Anda di halaman 1dari 10

ISU PEMAKZULAN PRESIDEN JOKOWI BERDASARKAN

PEMIKIRAN FILSUF GEORGE WILHELM FREDRICH HEGEL

Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) Filsafat Ilmu
pada Departeman Akuntansi Program Studi Magister Akuntansi

Oleh
SUHADAK
NIM: 041924253019

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
Isu Pemakzulan Presiden Jokowi Berdasarkan Pemikiran Filsuf
George Wilhelm Fredrich Hegel

PENDAHULUAN
Virus corona yang mewabah menjadi suatu bencana serius yang harus menjadi
perhatian pemerintah di seluruh belahan dunia dalam mengatasi virus tersebut untuk
meminimalisir penularannya. Virus corona telah menelan korban meninggal dunia
dan sakit akibat terjangkit virus tersebut yang terus meningkat, hal tersebut
menunjukkan suatu bahaya yang menjadi pusat perhatian untuk segera ditangani oleh
pemerintah dalam mengurangi korban jiwa. Oleh karena itu virus corona menjadi
pandemi di seluruh dunia termasuk di Indonesia.
Pandemi virus corona di Indonesia menjadi momen pihak tertentu menjadikan
salah satu isu yang diangkat ke publik dalam desakan pemakzulan Presiden RI Joko
Widodo (Jokowi) di tengah pandemi corona ini terkait penanganan pemerintah dalam
mengatasinya. Namun ada beberapa alasan selain penanganan virus corona yaitu
kenaikan iuran BPJS kesehatan, dan harga BBM tak kunjung turun saat harga
minyak mentah dunia mengalami penurunan. Berdasarkan berita yang ditulis oleh
Nurahaqi (2020) pada serikatnews.com isu pemakzulan presiden Jokowi didukung
oleh adanya polemik diskusi pemecatan presiden yang digelar oleh Constitutional
Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM,
namun acara tersebut gagal akibat terdapat teror atau ancaman bagi panitia dan
narasumber oleh orang tak dikenal bila diskusi yang bertajuk „Persoalan Pemecatan
Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan‟ tetap
dilaksanakan.
Teror yang ditujukan kepada panitia dan narasumber yang berujung pada
pembatalan diskusi yang diselenggarakan oleh CLS mendapat respon dari Hendri
santrio (Pengamat komunikasi politik) yang dilansir pada (Tribunmanado.co.id)
menyatakan bahwa isu kebebasan tidak pernah menjadi fokus utama mantan wali
kota Solo itu. Hendri menyinggung kasus pemecatan anggota TNI Ruslan Buton,
karena mendesak sang presiden mundur dari jabatan, menurutnya terdapat
pertanyaan besar, misalnya sebelumnya ada Ruslan Buton, kemudian ada case UGM
terkait diskusi pemecatan presiden. Hal tersebut lantas menjadi sorotan Hendri
bahwa terdapat indikasi pengebirian demokrasi dan kritik-kritik yang membangun di
era pemerintahan Jokowi yang secara umum presiden memiliki kuasa dalam
meminimalisir pembungkaman melalui jajaran pemerintahannya. Padahal dalam
konstitusi UUD NKRI sudah disinggung bagaimana kebebasan masyarakat dalam
berpendapat dan mengkritik.
Kebebasan berpendapat yang termuat dalam amanat Konstitusi UUD NKRI
Tahun 1945 Pasal 28E ayat (3) yang ditulis oleh Nurahaqi (2020) pada
serikatnews.com bahwa “jika rakyat merasa presiden tidak layak lagi untuk
mengemban sebuah jabatan presiden”, maka rakyat berhak meminta presiden
tersebut mundur atau dimakzulkan. Upaya tersebut dapat dengan cara mendesak,
mengkritik, atau meminta Presiden mundur dari jabatannya adalah sebuah bentuk
dari hak aspirasi masyarakat, maka rakyat berhak meminta presiden tersebut mundur
atau dimakzulkan (diberhentikan). Terlebih lagi mengenai kedaulatan negara
Indonesia ada di tangan rakyat dan presiden dipilih oleh rakyat. Namun demokrasi
yang dilayangkan oleh pemerintah ke masyarakat umum seperti dalam penjara yang
harus patuh dan tunduk pada aparat, hak berpendapat hampir tidak ada lagi dalam hal
megkritik pemerintah.
Berdasarkan masalah yang bersumber dari portal berita online diatas
bagaimana ilmu filsafat berusaha memahami hakikat dan realitas sebagai dasar
berfikir kritis atas fenomena yang terjadi saat ini. Sebagai ilmu kritis, filsafat tidak
pernah puas dengan informasi yang secara kontekstual belum dapat
dipertanggungjawabkan sebagai informasi yang valid dan tidak pernah memberikan
sesuatu hal telah selesai. Oleh karena itu pandangan filsuf terhadap isu pemakzulan
presiden Republik Indonesia melalui pemikirannya menjadikan sarana sebagai
berfikir kritis yang akan memberikan pandangan lebih luas dan mengkaji pada
hakikat masalah agar memberikan wawasan yang mendetail dan memahami akar
masalah yang diangkat ke publik sebagai sebuah hasil pengkajian yang akan
memberikan kebijaksanaan dalam berfikir. Salah satu pemikiran filsuf yang relevan
terhadap permasalahan tersebut adalah George Wilhelm Fredrich Hegel.
George Wilhelm Fredrich Hegel yang sering disebut Hegel merupakan salah
satu dari filsuf barat yang menonjol dengan pengaruhnya yang begitu besar sampai
ke laur jerman. Kemudian melalui proses dialektika dinamis dari pemikirannya yang
tidak pernah berhenti dan menjangkau seluruh sendi kehidupan manusia yang
kompleks sebagai proses “tesis-antitesis-sintesis. Maka bersumber dari isu yang
beredar dari media-media terkait isu pemakzulan presiden Jokowi menjadi suatu hal
yang penting dikaji secara mendalam untuk mengetahui hakikat informasi melalui
berfikir kritis.

PEMBAHASAN
Isu pemakzulan presiden Republik Indonesia Jokowi pada masa pandemi saat
ini menjadi sebuah delima bagi negara, dimana saat ini negara memiliki tugas berat
dalam penanganan wabah yang melanda Indonesia agar dapat meminimalisir
penularannya. Namun adanya pandemi virus corona ini menjadi sebuah momen
kritik keras oleh beberapa masyarakat atas penanganan pemerintah yang kunjung
memburuk dengan meningkatnya daerah terdampak dan masyarakat yang tertular.
Isu tersebut diperkuat dengan isu-isu lain untuk memberikan semua doktrin
masyarakat agar pemakzulan presiden menjadi sebuah gagasan yang bisa
terealisasikan. Pada kenyataannya masih terdapat pro kontra terhadap isu
pemakzulan presiden dilihat dari berbagai aspek masalah.
Pro kontra dalam sebuah isu menjadikan sebuah bahan pemikiran yang dapat
dikaji secara mendetail bagaimana akar masalah untuk mewujudkan kebijksanaan
dalam menghadapi isu-isu yang kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenerannya.
Oleh karena itu perlu kajian lanjut dengan mengambil refrensi pemikiran filsuf yang
sudah diakui kapabilitas dengan pemikirannya yang menjadi sebuah sumber dan
dasar pengkajian untuk mewujudkan sif.at kritis dalam berfikir. George Wilhelm
Fredrich Hegel salah satu filsuf yang pemikirannya relevan dalam mengkaji isu
pemakzulan Presiden Indonesia yang menjadi polemik saat ini.

Sejarah singkat George Wilhelm Fredrich Hegel


Hegel lahir pada tanggal 27 Agustus 1770 di Stuttgart Jerman. Di masa
kecilnya, ia sangat rajin membaca literatur, surat kabar, esai filsafat, dan tulisan
tentang berbagai topik lainnya. Masa kecilnya yang rajin membaca sebagian
disebabkan oleh ibunya yang luar biasa progresif yang aktif mengasuh
perkembangan intelektual anaknya (Bertens, 1988). Dia adalah seorang flsuf yang
ideal, awal masuk sekolah teologi seminary pada Universitas Tubingen tahun 1788.
Setelah menamatkan pelajarannya pada than 1793, dia menjadi tutor di rumah
keluarga aristocrat di Bern. Pada tahun 1796 dia mengerjakan pekerjaan yang sama
di Frankfurt (Sokah, 2008).
Pada tahun 1880 dia pergi ke jena, tempat schelling menggantikan Fichte
sebagai professor filsafat dan mengembangkan filsafat ideal alam dan metafisika,
karena itu telah diterima sebagi guru di Jena berdasrkan atas kekuatan disertasinya
yang berjudul De Orbitis Planetarium (1801). Ia bekerja sama dengan Schelling
dalam menerbitkan jurnal filsafat Kritisches Journal der Philosophie. Pada tahun
1808 Hegel diangkat sebagai kepala sekolah di Nuremberg, suatu jabatan yang
dipegangnya sampai tahun 1816. Sesudah itu sampai 1818, Hegel menjadi professor
filsafat di Heidelberg (Sokah, 2008).
.
Dialektika Hegel
Rasio menurut hegel sangat penting. Namun jika dikatakan demikian jangan
sampai salah pengertian. Artinya, yang dimaksud bukan saja rasio manusia
perorangan, tetapi juga rasio yang berada pada “subjek absolut”. Prinsipnya, terhadap
subjek absolut ini diterangkan oleh Hegel bahwa realitas seluruhnya harus
disetarakan dengan suatu subjek. Dalil yang menjadikan hegel terkenal adalah bahwa
"semua yang real itu bersifat rasional dan semua yang rasional itu bersifat real",
Artinya, luasnya hampir sama dengan luasnya realitas. Seluruh realitas adalah roh
yang lambat laun sadar akan menjadi dirinya, atau dengan kata lain, realitas
seluruhnya adalah proses pemikiran (ide) yang memikirkan dirinya sendiri,
kenyataan itu sendiri dan alasan-alasan tersendiri (Suyahmo, 2007).
Metode dialektik Hegel terdiri dari tiga tahap. Yang pertama adalah tesis, yakni
membangun suatu pernyataan tertentu. Yang kedua adalah antitesis, yakni suatu
pernyataan argumentatif yang menolak tesis. Dan yang ketiga adalah sintesis, yakni
upaya untuk mendamaikan tegangan antara tesis dan antitesis. Biasanya para ahli
mengaitkan konsep dialektika ini dengan filsafat Hegel, walaupun Hegel sendiri
tidak pernah secara eksplisit menyatakan argumennya melalui konsep tesis, antitesis,
dan sintesis. Sebaliknya Hegel justru menyatakan, bahwa ia mendapatkan argumen
itu dari filsafat Kant. Lepas dari itu metode dialektik memang nantinya menjadi
sangat populer di tangan para filsuf Idealisme Jerman, terutama di dalam pemikiran
Hegel (Wattimena, 2009).
Metode dialektika Hegel juga memiliki unsur kontradiksi yang sangat kuat.
Baginya setiap tahap perkembangan realitas, mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis,
muncul dari kontradiksi yang kuat di dalam tahap sebelumnya. Seluruh sejarah dunia
adalah sejarah dialektika dan kontradiksi. Dahulu kala pemerintahan yang ideal
adalah pemerintahan monarki absolut dengan menjadikan satu raja sebagai acuan
utama politik. Monarki absolut tersebut didasarkan pada dua asumsi, yakni legalitas
perbudakan untuk memperoleh tenaga kerja manusia murah, dan asumsi bahwa
rakyat adalah orang bodoh yang tidak mampu memimpin ataupun membuat
keputusan untuk dirinya sendiri. Cara pandang itu mengalami kontradiksi, karena
jika asumsi itu terwujud, maka negara justru tidak akan berkembang. Sekarang ini
bentuk pemerintahan ideal adalah demokrasi dengan mengacu pada warga negara
yang bebas dan cerdas (Wattimena, 2009).

Isu Pemakzulan Presiden Jokowi Berdasarkan Pemikiran Filsuf George


Wilhelm Fredrich Hegel
Isu yang diangkat ke publik berkaitan dengan pemakzulan presiden jokowi
berdasarkan sudut pandangan filsuf idealis Hegel memberikan sebuah wacana yang
mungkin bisa terjadi atau tidak. Isu tersebut didukung adanya wacana
diselenggarakannya diskusi yang bertajuk pemecatan presiden oleh Constitutional
Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM
yang pada akhirnya gagal karena terdapat teror atau ancaman. Kemudian terdapat
berita di media masa dari beberapa realita kepemimpinanan pemerintah di era
presiden Jokowi yang dianggap gagal sebagai proses berfikir rasional terhadap
permasalahan bangsa. Masalah tersebut banyak dikaitkan dengan kinerja
pemerintahan, misalnya kenaikan iuran BPJS kesehatan, dan harga BBM tak kunjung
turun saat harga minyak mentah dunia mengalami penurunan. Kritik tersebut
mungkin hanya sebagian dari beberapa realita yang diangkat sebagai dasar
pemakzulan presiden.
Isu terbaru yang diangkat dalam wacana pemakzulan adalah masalah
penanganan virus corona yang tidak kunjung selesai yang diproyeksikan menjadi
tolak ukur kinerja dari pemeritahan yang buruk, sehingga korban atas virus corona
tersebut dari hari ke hari tidak kunjung menurun dan terus mengalami peningkatan.
Realita permasalahan yang mengkritik pemerintah khususnya presiden `akan selalu
diupdate oleh pihak pengkritik yang berpotensi menjadi kenyataan apabila
masayarakat Indonesia sebagian besar mengangap sebuah rasionalitas yang ada di
tengah-tengah masyarakat. Masyarakat selaku pelaku konstitusional tertinggi dalam
negara demokrasi yang mengatasnamakan keadilan dalam segala aspek perhatian
pemerintah dalam pemerataan hak berbangsa dalam negara.
Seperti telah dijelaskan di atas, inti pokok dialektika Hegel terdiri atas tiga
fase: Tesis, antitesis, dan sintesis. Tiga fase itu merupakan bentuk dialektika yang
bersifat ontologis, artinya bahwa proses gerak pemikiran adalah sama dengan proses
gerak kenyataan. Permasalahan pemakzulan presiden Republik Indonesia Joko
Widodo sebagai realitas hasil pemikiran sebagian elit politik untuk diangkat ke
publik sebagai sebuah antesis yang terdapat kontradiksi. Pada masa kepemimpinan
presiden Jokowi dengan berbagai kritik yang menjadi permasalahan secara masuk
akal sesuai dengan rasionalitas yang menjurus pada kepemimpinannya dari
kepedulian terhadap masyarakat bawah yang semakin kesulitan dalam melakukan
aktivitas kehidupan sebagai tesis. Oleh karena itu jalan pikiran filsafat dialektika
Hegel relevan untuk diterapkan pada isu pemakzulan presiden dalam memahami
hakikat permasalahan melalui dialektika Hegel, yaitu Tesis, antithesis, dan Sintesis,
sebagai berikut:
a. Tesis: Terdapat beberapa permasalahan yang diangkat oleh beberapa elit politik
untuk pemkzulan presiden Jokowi melalui realita kehidupan pada masa pandemi
wabah virus corona yang sampai saat ini belum selesai, karena melihat dari
beberapa kebijakan yang tidak solutif terhadap minimaliris penularannya, seperti
berita yang dilaporkan oleh Anhari (2020) yang dilasir di media massa RMOL.ID
yang menyatakan “Sikap pemerintahan Joko Widodo dalam mengatasi pandemik
virus corona baru atau Covid-19 dinilai makin aneh dan membingungkan. Di satu
sisi, masyarakat dilarang mudik namun disisi lain 500 Tenaga Kerja Asing (TKA)
asal China diizinkan masuk ke Sulawesi Tenggara”. Kasus tersebut merupakan
salah satu kasus dari kebijakan presiden Jokowi yang dianggap kurang maksimal
dalam penanganan wabah virus corona. Hal tersebut dibuktikan dengan
peningkatan korban positif bedasarkan website resmi https://covid19.go.id/ pada
tanggal 6 juni-10 juni terdapat penambahan sebesar 4.795 kasus positif virus
corona.

b. Antitesis: Oleh karena itu dari sebagian permasalahan yang secara rasio dan
terdapat konradiksi yang terus berkembangan menjadikan presiden Jokowi
mendapat desakan, kritik, dan meminta Presiden mundur dari jabatannya sebagai
bentuk aspirasi masyarakat atas ketidak mampuan presiden menangani beberapa
kondisi dan membuat keresahan masyarakat umum, khususnya kalangan
menengan ke bawah yang semakin sulit untuk bertahan hidup normal. Bahkan
diskusi pemecatan presiden yang akan digelar oleh Constitutional Law Society
(CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM menjadi
antitesis yag serius untuk melaksanakan pemecatan presiden, namun acara
tersebut gagal akibat terdapat teror atau ancaman bagi panitia dan narasumber
oleh orang tak dikenal.
Antitesis yang lain bersumber dari berita harian kompas yang disajikan oleh
Dirhantoro (2020) yaitu Ruslan Buton, Mantan Angakatan Darat yang juga
Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara menulis surat terbuka untuk Presiden
Jokowi. Salah satu poin dari surat tersebut adalah meminta orang nomor satu di
republik ini untuk mundur dari tahta kepresidenan. Bila tidak segera mundur, kata
Ruslan, bukan tak mungkin bakal terjadi gelombang gerakan revolusi rakyat dari
seluruh elemen masyarakat.

c. Sintesis: Sintesis ini akan terwujud apabila pemakzulan presiden Jokowi dapat
terealisasi. Seandainya pemecatan dan mundurnya presiden mengalami
kendaladan konflik yang diangkat menjadi sebuah kebutuhan oleh masyarakat
untuk dapat memperjuangankan haknya, yang dianggap pada era Jokowi terdapat
keanehan dan keberpihakan terhadap segenlintir orang. Bisa jadi hal tersebut
menjadi sebuah permasalahan serius dan terdapat kemungkinan terjadi gelombang
gerakan revolusi rakyat dari seluruh elemen masyarakat dari isi surat terbuka
Ruslan Buton terhadap Jokowi dari keterangan antitesis diatas.
Berdasarkan analisa isu pemakzulan presiden Republik Indonesia dari
pemikiran filsuf Hegel melalu dialektika tiga fase (tesis, Anti tesis dan sintesis) dapat
diilustrasikan dalam gambar berikut:
Gambar:
Ilustrasi Dialektika Hegel dari Isu Pemakzulan Presiden Jokowi

PENUTUP
Berdasarkan penjelasan diatas terkait pemakzulan presiden Jokowi masih
berhenti pada isu-isu yang memiliki tujuan meruntuhkan pemerintahan Jokowi yang
banyak dikaitkan isu-isu yang secara rasional masuk akal seperti penanganan corona.
Namun masih belum signifikan secara data aktual yang seharusnya disajikan untuk
membuat suatu antitesis yang diterima oleh masyarakat luas. Terkait isu pemakzulan
yang beredar sangat relevan untuk dikaji menggunakan pemikiran Hegel dengan tiga
fase dialektikanya (tesis, antitesis, dan sintesis). Masalah pemakzulan yang dikaitkan
dengan minimnya penanganan pemerintah terhadap pandemic corona dengan isu-isu
yag lain dalam mendukungnya sebagai tesis. Isu pemakzulan yang didukung dengan
adanya wacana diskusi pemecatan dan surat terbuka mantan Angakatan Darat yang
juga Panglima Serdadu Eks Trimatra Nusantara agar Jokowi mengundurkan diri dari
jabatan presiden sebagai antitesis. Kemudian memiliki potensi menjadi sintesis jika
semua antitesis dapat mendoktrin dan terdapat gerakan yang mendesak terhadap
pemecatan presiden.
DAFTAR PUSTAKA
Anhari, i. (2020). Jokowi Ngawur, Warga Dilarang Mudik Kok 500 TKA China
Diizinkan Masuk. Retrieved from
https://politik.rmol.id/read/2020/04/29/432611/jokowi-ngawur-warga-
dilarang-mudik-kok-500-tka-china-diizinkan-masuk

Bertens, K. (1988). Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Jakarta.

Dirhantoro, T. (2020). Viral Mantan Anggota TNI Ruslan Buton Tulis Surat Terbuka
Minta Jokowi Mundur dari Jabatannya. Retrieved from
https://www.kompas.tv/article/83742/viral-mantan-anggota-tni-ruslan-buton-
tulis-surat-terbuka-minta-jokowi-mundur-dari-jabatannya

Nurahaqi, S. (2020). Isu Pemakzulan Presiden di Tengah Pandemi Covid-19.


Retrieved from https://serikatnews.com/isu-pemakzulan-presiden-di-tengah-
pandemi-covid-19/

Sokah, U. A. (2008). George Wilhelm Fredrich Hegel (1770-1831) Pemikirannya


tentang Ide dan Sejarah. Yogyakarta.

Suyahmo. (2007). Filsafat Dialektika Hegel: Relevasinya dengan Pembukaan


Undang-Undang Dasar 1945. Humaniora.

Tribunmanado.co.id. Teror di Balik Mencuatnya Rencana Pemakzulan Presiden,


Pengamat Politik: Pak Jokowi Tahu Tidak? Retrieved from
https://manado.tribunnews.com/2020/05/31/teror-di-balik-mencuatnya-
rencana-pemakzulan-presiden-pengamat-politik-pak-jokowi-tahu-tidak.

Wattimena, R. A. A. (2009). Hegel dan Dialektika. Retrieved from


https://rumahfilsafat.com/2009/08/16/hegel-dan-dialektika/

Anda mungkin juga menyukai