Anda di halaman 1dari 23

Manajemen Pariwisata

Teori Ekonomi dan Konsep Pariwisata

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

02
Ekonomi dan Bisnis Manajemen Dr. Bambang Mulyana, MSi

Abstract Kompetensi
Pariwisata sudah ada sejak orang Mahasiswa mampu memahami dan
senang melakukan perjalanan, mengidentifikasi sejarah pariwisata,
kemudian timbul analisis teori, teori ekonomi pariwisata, konsep
konsep dan siklus hidup pariwisata, pariwisata, perilaku wisatawan, dan
dan perilaku wisatawan siklus hidup pariwisata.

Topik Bahasan:
1. Sejarah Singkat Pariwisata Indonesia
2. Teori Ekonomi Pariwisata
3. Konsep Pariwisata
4. Perilaku Wisatawan
5. Siklus hidup pariwisata
1. Sejarah Singkat Pariwisata Indonesia
Sejarah singkat kepariwisataan di Indoneia dapat kita lihat dalam tiga masa
pemerintahan, yaitu pemerintahan Hindia Belanda, masa pendudukan Jepang, dan
masa setelah kemerdekaan.
Masa Pemerintahan Hindia Belanda
Cikal bakal pariwisata di Hindia Belanda yaitu kegiatan perjalanan yang dilakukan
suatu perkumpulan olahraga dan gaya hidup (sepeda dan motor), perkumpulan sosial
masyarakat dan komersial, serta perseorangan. Orang-orang yang menjadi perintis
pariwisata di Hindia Belanda seperti pendeta Marius Buys, wartawan Karel Zaalberg,
profesional bidang perhotelan Johan Martinus Gantvoort, pegawai negeri Louis
Constant Westenenk, dan militer yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal Hindia
Belanda J.B. van Heutsz.
Pariwisata di Hindia Belanda merupakan suatu gagasan dari para individu dan
sekelompok individu yang diawali dengan kegiatan perjalanan mengunjungi tempat
lain di luar tempat tinggalnya, Mereka mencatat perjalanannya yang memuat tempat-
tempat yang dikunjungi, objek-objek yang dilihat, dan tata cara dan kebiasaan hidup
di Hindia Belanda. Catatan perjalanan ini kemudian menjadi panduan atau pedoman
bagi para wisatawan yang akan berkunjung ke Hindia Belanda. Namun, ketika datang
ke Hindia Belanda, mereka mengeluhkan keadaan pariwisata yang belum terorganisir,
tidak ada fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata, seperti pusat informasi dan
akomodasi di wilayah yang memiliki objek wisata. Hal itu menjadi perhatian
pemerintah Hindia Belanda, masyarakat, dan swasta, yang melihat ada kebutuhan
terkait kegiatan pariwisata, terutama untuk menarik wisatawan datang ke Hindia
Belanda. Oleh karena itu, pemerintah dan swasta membentuk organisasi yang
bergerak dalam menangani pariwisata.
Dalam proses mewujudkan gagasan tersebut, pemerintah Hindia Belanda
meniru Kihinkai (Welcome Society) yang dibentuk pada 1893 di Jepang. Perhimpunan
pariwisata di Jepang yang mengatur kegiatan pariwisata.  Kihinkai didukung dan
didanai dari sumbangan perusahaan kereta api dan pelayaran swasta, pemilik hotel
dan penginapan.
Pada 1907, Konsul Belanda di Kobe, Jepang, J. Barendrecht mengirim surat kepada
Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.B. van Heutsz mengusulkan agar pemerintah
Hindia Belanda meniru Kihinkai dalam mengelola pariwisata. Sebelumnya, pada

2015 Manajemen Pariwisata


2 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1905, Karel Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad  menuliskan pendapatnya
tentang pariwisata yang menurutnya jika dikelola dengan baik dapat menjadi potensi
pemasukan besar bagi pemerintah Hindia Belanda. J.M. Gantvoort, direktur Hotel des
Indes, juga mengusulkan soal promosi pariwisata di Hindia Belanda.
Akhirnya, pada 13 April 1908, didirikan Perhimpunan Pariwisata (Vereeniging
Toeristenverkeer atau VTV) di Batavia. Sebagai perhimpunan pertama di Hindia
Belanda, pendirian VTV bertujuan untuk engembangkan vreemdelingenverkeer (lalu
lintas orang asing) di Hindia Belanda. Struktur organisasi VTV mirip engan Kihinkai,
khususnya dalam bentuk perhimpunan yang terdiri dari para pengusaha dan inisiatif
pihak swasta. Seperti Kihinkai, para anggotanya terdiri dari pihak swasta, seperti
perusahaan pelayaran, perhotelan, dan perbankan. Pemerintah menempatkan wakilnya
dalam susunan pengurus VTV.
Untuk mendukung kegiatannya, VTV memiliki jaringan yang luas baik di dalam
maupun di luar negeri. Di dalam negeri, VTV membuka kantor cabang di Surabaya,
Semarang, Padang, dan Medan, serta perwakilan di Surakarta, Yogyakarta, Kedu,
Singapura, Amsterdam, Hongkong, dan Shanghai. Pada periode berikutnya, VTV juga
memiliki perwakilan baru di Amerika, Australia, dan Afrika. Selain itu, upaya lain
yang juga dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan organisasi sejenis dan lainnya
di Belanda guna mempromosikan pariwisata di Hindia Belanda.
Kemunculan VTV turut mendorong menculnya berbagai organisasi pariwisata di
tingkat lokal, seperti di Padang, Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta,
dan Batavia.
Dengan demikian, menurut Achmad, para pelaku yang berperan sebagai penggerak
pariwisata di Hindia Belanda adalah masyarakat, swasta, dan pemerintah.
Masa Pendudukan Jepang
Pada Perang Dunia ke II, yang disusul dengan pendudukan Jepang ke Indonesia
keadaan pariwisata di Indonesia sangat terlantar. Semuanya porak poranda,
kesempatan dan keadaa yang tidak menenu ekonomi yang sangat sulit, kelangkaan
pangan, papan dan sandang tidak memungkinkan orang untuk berwisata. Kunjungan
mancanegara pada masa itu bisa dibilang tidak ada.
Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, perkembangan pariwisata di Indonesia mulai merangkak.
Pada tanggal 1 Juli 1947 dibetuklah organisasi perhotelan pertama di Indonesia yang
disebut Badan Pusat Hotel.

2015 Manajemen Pariwisata


3 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sektor pariwisata mulai berkembang dengan geliatnya. Hal ini ditandai dengan Surat
Keputusan Wakil Presiden Dr. Mohamad Hatta sebagai Ketua Panitia Pemikir siasat
Ekonomi di Yogyakarta untuk mendirikan suatu badan yang mengelola hotel-hotel
yang sebelumnya dikuasai pemerintah pendudukan, badan tersebut bernama HONET
(Hotel National dan Tourism) yang diketahui oleh R Tjipto Ruslan. Badan tersebut
segera mengambil alih hotel-hotel di daerah Yogyakarta, Surakarta, Madiun, cirebon,
Pekalongan, Sukabumi, Malang, Sarangan, dan semua itu diberi nama Hotel Merdeka.
Tahun 1949 terjadinya KMB(Konferensi Meja Bundar) mengakibatkan HONET
dibubarkan. Karena isi salah satu perjanjian KMB adalah bahwa seluruh harta
kekayaan milik Belanda harus dikembalikan ke pemiliknya. Sehingga selanjutnya
berdiri badan hukum yang dinamakan NV HONET yang merupakan badan satu-
satunya yang beraktivitas di bidang perhotelan dan pariwisata,
Tahun 1952 dengan keputusan Presiden RI, dibentuk panitia Inter Departemental
Urusan Turisme yang diketuai oleh Nazir St, Pamuncak dengan sekretaris RAM
Sastrodanukusumo. Salah satu tugas panitia tersebut adalah menjaga kemungkinan
terbukanya kembali indonesia sebagai DTW(Daerah Tujuan Wisata).
Tahun 1953 , beberapa tokoh perhotelan mendirikan Serikat Gabungan Hotel dan
Tourisme Indonesia (SERGAHTI) diketuai oleh A Tambayong. Keanggotaan
SERGAHTI pada saat itu mencangkup seluruh hotel di Indonesia.
Tahun 1955, selan SERGAHTI, beberapa pejabat negara yang jabatannya ada
kaitannya dengan dunia pariwisata serta beberapa anggota elite masyarakat yang
peduli terhasap potensi pariwisata Indonesia mendirikan Yayasan Tourisme Indonesia
atau YTI yang nantinya disebut DEPARI(Dewan Pariwisata Indonesia) yang menjadi
cikal bakal Departemen Pariwisata dan Budaya Indonesia

2. Teori Ekonomi Pariwisata


Spillane (1994) mengatakan bahwa aspek ekonomi pariwisata paling tidak terkait
dengan empat hal, yaitu sebagai berikut:
a. Lokasi Industri Pariwisata
Lokasi industri pariwisata mempunyai beberapa pengaruh dan akibat terkait
dengan keadaan ekonomi suatu kawasan. Dari berbagai pengaruh dan akibat
tersebut, ada 3 (tiga) hal yang menjadi fokus dalam diskusi dalam kaitannya
dengan lokasi sebuah industri pariwisata, yaitu sebagai berikut.
1. Pengaruh terhadap masyarakat daerah.

2015 Manajemen Pariwisata


4 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dengan dibangunnya beberapa fasilitas pariwisata, seperti, hotel, restoran dan
lainnya berpengaruh kepada masyarakat setempat, seperti: (a) penyerapan
tenaga kerja, misalnya hotel dan restoran yang membutuhkan banyak
karyawan yang sesuai dengan bidangnya. (b) promosi budaya daerah
masyarakat, misalnya budaya kita akan lebih dikenal oleh masyarakat luar
negeri. (c) pemberdayaan hasil alam masyarakat daerah misalnya bahan baku
dan bahan mentah untuk hotel dan restoran seperti, mebel, amentis hingga
bahan makanan. (d) pengembangan infrastruktur pendukung di daerah,
misalnya perbaikan aksesibilitas menju objek wisata, perbaikan untuk sarana
penerangan.
2. Akibat ganda pariwisata
Dengan besarnya pertumbuhan pariwisata juga berperan ganda dalam
terciptanya kesempatan kerja, baik langsung maupun tidak langsung. Sehingga
menekan angka pengangguran. Misalnya, pada saat pariwisata tumbuh maka
industri pariwisata juga membutuhkan orang yang handal dalam bidang
tersebut seperti pemandu wisata, sopir pariwisata dan lainnya.
3. Berbagai masalah dalam pariwisata
Banyak masalah timbul di masyarakat terkait dengan kepariwisataan, misalnya:
a. berkembangnya pola hidup yang konsumtif di kalangan masyarakat daerah
wisata,
b. berkurangnya lahan pertanian, karena perluasan kawasan wisata,
c. berubahnya gaya atau pola hidup sehari-hari di daerah wisata.
d. terganggunya kelestarian lingkungan.
e. tenaga kerja pribumi hanya berada pada level yang bawah. Contoh: hanya
menjadi gardener, bellboy, cleaning service, dan lainnya.
f. budaya dikomersilkan, berbagai kesenian dan aspek budaya lainnya yang
semula hanya dipentaskan untuk kepentingan agama, kemudian demi
kepentingan wisatawan dijadikan suatu yang bersifat komersial. Contoh:
pura umat Hindu di Bali.
g. bahan makanan yang tidak sesuai standar membuat pihak hotel dan restoran
harus mengimpor untuk bahan bakunya dari negara asal. Hal ini membuat
tidak diberdayakannya hasil bumi masyarakat setempat. Contoh: beberapa
jenis sayuran dan minuman.

2015 Manajemen Pariwisata


5 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
h. munculnya sex industry yang membuat masyarakat setempat terpengaruh
terhadap budaya luar, sehingga melanggar dari normanorma yang berlaku di
daerah tersebut. Contoh: banyaknya pub dan diskotek serta tempat karaoke
yang beralih fungsi.
b. Sifat Khusus Industri Pariwisata
Menurut Spillane (1987), pariwisata adalah keseluruhan rangkaian dan usaha
menjual barang dan jasa yang diperlukan wisatawan, selama ia melakukan
perjalanan wisata sampai kembali ke tempat asalnya. Industri pariwisata dalam
pengertian yang lain, ialah industri yang berupa seluruh kegiatan pariwisata yang
utuh. Batasan pengertian tersebut di atas dapat dirumuskan bahwa pariwisata
sebagai industri di sini dapat dipahami dengan memberikan gambaran mengenai
komponen-komponen kepariwisataan dalam industri tersebut yang saling terkait
satu dengan yang lain. Jadi komponen-komponen kepariwisataan tersebut tidak
dapat berdiri sendiri, namun merupakan rangkaian jasa yang kait mengait yang
dihasilkan industri-industri Lain, misalnya: industri kerajinan, perhotelan,
angkutan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Spillane (1987:87-88) mengatakan
industri pariwisata mempunyai ciri-ciri khusus yaitu sebagai berikut: (1) produk
wisata tidak dapat dipindahkan; (2) produksi dan konsumsi terjadi pada saat yang
sama; (3) produk wisata memiliki beragam bentuk; (4) pembeli tidak dapat
mencicipi bahkan tidak dapat menguji produk; (5) produk wisata merupakan
usaha yang mengandung resiko besar. Kotler (1993) dalam Vicklund, secara
keseluruhan produk pariwisata umumnya diakui sebagai produk jasa dengan ciri-
ciri khusus, sebagai berikut. a) Intangibility (Tidak berwujud) Jasa mempunyai
sifat tidak berwujud karma tidak bisa dindentifikasi oleh ke lima indera manusia,
seperti: dilihat, dirasa, diraba, didengar, atau dicium sebelum terjadi proses
transaksi pembelian. b) Inseparability (Tidak dapat dipisahkan) Jasa tidak dapat
dipisahkan dari sumbernya, apakah sumber itu merupakan orang maupun mesin,
di samping itu apakah sumber itu hadir atau tidak, produk fisik yang berwujud
tetap ada. c) Variability (Berubah-ubah) Jasa dapat mudah berubah-ubah karena
jasa ini tergantung pada siapa yang menyajikan, kapan, dan dimana disajikan. d)
Perishability (daya tahan) Jasa tidak dapat disimpan dan tidak memiliki daya than
yang lama karena sifatnya tergantung dari fluktuasi pemintaan. Pada kajian Vellas
(2008) disebutkan bahwa sifat-sifat pariwisata, meliputi: a) Tidak kasat mata
Secara fisik, barang-barang yang ditawarkan adalah nyata, dapat disentuh, dilihat,

2015 Manajemen Pariwisata


6 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
diperiksa sebelum dibeli, kadang-kadang mempunyai bau yang unik dan dapat
diidentifikasi. Setelah dibeli, barang menjadi milik si pembeli. Sebaliknya, jasa
tidak dapat dimiliki. Jasa dilakukan dan dievaluasi berdasarkan hasil dari
pengalaman yang menyenangkan atau sebaliknya. Kebanyakan produk pariwisata
mempunyai unsur-unsur yang tidak nyata, seperti hotel atau pesawat udara, tetapi
pariwisata menawarkan pelayanan, karena itu produk pariwisata terdiri atas aspek
jasa. b) Tidak dapat disimpan Tidak seperti barang yang nyata, kesempatan
menyewakan kamar dan kesempatan menyewakan tempat duduk di pesawat udara
tidak dapat disimpan atau ditumpuk untuk digunakan di masa datang. Apabila
tidak digunakan pada saat itu, maka akan hilang selamanya. Produk jasa dikatakan
dapat hilang atau tidak dapat disimpan. c) Penawaran yang tidak elastis Produk
pariwisata tidak elastis karena tidak dapat menyesuaikan dengan perubahan
permintaan, dalam jangka pendek rnaupun jangka panjang. Permintaan yang
meningkat dan menurun dalam jangka pendek hanva berpengaruh kecil pada
harga. Fluktuasi jangka panjang yang menentukan komposisi produk dan harga
jualnya. Produk pariwisata tergantung pada suprastruktur yang tersedia di
destinasi, seperti fasilitas jasa pelayanan, angkutan, dan akomodasi. d) Elastisitas
permintaan produk pariwisata. Pada sisi lain, permintaan atas produk pariwisata
bereaksi dengan sangat cepat terhadap kejadian dan perubahan dalam lingkungan
seperti acaman keamanan (perang, kejahatan, terorisme, dan lain lain), perubahan
ekonomi (nilai tukar, resesi, dan lain-lain) dan mode yang berubah. e) Saling
melengkapi Produk pariwisata bukan usaha jasa tunggal. Produk ini terdiri atas
beberapa subproduk yang sating melengkapi. Produksi jasa secara keseluruhan
serta mutunya tergantung dari komponen-komponen yang saling melengkapi.
Kekurangan dari salah satu subproduk akan berpengaruh pada produk akhir. Hal
ini masih rnerupakan salah satu kesulitan besar untuk memuaskan para pelaku
pemasaran pariwisata. f) Tidak dapat dipisahkan Produksi dan konsumsi terjadi
pada saat yang sama, tidak ada peralihan kepemilikan. Pelanggan – wisatawan –
harus hadir ketika jasa dilaksanakan untuk dinikmati. Pada kenyataannya, para
wisatawan sering terlibat dalam proses produksi. Keikutsertaannya dalam berlibur
(kegiatan dan hiburan yang mereka nikmati) sering kali merupakan komponen
penting dari keberhasilannya. Maka dari itu produksi dan konsumsi disebut
sebagai tak terpisahkan. g) Heterogenitas Produk pariwisata disebut heterogen
karena sebenarnya tidak mungkin untuk memproduksi dua jasa pariwisata yang

2015 Manajemen Pariwisata


7 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
identik. Selalu ada perbedaan dalam mutu apabila sifat dari jasa yang ditawarkan
tetap konstan. Heterogenitas ini memungkinkan adanva sejumlah substitusi dalam
sub-sub produk yang berbeda. Namun, hasil dan produk tidak akan pernah sama.
Mengganti satu hotel dengan hotel lainnya, walaupun dari kategori yang sama,
akan menciptakan pengalaman yang berbeda dan menghasilkan produk akhir yang
berbeda. Pengalaman dalam hotel yang sama dapat juga berbeda. Ukuran kamar
jarang sama, kamar mempunyai pemandangan dan situasi yang berbeda
(misalnya, dekat tangga atau lift yang gaduh). h) Biaya tetap yang tinggi Harga
awal untuk menyediakan unsur-unsur dasar produk pariwisata seperti angkutan
(pesawat udara, kereta api, bis, dan lain-lain) dan akomodasi (hotel, dan lain-lain)
sangat tinggi. Investasi yang mahal dibuat tanpa jaminan bahwa investasi akan
diganti dan laba akan diperoleh di masa datang. i) Padat karya Pariwisata adalah
industri manusia. Bagian dari pengalaman perjalanan adalah mutu dari pelayanan
yang diterima si pengunjung dan keterampilan pegawai perusahaan pariwisata
pada destinasi wisata. Maka dari itu, ciri dari produk pariwisata adalah rasio yang
tinggi antara pegawai dan pelanggan, khususnya pegawai yang berhubungan
dengan pelanggan.
a. Aspek Penawaran Pariwisata
Terdapat tigaa hal penting pada aspek penawaran pariwisata, yaitu:
1. Proses produksi
Pada industri pariwista, sub sector yang berhubungan langsung dan sangat
menonjol adalah di bidang perhotelan, suatu industri jasa yang bersifat padat
karya relatif terhadap modal yang ditanam dan bidang-bidang lain, seperti
biro-biro perjalanan, pramuwisata, pusat-pusat rekreasi dan kantorkantor
pariwista pemerintah. Kemajuan pengembangan pariwisata sebagai industri,
ditunjang oleh bermacam-macam usaha, di antaranya sebagai berikut. (1)
Promosi untuk memperkenalkan objek wisata (2) Transportasi yang lancar (3)
Kemudahan keimigrasian birokrasi (4) Akomodasi yang menjamin
penginapan yang nyaman (5) Pemandu wisata yang cakap (6) Penawaran
barang dan jasa dengan mutuh terjamin dan relative harga yang wajar. (7)
Pengisian waktu dengan atraksi-atraksi yang menarik (8) Kondisi kebersihan
dan kesehatan lingkungan.

2015 Manajemen Pariwisata


8 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. Ketenagakerjaan
Selain pentingnya penyediaan tenaga kerja pada bidang yang langsung
berkaitan dengan kepariwisataan, juga tidak bisa diabaikan penyediaan tenaga
kerja pada industri penunjang pariwista, seperti perusahan kerajinan, dekorasi
hotel, toko souvenir dan sebagainya. Perkembangan pariwisata sangat penting
berpengaruh positip pada perluasan kesempatan kerja.
3. Infrastruktur
Ketersediaan infrastuktur memotivasi atau mendorong orang untuk melakukan
perjalanan. Permintaan yang sama terhadap prasarana, yaitu prasarana
perhubungan, sarana akomodasi dan jasa-jasa, persediaanpersediaan lain
seperti sarana hotel, bar dan restoran, perjalanan wisata, agen perjalanan, dan
lain-lain.
4. Pendanaan
Pentingnya kebijakan pembiayaan dari pemerintah untuk pengadaan sarana
perhubungan pariwisata guna pengadaan pelbagai fasilitas yang diperlukan.

d. Aspek Permintaan Industri Pariwisata


Setidaknya terdapat 3 (tiga) faktor yang secara signifikan memengaruhi
permintaan industri pariwisata sebagaimana dikutip dari Spillane (1987), yaitu:
1. Faktor Sosio-Ekonomi dan Pariwisata
a. Peraturan
Undang-Undang Sosial ILO mengatur pemberian jumlah hari libur setiap
tahun. Dalam konvensi tahun 1970, ILO menetapkan libur menjadi 3 (tiga)
minggu. Negara maju memberikan hari libur lebih banyak karena
memberikan kesempatan pada karyawannya untuk liburan.
b. Pendapatan
Meningkatnya pendapatan masyarakat berarti meningkat pula masyarakat
yang akan melakukan perjalanan wisata. Masyarakat yang mepunyai
pendapatan yang meningkat akan menyisihkan sebagian uangnya untuk
berwisata. Perpedaan penghasilan juga akan mempengaruhi cara berwisata
seseorang. Sebagai contohnya, seseorang yang berpenghasilan lebih rendah
akan melakukan perjalanan wisata dengan cara backpacking.

2015 Manajemen Pariwisata


9 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
c. Pendidikan
Perasaan ingin tahu Sekolah, radio, dan TV mengembangkan hasrat ingin
tahu terhadap negara dan kebudayaan lain sehingga mendorong masyarakat
untuk berwisata. Saat ini banyak acara yang menayangkan acara tentang
berwisata yang menunjukkan informasi tentang keindahan alam,
peninggalan sejarah, dan informasi menarik lagi.
d. Urbanisasi dan kebutuhan untuk menghindari kebisingan kota
Kebisingan kota akan menyebabkan masyarakat mencari kegiatn untuk
refreshing dan mencari kesegaran jasmani.
e. Hasrat untuk meniru
Mendengarkan kesan-kesan liburan dari orang lain akan mengembangkan
hasrat untuk berwisata. Saat kita mendengar cerita dari tetangga, saudara,
maupun teman yang lain, maka kita juga akan mencoba melakukan hal
yang sama.
3. Faktor Admistrasi dan Pariwisata
Kemudahan untuk melakukan perjalanan lintas batas negara memacu
masyarakat untuk melakukan perjalanan wisata. Untuk melakukan perjalanan
ke negara yang lain, kita dimudahkan dalam mendapatkan ijin tinggal. Kita
bisa mempunyai visa, ataupun Visa on Arrival, ataupun bebas masuk ke
negara di satu kawasan yang sama, contohnya dari Indonesia ke negara
ASEAN.
4. Faktor-faktor teknis
Kemajuan dunia transportasi sepaerti angkutan kereta api di Indonesia yang
semakin dimodernisasi dan disesuaikan dengan wisatawan dengan jalan
peningkatan fasilitas, penambahan kecepatan. Pada transportasi darat lainnya,
angkutan kendraan pribadi dan bis saat melakukan perjalan wisata akan lebih
memberikan kenyamanan. Untuk angkutan bis juga akan memberikan
kenyamanan ketika bus mempunyai trayek khusus dan tidak banyak berhenti
di jalan. Pada transportasi sungai dan laut, pemanfaatan sungai sebagai sarana
wisata dilengkapi dengan kapal yang sesuai dengan sungai tersebut berikut
fasilitas di pelabuhan. Saat ini juga makin berkembang wisata kapal pesiar
(cruise ship) yang mengarungi atlantik, dan Eropa. Terakhir angkutan udara,
semakin banyaknya maskapai penerbangan berikut jalur yang dilayani,
semakin majunya teknologi, dan sarana di bandar udara akan mendorong

2015 Manajemen Pariwisata


10 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
masyarkat melakukan perjalanan lebih jauh. Tidak dapat diabaikan adalah
harga tiket yang terjangkau akan mendorong atau memotivasi orang untuk
melakukan perjalanan atau wisata.

3. Konsep Pariwisata
Pariwisata telah semakin disadari sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi dan peluang
perluasan lapangan kerja di berbagai negara berkembang. Bahkan di sejumlah negara
berkembang di kawasan Afrika terbukti kehadiran pariwisata telah berkontribusi
kepada penurunan angka kemiskinan (Steiner, 2006). Meskipun demikian,
keberhasilan pengembangan sektor pariwisata lebih banyak ditentukan oleh peran
kebijakan pemerintah yang ikut serta secara aktif membangun regulasi untuk
pengembangan kepariwisataan (Jeffries, 2001). Dalam rangka memahami peran
kelembagaan pada pengembangan pariwisata, UNWTO (2002) mengembangkan pilar
segitiga meliputi lingkungan, masyarakat, dan industri sebagaimana disajikan pada
Gambar 2.1.

Lingkungan

Visitor

Industri Masyarakat

Gambar 2.1 Pilar Pembangunan Pariwisata


Sumber: UNWTO (2002)

Pertama lingkungan, adalah hadirnya kelembagaan dalam sektor pengembangan


pariwisata, termasuk di dalamnya adalah peranan dan fungsi kehadiran pemerintah
dalam melaksanakan pendampingan, pemberdayaan dan regulasi untuk mengatur dan
mengendalikan dampak atas kehadiran wisatawan manca negara, serta fungsi
pemerintahan dalam mengembangkan akses wisata, infrastruktur dan marketing
tourism destination.
Kedua, adalah peranan masyarakat atau tourism society yaitu komunitas selaku obyek
dan pelaku pariwisata yang terlibat langsung dalam keseharian bertransaksi
melaksanakan fungsi pelayanan, membangun komunikasi yang memungkinkan
terwujudnya kondisi bahwa wisatawan mancanegara yang hadir merasakan seperti
berada di rumah mereka sendiri. Lingkungan destinasi wisata yang aman, dan
membuat wisatawan menikmati perjalanan mereka yang menyenangkan.

2015 Manajemen Pariwisata


11 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Ketiga, peran sektor industri penunjang yang berkembang berdasarkan kebutuhan
yang diinginkan wisatawan termasuk akomodasi sarana perhotelan, penginapan,
restoran, kebutuhan fasilitas air bersih, jaringan komunikasi, atraksi dan
entertainment, serta atraksi lainnya yang bersifat live attraction, seperti budaya
masyarakat dalam bercocok tanam, upacara yadnya, dan lain-lain. Semua event dan
atraksi menjadi bagian penting dari komponen industri wisata dalam rangka
pelayanan wisata yang dapat memuaskan wisatawan di satu pihak, dan kemudian
berproses menciptakan nilai tambah pada proses produksi masyarakat lokal.
Konsep Pariwisata
Terdapat beberapa konsep dalam kepariwisataan. Berikut adalah pembahasannya.
1. Konsep Pengembangan
Menurut Paturusi (2001), pengembangan adalah suatu strategi yang dipergunakan
untuk memajukan, memperbaiki dan meningkatkan kondisi kepariwisataan suatu
objek dan daya tarik wisata sehingga dapat dikunjungi wisatawan serta mampu
memberikan manfaat bagi masyarakat disekitar objek dan daya tarik wisata
maupun bagi pemerintah. Di samping itu pengembangan pariwisata bertujuan
untuk memberikan keuntungan bagi wisatawan maupun komunitas tuan rumah.
Dengan adanya pembangunan pariwisata diharapkan mampu meningkatkan taraf
hidup masyarakat melalui keuntungan secara ekonomi yang dibawa ke kawasan
tersebut. Dengan kata lain pengembangan pariwisata melalui penyediaan fasilitas
infrastruktur, wisatawan dan penduduk setempat akan saling diuntungkan.
Pengembangan tersebut hendaknya sangat memerhatikan berbagai aspek, seperti
aspek budaya, sejarah dan ekonomi daerah tujuan wisata. Berdasarkan pengertian
di atas maka pengembangan adalah suatu kegiatan menata dan memajukan suatu
obyek wisata untuk di kembangkan lebih layak.
Konsep pengembangan harus mencakup mengenai daya tarik wisata, di mana oleh
Ismayanti (2009: 147) diartikan sebagai fokus utama penggerak pariwisata di
sebuah destinasi. Dalam arti, daya tarik wisata sebagai penggerak utama yang
memotivasi wisatawan untuk mengunjungi suatu tempat. Potensi daya tarik wisata
memiliki beberapa tujuan diantaranya; (a) memperoleh keuntungan baik dari segi
ekonomi berupa devisa negara dan pertumbuhan ekonomi serta dari segi sosial
berupa peningkatan kesejahteraan rakyat dan menghapuskan kemiskinan, b)
menghapuskan kemiskinan dengan pembukaan lapangan pekerjaan dan mengatasi
pengangguran, (c) memenuhi kebutuhan rekreasi masyarakat, sekaligus

2015 Manajemen Pariwisata


12 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
mengangkat citra bangsa dan memperkukuh jati diri bangsa, memupuk rasa cinta
tanah air melalui pengusahaan daya tarik dalam negeri, (d) melestarikan alam,
lingkungan dan sumberdaya, sekaligus memajukan kebudayaan melalui
pemasaran pariwisata, (e) mempererat persahabatan antar bangsa dengan
memahami nilai agama, adat istiadat dan kehidupan masyarakat.
Selain terhadap daya tarik wisata, pengembangan juga harus menyentuh objek
wisata, yaitu segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan
dilihat disebut atraksi” atau lazim pula di katakan obyek wisata. Atraksi-atraksi ini
antara lain panorama keindahan alam yang menakjubkan seperti gunung, lembah,
ngarai, air terjun, danau, pantai, matahari terbit, dan matahari terbenam, cuaca,
udara dan lain-lain. Di samping itu juga berupa budaya hasil ciptaan manusia
seperti monumen, candi, bangunan klasik,peningalan purba kala, musium budaya,
arsitektur kuno, seni tari, musik, agama,adatistiadat, upacara, pekan raya,
peringatan perayaan hari jadi, pertandingan, atau kegiatankegiatan budaya, sosial
dan keolahragaan lainnya yang bersifat khusus, menonjol dan meriah, (Pendit,
2002.20). Pengembangan objek wisata alam sangat erat kaitannya dengan
peningkatan produktifitas sumber daya alam dalam konteks pembangunan
ekonomi, sehingga selalu dihadapkan pada kondisi interaksi berbagai kepentingan
yang melibatkan aspek kawasan hutan, pemerintah daerah, aspek masyarakat, dan
pihak swasta di dalam suatu sistem tata ruang wilayah. Kendala pengembangan
obyek wisata alam berkaitan erat dengan: (a) Instrumen kebijaksanaan dalam
pemanfaatan dan pengembangan fungsi kawasan untuk mendukung potensi obyek
wisata alam; (b) Efektifitas fungsi dan peran obyek wisata alam ditinjau dari aspek
koordinasi instansi terkait; (c) Kapasitas institusi dan kemampuan SDM dalam
pengelolaan obyek wisata alam di kawasan hutan; dan (d) Mekanisme peran serta
masyarakat dalam pengembangan pariwisata alam.
Pengembangan harus direncanakan agar terarah. Perencanaan pengembangan
pariwisata menurut Noer (2011) mencakup sistem perencanaan kawasan, penataan
ruang (tata ruang wilayah), standarisasi, identifikasi potensi, koordinasi lintas
sektoral, pendanaan, dan sistem informasi obyek wisata alam. Beberapa aspek
yang harus diperhatikan dalam perencanaan anatara lain:
1. Aspek kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi,
sebagai mekanisme yang dapat mengatur berbagai kepentingan, secara

2015 Manajemen Pariwisata


13 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
operasional merupakan organisasi dengan sumber daya manusis dan peraturan
yang sesuai dan memiliki efisiensi tinggi.
2. Aspek sarana dan prasarana yang memiliki dua sisi kepentingan, yaitu (1) alat
memenuhi kebutuhan pariwisata alam, (2) sebagai pengendalian dalam rangka
memelihara keseimbangan lingkungan, pembangunan sarana dan prasarana
dapat meningkatkan daya dukung sehingga upaya pemanfaatan dapat
dilakukan secara optimal.
3. Aspek pengelolaan, yaitu dengan mengembangkan profesionalisme dan pola
pengelolaan obyek wisata alam yang siap mendukung kegiatan pariwisata
alam dan mampu memanfaatkan potensi obyek wisata alam secara lestari.
Aspek pengusahaan yang memberi kesempatan dan mengatur pemanfaatan
obyek wisata alam untuk tujuan pariwisata yang bersifat komersial kepada
pihak ketiga dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat.
4. Aspek pemasaran dengan mempergunakan teknologi tinggi dan bekerja sama
dengan berbagai pihak baik dalam negeri maupun luar negeri.
5. Aspek partisipasi, yaitu peran serta masyarakat melalui kesempatan-
kesempatan usaha sehingga ikut membantu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
6. Aspek penelitian dan pengembangan yang meliputi aspek fisik lingkungan,
dan sosial ekonomi dari obyek wisata alam. Diharapkan nantinya mampu
menyediakan informasi bagi pengembangan dan pembangunan kawasan,
kebijaksanaan dan arahan pemanfaatan obyek wisata alam.
Dalam upaya mengembangkan objek wisata perlu segera dilaksanakan
inventarisasi terhadap potensi nasional objek wisata secara bertahap sesuai
prioritas dengan memerhatikan nilai keunggulan saing dan keunggulan banding,
kekhasan objek, kebijaksanaan pengembangan serta ketersediaan dana dan tenaga.
Potensi daerah objek wisata yang sudah ditemukan segera diinformasikan dan
dipromosikan kepada calon investor. Perlu dikembangkan sistem kemitraan
dengan pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat yang ada, dalam rangka
mendukung optimalisasi pengembangan objek wisata. Peranan pemerintah daerah
dalam pengembangan objek wisata sangat penting, dengan melaksanakan
koordinasi, perencanaan, pelaksanaan serta monitoring pengembangan objek
wisata

2015 Manajemen Pariwisata


14 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
2. Konsep Daya Tarik Wisata
Pengertian Daya Tarik Wisata menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 10
tahun 2009 tentang Pariwisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
kemudahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan
hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan. Menurut
Spillane (2002) ada lima unsur penting dalam suatu objek wisata yaitu: (1)
attraction, yaitu hal-hal yang menarik perhatian wisatawan; (2) facilities atau
fasilitas-fasilitas yang diperlukan; (3) infrastructure, yaitu infrastruktur dari objek
wisata, (4) transportation, yaitu jasa transportasi; (5) hospitality, yaitu
keramahtamahan, kesediaan untuk menerima tamu.
Jenis-jenis daya tarik wisata dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Daya Tarik Wisata Alam
Daya tarik wisata alam adalah sumber daya alam yang berpotensi serta
memiliki daya tarik bagi pengunjung baik dalam keadaan alami maupun setelah
ada usaha budi daya. Potensi wisata alam dapat dibagi menjadi 4 kawasan
yaitu: (1) flora dan fauna, (2) keunikan dan kekhasan ekosistem, misalnya
eksistem pantai dan ekosistem hutan bakau, (3) gejala alam, misalnya kawah,
sumber air panas, air terjun dan danau, dan (4) budidaya sumber daya alam,
misalnya persawahan, perkebunan, peternakan, usaha perikanan
b. Daya Tarik Wisata Sosial Budaya
Daya Tarik Wisata Sosial Budaya dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
sebagai objek dan daya tarik wisata meliputi museum, peninggalan sejarah,
upacara adat, seni pertunjukan dan kerajinan.
c. Daya Tarik Wisata Minat Khusus
Daya Tarik Wisata Minat Khusus merupakan jenis wisata yang baru
dikembangkan di Indonesia. Wisata ini lebih diutamakan pada wisatawan yang
mempunyai motivasi khusus. Dengan demikian, biasanya para wisatawan harus
memiliki keahlian. Contohnya: berburu, mendaki gunung, arung jeram, tujuan
pengobatan, agrowisata, dan lain-lain.
Perencanaan dan pengelolaan daya tarik wisata alam, sosial budaya maupun objek
wisata minat khusus harus berdasarkan pada kebijakan rencana pembangunan
nasional maupun regional. Jika kedua kebijakan rencana tersebut belum tersusun,
tim perencana pengembangan daya tarik wisata harus mampu mengasumskan
rencana kebijakan yang sesuai dengan area yang bersangkutan.

2015 Manajemen Pariwisata


15 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
3. Konsep Alternatif Wisata
Pengertian Alternatif Wisata Pengertian alternatif wisata merupakan kecendrungan
baru dari bentuk pariwisata yang dikembangkan selama ini, yang memperhatikan
kualitas pengalaman yang diperoleh wisatawan, kualitas lingkungan,dan kualitas
sosial budaya masyarakat setempat serta kualitas lingkungan, dan kualitas
pengalaman yang dikembangkan selama ini, yang memperhatikankualitas sosial
budaya masyarakat setempat serta kualitas hidup masyarakat lokal. Smith (2001)
pariwisata alternatif merupakan suatu kegiatan kepariwisataan yang tidak merusak
lingkungan, berpihakpada ekologi dan menghindari dari dampak negatif dari
pembangunan pariwisataberskala besar yang dijalankan pada suatu area yang tidak
terlalu cepat pembangunannya. Berdasarkan pnegertian di atas maka pariwisata
alternatif yaitu suatu obyek wisata pilihan lain yang dapat dikunjungi wisatawan
yang cenderung melihat pada kualitas lingkungan dan menjaga objek wisata
dengan menghindari dampak negatif dari suatu objek.

4. Konsep Wisata Alam


Pengertian konsep wisata alam (ekowisata) mengalami perkembangan dari waktu
ke waktu. Namun pada hakikatnya, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk
wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami,
memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya
masyarakat setempat (Fandeli, 2001). Berdasarkan pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa "wisata alam atau pariwisata ekologis adalah perjalanan
ketempat-tempat alami yang relatif masih belum terganggu atau terkontaminasi
(tercemari) dengan tujuan untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati
pemandangan, tumbuh-tumbuhan dan satwa liar, serta bentuk-bentuk manifestasi
budaya masyarakat yang ada baik dari masa lampau maupun masa kini.

5. Konsep Minat Khusus


Menurut Anindita (2010) wisata minat khusus petualangan dapat didefinisikan
sebagai bentuk perjalan wisata yang dilakukan di suatu lokasi yang memiliki
atribut fisik yang menekankan unsur tantangan, rekreatif, dan pencapaian
keinginan seorang wisatawan melalui keterlibatan/ interaksi dengan unsur alam.
Wisatawan yang terlibat dalam wisata minat khusus dapat dibagi menjadi dua

2015 Manajemen Pariwisata


16 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yaitu: 1) kelompok ringan (soft adventure), yaitu kelompok yang melihat
keterlibatan dirinya lebih merupakan keinginan untuk mencoba aktivitas baru,
sehingga tingkat tantangan yang dijalani cenderung pada tingkat ringan sampai
rata-rata. 2) kelompok berat (hard adventure), yaitu kelompok yang memandang
keikutsertaannya dalam kegiatan wisata minat khusus petualangan lebih
merupakan sebagai tujuan atau motivasi utama, sehingga cenderung terlibat lebih
aktif dan serius pada kegiatan yang diikuti. Kelompok ini cenderung mencari
produk yang menawarkan tantangan di atas rata-rata. Berdasarkan pengertian di
atas maka pengertian wisata minat khusus adalah suatu ketertarikan seseorang yang
berkaitan dengan hobbi di mana wisatwan akan datang ke objek wisata yang
memiliki atribut fisik.

4. Perilaku Wisatawan
Pemasaran pada dasarnya bertujuan memenuhi dan memuaskan kebutuhan serta
keinginan wisatawan yang dituju atau wisatawan sasaran (target wisatawan). Bidang
ilmu perilaku wisatawan (tourist behavior) mempelajari bagaimana individu atau
kelompok, dan organisasi memilih, membeli, memakai, serta memanfaatkan suatu
produk dalam rangka memuaskan kebutuhan dan keinginan wisatawan. Tantangan
terbesar yang dihadapi daerah tujuan wisata, khususnya bagian pemasaran, selama ini
bagaimana mempengaruhi perilaku wisatawan agar dapat mendukung produk (barang
dan jasa) yang ditawarkan kepada wisatawan. Tujuan terpenting dari setiap promosi
adalah memengaruhi wisatawan untuk berkunjung, namun tindakan pembelian
hanyalah salah satu bagian dari keseluruhan proses perilaku konsumen.
Beberapa ahli mendefinisikan perilaku wisatawan. Menurut Morrisan (2007:64),
perilaku wisatawan adalah proses dan kegiatan yang terlibat ketika orang mencari,
memilih, menggunakan, mengevaluasi, dan membuang produk dan jasa untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka. Sementara itu menurut Loudon dan
Della Bitta (Buchari Alma, 2008:236) “tourist behavior may be defined as the
decision process and physical activity individuals engage in when evaluating,
acquiring, using, or disposing of goods and services“  (perilaku wisatawan adalah
proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik individu-individu yang semuanya
ini melibatkan individu dalam menilai, mendapatkan, menggunakan, atau
mengabaikan barang-barang dan jasa-jasa). Perilaku wisatawan menurut Ali Hasan
(2008:129) adalah respon psikologis yang kompleks yang muncul dalam bentuk

2015 Manajemen Pariwisata


17 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
perilaku atau tindakan yang khas secara perseorangan yang langsung terlibat dalam
usaha memperoleh dan menggunakan produk serta menentukan proses pengambilan
keputusan dalam melakukan pembelian produk termasuk dalam melakukan pembelian
ulang, yang dimaksud adalah wisatawan berkunjung ke daerah tujuan wisata, membeli
souvenir, dan suatu saat wisatawan tersebut kembali berkunjung karena merasa
nyaman dan percaya.
Ani Wijayanti (2004:108), menggambarkan “tourist behavior can be defined as the
behavior that tourist display in searching for, purchasing, using, evaluating, and
disposing of products, services, and ideas they expect will satisfy they needs”.
Perilaku yang diperhatikan wisatawan dalam mencari, membeli, menggunakan,
mengevaluasi dan mengabaikan produk, jasa, atau ide yang diharapkan dapat
memuaskan wisatawan untuk dapat memuaskan kebutuhannya dengan mengkonsumsi
produk atau jasa yang ditawarkan di daerah tujuan wisata.
Menurut Kotler dan Keller (2006) mengemukakan tentang definisi perilaku
wisatawan yaitu, “Tourist behaviour is study of how individuals, groups, and
organizations select, buy, use, and dispose of goods, services, ideas, or experiences to
satisfy their needs and wants”. Dapat dijelaskan bahwa pemasar atau perusahaan
harus memahami tentang apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan wisatawan baik
itu berupa jasa, ide-ide, atau pengalaman yang mampu memuaskan keinginan dan
kebutuhan wisatawan.
Terdapat beberapa hal yang penting yang dapat diungkapkan dari definisi yang telah
dipaparkan oleh para ahli, perilaku wisatawan adalah suatu proses yang terdiri dari
beberapa tahap yaitu:
1.  Tahap perolehan (acquisition), mencari (searching) dan membeli (purchasing).

2. Tahap konsumsi  (consumption)  yang berupa menggunakan  (using)  dan

mengevaluasi (evaluating).

3.  Tahap tindakan pasca pembelian (disposition) yang berupa tindakan wisatawan.

4. Perilaku wisatawan dalam memengaruhi unit-unit pengambil keputusan (decision

unit) menurut Kotler dan Keller (2006) terdiri dari, wisatawan sendiri yang

membentuk pasar wisatawan (tourist market) dan wisatawan organisasional

yang membentuk pasar bisnis (business market). Adapun konsep personal

tourist dalam definisi perilaku wisatawan dapat lebih dijelaskan bahwa personal

wisatawan merupakan individu yang membeli barang dan jasa untuk dirinya

2015 Manajemen Pariwisata


18 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sendiri, memenuhi kebutuhan keluarga dan dijadikan hadiah untuk orang lain

sehingga personal wisatawan merupakan pengguna terakhir .

Beberapa sifat dari perilaku wisatawan yaitu:

1.    Tourist Behavior Is Dynamic.

Perilaku wisatawan dikatakan dinamis karena proses berpikir, merasakan, dan

aksi dari setiap individu wisatawan, kelompok wisatawan, dan perhimpunan

besar wisatawan selalu berubah secara konstan. Sifat yang dinamis demikian

menyebabkan pengembangan strategi pemasaran menjadi sangat menantang

sekaligus sulit. Suatu strategi dapat berhasil pada suatu saat dan tempat tertentu

tapi gagal pada saat dan tempat lain, karena itu suatu perusahaan harus

senantiasa melakukan inovasi-inovasi secara berkala untuk meraih

wisatawannya.

2.    Tourist Behavior Involves Interactions.

Perilaku wisatawan terdapat interaksi antara pemikiran, perasaan, dan tindakan

manusia, serta lingkungan. Semakin dalam suatu perusahaan memahami

bagaimana interaksi tersebut mempengaruhi wisatawan semakin baik

perusahaan tersebut dalam memuaskan kebutuhan dan keinginan wisatawan

serta memberikan value atau nilai bagi wisatawan.

3.    Tourist Behavior Involves Exchange.

Perilaku wisatawan, melibatkan pertukaran antara manusia. Dengan kata lain

seseorang memberikan sesuatu untuk orang lain dan menerima sesuatu sebagai

gantinya.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Wisatawan


Perilaku wisatawan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang dikemukakan
Kotler dan Keller (2006) yaitu, faktor budaya, faktor sosial, faktor personal dan faktor
psikologi. Faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Faktor Budaya
Budaya, sub-budaya dan kelas sosial merupakan faktor yang paling banyak
mempengaruhi perilaku kunjungan pada wistawan. Budaya merupakan sesuatu
yang dasar dari keinginan dan kebutuhan seseorang. Masing-masing budaya
terdiri dari bagian yang lebih kecil yaitu sub budaya yang mampu menyediakan

2015 Manajemen Pariwisata


19 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
identifikasi yang lebih spesifik dan sosialisasi bagi anggotanya. Sub budaya terdiri
dari dari kebangsaan, kepercayaan, ras, dan area geografi.
2.   Faktor Sosial
Faktor sosial sebagai tambahan dari faktor budaya, faktor sosial terdiri dari
referensi keluarga, kelompok, dan aturan sosial dan status berdampak pada
perilaku kunjungan.

3.   Faktor Personal
Keputusan berkunjung juga dipengaruhi oleh karakteristik personal, yang
termasuk dalam kategori ini adalah umur dan daur hidup, pekerjaan dan ekonomi,
kepribadian dan konsep diri, dan gaya hidup dan nilai. Karena beberapa
karakteristik ini memiliki dampak yang langsung dalam perilaku wisatawan, hal
ini sangat penting untuk pemasar dalam mendekati wisatawan.
4.   Faktor Psikologi
Langkah utama dalam memahami perilaku wisatawan adalah model tanggapan
rangsangan. Pemasar dan lingkungan mempengaruhi untuk masuk dalam
kesadaran wisatawan dan mengatur proses kejiwaannya yang menggabungkan
dengan karakteristik keyakinan wisatawan untuk menghasilkan proses keputusan
dan keputusan berkunjung. Tugas pemasar adalah untuk memahami apa yang
terjadi pada kesadaran wisatawan antara kedatangan stimuli pemasaran yang
masuk dan keputusan berkunjung total. Terdapat empat kunci proses psikologi
yaitu, motivasi, persepsi, pembelajaran dan memori yang merupakan hal dasar
untuk mempengaruhi tanggapan wisatawan.
         

5. Siklus Hidup Pariwisata


Siklus hidup pariwisata dapat dibagi dalam enam tahap, yaitu:
Tahap 1 Penemuan (exploration)
Potensi pariwisata berada pada tahapan identifikasi dan menunjukkan destinasi
memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daya tarik atau destinasi wisata karena
didukung oleh keindahan alam yang masih alami, daya tarik wisata alamiah masih
sangat asli, pada sisi lainnya telah ada kunjungan wisatawan dalam jumlah kecil dan
mereka masih leluasa dapat bertemu dan berkomunikasi serta berinteraksi dengan

2015 Manajemen Pariwisata


20 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
penduduk lokal. Karakteristik ini cukup untuk dijadikan alasan pengembangan sebuah
kawasan menjadi sebuah destinasi atau daya tarik wisata.
 
Tahap 2 Pelibatan (involvement)
Pada tahap pelibatan, masyarakat lokal mengambil inisiatif dengan menyediakan
berbagai pelayanan jasa untuk para wisatawan yang mulai menunjukkan tanda-tanda
peningkatan dalam beberapa periode. Masyarakat dan pemerintah lokal sudah mulai
melakukan sosialiasi atau periklanan dalam skala terbatas, pada musim atau bulan
atau hari-hari tertentu misalnya pada liburan sekolah terjadi kunjungan wisatawan
dalam jumlah besar, dalam kondisi ini pemerintah local mengambil inisiatif untuk
membangun infrastruktur pariwisata namun masih dalam skala dan jumlah yang
terbatas.
 
Tahap 3 Pengembangan (development)
Pada tahapan ini, telah terjadi kunjungan wisatawan dalam jumlah besar dan
pemerintah sudah berani mengundang investor nasional atau internatsional untuk
menanamkan modal di kawasan wisataw yang akan dikembangkan. Perusahaan asing
(MNC) Multinational company[6])  telah beroperasi dan cenderung mengantikan
perusahan local yang telah ada, artinya usaha kecil yang  dikelola oleh penduduk local
mulai tersisih hal ini terjadi karena adanya tuntutan wisatawan global yang
mengharapkan standar mutu yang lebih baik. Organisasi pariwisata mulai terbentuk
dan menjalankan fungsinya khususnya fungsi promosi yang dilakukan bersama-sama
dengan pemerintah sehingga investor asing bisa tertarik dan memilih destinasi yang
ada sebagai tujuan investasinya.

Tahap 4 Konsolidasi (consolidation)
Pada tahap ini, sektor pariwisata menunjukkan dominasi dalam struktur ekonomi pada
suatu kawasan dan ada kecenderungan dominasi jaringan international semakin kuat
memegang peranannya pada kawasan wisataw atau destinasi tersebut. Kunjungan
wisatawan masih menunjukkan peningkatan yang cukup positif namun telah terjadi
persaingan harga diantara perusahaan sejenis pada industri pariwisata pada kawasan
tersebut. Peranan pemerintah local mulai semakin berkurang sehingga diperlukan
konsolidasi untuk melakukan re-organisasional serta keseimbangan peran dan tugas
antara sektor pemerintah dan swasta.

2015 Manajemen Pariwisata


21 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
 
Tahap 5 Stagnasi (stagnation)
Pada tahapan ini, angka kunjungan tertinggi telah tercapai dan beberapa periode
menunjukkan angka yang cenderung stagnan. Walaupun angka kunjungan masih
relative tinggi namun destinasi sebenarnya tidak menarik lagi bagi wisatawan.
Wisatawan yang masih datang adalah mereka yang termasuk repeater guest atau
mereka yang tergolong wisatawan yang loyal dengan berbagai alasan. Program-
program promosi dilakukan dengan sangat intensif namun usaha untuk mendatangkan
wisatawan atau pelanggan baru sangat sulit terjadi.  Pengelolaan destinasi melampui
daya dukung sehingga terjadi hal-hal negative tentang destinasi seperti kerusakan
lingkungan, maraknya tindakan kriminal, persaingan harga yang tidak sehat pada
industri pariwisata, dan telah terjadi degradasi budaya masyarakat lokal.
 
Tahapan. 6  Penurunan atau Peremajaan (Decline/Rejuvenation)
Setelah terjadi Stagnasi, ada  dua kemungkinan bisa terjadi pada kelangsungan sebuah
destinasi. Jika tidak dilakukan usaha-usaha keluar dari tahap stagnasi, besar
kemungkinan destinasi ditinggalkan oleh wisatawan dan mereka akan memilih
destinasi lainnya yang dianggap lebih menarik. Destinasi hanya dikunjungi oleh
wisatawan domestik saja itupun hanya ramai pada akhir pekan dan hari liburan saja.
Banyak fasilitas wisata berubah fungsi menjadi fasilitas selain pariwisata. Jika ingin
melanjutkan pariwisata, perlu dilakukan pertimbangan dengan mengubah
pemanfaatan destinasi, mencoba menyasar pasar baru, mereposisi attraksi wisata ke
bentuk lainnya yang lebih menarik. Jika manajemen destinasi memiliki modal yang
cukup, atau ada pihak swasta yang tertarik untuk melakukan penyehatan seperti
membangun atraksi man-made, usaha seperti itu dapat dilakukan, namun semua usaha
belum menjamin terjadinya peremajaan.

Referensi
Kotler, Phlip and K. Keller. 2006. Marketing Management. Pearson Education. New
Jersey

Noor, Any. 2009. Management Event. Alfabeta. Bandung

Pendit, I Nyoman S. 1999. Ilmu Pariwisata: Sebuah Pengantar Perdana. Pradnya


Paramita. Jakarta

2015 Manajemen Pariwisata


22 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pitana, I Gde. 2002. Pengembangan Ekowisata di Bali. Makalah pada Seminar
Ekowisata di Universitas Udayana. Tidak dipublikasikan

Spillane, James. 1994. Pariwisata Indonesia: iasat Ekonomi dan Rekayasa


Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta.

2015 Manajemen Pariwisata


23 Dr. Bambang Mulyana, MSi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id

Anda mungkin juga menyukai