien rawat

inap setelah diberlakukannya JKN apakah sesuai pedoman RKAP RS

AMN PTPN VIII dan kebijakan JKN.

I.3.4 Pengaruh pendapatan rawat inap pasien umum berdasarkan RKAP

terhadap kinerja keuangan RS AMN PTPN VIII.

I.3.5 Pengaruh pendapatan rawat inap pasien JKN berdasarkan RKAP

terhadap kinerja keuangan RS AMN PTPN VIII.

I.3.6. Perbandingan pendapatan rawat inap pasien umum dan pasien JKN

berdasarkan tarif INACBGs.

I.4 Kerangka Pemikiran

Kinerja Keuangan RS AMN PTPN VIII salah satunya diperoleh dari

pendapatan pasien rawat inap umum maupun JKN. Pendapatan ini ditentukan
10

oleh tarif yang ditetapkan oleh manajemen RS untuk pasien umum dan

Kebijakan tarif INACBGs untuk pasien JKN.

Penetapan tarif adalah basic survival bagi sebuah rumah sakit. Hidup

matinya rumah sakit pada umumnya bergantung dari tarif pelayanan yang

ditetapkan dan tingkat utilisasi pelayanan tersebut. Ada tiga hal penting di

dalam mempertahankan kehidupan rumah sakit dengan penetapan tarif yaitu:

1. Memenuhi Total Kebutuhan Biaya, TKB, (Total Financial Requirement)

sebuah rumah sakit. Apa yang dimaksud dengan TKB tidak lain adalah

besarnya biaya yang dibutuhkan sebuah rumah sakit untuk dapat bertahan

dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam perakteknya,

tiap rumah sakit dapat mempertahankan kehidupannya dari dua sumber

utama yaitu dari penerimaan fungsional (jasa pelayanan) dan dari

sumbangan atau penerimaan lain.

2. Mematuhi peraturan pemerintah.

Dimanapun di dunia, rumah sakit sarat dengan peraturan pemerintah yang

bertujuan memproteksi rakyat banyak dari kesulitan mendapatkan

pelayanan rumah sakit yang dinilai esensial atau kebutuhan pokok.

Sayangnya di Indonesia, pelayanan kesehatan belum dimasukkan kedalam

salah satu bahan kebutuhan pokok.

3. Mampu bersaing dengan rumah sakit lain.

Dalam beberapa hal kita dapat melihat bahwa ada rumah sakit umum dan

ada rumah sakit swasta yang membagi pangsa pasar. Dalam prakteknya,

RSU dan RS swasta bisa menjadi pesaing satu dengan yang lainnya.
11

Perhitungan biaya satuan merupakan strategi awal dari setiap perhitungan

tarif pelayanan, baik bagi RS umum pemerintah, RSU non pemerintah,

maupun rumah sakit swasta komersial. Perhitungan biaya satuan pada

hakikatnya adalah perhitungan biaya rata-rata (baik tertimbang maupun

tidak tertimbang) untuk suatu satuan tertentu. Satuan yang digunakan

dapat bervariasi tergantung dari filosofi dan kebijakan direksi. Misalnya,

biaya satuan dapat berupa biaya per kunjungan, biaya perhari rawat, biaya

per operasi, ataupun biaya per diagnosis. Pendekatan yang sudah umum

kita kenal adalah biaya satuan per pelayanan ( fee for service). Di negara-

negara maju, variasi tarif sudah semakin banyak sehingga satuannya tidak

hanya pelayanan (service) akan tetapi telah berkembang menjadi paket,

harian, prosedur, diagnosis, dan bahkan episode penyakit. Hal in didorong

oleh peraturan pemerintah dan tingkat kompetisi yang tinggi. Pada tingkat

persaingan yang tinggi, seperti halnya jasa pelayanan hotel atau

penerbangan, rumah sakit mulai meningkatkan kreatifitasnya di dalam

mengemas tarif yang atraktif dengan menawarkan satuan atau paket

khusus. Penentuan biaya satuan ini umumnya berdasarkan perhitungan

biaya retrospektif, atau biaya yang telah dikeluarkan pada periode

sebelumnya. Hal ini masih memerlukan asumsi tertentu karena biaya yang

telah dikeluarkan pada periode sebelumnya mungkin sudah tidak memadai

lagi pada masa kini. Demikian juga tarif tersebut kemudian diberlakukan

secara retrospektif. Artinya, biaya ditagih setelah pelayanan dilaksanakan.

Sudah barang tentu, metoda ini tidak mendorong staf melakukan efisiensi

dan direksi juga tidak perduli dengan efisiensi, sejauh pasien mampu
12

membayar. Akan tetapi kebiasaan ini menjadi kurang baik, pada waktu

terjadi persaingan ekonomi yang ketat (Hasbullah Thabrany, 1998)

Tarif pelayanan yang ditetapkan rumah sakit merupakan sumber

pendapatan bagi rumah sakit baik dari pasien umum maupun pasien

asuransi sehingga rumah sakit dapat melakukan operasional dan mampu

melayani klien sesuai standar yang telah ditetapkan.

Asuransi Kesehatan adalah suatu mekanisme pengalihan resiko

(sakit) dari resiko perseorangan menjadi resiko kelompok. Dengan

mengalihkan resiko perorangan menjadi resiko kelompok, beban ekonomi

yang harus dipikul oleh masing-masing peseerta asuransi akan lebih

ringan, tetapi mengandung kepastian karena memperoleh jaminan

pembiayaan jika jatuh sakit. (AA Gde Mangunjaya,140)

Di Indonesia, jenis asuransi yang sedang berjalan berdasarkan UU

NO. 24 tahun 2011 yang dijabarkan dalam Permenkes No.28 tahun 2014

tentang jaminan Kesehatan nasional adalah Asuransi Kesehatan Sosial

(Health Social Assurance). Asuransi ini memegang teguh prinsip bahwa

kesehatan adalah sebuah pelayanan sosial. Pelayanan kesehatan tidak

boleh semata-mata diberikan berdasarkan status sosial masyarakat

sehingga semua lapisan masyarakat berhak memperoleh jaminan

pelayanan kesehatan.

Asuransi kesehatan sosial dilaksanakan menggunakan prinsip sebagai

berikut :

1. Keikutsertaannya bersifat wajib.

2. Menyertakan tenaga kerja dan keluarganya.


13

3. Iuran/premi berdasarkan persentase gaji/pendapatan.

4. Premi untuk tenaga kerja ditanggung bersama antara perusahaan dan

tenaga kerja.

5. Premi tidak ditentukan oleh resiko perorangan tetapi oleh resiko

kelompok. (Collective Risk Sharing)

6. Tidak diperlukan pemeriksaan kesehatan awal.

7. Jaminan pemeliharaan kesehatan yang diperoleh bersifat menyeluruh

(Universal Coverage).

8. Peran pemerintah sangat besar untuk mendorong berkembangnya

asuransi kesehatan sosial di Indonesia.

Pada tahun 2014, asuransi kesehatan sosial ini dikelola oleh BPJS

Kesehatan yang merupakan peleburan dari PT Askes, Jamsostek dan

ASABRI.

Indonesia berada pada tahap transisi menuju cakupan universal.

Pemerintah menyediakan pelayanan kesehatan primer di puskesmas dan

pelayanan sekunder di rumah sakit pemerintah. Tetapi warga harus

membayar biaya yang disebut ‘user-charge’ atau ‘co-payment’ ketika

menggunakan pelayanan puskesmas. Tanpa perlindungan asuransi,

sebagian besar warga di Indonesia harus membayar langsung hampir

seluruh biaya (full cost) pelayanan spesialistik, rawat inap, obat, tindakan

bedah, dan prosedur diagnostik, baik di rumah sakit pemerintah, rumah

sakit swasta maupun praktik dokter swasta. Ketiadaan sistem pembiayaan

pra-upaya ini menyebabkan sebagian besar warga Indonesia berisiko


14

mengalami pengeluaran kesehatan katastrofik ketika menggunakan

pelayanan kesehatan sekunder.

Akses pelayanan kesehatan yang adil menggunakan prinsip keadilan

vertikal. Prinsip keadilan vertikal menegaskan, kontribusi warga dalam

pembiayaan kesehatan ditentukan berdasarkan kemampuan membayar

(ability to pay), bukan berdasarkan kondisi kesehatan/ kesakitan seorang.

Dengan keadilan vertikal, orang berpendapatan lebih rendah membayar

biaya yang lebih rendah daripada orang berpendapatan lebih tinggi untuk

pelayanan kesehatan dengan kualitas yang sama. Dengan kata lain, biaya

tidak boleh menjadi hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan

yang dibutuhkan (needed care, necessary care).

Indonesian Cased Based Goups (INACBGs) dalam Permenkes No.

27 tahun 2014 adalah nama lain dari INA-DRGs yang telah habis

lisensinya dan dipakai pada Jaminan Kesehatan Nasional saat ini.

Untuk melindungi warga terhadap risiko finansial dibutuhkan sistem

pembiayaan kesehatan pra-upaya (prepaid system), bukan pembayaran

pelayanan kesehatan secara langsung (direct payment, out-of-pocket

payment, dan fee-for-service). Dalam prepaid system terdapat pihak yang

menjamin pembiayaan kesehatan warga sebelum warga sakit dan

menggunakan pelayanan kesehatan. Jadi sistem pra-upaya berbeda dengan

pembayaran langsung yang tidak menjamin pembiayaan pelayanan

kesehatan sebelum warga sakit dan menggunakan pelayanan kesehatan

(WHO, 2005)
15

Untuk mencapai cakupan universal pelayanan kesehatan

dibutuhkan evolusi dari sistem pembiayaan langsung (out-pocket payment)

ke sistem pembiayaan pra-upaya (pre-paid system). (Bagan 1).

Pengalaman di banyak negara menunjukkan, transisi tersebut dapat

memerlukan waktu dari beberapa tahun hingga beberapa dekade.

Sistem pembayaran prospective adalah sistem pembayaran imbal

jasa pada pemberi layanan kesehatan yang ditetapkan sebelum pelayanan

medik dilaksanakan.

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Jaminan

kesehatan nasional adalah suatu sistem asuransi kesehatan sosial yang

dilaksanakan di indonesia berdasarkan prospective payment yang di

implementasikan di Rumah Sakit dalam program INACBGs.

100%

Cakupan
universal
pelayanan kesehatan
Persen cakupan

-Pembiayaan berbasis pajak


Cakupan tahap Asuransi kesehatan sosial
antara Campuran pembiayaan berbasis
pajak dan aneka jenis asuransi
kesehatan
Tanpa
perlindungan Asuransi kesehatan komunitas,
asuransi kesehatan swasta,
pembiayaan
asuransi kesehatan sosial
Pembiayaan berbasis pajak
Out of Pocket Out-of-pocket
\Out-of-pocket
Sistem pembiayaan

Bagan I.1. Transisi menuju cakupan universal (Sumber: WHO, 2005)


16

Dari gambaran diatas tentang penetapan tarif yang dibuat berdasarkan pola

retrospective payment dan prespective Payment akan menghasilkan pendapatan

bagi rumah sakit. Pendapatan yang dihasilkan oleh rumah sakit akan dituangkan

dalam bentuk laporan keuangan yang akan dianalisis untuk menggambarkan profit

yang didapat dari pelayanan kepada pasien baik umum maupun asuransi.

Return On Investment (ROI) merupakan pengukuran kemampuan perusahaan

secara keseluruhan dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan

aktiva yang tersedia di dalam perusahaan.

Menurut Sutrisno (2001, 305) Return On Investment (ROI) merupakan

kemampuan perusahaan untuk menghasilkan keuntungan yang akan digunakan

untuk menutup investasi yang dikeluarkan.

Menurut Sofyan Syafri Harahap (2007,305) Rasio ini menunjukan berapa

persen laba diperoleh bila diukur dari modal pemilik.

ROI dapat juga dilihat dengan mengkombinasikan dua faktor yaitu :

1. Turnover dari operating asset (tingkat perputaran aktiva yang digunakan

untuk operasi, yaitu kecepatan berputarnya operating asset dalam suatu

periode tertentu).

2. Profit margin yaitu keuntungan operasi yang dinyatakan dalam persentase

dan jumlah penjualan bersih. Profit margin ini mengukur tingkat

keuntungan yang dapat dicapai perusahaan dihubungkan dengan

penjualan.

Besarnya ROI akan berubah kalau ada profit margin atau assets turnover,

baik masing-masing atau kedua-duanya. Usaha mempertinggi ROI dengan


17

memperbesar profit margin adalah bersangkutan dengan usaha untuk

mempertinggi efisiensi sektor produksi, penjualan dan administrasi. Usaha

mempertinggi ROI dengan memperbesar assets turnover adalah kebijakan

investasi dana dalam berbagai aktiva, baik aktiva lancar maupun aktiva tetap.

Analisa ROI dalam analisa keuangan mempunyai arti yang sangat penting

sebagai salah satu teknik analisa keuangan yang bersifat menyeluruh

(Komprehensif). Analisa ROI ini merupakan teknik yang lazim digunakan untuk

mengukur seluruh efektifitas dari keseluruhan operasi perusahaan.

ROI sendiri adalah salah satu bentuk rasio profitabilitas yang dimaksudkan

untuk dapat mengukur kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana yang

ditanamkan dalam aktiva yang digunakan dalam operasi perusahaan untuk

menghasilkan keuntungan. Dengan demikian rasio ini menghubungkan

keuntungan yang diperoleh dari operasi perusahaan (net operating income)

dengan jumlah investasi atau aktiva yang digunakan untuk menghasilkan

keuntungan tersebut (net operating asset). Adapun rumus ROI adalah sebagai
Return On Invesment = Laba bersih sesudah Pajak X 100 %
berikut :
Total Aktiva
Return On Investment = Laba bersih sesudah pajak x 100%

Total aktiva
Return On Investment = Net Income x Net Sales

Net Sales Net Operating Assets


Ada juga cara lain untuk menghitung ROI yaitu :

Return On Invesment = Net Income x Net Sale

Net Sales Net Operating Aset


18

Kegunaan analisis ROI adalah :

1. Sebagai salah satu kegunaanya adalah bersifat menyeluruh. Apabila

perusahaan sudah menjalankan prinsip akuntansi yang baik maka dengan

teknik analisa ROI dapat mengukur efisiensi penggunaan modal yang

bekerja, efisiensi produksi dan efisiensi penjualan.

2. Analisa ROI dapat membandingkan penggunaan efisiensi modal dibanding

perusahaan lainnya, sehingga dapat diketahui kekuatan dan kelemahan

perusahaan.

3. Analisa ROI dapat digunakan untuk mengukur efisiensi bagian-bagian yang

terdapat di dalam perusahaan.

4. Analisis ROI dapat digunakan untuk mengukur profitabilitas produk yang

dihasilkan.

5. Analisis ROI juga dapat digunakan untuk keperluan perencanaan.

Berdasarkan teori-teori diatas dapat dikatakan profit margin dimaksudkan

untuk mengetahui efisiensi perusahaan dengan melihat besar kecilnya laba

usaha. Sedangkan operating turnover untuk mengetahui efisiensi perusahaan

dengan melihat kecepatan perputaran operating assets dalam suatu periode

tertentu.
19

Pelayanan Rawat Inap RS

Pasien Rawat Inap Umum Pasien Rawat Inap JKN

-Fee for service Prospective payment


-Unit cost INACBGs
- dapat berubah/fleksibel Fixed

- Cash -coding ICD IX dan ICD X


- Klaim untuk
-Rekam medik
kontraktor/asuransi
- Klaim berdasarkan INACBGs

Pendapatan Rumah Sakit

Bagan I.2. Kerangka Pemikiran

Pengukuran kinerja dari hasil penelitian ini akan bermanfaat dalam

manajemen Strategik Rumah Sakit AMN PTPN VIII. Pengukuran kinerja ini

menggunakan Balanced score Card (BSC), yaitu sistem pengukuran yang

menyeimbangkan alat ukur lama yang berdimensi pada aspek finansial dengan

dimensi-dimensi yang baru yaitu pada aspek non finansial. Balanced Score Card

merupakan alat manajemen yang sangat penting dan strategis yang membantu

sebuah organisasi tidak hanya untuk mengukur kinerja, tetapi juga

memutuskan/mengelola strategi, yang diperlukan untuk diadopsi/dimodifikasi

sehingga tujuan jangka panjang tercapai (Kaplan dan Norton, 2009).


20

Konsep Balanced Score Card relevan diaplikasikan di rumah sakit profit

dan non-profit. Kompetitor/pesaing yang semakin banyak, rumah sakit dituntut

untuk memberikan pelayanan terbaik, sehingga pelanggan memilih rumah sakit

yang dianggap terbaik. Rumah sakit yang baik tentunya memberikan pelayanan

berdasarkan kebutuhan pasien, bukan atas dasar untuk meningkatkan pemasukan

keuangan rumah sakit atau penghasilan karyawan. Return jangka panjang dapat

berupa return keuangan atau return non keuangan. Return keuangan rumah sakit

non-profit juga perlu return dalam bentuk keuangan untuk pengembangan, return

non keuangan dapat tercapainya misi rumah sakit. Konsep Balanced Score Card

dapat mempertahankan dan mengembangkan kelangsungan usaha rumah sakit

(Trisnantoro, 2006).

Semenjak diberlakukannya program JKN melalui penerapan tarif INA

CBGs di Rumah Sakit AMN PTPN VIII sejak januari 2014 terjadi hal-hal sebagai

berikut :

1. Kunjungan rawat inap pasien umum berkurang karena sebagian pasien

memilih untuk menggunakan kartu JKN pada saat rawat inap. Hal ini

berdampak pada penurunan pendapatan RS dari pasien umum yang

menggunakan sistem Fee for Service.

2. Meningkatnya kunjungan pasien JKN apabila dihitung hanya pelayanan

JKN saja, Rumah Sakit dengan penerapan Prospective payment oleh JKN

akan terlihat menguntungkan apabila dibandingkan dengan real cost Rumah

Sakit.
21

3. Kinerja keuangan sesuai dengan RKAP dengan meningkatkan utilisasi dan

menawarkan kenaikan kelas bagi peserta JKN.

4. Terjadi penurunan jumlah pasien rawat inap pasien umum.

5. Terjadi kenaikan jumlah pasien JKN tetapi tidak menyamai pendapatan

pasien umum apabila digunakan sistem Fee for Service.

6. Apabila dibandingkan unit cost per pasien antara pasien umum dan pasien

JKN akan terlihat perbedaan yang signifikan bagi pendapatan Rumah sakit

dan secara keseluruhan terdapat penurunan atau ketidak sesuaian dengan

Rencana kerja dan Anggaran Rumah sakit. (RKAP).

Perbandingan dalam penelitian ini menggunakan rasio ROI ( Return

On Investment).

I.5 Hipotesa

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka dapat disusun hipotesa

sebagai berikut :

1. Pendapatan rawat inap pasien umum berpengaruh terhadap kinerja

keuangan RS. Penyesuaian tarif dapat dilakukan dengan keputusan direktur

dan dapat dilakukan sesuai kebutuhan.

2. Pendapatan pasien rawat inap berdasarkan INACBGs berpengaruh terhadap

kinerja keuangan RS AMN PTPN VIII.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Rumah Sakit sebagai Pelayanan Kesehatan

Rumah sakit adalah suatu institusi yang fungsi utamanya adalah

memberikan pelayanan kepada pasien baik diagnostik maupun terapeutik

untuk berbagai penyakit dan masalah kesehatan, baik yang bersifat bedah

maupun non bedah. ( American Hospital Association, 1978 dalam Tjandra

Yoga Aditama, 2004).

Sementara itu SK Menteri Kesehatan RI No.

983/Menkes/SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit umum adalah

rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar,

spesialistik, dan subspesialistik. Rumah sakit ini mempunyai misi

memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh

masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Untuk itu rumah sakit umum mempunyai fungsi pelayanan medis,

penunjang medis, pelayanan dan asuhan keperawatan, rujukan, pendidikan

dan pelatihan, penelitian dan pengembangan serta menyelenggarakan

administrasi umum dan keuangan.

Rumah sakit sebagai salah satu subsistem pelayanan kesehatan

menyelenggarakan dua jenis pelayanan yaitu pelayanan kesehatan dan

pelayanan adminsitrasi. Pelayanan kesehatan meliputi pelayanan medis,

67
23

penunjang medis, rehabilitasi medis dan layanan keperawatan. Pelayanan

administrasi meliputi semua jenis pelayanan yang bersifat administratif

termasuk administrasi keuangan yang fungsi utamanya adalah membantu

kelancaran pelaksanaan pelayanan kesehatan (AA Gde Mangunjaya,

2013).

Perkembangan pelayanan Rumah sakit saat ini sejalan dengan

tuntutan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan kesehatan

yang bermutu, mengikuti perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran,

kefarmasian termasuk penggunaan teknologi komunikasi mutakhir dengan

computer dan internet.

Rumah sakit saat ini sudah dianggap sebagai tempat yang menarik

dan potensial untuk menghasilkan keuntungan ( Trisnantoro, 2009).

Dengan demikian, berbagai perusahaan terutama yang bersifat

konglomerasi memandang perlu mendirikan rumah sakit yang

menguntungkan. Kecenderungan lain adalah tantangan pendirian jaringan

rumah sakit, seiring dengan ekspansi bisnis konglomerasi. Rumah sakit

yang dikelola oleh perusahaan untuk mencari keuntungan ini merupakan

fenomena baru yang melanda Indonesia.

Perkembangan sektor pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini

terlihat tumbuh secara tidak maksimal. Sebagai contoh standar mutu

pelayanan rumah sakit masih belum tertata baik, jumlah dokter spesialis

masih sedikit, penyebaran dan pendapatan dokter tidak merata dan


24

indikator kinerja lembaga pelayanan kesehatan belum dipergunakan secara

nyata.

II.1.1 Jenis Rumah Sakit di Indonesia

Berdasarkan status kepemilikan, jenis pelayanan dan kelasnya,

rumah sakit di Indonesia dikelompokan menjadi tiga yaitu RS Pemerintah,

RS BUMN/TNI dan RS Swasta baik yang menggunakan sumber dana dari

investasi modal asing maupun modal dalam negeri. Berdasarkan jenis

pelayanan yang tersedia RS di Indonesia dibedakan lagi menjadi RS

Umum, RS Jiwa, dan RS khusus. Jenis RS yang ketiga berdasarkan kelas

yaitu RS kelas A, RS Kelas B ( Kependidikan dan non kependididkan), RS

Kelas C dan RS kelas D (Kepmenkes No. 51 Menkes/SK/II/1979).

Terkait dengan pelayanan rujukan, RS juga sebagai pusat rujukan

yang wajib memberikan pengayoman medis untuk institusi lembaga

pelayanan kesehatan yang berada di wilayah kerjanya. Sifat Pengayoman

ini erat kaitannya dengan klasifikasi RS (Kelas A, B, C sdan D). RS kelas

A mengayomi RS yang kelasnya berada di bawahnya. Artinya sifat dan

wilayah pengayomannya paling luas. Sistem rujukan yang bersifat

pengayoman diterapkan ke bentuk rujukan kesehatan dan rujukan medis..

Rujukan kesehatan terkait dengan upaya promotif dan preventif seperti

memberi bantuan dan bimbingan teknis medis, termasuk penyediaan

sarana dan cara pelaksanaanya. Rujukan medis dikaitkan dengan


25

pelayanan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif (AA Gde Mangunjaya,

2013).

III.1.2 Rumah Sakit BUMN

Rumah sakit Badan Usaha milik Negara (RS BUMN) adalah rumah

sakit yang dibuat oleh suatu perusahaan BUMN dalam rangka melayani

kesehatan karyawan dan keluarga perusahaan tersebut dan karyawan yang

ada hubungannya dengan perusahaan itu. Rumah sakit ini dimiliki dan

dikelola oleh perusahaan BUMN yang bersangkutan. Karena fungsi rumah

sakit tak lepas dari fungsi sosial maka rumah sakit BUMN juga menerima

pasien-pasien lain yang tidak ada hubungan dnegan perusahaan pendiri.

Dalam perkembangannya, karena rumah sakit dituntut untuk tidak

terlalu tergantung pada perusahaan induk, maka rumah sakit disamping

menerima pasien dalam rangka fungsi sosial juga menerima pasien umum

agar mendapat semacam profit atau untung untuk menunjang kehidupan

usaha rumah sakit itu. (Soeparto, 2012).

Profit tersebut digunakan untuk :

1. Pengembangan perusahaan (dalam hal ini rumah sakit).

2. Menambah kesejahteraan pegawai.

3. Kembali ke stake holder/ perusahaan induk.


26

III.1.3 Keuangan Rumah Sakit BUMN

Keuangan Rumah sakit BUMN biasanya pada awalnya ditunjang

oleh BUMN yang bersangkutan, mulai dari bangunan rumah sakitnya

samapi fasilitas dan keuangannya (Suparto Adikusumo, 2012)

Prosedur keuangannya hamper sama dengan rumah sakit pemerintah,

yaitu income rumah sakit secara keseluruhan akan disetor ke induk

(BUMN bersangkutan) sedang kebutuhan rumah sakit dalam bentuk

anggaran akan di berikan oleh BUMN. (Suparto Adikusumo, 2012).

Sistem ini dianggap kurang efektif dan efisien sehingga pada

perkembangannya rumah sakit itu diberi wewenang mengelola sendiri

hasil pendapatannya dengan masih tetap mengikuti peraturan yang

ditetapkan induknya, misalnya anggaran masih harus disetujui pusat dalam

bentuk Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) dan dalam hal

pengadaaan masih sesuai dengan peraturan dari pusat. Dengan

diperbolehkannya memakai uang income nya sendiri berarti sudah

mempercepat arus pengadaan/pembayaran dan memperlancar usaha rumah

sakit walaupun masih terbatas karena masih mengikuti peraturan dari

induk BUMN ( Fakhni Armen dan Viviyanti Azhar,2013)

Pada saat ini rumah sakit BUMN juga dituntut untuk tidak tergantung

pada pusat dan diharapkan dapat membiayai diri sendiri dan bila mungkin

memperoleh “keuntungan” biarpun keuntungan itu akhirnya dipakai untuk

mengembangkan rumah sakit tersebut. Juga bagaimana supaya rumah sakit


27

bisa mencapai survival and growth dengan tidak mengabaikan fungsi

sosialnya.

Sesuai dengan Permenkes No. 159 b /1988 bab VII pasal 25 bahwa

setiap rumah sakit harus melaksanakan fungsi sosialnya dengan antara lain

menyediakan fasilitas untuk masyarakat yang tidak mampu yaitu untuk

rumah sakit swasta sekurang-kurangnya 25 % dari kapasitas tempat tidur

tersedia ( Suparto Adikusumo, 2012)

II.2 Asuransi Kesehatan

II.2.1 Pembiayaan kesehatan

Pembiayaan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai

upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan sumber daya

keuangan secara terpadu dan saling mendukung gunha menjamin

tercapainya derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.

Menurut RPJPK 2005-2025, pembiayaan kesehatan bagi

pembangunan kesehatan di Indonesia berasal dari dua sumber yaitu

pemerintah (APBN dan APBD) dan masyarakat (rumah tangga,

perusahaan dan asuransi). Sumber biaya masyarakat dan swasta berasal

dari pengeluaran rumah tangga atau perorangan (out of pocket),

perusahaan swasta/BUMN untuk membiayai karyawan dan keluarganya

serta lembaga non pemerintah yang umumnya digunakan untuk

kegiatan kesehatan yang bersifat sosial dan kemasyarakatan.


28

Alokasi anggaran kesehatan bersumber dari pemerintah dari total

anggaran dan belanja pemerintah di Indonesia belum mencapai 5 %.

Hal tersebut menunjukkan bahwa sektor kesehatan masih belum

menjadi prioritas . Implementasi UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN) masih terus dilakukan dan

dikembangkan karena merupakan salah satu program jaminan sosial

yang akan dilaksanakan menuju Universal Health Coverage (UHC).

Pembiayaan kesehatan yang bersumber dari asuransi kesehatan

merupakan salah satu cara yang terbaik untuk mengatasi mahalnya

biaya pelayanan kesehatan . alasannya antara lain :

1. Pemerintah dapat mendiversifikasikan sumber-sumber pendapatan

dari sektor kesehatan.

2. Meningkatkan efisiensi dengan cara memberikan peran kepada

masyarakat untuk ikut membiayai pelayanan kesehatan.

3. Memeratakan beban biaya kesehatan sesuai dengan waktu dan jumlah

populasi yang perlu dicakup dalam pelayanan sehingga akan

mengurangi risiko yang bersifat individu.

Manajemen asuransi kesehatan sosial berbeda dengan manajemen

asuransi kesehatan komersial. Di Indonesia, program jaminan

pemeliharaan kesehatan dilaksanakan baik oleh pemerintah melalui

BUMN yang diberikan kepercayaan sebagai pengelola program maupun

olehn beberapa perusahaan dan kelompok masyarakat tertentu (Swasta).

JKN yang baru adalah transformasi JKN lama yang berbentuk BUMN
29

menjadi badan hukum publik yang bersifat nirlaba, langsung dibawah

Presiden.

Pemerintah Indonesia cenderung menganut system pengelolaan

asuransi kesehatan menggunakan konsep Managed Care (MC). Konsep ini

merupakan alternatif terbaik untuk menyeimbangkan antara aspek

pembiayaan dengan aspek kualitas pelayanan kesehatan sesuai dengan

prosedur kedokteran yang baku. Ada beberapa konsep managed care :

1. Tripartite model.

2. Prepaid capitation

3. Pelayanan menyeluruh (Comprehensive)

4. Konsep wilayah (Dokter keluarga/Puskesmas)

5. Sistem Paket (Budget system).

6. Konsep rujukan

II.2.2. Landasan hukum

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan oleh Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial (JKN) yang dulunya adalah PT Asuransi

Kesehatan (ASKES). Dasar hukum dari Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN) ini adalah Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem

Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Undang-undang No. 24 tahun 2011

tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (JKN), PP No. 101 tahun

2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI), Perpres No. 12 tahun 2103

tentang Jaminan Kesehatan Nasional, Roadmap JKN, Rencana Aksi


30

Pengembangan Pelayanan Kesehatan, Permenkes, Peraturan JKN.

Pendapatan RS AMN PTPN VIII berasal dari aktivitas pelayanan jasa

Instalasi Gawat Darurat (IGD), Rawat Jalan (IRJ), Instalasi Rawat Inap

(IRI). Pada masing-masing instalasi tersebut ada dua kelompok pasien,

yaitu pasien umum dan pasien peserta JKN.

Sistem pembayaran program Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN) yang diikuti oleh RS AMN PTPN VIII menggunakan sistem klaim

dengan sistem Casemix, yaitu dengan tarif Indonesian-Case Based

Groups (INA-CBG) (sistem paket). Rumah Sakit akan mendapatkan

pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan oleh untuk

suatu kelompok diagnosis. Hal ini berpengaruh pada siklus akuntansi

rumah sakit sehari-hari, terutama pada siklus pendapatan.

Melalui pendekatan INA-CBG, rumah sakit berupaya secara

konsisten meningkatkan clinical pathway agar sesuai dengan INA-CBG.

Menurut Tim Casemix, clinical pathway adalah dokumen perencanaan

pelayanan kesehatan terpadu yang merangkum setiap langkah yang

dilakukan pada pasien mulai masuk rumah sakit sampai dengan keluar

rumah sakit, berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan

keperawatan, dan standar pelayanan kesehatan lainnya yang berbasis

bukti yang dapat diukur. Dengan penerapan clinical pathway yang

mengacu pada pembiayaan INA-CBG, maka dengan mudah dapat

diketahui kualitas pelayanan kesehatan, apabila pelayanan kesehatan

pada sebuah Rumah Sakit berkualitas baik, maka dengan sendirinya


31

Rumah Sakit akan untung, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi dalam

pelayanan pasien, terkadang para dokter tidak memberikan pelayanan

sesuai dengan clinical pathway. Hal ini karena sistem tersebut tidak

selalu bisa diterapkan untuk semua penyakit. INA-CBG dengan clinical

pathway ini hanya bisa diterapkan pada penyakit tertentu.

II.2.3. Universal Health Coverage (UHC)

Universal Health Coverage (UHC) merupakan konsep jaminan

kesehatan penduduk yang biasanya berupa sebuah fungsi asuransi

terhadap pelayanan kesehatan. WHO mendefinisikan Universal Health

Coverage (UHC) sebagai sebuah konsep untuk memastikan seluruh

masyarakat memiliki akses yang dibutuhkan terhadap usaha promosi,

pencegahan, pengobatan dan rehabilitasi oleh pelayanan kesehatan

dengan kualitas yang mencukupi agar menjadi efektif dan menjadikan

seluruh masyarakat tidak mengalami kesulitan keuangan ketika

membayar untuk pelayanan kesehatan (WHO, 2013).

Definisi tersebut melingkupi tiga tujuan utama yang terkait dengan

Universal Health Coverage (UHC) yaitu :

1. Kesetaraan dalam akses pelayanan kesehatan.

2. Kualitas pelayanan kesehatan cukup baik untuk meningkatkan

kesehatan siapa saja yang menggunakannya.

3. Perlindungan atas resiko kejatuhan finansial.


32

Pembiayaan kesehatan seringkali menjadi tolak ukur dalam

sebuah sistem kesehatan yang diimplementasikan oleh sebuah Negara.

Tidak ada satu cara yang sempurna yang telah dilakukan banyak Negara

dalam mengatur pembiayaan kesehatan untuk menjalankan suatu

system kesehatan yang mendekati kondisi ideal sebuah Universal

Health Coverage ( Joseph Kutzin, 2012 dalam Wiku adisasmito, 2014).

Menurut Thabrany (2005), salah satu kunci utama dalam system

kesehatan dari berbagai negara adalah pendanaan kesehatan. Sistem

pendanaan yang adil dan merata (equity) mempunyai arti bahwa beban

pembiayaan kesehatan yang dikeluarkan dari kantong perorangan tidak

memberatkan masyarakat.

Terdapat dua jenis skema jaminan yang diterapkan oleh berbagai

Negara yaitu berbasis pajak dan berbasis asuransi kesehatan dalam

penerapan Universal Health Coverage (UHC). Negara yang

menerapkan skema berbasis pajak cenderung menerapkan pajak yang

cukup tinggi sedangkan Negara yang menerapkan berbasis asuransi

lebih cenderung menjalankan skema Universal Health Coverage

melalui skema asuransi milik pemerintah, reimbursement maupun

kerjasama dengan asuransi swasta.

II.2.4 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Berkaitan untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC),

pemerintah Indonesia telah membuat Undang Undang N0. 40 tahun


33

2004 tentang sistem jaminan sosial nasional (SJSN). Dalam pasal 19

UU No. 40 tahun 2004 disebutkan bahwa Jaminan Kesehatan

diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial

dan ekuitas (RI, 2004). Kemudian pemerintah juga membuat UU No.

24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (JKN)

(RI, 2011). Sebagai upaya pencapaian UHC maka pemerintah

Indonesia mencanangkan untuk memulai pelaksanaan sistem jaminan

kesehatan secara bertahap seperti yang dimaksud dalam UU SJSN

dimulai pada awal 2014, dimana JKN ditunjuk sebagai badan yang

menyelenggarakan program jaminan sosial yang diperuntukkan bagi

seluruh rakyat Indonesia.

Dalam UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN) menyatakan bahwa program jaminan sosial

bersifat wajib mencakup seluruh penduduk Indonesia yang

pencapaiannya dilakukan secara bertahap. Seluruh rakyat wajib

menjadi peserta tanpa kecuali. Program jaminan sosial diprioritaskan

untuk mencakup seluruh penduduk terlebih dahulu adalah program

jaminan kesehatan.

Selanjutnya diikuti dengan Undang Undang No. 24 tahun 2011

tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial yang menetapkan PT

Persero Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) berubah menjadi

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (JKN) Kesehatan. Dengan

menetapkan JKN Kesehatan, maka Indonesia memasuki era baru


34

dimana akan terbentuk nsuatu system pembayar tunggal (Single Payer

System) layanan medis untuk seluruh penduduk.

II.2.5 Konsep Penetapan Tarif.

Tarif adalah nilai suatu jasa pelayanan yang ditetapkan dengan

ukuran sejumlah uang berdasarkan pertimbangan bahwa dengan nilai

uang tersebut rumah sakit bersedia memberikan jasa kepada pasien.

(Laksono Trisnantoro, 2009)

Dalam ekonomi mikro sudah dikenal suatu titik keseimbangan

yaitu harga berada pada equilibrium berdasarkan demand and supply.

Pada sistem ekonomi yang berbasis pada keseimbangan pasar, subsidi

pemerintah tidak dilakukan atau terbatas pada masyarakat miskin.

Akibatnya tarif dibiarkan sesuai dengan permintaan pasar. Hal ini dapat

menyebabkan ketidakadilan yaitu masyarakat miskin sulit mendapat

pelayanan rumah sakit, sehingga subsidi perlu diberikan karena keadaan

ini sangat penting pada proses penetapan tarif rumah sakit pemerintah.

II.2.6 Tujuan Penetapan Tarif

Menurut Laksono Trisnantoro,2009, tujuan penetapan tarif adalah :

1. Penetapan Tarif untuk Pemulihan Biaya

Tarif dapat ditetapkan untuk meningkatkan pemulihan biaya rumah

sakit. Keadaan ini terutama terdapat pada rumah sakit pemerintah

yang semakin lama semakin berkurang subsidinya.


35

2. Penetapan tarif untuk subsidi silang

Dalam manajemen rumah sakit diharapkan ada kebijakan agar

masyarakat ekonomi kuat ikut meringankan pembiayaan pelayanan

rumah sakit bagi masyarakat ekonomi lemah. Dengan konsep subsidi

silang maka tarif bangsal VIP atau kelas I harus berada di atas unit

cost agar surplusnya dipakai untuk mengatasi kerugian bangsal kelas

III.

3. Tujuan penetapan tarif untuk meningkatkan akses pelayanan.

Pemerintah atau pemilik rumah sakit mempunyai kebijakan

penetapan tarif serendah mungkin agar akses masyarakat miskin

menjadi lebih baik.

4. Tujuan Penetapan tarif untuk meningkatkan mutu pelayanan.

Di berbagai rumah sakit pemerintah daerah, kebijakan penetapan

tarif pada bangsal VIP dilakukan berdasarkan pertimbangan untuk

peningkatan mutu pelayanan dan peningkatan kepuasan kerja dokter

spesialis.

5. Penetapan tarif untuk tujuan lain.

Beberapa tujuan lainnya yaitu mengurangi pesaing, memaksimalkan

pendapatan, meminimalkan penggunaan dan menciptakan corporate

image.
36

II.2.7 Proses penetapan tarif

Di sektor rumah sakit informasi mengenai unit cost masih sangat

jarang. Teknik-teknik penetapan tarif pada perusahaan sebagian besar

berdasarkan informasi biaya produksi dan keadaan pasar, baik

monopoli, oligopoli maupun persaingan sempurna (Laksono

Trisnantoro,2009). Teknik-teknik tersebut antara lain :

1. Full cost pricing

Dasar cara ini dengan menetapkan tarif sesuai dengan unit cost

ditambah dengan keuntungan.

2. Kontrak dan cost-plus

Tarif rumah salit ditetapkan berdasarkan kontrak misalnya kepada

perusahaan asuransi ataupun konsumen yang bergabung dalam

suatu organisasi atau perusahaan.

3. Target Rate of Return Pricing

Cara ini merupakan modifikasi dari metode full cost, misalnya

tarif ditentukan oleh direksi harus mempunyai 10 % keuntungan

dari biaya produksi.

4. Acceptance pricing

Teknik ini digunakan apabila pada pasar terdapat satu rumah sakit

yang dianggap sebagai panutan (pemimpin) harga. Rumah sakit

lain akan mengiktui pola pentarifan yang digunakan rumah sakit

tersebut.
37

II.2.8 Pelaksanaan Tarif INACBGs di Rumah Sakit

Tarif INACBGs berupa tarif paket yang meliputi seluruh

komponen Rumah Sakit. Tarif ini berbasis pada costing dan data

coding penyakit. Basis kode yang digunakan adalah ICD 10 ( 14.500 )

kode dan ICD 9 ( 7.500) kode, yang terdiri dari 1077 kode CBG (798

Rawat Inap dan 288 Rawat jalan). Grouping casemix menggunakan

UNU CBG Grouper. (Permenkes N0.59/2014).

Besaran tarif dan sistem secara periodik akan disesuaikan dan

diperbaiki. Tarif INACBGs ini sudah digunakan pada pola pembayaran

program Jamkesmas dan pada saat dilaksanakan pada Januari 2014

meliputi Kelas I, Kelas II dan Kelas III ( Permenkes No.27 tahun 2014).

Berdasarkan Permenkes tersebut, manfaat dari INACBGs


adalah :

1. Pembayaran secara prospective kepada pemberi pelayanan

2. Perencanaan dan penganggaran Rumah Sakit.

a. Sistem yang digunakan dapat mengukur performa Rumah Sakit

dikaitkan dengan kompleksitas pelayanan yang dihasilkan dan

biaya.

3. National data base --- Bench marking


38

Bagan II.1. Sistem Pembayaran tarif INACBGs

Menurut Hasbullah Thabrany, 2015, Proses

pembentukan Tarif adalah sebagai berikut :

- Struktur tarif diupayakan : stabil, simple, dan berbasis pada jenis

pelayanan

- Secara terus menerus dilakukan perbaikan yang mengacu pada

biaya Rumah Sakit.

- Melibatkan semua pemangku kepentingan.

Formula Tarif INACBGs :

TARIF = Hospital Base Rate X Cost Weight X aF

Hospital base Rate : Hospital cost


Number of Hospital equivalent case*CMI
Cost weight : Average cost for specific CBG
Agregate average cost
aF : Adjustment Factor.
39

BPJS kesehatan adalah badan hukum publik yang dibentuk

oleh pemerintah untuk mewujudkan terlaksananya program

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang ditujukan bagi seluruh

rakyat Indonsia. Pembentukan JKN Kesehatan ini didasari pada UU

No.24 tahun 2011 tentang JKN Pasal 14 yang menyatakan bahwa

setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6

bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta program Jaminan Sosial.

Rumah sakit swasta sebagai salah satu fasilitas kesehatan

mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai tujuan

JKN Kesehatan (pemenuhan kebutuhan medis peserta JKN

Kesehatan). Prinsip dari pelayanan kesehatan yang digunakan untuk

tercapainya program JKN adalah efisiensi biaya namun tidak

menurunkan mutu layanan. Apakah pelaksanaan JKN

mempengaruhi kinerja RS Swasta ? (M Luthfie Hakim, 2015)

Bagaimana rumah sakit swasta mempersiapkan dirinya

menghadapi JKN ini adalah berbeda-beda pada masing-masing

rumah sakit. Hal penting yang harus diperhatikan pertama kali

adalah sebaiknya pertama-tama rumah sakit harus membentuk

suatu tim internal rumah sakit yang bertugas mempersiapkan

pelaksanaan program JKN, memonitoring pelaksanaan program dan

mengevaluasi pelaksanaan program JKN di rumah sakit. Tim ini


40

terdiri dari beberapa elemen dalam rumah sakit, terdiri dari dokter,

perawat, unit rekam medis, rawat jalan, rawat inap, keuangan dan

unit lain yang terkait. Di samping itu pimpinan rumah sakit juga

membentuk tim verifikator internal yang bertugas mengawasi

diagnosis penyakit yang diberikan dokter kepada pasien. Melalui

verifikator internal diharapkan diagnosis yang diberikan dokter

efektif sesuai dengan tarif yang tertera dalam paket INA-CBGs.

Untuk menghadapi JKN, langkah awal yang dilakukan adalah

menginformasikan kepada seluruh pekerja termasuk tenaga medis

di RS. Pentingnya informasi awal ini adalah supaya setiap tenaga

kesehatan melaksanakan fungsinya sesuai dengan aturan yang

sudah ditetapkan.( Jurreta Sintawati, 2014)

Clinical Pathway adalah alur suatu proses kegiatan

pelayanan pasien yang spesifik untuk suatu penyakit atau tindakan

tertentu, mulai dari pasien masuk sampai pasien pulang, yang

merupakan integrasi dari pelayanan medis, pelayanan keperawatan,

pelayanan farmasi dan pelayanan kesehatan lainnya. Clinical

pathway dibuat berdasarkan standar prosedur dari setiap profesi

yang mengacu pada standar pelayanan dari profesi masing-masing,

disesuaikan dengan tingkat sarana pelayanan rumah sakit. Clinical

Patway dapat digunakan untuk prediksi lama hari dirawat dan biaya
41

pelayanan kesehatan yang dibutuhkan sehingga dapat

mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya rumah sakit. ( Jurreta

Sintawati, 2014).

Penetapan tarif rumah sakit dalam program JKN mengacu

pada Kepmenkes No.440/2012 tentang Penerapan Tarif Rumah Sakit

Berdasarkan Indonesia Case Based Groups (INA-CBGs), yang dibagi

dalam empat regional dan dalam setiap regional dikelompokkan

menurut tipe dan kelas rumah sakit. Penerapan tarif paket INA-CBG

ini menuntut Manajemen Rumah Sakit untuk mampu melakukan

efisiensi biaya dan mengoptimalkan pengelolaan keuangan rumah

sakit, serta melakukan kendali mutu, kendali biaya dan akses melalui

penghitungan biaya pelayanan (Cost Of Care) dari masing-masing

Clinical Pathway berdasarkan perhitungan unit cost yang dimiliki

rumah sakit.

Menurut Hill, 1998 dalam Feuth and Claes, 2007, terdapat

empat komponen utama Clinical Pathway meliputi :

*   Kerangka Waktu, yang menggambarkan tahapan berdasarkan

pada hari perawatan atau berdasarkan tahapan pelayanan,

seperti : fase pre, intra dan pasca operasi.

*   Kerangka Asuhan, berisi aktivitas yang menggambarkan asuhan

seluruh tim kesehatan yang diberikan kepada pasien, dan


42

aktivitas tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis tindakan,

seperti : tindakan medik, pemberian obat, pemeriksaan

penunjang medik, nutrisi dan aktivitas pada jangka waktu

tertentu.

*   Kriteria Hasil, yang memuat hasil yang diharapkan dari standar

asuhan yang diberikan, meliputi kriteria jangka panjang

(menggambarkan kriteria hasil dari keseluruhan asuhan), dan

kriteria jangka pendek (menggambarkan kriteria hasil pada setiap

tahapan pelayanan).

*   Lembar Pencatatan Varian, yang mencatat dan menganalisis

deviasi dari standar yang ditetapkan dalam Clinical Pathway,

kondisi pasien yang tidak sesuai dengan standar asuhan atau

standar yang tidak bisa dilakukan, kesemuanya dicatat dalam

lembar varian ini.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa clinical

pathway dapat digunakan sebagai alat untuk mengendalikan mutu

pelayanan medis yang diberikan kepada pasien karena dalam

pembuatannya harus mengacu pada standar pelayanan medis

masing-masing SMF. Begitu juga dengan pelayanan bidang

keperawatan, penunjang dan pelayanan farmasi.


43

Mutu pelayanan kesehatan seperti yang kita ketahui sulit untuk

diukur, tetapi dengan penerapan clinical pathway dengan mengacu

pada pembiayaan INA CBGs, maka dapat diketahui mutu kualitas

pelayanan kesehatan suatu rumah sakit, karena clinical pathway

merupakan suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang

merangkum setiap langkah tang diberikan kepada pasien,

berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan

yang berbasis  bukti, dengan hasil yang terukur, dan dalam jangka

waktu tertentu di Rumah Sakit (Dody Firmanda, 2014)

Mutu jasa pelayanan  sulit diukur (intangible) karena

umumnya bersifat subyektif karena menyangkut kepuasan

seseorang, bergantung pada persepsi, latar belakang, sosial

ekonomi, norma, pendidikan, budaya bahkan kepribadian

seseorang. Bagi pasien mutu yang baik dikaitkan dengan

sembuhnya dari sakit atau berkurangnya rasa sakit, kecepatan

pelayanan, keramahtamahan, dan tarif pelayanan yang murah.

Pasien akan menganggap pelayanan kesehatan jelek jika

menurutnya sakit yang diderita tidak sembuh sembuh, antri lama,

petugas kesehatannya tidak ramah meskipun profesional serta tarif

yang mahal (Wiku Adisasmito, 2014).


44

Konsumen pelayanan kesehatan tidak dapat menilai secara

teknis medis, oleh karena itu mereka menilai dari sisi non teknis.

Ada dua penilaian tentang pelayanan kesehatannya yaitu

kenyamanan dan nilai pelayanan yang diterima. Konsumen

pelayanan yang akan membandingkan pelayanan kesehatan yang

diterima dengan harapan terhadap pelayanan yang diberikan

sehingga membentuk kepuasan mutu pelayanan( Laksono,

Trisnantoro, 2009).

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mutu yang

buruk menyebabkan ketidak puasan pasien, yang pada akhirnya

mempunyai konsekuensi kerugian biaya bagi rumah sakit karena

kehilangan pasien.

II.2.9 Permasalahan yang timbul dalam Pelaksanaan JKN

Menurut Pasal 36 Ayat 3 Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang

Jaminan Kesehatan, yang merupakan salah satu aturan pelaksana dari UU

No 24/2011 tentang JKN, fasilitas kesehatan milik swasta yang memenuhi

persyaratan dapat menjalin kerja sama dengan JKN Kesehatan. Dengan

demikian kerja sama rumah sakit swasta dengan JKN bersifat "dapat",

bukan "wajib". Pengertian "dapat" tidak hanya memiliki implikasi hukum,

tetapi juga memiliki implikasi terhadap kualitas pelayanan kesehatan

kepada masyarakat. Tidak semua rumah sakit swasta, sekalipun


45

berkeinginan bekerja sama dengan JKN, lalu pasti diterima keinginannya

itu oleh JKN karena JKN perlu melakukan verifikasi terlebih dahulu

apakah rumah sakit swasta itu cukup memenuhi syarat diajak kerja sama

ataukah tidak. Verifikasi terhadap rumah sakit swasta dapat meliputi tipe

fasilitas kesehatan yang dimilikinya sebagai dasar penentuan tarif layanan,

kelengkapan alat kesehatan yang dimiliki, dan tenaga medis yang bekerja

di fasilitas pelayanan swasta itu.

Dalam Ayat (5) dari Pasal 36 Perpres itu bahkan disebutkan

persyaratan itu akan diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. Artinya,

pemerintah sendirilah yang bersikap hati-hati dan tidak mudah mau

bekerja sama begitu saja dengan fasilitas kesehatan swasta. Perlu pula

diperhatikan bahwa tanggung jawab ketersediaan fasilitas kesehatan dan

penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan program

jaminan kesehatan ada pada pundak pemerintah dan pemerintah daerah,

bukan pada kalangan swasta. Hal ini pun disebutkan secara expressis

verbis dalam Pasal 35 Ayat (1) perpres itu yang berbunyi, "Pemerintah dan

Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan Fasilitas

Kesehatan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk pelaksanaan

program Jaminan Kesehatan". Upaya paksa kepada fasilitas kesehatan

swasta untuk bekerja sama dengan JKN itu mengingkari beban tanggung

jawab pemerintah tersebut.

Ketiadaan perbedaan tarif selain tidak merupakan kewajiban,

masalah utama keengganan rumah sakit swasta bekerja sama dengan JKN,
46

menurut Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Swasta Indonesia Susi

Setiawaty, adalah ketiadaan perbedaan tarif antara rumah sakit swasta dan

rumah sakit milik pemerintah. Menurut Susi Setiawaty, seharusnya

pemerintah memberlakukan perbedaan tarif bagi rumah sakit swasta

sehingga pihak swasta yang menjadi mitra JKN Kesehatan tidak terbebani

dan tetap bisa mendapat untung. Rumah sakit pemerintah semua biaya dan

gaji pegawai ditanggung negara. Kalau swasta investasi alat kesehatan,

gaji pekerja, itu di tanggung sendiri, tidak ada subsidi atau bantuan dari

pihak lain (Luthfie Hakim, 2015).

Dalam Seminar Nasional Kajian Hukum dan Keadilan dalam JKN

di Yogyakarta pada 25 April 2015.dikemukakan bahwa kondisi umum

pelayanan kesehatan dalam JKN Kesehatan adalah pasien yang dilayani

(jauh) bertambah banyak, sedangkan penghasilan tenaga medis lebih kecil

dibandingkan dengan yang didapat dalam pelayanan medis nir-JKN.

Kualitas pelayanan Tentulah kondisi ini menjadi perhatian utama bagi

pemilik fasilitas kesehatan swasta di mana tenaga medis tersebut bekerja.

Semua pekerjaan akan menghasilkan kelelahan kerja, dan kelelahan kerja

akan menurunkan kinerja serta menambah tingkat kesalahan kerja

(Nurmianto, 1996).

Keeratan hubungan antara kelelahan kerja yang tinggi dan kinerja

yang tidak baik sangat signifikan, tetapi terhadap kelelahan kerja yang

rendah mengalami hubungan yang kurang berarti. Situasi kerja serupa ini

dapat mendorong makin maraknya tuntutan masyarakat akibat


47

ketidakpuasan akan pelayanan kedokteran. Dengan demikian, pemaksaan

rumah sakit swasta untuk ikut kerja sama dengan JKN berisiko

menurunkan kualitas pelayanan kesehatan dan mengancam profesionalitas

tenaga medis dalam memberi pelayanan kesehatan (Dian Kurniawati,

2009).

II. 3. Rawat Inap

II. 3.1. Pasien

Pengertian pasien dan pasien rawat inap menurut

http://www.wikipedia.org/wki/pasien adalah:

a. Pasien adalah seseorang yang menerima perawatan medis, seringkali

pasien menderita penyakit atau cedera dan memerlukan bantuan dokter

untuk memulihkannya.

Kata pasien dari bahasa Indonesia analog dengan kata patient dari

bahasa Inggris. Patient diturunkan dari bahasa latin yaitu patiens yang

memiliki kesamaan arti dengan kata pati yang artinya menderita.

b. Rawat inap (opname) adalah istilah yang berarti proses perawatan pasien

dimana pasien diinapkan di rumah sakit.

c. Ruang rawat inap adalah ruang tempat pasien dirawat. Ruangan ini

dulunya sering hanya berupa bangsal yang dihuni oleh banyak orang

sekaligus. Saat ini ruang rawat inap dibanyak rumah sakit sudah sangat

mirip dengan kamar-kamar hotel. Pasien yang berobat di unit rawat jalan,

akan mendapatkan surat rawat dari dokter yang merawatnya, bila pasien


48

tersebut memerlukan perawatan didalam rumah sakit atau menginap di

rumah sakit.

II.3.2. Tarif rawat Inap

II.3.2 Pengertian dan Penetapan Tarif

Tarif rumah sakit merupakan suatu elemen yang amat esensial

bagi rumah sakit yang tidak dibiayai penuh oleh pemerintah atau

pihak ketiga. Rumah sakit swasta, baik yang bersifat mencari laba

maupun yang nirlaba harus mampu mendapatkan biaya untuk

membiayai segala aktifitasnya dan untuk dapat terus memberikan

pelayanan kepada masyarakat sekitarnya. Rumah sakit pemerintah

yang tidak mendapatkan dana yang memadai untuk memberikan

pelayanan secara cuma-cuma kepada masyarakat, juga harus

menentukan tarif pelayanan. Di Indonesia, praktis seluruh rumah

sakit, apakah itu RS umum ataupun RS perusahaan atau RS swasta,

harus mencari dana yang memadai untuk membiayai pelayanannya.

Jadi semua rumah sakit di Indonesia, harus mampu menetapkan suatu

tarif pelayanan ( Hasbullah Thabrany, 1998)

Menurut Supriyono, 2001, tarif adalah sejumlah moneter

yang dibebankan atas barang atau jasa yang dijual atau diserahkan

kepada pembeli atau pelanggan. Untuk menentukan tarif, biasanya


49

manajemen mempertimbangkan beberapa faktor yang mempengaruhi

baik faktor biaya maupun bukan biaya, yaitu :

1. Biaya, khususnya biaya masa depan.

2. Pendapatan yang diharapkan.

3. Jenis produk jasa yang dijual.

4. Jenis industri.

5. Citra dan kesan masyarakat.

6. Pengaruh pemerintah, khususnya undang-undang,

keputusan,

peraturan dan kebijakan pemerintah.

7. Tindakan atau reaksi para pesaing

8. Tipe pasar yang dihadapi.

9. Trend Ekonomi.

10. Biaya manajemen.

11. Tujuan non laba.

12. Tanggung jawab sosial perusahaan.

13. Tujuan laba Rumah Sakit dan Return On Investment

(ROI).

Dalam penentuan tarif atau harga jual produk, manajemen perlu

tujuan dari penentuan tarif tersebut. Tujuan itu akan dipergunakan

sebagai salah satu pedoman kerja perusahaan. Pada umumnya tujuan

tersebut adalah sebagai berikut :

a. Bertahan hidup (survival)


50

Perusahaan menetapkan bertahan hidup sebagai tujuan utama,

apabila menghadapi kesulitan dalam hal kelebihan kapasitas

produksi, persaingan keras, atau perubahan keinginan

konsumen. Untuk mempertahankan tetap berjalannya kegiatan

produksi, perusahaan harus menetapkan harga yang rendah,

dengan harapan akan meningkatkan permintaan. Dalam situasi

demikian, laba menjadi kurang penting dibandingkan survival.

b. Memaksimalkan laba jangka pendek

Perusahaan memperkirakan permintaan akan biaya,

dihubungkan dengan harga alternatif dan harga yang akan

menghasilkan laba, arus kas, atau tingkat laba investasi

maksimal. Dalam semua hal, perusahaan lebih menitikberatkan

pada kemampuan keuangan yang ada dan kurang

mempertimbangkan prestasi keuangan jangka pendek.

c.Kepemimpinan pangsa pasar (leader of market share)

Sebagian perusahaan ingin mencapai pangsa pasar yang

dominan. Mereka yakin bahwa perusahaan dengan market share

terbesar akan menikmati biaya terendah dan laba tertinggi dalam

jangka panjang. Untuk itu, mereka menetapkan harga serendah

mungkin.

d. Kepemimpinan mutu produk


51

Perusahaan dapat memutuskan bahwa mereka ingin memiliki

produk dengan mutu terbaik di pasar. Keputusan ini biasanya

mengharuskan penetapan harga yang tinggi untuk menutup

biaya pengendalian mutu produk serta biaya riset dan

pengembangan.

e. Tujuan-tujuan lain, misalnya mempertahankan loyalitas

pelanggan.

Perusahaan mungkin menetapkan harga yang rendah untuk

mencegah masuknya perusahaan pesaing atau dapat menetapkan

harga yang sama dengan pesaing dengan tujuan untuk

mempertahankan loyalitas pelanggan.

f. Menghindari campur tangan pemerintah, menciptakan daya tarik

sebuah produk, dan untuk menarik lebih banyak pelanggan.

II.3.3 Sistem pembayaran Rumah Sakit

Dalam UU SJSN (dalam penjelasan pasal 24) telah digariskan

langkah-langkah menjamin dana amanat JKN hemat/efisien.

Dokter/fasilitas kesehatan dibayar secara borongan ( Prospective)

dengan kapitasi, Casemix Based Group (CBG) atau budget tertentu.

Dalam Perpres No. 111/2013 ditetapkan dua cara pembayaran yaitu

kapitasi dan CBG (Casemix Based Group).

Secara Umum , sistem pembayaran pelayanan rumah sakit dapat

berbentuk satu atau lebih pilihan sebagai berikut (Kongstvedt, 1996) :


52

1. Sesuai tagihan, biasanya secara retrospective dan sesuai jasa per

pelayanan.

2. Sesuai tagihan akan tetapi dengan negosiasi diskon/rabat khusus.

3. Diagnostic Related Group atau dalam JKN disebut CBG.

4. Kapitasi

5. Per kasus

6. Per diem

7. Bed leasing ( sewa tempat tidur)

8. Performance Based Incentives

9. Global Budget.

II.3.3.1 Sistem Pembayaran Retrospektif

Pembayaran retrospektif sesuai namanya berarti bahwa

besaran biaya dan jumlah biaya yang harus dibayar oleh pasien

atau pihak pembayar misalnya asuransi atau perusahaan majikan

pasien, ditetapkan setelah pelayanan diberikan. Kata retro berarti

di belakang atau ditetapkan belakangan setelah pelayanan

diberikan. Cara pembayaran retrospektif merupakan cara

pembayaran yang sejak awal pelayanan kesehatan dikelola

secara bisnis, artinya pihak fasilitas kesehatan menetapkan tarif

pelayanan. Oleh karenanya cara pembayaran ini disebut juga

dengan cara pembayaran tradisional atau fee for service (FFS,

jasa per pelayanan). Di Indonesia, cara pembayaran jasa per


53

pelayanan sering disebut dengan istilah cara pembayaran Out Of

Pocket ( dari kantong sendiri) (Hasbullah, 2014).

Untuk pasien rawat inap umum tarif yang berlaku adalah

Fee for service dimana biaya yang dibebankan kepada pasien

berdasarkan unit cost dari masing-masing pemeriksaan atau

tindakan yang diberikan kepada pasien.

Oleh karena cara pembayaran retrospektif ini mempunyai

potensi pemborosan dan kenaikan biaya kesehatan maka

pemerintah berupaya mengendalikan biaya dengan cara

pembayaran prospektif dengan sistem CBG ( Hasbullah

Tabhrany, 2014)

II.3.2.2 Sistem Pembayaran Prospektif (CBG dalam JKN)

Pengertian Casemix Based Group (CBG) dapat

disederhanakan dengan cara pembayaran dengan biaya satuan

per diagnosis, bukan biaya/harga satuan per jenis pelayanan

medis maupun non medis yang diberikan kepada seorang pasien

dalam rangka penyembuhan suatu penyakit. Model pembayaran

CBG di Indonesia dikembangkan dengan istilah INACBGs.

Konsep DRG sesungguhnya sederhana yaitu bahwa rumah sakit

mendapatkan pembayaran borongan berdasarkan rata-rata biaya

yang dihabiskan oleh berbagai rumah sakit untuk mengobati

pasien dengan suatu diagnosis. Jika di Bandung misalnya


54

terdapat 10 ribu kasus demam tifoid di tahun 2013 dengan rata-

rata biaya per kasus adalah Rp 2,7 juta, maka setiap rumah sakit

di Bandung yang mengobati pasien demam tifoid akan dibayar

Rp 2,7 juta untuk setiap pasien tanpa melihat hal lain seperti hari

rawat dan obat-obatan yang digunakan selama perawatan

(Hasbullah, 2014)

Pembayaran borongan ini membawa konsekuensi rumah

sakit harus bekerja secara efisien agar surplus. Setiap pasien

yang dirawat dengan tingkat keseriusan penyakit (severity) yang

sama harus dapat disembuhkan dengan total biaya yang lebih

kecil dari rata-rata biaya penyembuhan suatu wilayah. Dalam

bisnis barang atau jasa lain konsep rata-rata harga pasar ini

sudah berjalan dengan sendirinya tanpa diatur. (Hasbullah

Thabrany, 2014)

Di Indonesia, besaran DRG/CBG dikelompokan lebih luas

dan ditetapkan berbeda antara RS besar dan terlengkap (tipe A)

dan RS terkecil (Tipe D). Bahkan beberapa RS vertikal memiliki

besaran CBG tersendiri. Besaran CBG yang berbeda untuk

tingkat kesulitan kasus yang sama antara RS besar dan RS kecil

tidak realistis dan mendorong terjadinya penyerapan jumlah

kasus di RS besar. Hal ini mendorong terjadinya antrian panjang

di RS besar dan tidak merangsang pertumbuhan pasien di RS

kecil ( Blog Manajemen Rumah sakit, 2014)


55

Tampak jelas sekali bahwa tarif INACBGs yang

ditetapkan di Indonesia tidak realistis untuk kasus yang sama

dan tingkat kesulitan yang sama, tarif CBG dapat mencapai 4

kali lebih besar di RS tipe A daripada di RS tipe D. Sehingga

sekarang terlihat dimana di RS tipe A antrian pasien sangat

panjang karena segala macam kasus ringan dan berat ditangani

disitu( Blog Manajemen Rumah Sakit, 2014).

Pembayaran dengan cara DRG menurut Hasbullah

Thabrany mempunyai keutamaan sebagai berikut :

1. Memudahkan administrasi pembayaran bagi RS dan pihak

pembayar.

2. Memudahkan pasien memahami besaran biaya yang harus

dibayarnya.

3. Memudahkan penghitungan pendapatan (revenue) rumah

sakit.

4. Memberikan insentif kepada rumah sakit dan tenaga

kesehatan untuk menggunakan sumber daya seefisien

mungkin.

5. Memudahkan pemahaman klien dalam melakukan

sosialisasi/pemasaran pelayanan rumah sakit.

6. Memberikan surplus atau laba yang lebih besar kepada

rumah sakit yang lebih efisien dan menimbulkan kerugian

bagi rumah sakit yang tidak efisien.


56

Pembayaran DRG juga mempunyai kelemahan sebagai

berikut :

1. Penerapannya membutuhkan pembayar pihak ketiga

yang cukup dominan misalnya dengan BPJS Kesehatan.

2. Penerapannya membutuhkan sistem informasi kesehatan,

khususnya pencatatan rekam medis yang akurat dan

komprehensif.

Untuk pasien rawat inap peserta JKN tarif yang berlaku

adalah prospective payment dimana pembayaran biaya

perawatan pasien didasarkan pada paket diagnosa berdasarkan

INACBGs.

Bagan II.2. Skema Pembiayaan Kesehatan.


57

II.3.3 Permasalahan dalam Tarif rawat Inap

Kini dengan maraknya arus swastanisasi, banyak rumah sakit

pemerintah diswadanakan. Salah satu komponen penting dari swadana

adalah penetapan tarif, dengan tujuan mencapai cost recovery yang

memadai. Rumah sakit swadana juga perlu bersaing dengan RS swasta

yang lebih leluasa menetapkan tarif dan mempunyai keharusan

penyediaan tempat tidur bersubsidi (kelas III) yang lebih besar. Jika

RS swasta nirlaba diharuskan menyediakan 25% tempat tidurnya

untuk masyarakat yang kurang mampu, maka di RS Swadana

diharuskan tersedia 50% TT untuk golongan ekonomi lemah.

Sementara RS Swadana juga diharapkan dapat meningkatkan mutu

pelayanan dan memberikan subsidi silang kepada masyarakat yang

tidak mampu. Faktanya, kebanyakan RS Swadana menerima subsidi

pemerintah lebih besar dari masa mereka belum swadana (Hasbullah

Thabrany, 1998).

Menurut Pasal 36 Ayat 3 Perpres Nomor 12 Tahun 2013

tentang Jaminan Kesehatan, yang merupakan salah satu aturan

pelaksanaan dari UU No 24/2011 tentang JKN, fasilitas kesehatan

milik swasta yang memenuhi persyaratan dapat menjalin kerja sama

dengan JKN Kesehatan. Dengan demikian, kerja sama rumah sakit

swasta dengan JKN bersifat "dapat", bukan "wajib".


58

Pengertian "dapat" tidak hanya memiliki implikasi hukum,

tetapi juga memiliki implikasi terhadap kualitas pelayanan kesehatan

kepada masyarakat. Tidak semua rumah sakit swasta, sekalipun

berkeinginan bekerja sama dengan JKN, lalu pasti diterima

keinginannya itu oleh JKN karena JKN perlu melakukan verifikasi

terlebih dahulu apakah rumah sakit swasta itu cukup memenuhi syarat

diajak kerja sama ataukah tidak. Verifikasi terhadap rumah sakit

swasta dapat meliputi tipe fasilitas kesehatan yang dimilikinya sebagai

dasar penentuan tarif layanan, kelengkapan alat kesehatan yang

dimiliki, dan tenaga medis yang bekerja di fasilitas pelayanan swasta

itu.

Dalam Ayat (5) dari Pasal 36 Perpres Nomor 12 Tahun 2013

bahkan disebutkan persyaratan itu akan diatur lebih lanjut dengan

peraturan menteri. Artinya, pemerintah sendirilah yang bersikap hati-

hati dan tidak mudah mau bekerja sama begitu saja dengan fasilitas

kesehatan swasta. Perlu pula diperhatikan bahwa tanggung jawab

ketersediaan fasilitas kesehatan dan penyelenggaraan pelayanan

kesehatan untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan ada

pada pundak pemerintah dan pemerintah daerah, bukan pada kalangan

swasta.

Hal ini pun disebutkan secara expressis verbis dalam Pasal 35

Ayat (1) perpres itu yang berbunyi, "Pemerintah dan Pemerintah

Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan Fasilitas Kesehatan dan


59

penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk pelaksanaan program

Jaminan Kesehatan". Upaya paksa kepada fasilitas kesehatan swasta

untuk bekerja sama dengan JKN itu mengingkari beban tanggung

jawab pemerintah tersebut.

1. Tidak adanya perbedaan tarif

Selain tidak merupakan kewajiban, masalah utama

keengganan rumah sakit swasta bekerja sama dengan JKN adalah

ketiadaan perbedaan tarif antara rumah sakit swasta dan rumah

sakit milik pemerintah. Seharusnya pemerintah memberlakukan

perbedaan tarif bagi rumah sakit swasta sehingga pihak swasta

yang menjadi mitra JKN Kesehatan tidak terbebani dan tetap bisa

mendapat untung (Blog Manajemen Rumah Sakit, 2014)

Rumah sakit swasta keberatan dengan tidak adanya

perbedaan tarif. Rumah sakit pemerintah semua biaya dan gaji

pegawai ditanggung negara. Kalau swasta investasi alat kesehatan,

gaji pekerja, biaya operasional di tanggung sendiri oleh RS dan

tidak

Dalam Seminar Nasional Kajian Hukum dan Keadilan dalam

JKN di Yogyakarta pada 25 April 2015, dikemukakan bahwa

kondisi umum pelayanan kesehatan dalam JKN Kesehatan adalah

pasien yang dilayani (jauh) bertambah banyak, sedangkan

penghasilan tenaga medis lebih kecil dibandingkan dengan yang

didapat dalam pelayanan medis nir-JKN.


60

2. Kualitas pelayanan

Tentulah kondisi ini menjadi perhatian utama bagi pemilik

fasilitas kesehatan swasta di mana tenaga medis tersebut bekerja.

Semua pekerjaan akan menghasilkan kelelahan kerja, dan kelelahan

kerja akan menurunkan kinerja serta menambah tingkat kesalahan

kerja (Nurmianto, 1996).

Keeratan hubungan antara kelelahan kerja yang tinggi dan

kinerja yang tidak baik sangat signifikan, tetapi terhadap kelelahan

kerja yang rendah mengalami hubungan yang kurang berarti (Dian

Kurniawati).

Situasi kerja serupa ini dapat mendorong makin maraknya

tuntutan masyarakat akibat ketidakpuasan akan pelayanan kedokteran.

Dengan demikian, pemaksaan rumah sakit swasta untuk ikut kerja

sama dengan JKN Kesehatan berisiko menurunkan kualitas pelayanan

kesehatan dan mengancam profesionalitas tenaga medis dalam

memberi pelayanan kesehatan.

II.4 Laporan keuangan

II.4.1 Sistem Pembayaran INACBGs

Sistem pembayaran program Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN) yang diikuti oleh RS AMN PTPN VIII menggunakan sistem

klaim dengan sistem Casemix, yaitu dengan tarif Indonesian-Case


61

Based Groups (INA-CBGs) (sistem paket). Rumah Sakit akan

mendapatkan pembayaran berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan

oleh untuk suatu kelompok diagnosis. Hal ini berpengaruh pada siklus

akuntansi rumah sakit sehari-hari, terutama pada siklus pendapatan

(Fakhnie dan Viviyanti, 2013).

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 28

tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan

Nasional, prosedur pelayanan yang diberikan kepada pasien JKN antara

lain (1) Pelayanan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP),

(2) Pelayanan Pada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan

(FKRTL), (3) Pelayanan Kegawatdaruratan (Emergency). Berdasarkan

prosedur pelayanan tersebut di atas, terdapat tiga macam cara

pembayaran pada fasilitas kesehatan tersebut. Cara pembayaran fasilitas

kesehatan yang pertama, yaitu: (1) JKN membayarkan kepada fasiltas

kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi, (2) Sedangkan untuk

fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan JKN membayarkan cara

INA-CBG atau sistem paket, (3) Jika disuatu daerah tidak

memungkinkan pembayaran berdasarkan kapitasi, JKN Kesehatan

diberi wewenang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain

yang lebih berhasil guna.

Permasalahan dari hal tersebut adalah terkait dengan pengakuan

pendapatan karena adanya perbedaan tarif rumah sakit dengan tarif JKN

(sesuai tarif INA-CBGs). Perlakuan pendapatan antara pasien umum


62

dengan pasien JKN masih sama dan prosedur pendapatan pada RS

AMN PTPN VIII masih mencakup pasien umum saja. Seharusnya

perlakuan pendapatan dan prosedur pendapatan antara pasien umum

dengan pasien JKN harus dibedakan.

II.4.2 Kinerja keuangan

Istilah kinerja atau performance sering dikaitkan dengan

kondisi keuangan perusahaan. Kinerja dapat diartikan sebagai prestasi

yang dicapai perusahaan dalam suatu periode tertentu yang

mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan tersebut”. Kinerja

menjadi hal penting yang harus dicapai setiap perusahaan karena

mencerminkan kemampuan perusahaan dalam mengelola dan

mengalokasikan sumber dayanya. Untuk itu perlunya kita mengetahui

pengertian dari kinerja itu sendiri (Sukhemi, 2007).

Kinerja merupakan gambaran prestasi yang dicapai perusahaan

dalam kegiatan operasionalnya baik menyangkut aspek kuangan,

aspek pemasaran, aspek penghimpunan dana dan penyaluran dana,

aspek teknologi, maupun aspek sumber daya manusianya (Jumingan,

2006)

Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian

pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi

dan visi “strategic planning” (Fahmi, 2006).


63

Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa kinerja adalah suatu

bentuk prestasi pencapaian perusahaan dalam kegiatan operasional di

berbagai aspek sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Sedangkan pengertian kinerja keuangan menurut

beberapa ahli adalah sebagai berikut:

Jumingan (2006, h239) menyatakan kinerja keuangan merupakan

gambaran kondisi keuangan perusahaan pada suatu periode tertentu

baik menyangkut aspek penghimpunan dana maupun penyaluran dana,

yang biasanya diukur dengan indikator kecukupan modal, likuiditas,

dan profitabilitas (Jumingan, 2006).

Sedangkan menurut Fahmi (2006, h64) kinerja keuangan

diartikan sebagai refleksi gambaran dari pencapaian keberhasilan

perusahaan dapat diartikan sebagai hasil yang telah dicapai atas

berbagai aktivitas yang telah dilakukan (Fahmi, 2006).

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja

keuangan merupakan pencapaian prestasi perusahaan pada suatu

periode yang menggambarkan kondisi kesehatan keuangan perusahaan

dengan indikator kecukupan modal, likuiditas dan profitabilitas.

Laporan keuangan dibuat dengan maksud untuk memberikan

gambaran atau laporan kemajuan suatu perusahaan yang secara

periodik dilakukan pihak manajemen perusahaan yang bersangkutan.

Dengan kata lain laporan keuangan bertujuan untuk menyediakan

informasi yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam


64

pengambilan keputusan ekonomi. Berikut ini pengertian laporan

keuangan dari beberapa ahli dan pakar akuntansi:

“Laporan Keuangan merupakan output dan hasil dari proses

akuntansi yang menjadi bahan informasi bagi para pemakainya

sebagai salah satu bahan dalam proses pengambilan

keputusan.”(Harahap, 2008).

Sementara itu, Kieso, Weygandt dan Warfield (2007, h2)

memberikan definisi sebagai berikut: “Financial statements are the

principal means through which a company communicates its financial

information to those outside it. These statements provide a company’s

history quantified in money terms ”.

Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan

bahwa laporan keuangan merupakan informasi keuangan yang

menggambarkan posisi atau keadaan keuangan perusahaan pada

periode tertentu yang berguna bagi para pemakainya dalam hal

pengambilan keputusan.

II.4.3 Analisa keuangan

Analisis rasio keuangan merupakan alat analisis yang dinyatakan

dalam arti relatif maupun absolut untuk menjelaskan hubungan tertentu

antara elemen yang satu dengan elemen yang lain dalam suatu laporan

keuangan (financial statement). Analisis rasio keuangan memerlukan

ukuran yang biasa disebut dengan istilah rasio. Rasio mempunyai


65

pengertian alat yang dinyatakan dalam arithmetical terms yang dapat

digunakan untuk menjelaskan hubungan dua macam data (Arifin, 2006).

Dengan menggunakan teknik analisis rasio, analis dapat

memberikan penilaian kinerja keuangan sebuah perusahaan. Hefert (2003)

menjelaskan bahwa rasio keuangan dapat bermanfaat menunjukkan

perubahan dalam kondisi keuangan atau kinerja perusahaan, dan dapat

membantu menggambarkan kecenderungan serta pola perusahaan tersebut,

sehingga dapat menunjukkan peluang ataupun resiko perusahaan yang

sedang ditelaah analis.

Selain kelebihan dapat menganalisis secara cepat, kelemahan dari

analisis rasio keuangan adalah objek analisa keuangan hanya berdasarkan

pada laporan keuangan saja. Padahal tiap laporan keuangan menggunakan

kebijakan dan metode akuntansi yang berbeda-beda sehingga dapat

menghasilkan angka yang berbeda, contohnya metode pencatatan

persediaan. (Sugiono dan Untung, 2008).

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pengadaaan analisis rasio

keuangan menjadi sangat penting terutama bagi pihak-pihak

berkepentingan terhadap perusahaan tersebut. Rasio dapat dihitung

berdasarkan data laporan keuangan yang telah tersedia, yang terdiri dari

neraca dan laporan laba rugi.

Penilaian menggunakan rasio keuangan ini juga memiliki

keterbatasan dimana tidak memperhitungkan adanya biaya modal (cost of


66

capital) yang dapat mengindikasikan seberapa jauh perusahaan telah

menciptakan nilai bagi pemilik modal.

Untuk mengukur perspektif keuangan ini dilakukan dengan

menggunakan instrumen pengukur value for money atau 3E yang

dikembangkan oleh Mardiasmo (2002:133-134). Instrumen tersebut terdiri

dari 3E yaitu:

a. Rasio Ekonomi

Rasio ekonomi yaitu rasio yang menggambarkan kehematan

dalam

penggunaan anggaran yang mencakup juga pengelolaan secara hati-hati

atau hemat dan tidak ada pemborosan.

b. Rasio Efisiensi

Rasio efisiensi yaitu rasio yang menggambarkan perbandingan antara

besarnya biaya yang digunakan untuk memperoleh pendapatan dengan

realisasi pendapatan yang diterima.

c. Rasio Efektivitas

Rasio efektivitas yaitu rasio yang menggambarkan berhasil atau

tidaknya institusi dalam mencapai tujuannya. Dalam hal ini adalah

dengan membandingkan realisasi pendapatan dengan target pendapatan

yang ditetapkan.
67

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian

verifikatif yaitu penelitian yang bertujuan mengetahui pengaruh

variabel independen terhadap variabel dependen.

III.2 Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kualitatif deskriptif dan menggunakan single case study.

Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang memberikan

gambaran kepada pembaca dan mengungkapkan suatu masalah,

keadaan, dan peristiwa berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan.

Penelitian studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara

langsung pada obyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase

spesifik dari keseluruhan personalitas. Sumber data dalam penelitian

ini berasal dari data primer, yaitu berupa opini subjek (individu atau

kelompok), hasil observasi dari terhadap suatu benda (fisik) dan

kejadian atau kegiatan yang terjadi selama proses penelitian

berlangsung. Data sekunder yang dicatat adalah data-data sistem

pendapatan yang diperoleh dari manajemen RS AMN PTPN VIII.


68

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah penelitian lapangan dengan cara wawancara, observasi, dan

dokumentasi. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian

ini menggunakan analisis kualitatif atau non statistic. Data-data yang

berhasil dikumpulkan diolah kemudian dianalisis. Hal tersebut

merupakan cara atau langkah untuk mengolah data primer dan data

sekunder untuk memecahkan masalah penelitian.

Tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam menganalisa data dalam

penelitian ini antara lain:

1. Memahami profil, lingkungan, dan ruang lingkup RS AMN PTPN

VIII,

2. Analisis terhadap struktur organisasi terkait dengan siklus

pendapatan rawat inap baik pasien umum maupun pasien JKN.

Dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah menganalisis

pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab pihak-pihak yang

terkait langsung dengan siklus pendapatan dan membandingkannya

dengan uraian tugas yang dimiliki RS AMN PTPN VIII.

3. Analisis terhadap informasi-informasi dan dokumen-dokumen

terkait dengan siklus pendapatan rumah sakit. Dalam hal ini, yang

perlu dilakukan adalah mengetahui informasi-informasi berupa data

yang dibutuhkan dalam penelitian di dalam siklus pendapatan dan

didukung dengan kuesioner atau buku-buku literatur sebagai bahan

pendukung di dalam penelitian. Data-data tersebut adalah berupa


69

dokumen-dokumen dan laporan-laporan yang dibutuhkan dan

dihasilkan oleh rumah sakit dan menganalisis kecukupan informasi

yang digunakan dan dihasilkan dalam siklus pendapatan dan

membandingkannya dengan dengan prosedur pendapatan yang

dimiliki oleh RS AMN PTPN VIII.

4. Mengevaluasi atas konsep praktis organisasi dengan melihat fakta

yang ada. Evaluasi ini mengungkapkan temuan-temuan yang

terjadi dari pengimplementasian sistem ke dalam aktivitas

operasional perusahaan dan mencari alternatif pilihan yang

digunakan sebagai solusi dari permasalahan yang terjadi di

lapangan. Hasil dari evaluasi tersebut kemudian ditarik sebagai

kesimpulan dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang

terjadi dalam pelayanan pasien rawat inap sehingga dapat melihat

gambaran pendapatan RS AMN PTPN VIII.

III.2.1 Operasional variabel

Berikut adalah variabel independen dan dependen dari

penelitian ini. Untuk uraian yang lebih jelas mengenai

operasionalisasi variabel dapat dilihat pada tabel sebagai

berikut :
70

TABEL III.1 Operasionalisasi Variabel


VARIABEL DEFINISI OPERASIONAL INDIKATOR UKURAN SKALA
         
Pendapatan (X) Seluruh atau sebagian biaya penyelenggaran      
  pelayanan kesehatan di rumah sakit yang Total penjualan Rupiah Rasio
  dibebankan kepada pasien sebagai imbalan      
  jasa atas pelayanan yang diberikan.      
         
Retrospective Payment (X1) Tarif total ditentukan setelah pelayanan Unit Cost Rupiah Rasio
  medis diberikan.      
         
Prospective Payment (X2) Tarif ditentukan sebelum pelayanan      
  diberikan berdasarkan diagnosa. INACBGs Rupiah Rasio
         
         
Kinerja Keuangan (Y) Hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas Return On Laba bersih x 100 % Rasio
  persatuan periode tertentu dengan peng- Investment (ROI) Total aktiva  
  gunaan modal yang efektif dan efisien.      
  Return On Equity Laba bersih x 100 % Rasio
    (ROE) Modal sendiri  
         
    Profit Margin Laba bersih x 100 % Rasio
      Penjualan bersih  
         
71

III.2.2 Sampel Data

Sampel data dari penelitian ini diambil dari data

sekunder berupa laporan keuangan pendapatan rawat inap

pasien umum dan JKN dari bulan Januari 2016 sampai

Desember 2016.

III.2.3 Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan pada

penelitian ini adalah :

1. Observasi

Observasi dalam penelitian ini dilakukan pada

Rumah Sakit AMN PTPN VIII mengenai data variabel

tarif INACBGs dan Kinerja keuangan Rumah Sakit

semenjak program JKN dilaksanakan.

2. Dokumentasi

Adalah teknik pengumpulan data untuk mengambil

data sekunder yang terkait dengan tarif pasien rawat

inap, Rencana Kerja dan Anggaran Rumah Sakit dan

Laporan Manajemen Rumah Sakit.

3. Wawancara/Interview

Adalah teknik pengumpulan data primer yang

berasal dari tanya jawab peneliti dengan karyawan bagian


72

keuangan RS AMN, petugas BPJS Kesehatan dan

petugas koder RS AMN.

Berikut adalah daftar pertanyaan wawancara :

1. Kepala Bagian Keuangan RS AMN :

a. Apakah dalam RKAP RS sudah ada pemisahan

pendapatan antara pasien umum dan pasien JKN?

b. Siapakah yang bertanggungjawab terhadap

laporan keuangan Rumah Sakit?

c.Kapan laporan keuangan dibuat dan kapan waktu

evaluasi kinerja keuangan dilakukan?

d. Kepada siapakah laporan kinerja keuangan di

berikan?

e. Di bagian mana di RS yang memberikan

keuntungan atau kerugian dalam mengelola pasien

JKN?

f. Bagaimana sebaiknya yang dilakukan oleh Rumah

Sakit dalam mengelola keuangan RS bila universal

coverage berjalan.

2. Petugas Koder RS :

a. Apakah ada kesulitan dalam menangani klaim

pasien JKN dengan sistem prospective payment?


73

b. Siapa yang mengerjakan pengkodingan tarif

INACBGs, apakah ada pembagian tugas?

c. Kapan pengkodingan dan verifikasi berkas

dilakukan?

d. Kepada siapa hasil pengkodingan dan verifikasi

berkas diberikan?

e. Di bagian mana di RS yang memberikan

keuntungan atau kerugian dalam mengelola

pasien JKN?

f. Bagaimana pendapat anda mengenai tarif

INACBGs yang berlaku dan apakah ada

perbedaan yang signifikan antara real cost RS dan

tarif INACBGs?

3. Petugas verifikasi BPJS Kesehatan :

a. Apakah anda mengetahui bahwa dalam struktur

modal dan investasi RS swasta berbeda dengan

RSUD?

b. Siapa yang mengerjakan verifikasi berkas klaim

dari RS?

c. Kapan verifikasi dilakukan terhdap berkas klaim

dari RS, apakah ada waktu tertentu?


74

d. Kepada siapa saja hasil verifikasi Klaim

diberikan?

e. Di bagian mana di RS yang memberikan

keuntungan atau kerugian dalam mengelola

pasien JKN?

f. Bagaimana menurut anda apakah klaim yang

diajukan oleh RS AMN sudah sesuai dengan

INACBGs?

III.2.4 Analisis Kinerja Keuangan

III.2.4.1 Metode dan Teknik Analisis Laporan Keuangan

Metode dan teknik analisa digunakan untuk

menentukan dan mengukur hubungan antara pos-pos

yang ada dalam laporan, sehingga perkembangan

maupun perubahan laba dapat diketahui dan

dibandingkan dengan beberapa periode laporan

keuangan.

III.2.4.2 Metode Analisis Laporan Keuangan

Menurut Munawir (2004, h36), terdapat dua

metode analisis yang digunakan setiap para analisis

laporan keuangan, yaitu:


75

1. Analisis Horizontal

Analisis horizontal dilakukan dengan

membandingkan laporan keuangan untuk beberapa

periode sehingga perkembangannya akan diketahui.

Metode ini disebut juga sebagai metode analisis

dinamis.

2. Analisis Vertikal

Analisis vertikal dilakukan apabila laporan keuangan

yang dianalisis hanya meliputi satu periode, yaitu

dengan membandingkan antara pos yang satu

dengan pos lainnya dalam laporan keuangan

tersebut, sehingga hanya akan diketahui keadaan

keuangan atau hasil operasi pada periode itu saja.

Analisis ini disebut juga sebagai metode analisis

statis karena kesimpulan yang diperoleh hanya untuk

periode itu saja tanpa mengetahui

perkembangannnya.

III.2.4.3 Teknik Analisis Laporan Keuangan

Dalam penelitian ini analisa keuangan yang

digunakan adalah rasio profitabilitas. Rasio

profitabilitas adalah rasio untuk menilai kemampuan

perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini


76

juga memberikan ukuran tingkat efektifitas

manajemen suatu perusahaan yang ditunjukan dari

laba yang dihasilkan. Intinya bahwa penggunaan

rasio ini menunjukkan efisiensi perusahaan (Kasmir,

2010).

Laporan dengan persentase per komponen atau

common size statement, adalah suatu metode analisis

untuk mengetahui persentase investasi pada masing-

masing rasio (Fakhnie dan Viviyanti, 2013).

Jenis-jenis rasio profitabilitas yang akan dianalisis

adalah :

1. Profit margin ( Profit margin of Sales)

2. Return On Investment (ROI)

3. Return On Equity (ROE)

Rasio profit margin merupakan salah satu rasio

yang digunakan untuk mengukur margin laba atas

penjualan. Untuk mengukur rasio ini adalah dengan

membandingkan antara laba bersih setelah pajak

dengan penjualan bersih.

Return On Investment (ROI) merupakan rasio

yang menunjukkan hasil (return) atas sejumlah

aktiva yang digunakan dalam perusahaan.


77

Return On Equity (ROE) merupakan rasio

unruk mengukur laba bersih sesudah pajak dengan

modal sendiri. rasio ini menunjukan efisiensi

penggunaan modal sendiri, makin tinggi rasio ini,

makin baik.

III.2.5 Analisis Uji Hipotesa

Rancangan analisis data terdiri dari 2 bagian yaitu analisis

deskriptif untuk menjawab identifikasi masalah penelitian yang

bersifat deskriptif. Sedangkan untuk menjawab identifikasi

masalah verifikatif akan dilakukan analisis regresi. Analisis

regresi dilakukan untuk mengetahui bentuk hubungan dua

variabel. Untuk keeratan hubungan dapat diketahui dengan

analisis korelasi. Analisis regresi dipergunakan untuk menelaah

hubungan antara dua variabel atau lebih, terutama untuk

menelusuri pola hubungan yang modelnya belum diketahui

dengan sempurna, atau untuk mengetahui bagaimana variasi dari

beberapa variabel independen mempengaruhi variabel dependen

dalam suatu fenomena yang kompleks. Jika X adalah variabel

independen dan Y adalah variabel dependen, maka terdapat

hubungan fungsional antara X dan Y, di mana variasi dari X akan

diiringi pula oleh variasi dari Y. Secara matematika hubungan di

atas dapat dijabarkan sebagai berikut: Y = f(X,e), di mana : Y


78

adalah variabel dependen, X adalah variabel independen dan e

adalah variabel residu (disturbance term).

Berkaitan dengan analisis regresi ini, setidaknya ada empat

empat kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam analisis regresi,

diantaranya: (1) mengadakan estimasi terhadap parameter

berdasarkan data empiris, (2) menguji berapa besar variasi

variabel dependen dapat diterangkan oleh variasi variabel

independen, (3) menguji apakah estimasi parameter tersebut

signifikan atau tidak, dan (4) melihat apakah tanda dan magnitud

dari estimasi parameter cocok dengan teori (M. Nazir, 1983).

Berikut akan dijelaskan analisis data (1) regresi sederhana

untuk melakukan estimasi terhadap parameter berdasarkan data

empiris dan menguji berapa besar variasi variabel dependen dapat

diterangkan oleh variasi variabel independen. Selanjutnya akan

dijelaskan (2) uji keberartian regresi untuk menguji apakah

estimasi parameter tersebut signifikan atau tidak.

1. Regresi sederhana

Regresi sederhana, bertujuan untuk mempelajari hubungan

antara dua variabel. Model Regresi sederhana adalah

^y =a+bx , di mana, ^y adalah variabel tak bebas (terikat), X

adalah variabel bebas, a adalah penduga bagi intersap (α), b


79

adalah penduga bagi koefisien regresi (), dan α,  adalah

parameter yang nilainya tidak diketahui sehingga diduga

menggunakan statistik sampel.

Rumus yang dapat digunakan untuk mencari a dan b


adalah:

a=
∑ Y −b ∑ X =Ȳ −b X̄
.N .

N . ( ∑ X Y ) −∑ X ∑ Y
b= 2
. N . ∑ X 2 −( ∑ X )

Keterangan:

X̄ i = Rata-rata skor variabel X

Ȳ i = Rata-rata skor variabel Y

2. UJI KEBERARTIAN REGRESI

Pemeriksaan keberartian regresi dilakukan melalui

pengujian hipotesis nol, bahwa koefisien regresi b sama dengan

nol (tidak berarti) melawan hipotesis tandingan bahwa koefisien

arah regresi tidak sama dengan nol.

Pengujian koefisien regresi dapat dilakukan dengan

memperhatikan langkah-langkah pengujian hipotesis berikut:

1. Menentukan rumusan hipotesis Ho


80

2. Ho :  = 0 : Tidak ada pengaruh variabel X terhadap

variabel Y.

H1 :  ≠ 0 : Ada pengaruh variabel X terhadap

variabel Y.

3. Menentukan uji statistika yang sesuai. Uji statistika

yang digunakan adalah uji F. Untuk menentukan

nilai uji F dapat mengikuti langkah-langkah berikut:

a. Menghitung jumlah kuadrat regresi (JK reg (a))

dengan rumus:

2
(∑ Y )
JK reg( a )=
n

4. Menghitung jumlah kuadrat regresi b|a (JK reg b|a ),

dengan rumus:

X. Y
JK reg( b/a )=b . ( ∑ XY − ∑ n∑ )
5. Menghitung jumlah kuadrat residu (JK ) dengan
res

rumus:

JK res=∑ Y 2 −JK Re g (b /a)−JK Re g (a )

6. Menghitung rata-rata jumlah kuadrat regresi a (RJK

) dengan rumus:
reg (a)

RJK reg( a )=JK Re g( a)


81

7. Menghitung rata-rata jumlah kuadrat regresi b/a

(RJK reg (a)) dengan rumus:

RJK reg( b /a)=JK Re g( b/a )

8. Menghitung rata-rata jumlah kuadrat residu (RJK res)

dengan rumus:

JK Re s
RJK res=
n−2

9. Mengitung F, dengan rumus:

RJK Re g( b/a )
F=
RJK Re s

10. Menentukan nilai kritis (α) atau nilai tabel F pada

derajat bebas dbreg b/a = 1 dan dbres = n – 2.

11. Membandingkan nilai uji F dengan nilai tabel F,

dengan kriteria uji, Apabila nilai hitung F lebih besar

atau sama dengan (≥) nilai tabel F, maka H0 ditolak.

12. Membuat kesimpulan


Daftar Pustaka :

- UU No.40 tahun 2009, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

- UU No. 24 tahun 2011 Tentang Jaminan Kesehatan Nasional.

- Permenkes No. 27 tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian

Case Based Groups (INACBGs), Jakarta, 2014

- Permenkes No. 28 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pelaksanaan Program

Jaminan Kesehatan Nasional, Jakarta, 2014

- Permenkes No. 59 tahun 2014, Standar Tarif JKN, Jakarta, 2014

- Eugene F Brigham, Joel F Houston, Dasar-Dasar Manajemen Keuangan

Edisi 11, Salemba Empat, Jakarta, 2014.

- National casemix Centre (NCC), Implementasi Pola Tarif INACBGs Dalam

Era Jaminan Kesehatan Nasional, Kemenkes RI, Jakarta, 2013.

- Wiku Adisamito, Sistem Kesehatan, edisi kedua, 2014

- Laksono Trisnantoro, Memahami penggunaan ilmu ekonomi dalam

Manajemen Rumah sakit, Yogyakarta,2009.

- Tjandra Yoga Aditama, Manajemen Administrasi Rumah sakit, Jakarta, 20


- RS AMN PTPN VIII, Masterplan Rumah Sakit PTPN VIII Subang Jawa

Barat, 2012.

- RS AMN PTPN VIII, Laporan keuangan dan laporan auditorIndependen,

2014.

- Suparto Adikusumo, Manajemen Rumah Sakit, 2012

- M. Lutfi Hakim, Kewajiban kerjasama RS swasta – JKN, 2015

- Naila Suhada Masuku, Perbandingan pembayaran Rumah Sakit Pemerintah

dan swasta, Universitas Hasanudin, Makassar, 2012

- Jurreta Sintawati dalam kompasiana, Bagaimana program JKN melalui

JKN mempengaruhi kinerja RS, 2015.

- INACBGs.blogspot.com, 10 Strategi dalam menyiasati INACBGs.

- BPJS Kesehatan Cabang Sumedang, Utilisasion Review pelayanan JKN

Kesehatan di RS AMN PTPN VIII Subang, Sumedang, 2015.

- Hasbullah Thabrany, Jaminan Kesehatan Nasional edisi II, Jakarta, 2016

- Armen, Fakhnie dan Azwar, Viviyanti, Dasar-dasar manajemen keuangan

Rumah Sakit, Yogyakarta, 2013

- Firmanda, Dody. Clinical Pathway Kesehatan Anak, Jakarta, 2006.

- Nurmanto, ergonomic, Konsep dasar dan aplikasinya, Jakarta, 1996.

- R A Supriono, Akuntansi Biaya, edisi II, Yogyakarta, 2001.

- Kongstved, essential of Managed Health Care, 2 nd edition, 2013.


Lampiran SK Direktur PT. AMN RUMAH SAKIT PTPN VIII

Nomor : SK/PT.AMN/ /XII/2014

Tanggal : 31 DESEMBERl 2014


- Listyani, Elizabeth, Management Rumah Sakit ; Dampak Implementasi JKN

terhadap provider Rumah sakit Swasta, Yogyakarta, 2015.

Anda mungkin juga menyukai