Anda di halaman 1dari 13

Tugas Akhir Mata Kuliah: Perspektif Politik Global Tanggal; 6 Januari 2012

Dosen Pengampu: Pak Muhadi

MEMBANDINGKAN TEORI REALISME


DAN TEORI LIBERALISME

Oleh:
Naota A. Parongko
12/340597/PSP/4485
naotaa.parongko88@yahoo.com
http://www.kalimbuang.blogspot.com/
085231192717

PROGRAM PASCASRJANA
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU POLITK DAN ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2013
Abstraksi
Tulisan ini akan membandingkan teori realisme dengan teori liberalisme. Tulisan ini
terbagi dalam tiga bagian. Pada awal tulisan ini akan dipaparkan pentingnya kedua teori
untuk dibandingkan. Bagian kedua akan membahas tentang perbandingan asumsi dari teori
realisme dengan liberalisme, keunggulan dan kelemahan masing-masing teori dan cara
pandang kedua teori dalam beberapa tema pembicaraan atau fokus kajian dalam studi
hubungan internsional terdiri dari negara dan kekuasaan, konflik dan kekerasan,
perdamaian dan keamanan, institusi dan tatanan dunia, identitas dan komunitas,
kesenjangan dan keadilan
Membandingkan realisme dengan liberalisme dirasa penulis penting mengingat
keduanya merupakan dua teori yang mendominasi baik secara akdemik maupun non
akademik, secara tidak langsung keberadaan teori realisme dan libaralisme berkonstribusi
terhadap perkembangan ilmu hubungan internasional dengan munculnya teori-teori
postpositif, memiliki referensi yang dapat menganalisis sejumlah fenomena dalam hubungan
internasional (cukup mapan dibandingkan teori lainnya dalam HI), dan kedua teori tersebut
telah mengalami perdebatan yang panjang hingga variannya yang paling kontemporer yakni
neorealisme dan neoliberalisme.
Teori realisme yang berangkat dari asumsi-asumsi bahwa sifat manusia pada
dasarnya buruk, begitu dengan perilaku negara dalam hubungan internasional bila
dibandingkan dengan pandangan kaum liberalis yang sangat berbeda. Liberalis melihat
bahwa pada hakikatnya manusia itu baik dan rasional, begitupun dengan negara. Asumsi ini
kemudian mempengaruhi terbentuknya asumsi-asumsi terkait kekuasaan dan kemanan
internasional. Adapun beberapa keunggulan kedua teori tersebut. Jika realisme perspektif
yang paling menghuni baik secara akdemik maupun nonakademik dalam studi ilmu
hubungan internasional. Begitupun dengan liberalisme yang dianggap memiliki upaya untuk
maksimalitasnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan melalui kerjasama dalam
pertukaran ekonomi. Sedangkan kekurangan kedua teori diatas yakni realisme yang
dianggap terlalu sederhana dan mengurangi realitas dunia perpolitikan sedangkan
liberalisme dengan keterbatasannya yang menjelaskan ekonomi terpisah dari aspek lain di
luar ekonomi.
Salah satu isu yang sedang tren dalam kajian ilmu hubungan internasional yakni isu
perdamaian dan keamanan. Kaum realis memandang bahwa perdamaian dan keamanan
sebagai kondisi tanpa adanya perang dan negara diperlukan untuk menjaga keamanan
nasional, berbeda dengan liberalis yang mempercayakan sistem internaisonal misalnya LBB
atau PBB sebagai aktor penjaga perdamaian dank arena PBB memiliki pengadilan
internasional sendiri. Sementara itu, isu kesenjangan dan keadilan, ditanggapi kaum
liberalisme sebagai salah satu isu penting dalam hubungan untuk konteks sekarang. Kaum
liberal pun sangat aktif mendukung berbagai rezim hal asasi manusia melalui PBB. Kaum
realis sendiri berpendapat bahwa negara tidak punya alasan untuk memberikan komentar
atau mengkritik tatanan politik, domestik, sosial dan ekonomi negara-negara lainnya.
Pendahuluan

Usaha untuk membandingkan teori realisme dengan teori liberalisme sepertinya


membandingan dua kutub yang signifikan berbeda namun menarik. Kedua teori ini,
merupakan dua paradigma dalam ilmu hubungan internasional yang tua dan mendominasi.
Kedua paradigma ini memiliki pandangan tersendiri dalam menganalisis interaksi dan
berbagai fenomena hubungan internasional.

Beberapa hal mendasari penulis tertarik untuk membandingkan kedua terori tersebut,
yakni; Pertama, sejak munculnya kajian ilmu Hubungan Internasional tahun 1918, tidak bisa
dipungkiri bahwa dari sejumlah teori yang berkembang dalam studi HI, teori realisme dan
liberalisme merupakan dua teori yang mendominasi baik secara akdemik maupun non
akademik. Secara bergantian kedua paradigma ini mendominasi, hingga Perang DuniaII,
paradigma liberalisme dominan digunakan sebagai perspektif dalam melihat dunia. Akan
tetapi pasca, kegagalan LBB dalam mencegah terjadinya Perang Dunia II, paradigma
realisme kemudian muncul dan diakui sebagai pandangan bersama dalam HI. Sejak saat itu,
paradigm realis terus digunakan sebagai perspektif utama dan koheren dalam menganalisa
hubungan internasional. kondisi tersebut juga secara langsung menjadikan Teori Realisme
menjadi salah satu kajian utama yang selalu ditempatkan di “papan nomor satu” dalam studi
Hubungan internaisonal. Perang dingin yang muncul 1950-an semakin memperkokoh posisi
realisme sebagai tradisi pemikiran terkemuka dalam studi HI dan interaksi negara. Konsep
balance of power, deterrence, security dilema adalah sedikit dari sekian banyak, buah
pemikiran realisme yang populer pada masa Perang Dingin. Akan tetapi berakhirnya perang
Dingin pada tahun 1991 menjadi momentum kebangkitan bagi liberalisme. Pandangan dalam
paradigm libaralis pun semakin bervariasi, diantanya; liberal internasionalisme, idealisme,
optimisme, dan liberal institutionalisme.

Kedua, perbedaan yang cukup signifikan sehingga melahirkan perdebatan diantara


realisme dengan liberalisme terus berlanjut. Dalam perkembangan Ilmu Hubungan
Internasional, sebagai sebuah ilmu tentu ada pendapat-pendapat berbeda yang menciptakan
sebuah paham atau ideologi yang ingin mendominasi karena menganggap sistem atau paham
yang sudah ada memiliki kecacatan. Perbedaan pandangan oleh para pemikir pada masa itu
menciptakan perdebatan-perdebatan besar, perdebatan-perdebatan inilah yang akhirnya
disebut The Great Debates. The great debates yang pertama adalah perdebatan antara
realisme dengan liberalisme yang hingga kini masih tetap berlanjut. Great debate pertama
merupakan salah satu momentum terbaik dalam perkembangan ilmu hubungan internasional,
karena tanpa adanya perdebatan-perdebatan, sebuah ilmu tidak dapat disebut sebagai ilmu
karena dari perdebatan itulah sebuah ilmu dikaji lebih mendalam. Oleh karena itu sangat
menarik untuk membandingkan perbedaan pandangan kedua paradigma tersebut.

Ketiga, kedua teori ini merupakan dua grand theory yang memiliki referensi dapat
menganalisis sejumlah fenomena dalam hubungan internasional. Keduanya terus berkembang
untuk bisa menjelaskan perkembangan fenomena hubungan internasional. Realisme misalnya
yang terus berkembang menjadi beberapa varian yaitu neoklasik dan
neoriealisme/neostruktural yang kemudian terus berkembang sehingga memilki berbagai
turunan konsep. Begitu pun dengan liberalisme yang mengalami perluasan seperti
neoliberalisme. Liberalisme pun masih terbagi menjadi empat aliran yaitu liberalisme
sosiologis, liberalisme interdependesi, liberalisme institusional dan liberalisme republican.
(jelaskan lebih lanjut).

Keempat, secara tidak langsung keberadaan teori realisme dan libaralisme


berkonstribusi terhadap perkembangan ilmu hubungan internasional. Kemunculan berbagai
teori seperti teori kritis, postmodernisme dan konstruktivis salah satunya karena kritik
terhadap pandangan realisme dan liberalisme. Kelima, meskipun dikenal sudah mapan dalam
menejelaskan fenomena internasional namun tidak bisa dipungkiri bahwa keduanya tetap
memiliki kekurangan. Hal ini akan dijelaskan pada bagian pembahasan.

Pembahasan

Pada bagian ini akan memaparkan kedua teori diatas yaitu realisme dan liberalisme
dengan membandingkan keduanya dalam beberapa aspek. Pada bagian pertama akan
dijelaskan tentang sejarah kemunculan, asumsi, keunggulan dan kelemahan masing-masing
teori. Sedangkan bagian kedua akan membahas tentang perbandingan keduanya dalam
melihat beberapa tema besar dalam ilmu hubungan internasional yang menjadi lokus kajian,
diantaranya; negara dan kekuasaan, konflik dan kekerasan, perdamaian dan keamanan,
institusi dan tatanan dunia, identitas dan komunitas, kesenjangan dan keadilan.

Perbandingan Asumsi, Keunggulan dan Kelemahan

Dari tinjauan historis, pemahaman liberalis muncul terlebih dahulu bila dibandingan
dengan realisme. Akar pemikiran liberalis mulai muncul pada abad pertengahan sebagai
reaksi atas penindasan yang dilakukan oleh kerajaan dan gereja (pada zaman itu). Namun,
liberalisme baru muncul sebagai pandangan bersama dalam studi hubungan interanasional
pasca Perang Dunia I. Konteks kemunculan liberalisme pada saat itu sebagai protes ataupun
pembenaran bahwa negara tidak dapat mencegah terjadinya konflik. Sehingga mereka,
beranggapan bahwa perlu dibentuknya organisasi internasional untuk mencegah terjadinya
perang seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Akan tetapi tidak lama setelah PD I, Perang Dunia II pecah yang secara tidak
langsung mematahkan konsepsi perdamaian oleh kaum liberalisme. Para penganut realisme
seperti E.H. Carr dalam tulisannya The Twenty Year’s Crisis” (1939) dan Hans Morgenthau
dalam “Politic Among Nations” (1948) menjadi serangan telak bagi “utopianisme” liberal.
Dominasi paradigma baik secara akademik maupun nonakademik segera mewabah.

Seiring dengan perkembangn zaman, realisme dan liberalisme pun berkembang


menjadi beberapa varian. Realisme klasik yang di usung oleh Thomas Hobbes, Machiavelli,
Thucydides kemudian berkembang oleh E. Carr dan H. Morgenthau pada 1939 yang
diklasifikasikan sebagai pemikir neoklasik dan pada 1970 Kneth Waltz dengan beberapa
pandangan terbaru neorealisme dan sekaligus jawaban terhadap teori dependensia. Begitupun
dengan teori liberalisme yang mengalami evolusi hingga munculnya neoliberalisme pada
tahun 1980-an. Neoliberalisme ini juga memunculkan perdebatan baru dengan neorealisme.
Meskipun kedua teori berkembang menjadi beberapa varian, namun terdapat asumsi yang
disepakati bersama.

Teori realisme yang dibangun dari asumsi bahwa manusia pada hakikatnya adalah
makhluk selfish (mementingkan diri sendiri). Negara layaknya manusia mementingkan
bertingkah laku mementingkan diri sendiri. Berbeda jauh dengan pandangan liberalisme yang
melihat manusia itu lebih positif dan makhul rasional. Rasionalitas bisa digunakan sebagai
instrument, sebagai kemampuan untuk mengungkapkan pikiran dan mengejar ‘kepentingan’
seseorang. Dan kemampuan untuk memahami prinsip-prinsip moral dan hidup berdasarkan
aturan hukum. Negara juga di yakini seperti individu yang akan lebih rasional dalam
kebijakan luar negerinya.

Berangkat dari asumsi tersebut, kemudian berpengaruh membentuk asumsi kedua


teori tersebut dalam aspek yang lain. Karena individu begitupun negara dipersepsikan sebagai
makhluk selfish maka, mereka menganggap bahwa negara lah aktor utama dalam hubungan
internasional. Lebih jauh negara dipersepsikan sebagai satu-satunya aktor yang menyediakan
keamanan bagi warganya serta dapat memperjuangkan kepentingan nasionalnya. Oleh karena
itu, diperlukan negara yang berdaulat. Bandingkan dengan pandangan kaum liberal yang
justru membuka “kran” bagi individu, kelompok dalam interaksi hubungan internasional
sebagai aktor. Hal ini berawal dari asumsi bahwa kebebasan individu adalah segala-galanya
bahkan liberalisme klasik melihat negara sebagai ancaman bagi kebebasan individu.
Meskipun kaum neo-liberlisme dalam perkembangannya mengakui bahwa peran negara
dibutuhkan, tapi hanya sekedar “polisi malam”,

Asumsi lainnya yang kemudian yang terbentuk menjadi pondasi dari teori realisme
adalah bahwa kekuasaan merupakan kunci untuk memahami tingkah laku internasional dan
motivasi negara. Terkait hal ini, bila dibandingkan dengan liberalisme, tidak dipaparkan
secara implisit mengenai apa yang bisa digunakan untuk menganalisis dan memahami
interaksi dalam hub internasional. Hal ini bisa saja disebabkan oleh beragamnya aktor
sehingga sulit dan rumit untuk mengidentifikasi motif tiap aktor.

Asumsi berikutnya yang cukup menarik dari kedua teori diatas adalah bahwa realis
memandang bahwa hubungun internasional sebenarnya penuh dengan konflik. Klaim ini
didasarkan pada sifat individu dan negara yang selfish, hubungan pada tingkatan negara
dikonstruksikan dengan cara tertentu hingga tindakan mengejar kepentingan nasional mau
tidak mau mengarakan pada benturan-benturan nasional bahkan terkadang perang dengan
negara lain, ketiadaan otoritas pusat dalam kenyataan internasional sehingga melahirkan
anarki. Sedangkan kaum liberalisme sendiri melihat bahwa karakter manusia yang positif
akan dapat mempengaruhi perubahan-perubahan dalam hubungan internasional sehingga
menjadi lebih positif.

Realisme dan liberalisme tentu saja mengalami kunggulan sehingga dikenal sebagai
teori/pandangan/perspektif yang paling menghuni baik secara akdemik maupun nonakademik
dalam studi ilmu hubungan internasional. Keunggulan teori realisme dari beberapa aspek
diantaranya; pertama, kapasitas para pencetusnya dalam memproyeksikan tatanam kaum
realis (sistem negara, keseimbangan kekuasaan, strategi, stabilitas, pencegahan, dan
kepentingan naisonal) menjadi netral dan non ideologis secara politik.; bahasa realisme telah
menjadi bahasa hubungan internasional.1 melalui pemilihan kata yang tepat kaum realis
meminta kita untuk memandang teori mereka sebagai teori yang masuk akal,normal dan
netral.2 Kedua, tidak ada peradigma lain yang mampu menawarkan sebuah paket teori dan
hipotesis yang kaya mengenai politik internasional yang bisa diaplikasikan lintas waktu dan
1
Scott Burchil dan A. Linklater. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusa Media, hal 112
2
Ibid, Burchill
batas. Ketiga, realisme pesimis terhadap self-interest, konflik dan power tampaknya mampu
menggambarkan elemen yang penting dari kondisi manusia. Kita mungkin tidak menyukai
realisme yang menekankan pada tragedi dan kejahatan, tetapi kita tetap belum menemukan
cara untuk melarikan diri dari hal-hal tersebut.

keempat, tradisi kaum realis terletak pada kemampuannya meletakkan argument


karena kebutuhan. Tradisi kaum realis berusaha menjabarakan realitas, memecahkan masalah
dan memahami keberlangsungan politik dunia. untuk menyelesaikan tugas ini tradisi kaum
realis membangkitkan tradisi filsafat, dengan Hobbes, Rousseau dan Machiavelli yang
mencoba kembali melengkapi teori dengan otoritas klasikisme. Dengan membangkitkan
kembali para pendhulu interlektualnya, realisme kembali menekankan kekekalan pentingnya
kontinuitas dalam penelitian teoritis. Serta perhatian normative dengan permasalahan sebab-
sebab perang dan damai, kemanan dan ketertiban akan terus menjadi pedomean penelitian
dan pengajaran HI karena semua itu pada intinya merupakan permasalahan yang penting.

Kelima, Neo-realisme memberikan penilaian yang menyakinkan mengenai mengapa


kebijakan luar negeri negara-bangsa sangatlah mirip, meksi sifat internal mereka jauh
berbeda. Neo-realisme juga memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai
keberlangsungan sistem internasional. Keenam,realisme itu sederhan dan muda dipahami
dihadirkan sebagai satu kekuatan dari perspektif ini.3

Bila dibandingkan dengan keunggulan teori liberalisme, berbagai referensi tidak


begitu banyak yang membahas terkait hal ini. Sedikit diantarnya, adalah adanya usaha
maksimalitasnya dalam rangka menciptakan kesejahteraan melalui kerjasama dalam
pertukaran ekonomi. Dan memiliki konsep yang cukup mapan untuk menjelaskan fenomena
interaksi ekonomi internasional.

Terlepas dari keunggulan-keunggulan teori realis dan liberalis, pun terdapat


kelemahan teori tersebut sehingga banyak di kritik oleh teori postpositive. Realisme
khususnya yang dominan dalam Hubungan Internasional, mungkin karena alasan tersebut,
realisme menajdi sasaran dair begitu banyak kritik yang sedikit membantu kita dalam
menganalis kekurang teori tersebut. Beberapa kekurangan realisme diantarnya; pertama,
realisme itu terlalu sederhana, mengurangi realitas dunia perpolitikan yang kompleks menajdi
sejumlah kecil hukum-hukum umum yang katakanlah mampu dipakai sepanjang ruang dan

3
Jill Steans dan Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional:Perspektif Dan Tema. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, hal 83
waktu dengan demikian menghilangkan banyak di antara perhatian dan sejumlah nilai
penting dari analisis kita. Kedua, Steans & Llyod Pettiford sepakat bahwa realisme dalam
menekankan prinsip politik kekusaan dan ciri-ciri sistem internasional yang masih bertahan
hingga kini, gagal memberikan kesempatan bagi kemungkinan perubahan yang nyata. Kaum
realis menyatakan bahwa keberadaan negara-negara adikusa muncul dan tumbang,
peperangan datang dan berhenti, tetapi aturan-aturan dasar permainan tidak bisa berubah.4

Ketiga, Linklater juga melihat permasalahan besar dalam kaitannya dengan hubungan
unit struktur Waltz, di mana hal tersebut dianggap tidak meninggalkan sedikit ruang atau
tidak sama sekali untuk perubahan sistemis yang dipengaruhi oleh unit-unit itu sendiri. 5
Keyakinan Waltz bahwa negara sebenarnya tidak berday untuk mengubah sistem karena
mereka menemukan diri mereka terjebak, meski ia mengakui bahwa dalam kondisi yang jelas
tersebut nilai-nilai keluruhan bisa mencegah tekanan struktur.6 Meski argument ini
memberikannya peluang untuk menjelaskan lamanya sistem internasional, secara definisi hal
tersebut bertentangan dengan gagasan bahwa sistem bisa diubah secara fundamental oleh
negara yang mendirikannya. Terdapat kontradiksi kelemahan di sini. Di satu sisi, Waltz
menyatakan bahwa nilai, etnis dan aspirasi moral negara terhalang oleh tekanan sistemis atas
anarki. Di sisi lain, ia setuju dengan pernyataan internasional liberal seperti Doyle. Ia juga
sepertinya juga ingin menghilangkan karakter unit dalam sistem. Hal ini kemudian
memunculkan kesan bahwa Waltz tidak konsisten dengan argument awalnya. Waltz juga
membantah bahwa level lebih besar interdependensi ekonomi diantara negara merupakan
ancaman bagi kondisi anarki. Ia juga mengabaikan pandangan rasionalis bahwa mwski
strukturnya anarkis, sistem internasional juga diatur secara normative.7

Keempat, Ashley dan Cox melihat bahwa secara epistemologi neo-realisme Waltz
mengandung ideologi konservatif. Lebih jauh, neo-realisme mereduksi hubungan
internasional ke dalam pengaturan kekuasaan besar dengan mengesahkan sebuah ketentuan
politik yang mendukung yang kuat dan bertentangan dengan perubahan. 8 Kelima, meski
kaum realisme mempunyai pandangan sejarah yang berputar (pengulangan pola tingkah
laku), realisme telah gagal membuat prediksi-prediksi khusus apa pun. Kebanyakan kaum

4
Ibid. Jill Steans & Llylod Pettiford, 83
5
A. Linklater. 1995. Neo-realism in Theory and Practice, dalam K. Boot dan S. Smith, International Relations
Theory Today, Cambridge
6
Kneth Waltz. “America as a Model for World?, dalam PS: Politics Science and Politics, vol.24 no. 4, 1991, hal
670
7
Opcit, Scott Burchill, hal 120
8
Ibid, Scott Burchill
realis gagal memperkirakan akhir dari Perang Dingin dan kegagalan tersebut sangat serius.
Realisme tidak membantu kita dalam menjelaskan keputusan-keputusan paling tepat yang
semestinya diambil oleh para perwakilan negara tetapi hanya pada alasan mendasar
keputusan-keputusan ituk akan dibuat.9 Kelima, dalam menekankan senteralitas negara dan
kepentingan naisonal, realisme mendorong orang-orang untuk melihat dunia dari perspektif
etnosentris yang sangat dangkal. Keenam, realisme mengabaikan atau menyepelekan
pentingnya tahapan yang mungkin dibutuhkan oleh negara untuk menyalurkan kepentingan-
kepentingan kolektiv atau timbal balik, dan juga begitu meremehkan lingkup untuk kerja
sama dan perubahan yang mentukan dalam hubungan internasional.

Banyaknya kelemahan realisme tidak jauh berbeda bila dibandingakan dengan teori
liberalisme.Gilpin adalah salah satu tokoh yang memaparkan kelemahan teori ini. Gilpin
menguraikan bahwa liberalisme setidaknya terbatas dalam tiga hal, yaitu: pertama,
keterbatasannya yang menjelaskan ekonomi terpisah dari aspek lain di luar ekonomi; kedua,
kecenderungan acuh tak acuh terhadap kesetaraan distribusi penghasilan dari kegiatan
ekonomi; ketiga, keterbatasan atas asumsinya yang menyatakan pertukaran ekonomi terjadi
secara bebas sehingga hal ini membawa peluang adanya tindakan koersif di dalamnya. 10

Jill Steans dan Llyod Pettiford juga memaparkan beberapa kekurangan liberalisme.
Pertama, kaum liberal yang mendukung pasar bebas dan institusi-institusi milik pribadi yang
keduanya menjadi inti konsepsi liberal tentang kebebasan pilihan. Padahal kondisi ini akan
membentuk terjadinya pemisatan kekayaan hanya bagi segolongan kecil orang. Hal yang
demikian akan mengarah pada pemusatan kekuasaan hanya diantara orang-orang kaya, yang
terus membatasi kekebasan dan berbagai pilihan penting yang tersedia bagi kelompok-
kelompok orang miskin. Kedua, liberalisme cenderung menguniversalkan pengalaman
bangsa-bangsa barat dan mengarakan manusia pada pandangan linear tentang kemajuan dan
perkembangan manusia.11

Perbandingan Cara Pandang Dalam Beberapa Tema atau Fokus Kajian HI

Perdamaian dan keamanan oleh teori realisme dipandang secara negatif.


Perdamamian dimaknai sebagai ketiadaan perang daripada keberadaan sesuatu. Para
penganut paham ini memusatkan perhatiaanya pada kondisi yang diperlukan untuk mencegah

9
Ibid, Jill Steans & Llyod Pettiford, hal 83-84
10
Gilpin, Robert. 1987. “Three Ideologies of Political Economy”, dalam the Political Economy of International
Relations, Princeton: Princeton University Press, pp. 25-64
11
Opcit. Jill Steans dan Llyod Pettiford, hal 143
perang dan negara dianggap aman ketika negara tersebut berhasil memastikan
keberlangsungan hidupnya dalam sistem internaisonal. Apabila tradisi kaum realis
mempercayakan kemanan pada negara, berbeda halnya dengan kaum liberal yang
menganggap bahwa dibentuknya pemerintahan ataupun organisasi internasional seperti LBB
akan dapat mencegah terjadinya perang. LBB dianggap sebagai sistem yang dapat
mengidentifikasi ancaman bagi perdamaian dan kemanan dan mengarahkan tindakan kolektif
yang ditujuhkan kepada negara-negara yang agresif untuk menghentikan mereka. Hal ini juga
dianggap efektif karena LBB juga mempunyai pengadilan internasional untuk mengakhiri
perselisihan.

Negara dan kekuasaan, secara sekilas pandangan kaum liberal tentang karakteristik
negara tampak sama dnegan pandangan realisme, sejauh mereka menerima bahwa ciri utama
dari negara adalah kedaulatan. Kaum liberal setuju dengan kaum realis tentang ciri dasar
negara, yakni wilayah, rakyat, dan pemerintah. Bagaimana pun, dalam beberapa hal khusus,
sebenarnya kaum liberal memandang negara secara berbeda dari kaum realis. Liberalisme
menganggap negara sebaik-baiknya sebagai “sosok ancaman yang diperlukan”. Namun yang
berbeda dari kedua teori tersebut adalah yakni penempatan aktor dalam interaksi hubungan
internasional. Realisme menempatkan negara sebagai aktor sentral dan mengabaikan
kekuasaan aktor-aktor non-negara. Sedangkan liberalisme, menganggap bahwa negara
bukanlah satu-satunya aktor melainkan juga individu dan kelompok. Kaum pluralis liberal
mempetahankan argument bahwa kekuasaan militer tidak lagi efektif sehingga tidak lagi
menjadi indikator yang dapat di percaya kekuatan suatu negara dalam perpolitikan dunia.

Institusi dan tatanan dunia, salah satu kontribusi liberalisme yakni memberikan
pemahaman melalui berbagai karya tentang karakteristik institusi-institusi dan tatanan
dunia.Lliberalisme membangun asumsi bahwa negara perlu mengembangkan strategi-strategi
dan forum-forum bagi kerja sama meliputi seluruh rangkaian isu dan wilayah-wilayah baru
dengan tujuan bahwa kepentingan dalam institusi akan terdistribusi secara merata. Kaum
realis sendiri melihat bahwa ketika neagra-negara berbagi kepentingan-kepentingan bersama,
iklim ketidakpercayaan dan ketidakamanan yang berasal dari karekteristik anarki
internasional membuat kerjasama itu menjadi sangat sulit. Secara tidak langsung kaum
realisme cenderung mengesampingkan wilayah-wilayah yang tidask terlalu berhubungan
dengan hubungan internasional dan kepentingan nasional. Juga dikatakan oleh Steans bahwa
institusi dan tatanan dunia tidak menjadi fokus dari realisme.
Identitas dan komunitas, kaum realis berpendapat bahwa seseorang memahami
identitasnya, yang pertama kali dan terutama, adalah dengan negara-bangsanya. Artinya,
kebanyakan orang-orang lebih melihat diri mereka sendiri sebagai orang Inggris atau orang
Prancis atau orang Kanada dari pada sebagai bagian dsari “ras manusia” atau suatu komunitas
internasional. Tema ini tidak banyak dibahas oleh kaum realis begitu pun dengan kaum
liberalis. Baru dalam perkembangan liberalisme kontemporer baru mengakui pentingnya isu-
isu identitas dan komunitas serta hubungannya terhadap Hubungan Internasional.

Kesenjangan dan keadilan, secara tradisional kaum liberal memusatkan perhatian


pada pentingnya kesetaraan formal antara satu dengan yang lain dan persamaan hal. Kaum
idealis menuntut bahwa permasalahan keadilan dan hak merupakan tema utama dalam
Hubungan internasional. Kaum liberal pun sangat aktif mendukung berbagai rezim hal asasi
manusia melalui PBB. Kaum liberal dari spektrum politik kanan cenderung memusatkan
perhatian pada pentingnya kesetaraan formal dan kesempatan-kesempatan yang sama, hal
setiap individu diperlakukan sama di mata hukum dan kesempatan yang sama berpartisipasi
dalam masyarakat atau bersaing dalam pasar. Sebaliknya kaum liberal “sayap kiri” cenderung
lebih menyetujui campur tangan negara dalam hal kesenjangan sosial dan batasan terhadap
berabagi persamaan kesempatan. Kaum realis sendiri berpendapat bahwa negara tidak punya
alasan untuk memberikan komentar atau mengkritik tatanan politik, domestik, sosial dan
ekonomi negara-negara lainnya. Tindakan ini didasari atas prinsip kedaulatan. Negara-negara
ralatif berdiam diri mengenai hak-hak kewarganegaraan dari negara lain dan sudah
seharusnya seperati itu.

Konflik dan kekerasan, kaum realis mendefinisikan konflik sebagai ketidaksepakatan,


ketidakpastian yang diusahakan penyelesaiannya oleh pihak untuk kepuasan diri mereka
sendiri. Hal tersebut berarti bahwa konflik tidak perlu menjadi kekerasan dan tampaknya
menjadi bagian yang tak terelakkan dalam interaksi umuat manusia. Kaum realis kemudian
membatasi perhatian mereka pada penyebab dan karakteristik peperangan atau konflik. Salah
satu penyebab konflik yang diidentifikasi oleh realisme adalah ekonomi yang dianggap
seperti dagang. Banyak perang yang terjadi karena perebutan sumber daya alam oleh negara.
Dan konflik itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Terkait konflik dan kekeasan,
terdapat pandangan berbeda antara kaum realisme dengan liberalisme. Bagi liberalisme
melihat konflik dan kekerasan telah menjadi salah satu fokus utama HI liberal. Dengan cara-
cara tersendiri, kaum liberal memandang diri mereka sebagai aktivis yang mendukung
terciptanya perdamian. Keinginan mereka untuk mengakhiri konflik dan kekerasan ini terlihat
dalam teori perdamaian liberal dan pernyataan-pernyataan mereka mengenai perdamaian dan
keamanan.

Penutup

Meskikipun teori realisme dan liberalisme berhasil menjadi hegemon secara akademik
dan non akademik dalam hubungan internaisonal karena kemampanan keduanya dalam
menjelaskan fenomena internasional. Akan tetapi, di satu sisi keduanya memiliki kelemahan
masing-masing. Keduanya pun boleh dikatakan merupakan teori yang paling banyak dikritisi
oleh teori dalam studi hubungan internaisonal yang muncul setelahnya.

Bila keduanya dibandingkan, terdapat begitu banyak perbedaan pandangan mulai dari
asumsi-asumsi yang mereka bangun, dan cara pandang dalam melihat beberapa tema dalam
fokus kajian studi hubungan internasional. Salah satu tema studi HI yang menarik perhatiaan
adalah kesenjangan dan keadilan. Kaum liberal memusatkan perhatian pada pentingnya
kesetaraan formal antara satu dengan yang lain dan persamaan hal. Kaum idealis menuntut
bahwa permasalahan keadilan dan hak merupakan tema utama dalam Hubungan
internasional. Kaum liberal pun sangat aktif mendukung berbagai rezim hal asasi manusia
melalui PBB. Kaum liberal dari spektrum politik kanan cenderung memusatkan perhatian
pada pentingnya kesetaraan formal dan kesempatan-kesempatan yang sama, hal setiap
individu diperlakukan sama di mata hukum dan kesempatan yang sama berpartisipasi dalam
masyarakat atau bersaing dalam pasar. Sebaliknya kaum liberal “sayap kiri” cenderung lebih
menyetujui campur tangan negara dalam hal kesenjangan sosial dan batasan terhadap
berabagi persamaan kesempatan. Kaum realis sendiri berpendapat bahwa negara tidak punya
alasan untuk memberikan komentar atau mengkritik tatanan politik, domestik, sosial dan
ekonomi negara-negara lainnya. Tindakan ini didasari atas prinsip kedaulatan. Negara-negara
ralatif berdiam diri mengenai hak-hak kewarganegaraan dari negara lain dan sudah
seharusnya seperati itu.
Referensi

Burchil, Scott dan A. Linklater. 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusa
Media

Jackson, Robert dan Georg Sorensen. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Linklater, A.. 1995. Neo-realism in Theory and Practice, dalam K. Boot dan S. Smith,
International Relations Theory Today, Cambridge

Robert, Gilpin,. 1987. Three Ideologies of Political Economy, dalam the Political Economy
of International Relations, Princeton: Princeton University Press

Steans, Jill dan Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional:Perspektif Dan Tema.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Waltz, Kneth. America as a Model for World?, dalam PS: Politics Science and Politics,
vol.24 no. 4, 1991

Anda mungkin juga menyukai