Anda di halaman 1dari 20

POLA PENGLAJUAN PENDUDUK

KOTA BATANG DAN PEKALONGAN

oleh: Novida Waskitaningsih

Abstract:
Urbanization does not only take place in big cities and cause mega urban regions, but also takes place in
small cities which linkages big cities. The later causes indistinguish difference between rural and urban
regions, so it becomes an extended micro urban regions. This such kind of phenomenon also takes place in
Batang and Pekalongan City which are included small cities between Cirebon and Semarang City. Those
cities are located about 9 km each other from the city centre and passed by main way of transportation in
Java. Based on that fact, the interaction among them is very high, where one of the interaction is reflected by
its population movement, especially its population commuting that was happened everyday. Based on the
result of this research, it is found that commuting pattern in both cities is home to work, and commuter is
dominated by employee with 1-3 millions salary per month. The Batang and Pekalongan population
commuting comes from residential to mix region with working purpose. Almost commuters have their own
vehicles and use them to go to work. The commuting cost is relatively cheap and based on its commuting
frecuency, more than a half of commuters are daily commuters. From the finding, it can be concluded that
there is the same tendency commuting pattern between Batang and Pekalongan City population. It seems that
there is such population exchanging among them to do their activities, but it does not affect urban
productivities significantly. On the other hand, its high commuting population also indicates that the
interaction and interdependency among them is very high. It is caused by the location which is close to each
other and the difference of the two cities order which implies on the difference of urban facilities. The
transportation infrastructure also has an important role on it. All of them make indistinguish difference
between two cities and cause an urbanisation, so it is possible that it can form an extended micro urban
regions in the future, which if it can not be overcame well, it will cause bigger multiplier effect.

Keywords: urbanization, extended micro-urban regions, population commuting pattern

PENDAHULUAN
Urbanisasi di Indonesia pada umumnya terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya,
Bandung, dan Medan, yang pada umumnya masih menunjukkan adanya urban primacy, yaitu suatu
kecenderungan mendominasinya suatu kota besar terhadap kota-kota/ daerah di belakangnya. Kota-
kota tersebut dihubungkan oleh jaringan transportasi yang mendukung kegiatan di dalamnya, sehingga
dalam perkembangannya kota-kota tersebut terkait satu sama lain. Adanya keterkaitan tersebut
mengakibatkan terjadinya proses transformasi ruang dan sosio-ekonomik wilayah kota–kota kecil di
sekitarnya sebagai akibat dari proses modernisasi dan industrialisasi kota-kota besar (inti), yang pada
akhirnya mengakibatkan perkembangan kota-kota tersebut terkesan menyatu (Sugiana, 2005: 42).
Menyatunya kota-kota tersebut pada akhirnya mengakibatkan terjadinya fenomena wilayah perkotaan
yang sangat besar (mega-urban regions), seperti halnya yang terjadi di kota-kota megapolitan seperti Kota
Jakarta dengan kota-kota kecil di sekitarnya (Jabodetabek), dimana kota megapolitan tersebut berperan
sebagai inti (Firman dan Tjahjati, 2005).
Fenomena urbanisasi yang mengakibatkan terjadinya proses transformasi ruang dan sosio-
ekonomik wilayah juga terlihat pada wilayah desa-kota, yaitu wilayah yang berada di sepanjang koridor
perkotaan yang menghubungkan kota-kota besar seperti koridor Serang-Jakarta-Karawang, Jakarta-
Bandung, Cirebon-Semarang, Semarang-Yogyakarta, dan koridor Surabaya-Malang. Pada umumnya,
kota-kota tersebut merupakan wilayah padat penduduk dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif
cepat bila dibandingkan dengan wilayah pedesaan di belakangnya (Sugiana, 2005). Adapun kegiatan
yang ada di dalamnya masih mencerminkan kehidupan pertanian, yang kemudian dengan adanya proses
pengkotaan tersebut, berkembang sektor informal, sehingga terjadi percampuran yang dinamis dan
intensif antara kehidupan desa dan kota. Oleh karena itu, pembentukan koridor-koridor perkotaan di
antara kota-kota besar tersebut diwarnai oleh semakin kaburnya perbedaan antara wilayah perkotaan
dan wilayah pedesaan, sehingga tercipta hubungan yang sangat erat antara keduanya (Firman, 2000).

1
Pola ini diperkirakan akan terus mewarnai perkembangan kota-kota, dimana pada tahun 2020
mendatang tidak kurang dari 100 juta penduduk akan bermukim di sepanjang koridor-koridor
perkotaan tersebut (Mc Gee dalam Firman, 1996).
Dengan adanya fenomena urbanisasi yang terjadi di sepanjang koridor perkotaan yang
menghubungkan kota-kota besar, dan diikuti dengan semakin kaburnya batas antara wilayah perkotaan
dan wilayah pedesaan mengakibatkan terjadinya perluasan wilayah perkotaan mikro (extended micro
urban-regions) antara kota-kota kecil di sepanjang koridor yang menghubungkan kota-kota besar.
Mengingat pentingnya peran kota-kota kecil dalam perkembangan suatu kota, maka perkembangan
kota kecil tidak dapat diabaikan begitu saja. Kota-kota kecil tersebut justru perlu mendapatkan
perhatian yang besar agar perkembangan kota menjadi terarah dan terintegrasi dengan kota yang lebih
besar maupun daerah belakangnya, sehingga tercipta suatu sistem pembangunan perkotaan nasional
yang hirarkis.
Salah satu fenomena yang mirip dengan terjadinya perluasan wilayah perkotaan mikro, yang
ditandai oleh kaburnya batas antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan adalah Kota Batang dan
Pekalongan, yang berada di koridor perkotaan Kota Cirebon-Semarang. Kedua kota tersebut memiliki
karakteristik yang sangat unik, karena letak pusat kotanya yang berbatasan secara langsung, yaitu 9 km
dan dapat ditempuh kurang dari 1 jam, sehingga terkesan tidak ada batas administrasi yang jelas seperti
layaknya kota kecil lainnya. Padahal pada umumnya, jarak antara kota kecil yang satu dengan kota kecil
lainnya adalah kurang lebih 20-30 km. Di sisi lain, Kota Batang dan Pekalongan merupakan pusat
pemerintahan administratif, sehingga secara fungsional keduanya merupakan pusat pelayanan bagi
seluruh aktivitas yang ada di wilayah sekitarnya. Perannya sebagai pusat pelayanan, berdampak pada
tingginya interaksi antara kedua kota, yang salah satunya dapat dilihat dari pergerakan penduduk yang
cukup tinggi, baik pergerakan internal maupun eksternal. Belum lagi dengan adanya kedekatan lokasi
antara Kota Batang dan Pekalongan menjadikan tingginya pergerakan yang terjadi, terutama pergerakan
eksternal berupa penglajuan penduduk dari dan menuju kedua kota tersebut. Hal ini juga didukung
oleh letak kedua kota yang aksesibel karena berada pada jalur utama pantai utara Jawa. Letak kedua
kota yang berdekatan dan aksesibel dengan didukung oleh keberadaan moda transportasi yang baik
akan semakin memperbesar penglajuan yang terjadi antara keduanya. Di samping itu, besarnya
penglajuan penduduk Kota Batang dan Pekalongan juga dipengaruhi oleh adanya perbedaan
karakteristik kedua kota. Hal ini terlihat dari perbedaan kelengkapan fasilitas perkotaannya, dimana
Kota Pekalongan mempunyai fasilitas perdagangan modern berupa mall dan fasilitas pendidikan
berupa perguruan tinggi yang tidak dimiliki oleh Kota Batang. Tingginya tingkat penglajuan penduduk
antara kedua kota tersebut pada akhirnya dapat membentuk suatu pola penglajuan yang rutin dan
berulang-ulang.
Adanya fenomena penglajuan penduduk yang terjadi di Kota Batang dan Pekalongan
menimbulkan kesan bahwa kedua kota mengalami perkembangan yang menyatu satu sama lain,
sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif bagi perkembangan kedua kota apabila
fenomena tersebut tidak dapat disikapi dengan positif. Buruknya dampak perkembangan kedua kota
tersebut antara lain dapat menimbulkan terjadinya perluasan wilayah perkotaan mikro yang disertai
dengan penurunan kualitas lingkungan, konversi lahan dan berbagai permasalahan perkotaan lainnya.
Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan pengelolaan pembangunan khusus bagi keduanya. Hal
tersebut salah satunya dapat diwujudkan dengan adanya kerjasama antara Kota Batang dan Pekalongan.
Namun, kebijakan mengenai perkembangan perkotaan di Indonesia, terutama di Kota Batang dan
Pekalongan masih bersifat egois, karena pengelolaan pembangunan kota masih dipandang dalam
konteks administrasi. Kebijakan-kebijakan yang ada, masih mementingkan/ memandang batas
administratif suatu kota, dengan adanya sistem kota yang berjenjang. Hal tersebut menimbulkan kesan
egois dan tidak mengakomodasi fenomena perkembangan perkotaan yang ada saat ini, sehingga pada
akhirnya dapat mengakibatkan inefisiensi pengelolaan perkotaan. Kebijakan pengelolaan perkotaan
tersebut dinilai sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan kota saat ini, karena dalam menangani
masalah perkotaan harus didasarkan dalam konteks wilayah (Mc Gee dalam Firman, 2000). Ditambah
lagi, dalam konteks otonomi daerah, perkembangan suatu kota tidak dapat berdiri sendiri, melainkan
terkait erat dengan pengembangan wilayah yang lebih luas, sehingga perencanaan dan pengembangan
kota harus diletakkan dalam kerangka pengembangan wilayah (Napitupulu, 2005: 14).

2
Dengan adanya fakta masih adanya pengelolaan kota yang berdasarkan wilayah administrasi,
padahal di sisi lain terdapat fenomena penglajuan antara penduduk Kota Batang dan Pekalongan serta
adanya kecenderungan terjadinya perluasan wilayah perkotaan mikro antara kedua kota, maka
penelitian mengenai pola penglajuan dinilai sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini dilakukan
berdasarkan pada preferensi penduduk dalam melakukan aktivitas untuk kemudian berdasarkan pola
yang terbentuk dapat ditentukan pengaruhnya terhadap perkembangan masing-masing kota untuk
dijadikan dasar dalam penyusunan kebijakan pengelolaan pembangunan antara Kota Batang dan
Pekalongan. Untuk itu, muncul pertanyaan yang mendasari penelitian yang akan dilakukan
”Bagaimanakah pola penglajuan penduduk Kota Batang dan Pekalongan yang terbentuk dari interaksi penduduk
dalam melakukan aktivitasnya?.”

PENGLAJUAN PENDUDUK DALAM KONTEKS URBANISASI


Urbanisasi
Urbanisasi berarti proses pengkotaan, yaitu proses pengembangan atau mengkotanya suatu
daerah (desa) dengan lebih menekankan pada segi-segi sosial budaya (Raharjo, 1983: 55 dalam Asy’ari,
1993: 62). Dalam hal ini, urbanisasi tidak diartikan secara klasik sebagai perpindahan penduduk dari
desa ke kota, akan tetapi lebih kepada konteks perkembangan kekotaan. Dalam arti yang lebih luas,
urbanisasi juga dapat diartikan sebagai substansi pergeseran/ transformasi perubahan corak sosial
ekonomi masyarakat perkotaan yang berbasis industri dan jasa (Mardiansjah, 2005). Menurut Asy’ari
(1993: 61), urbanisasi merupakan suatu proses yang digerakkan oleh perubahan-perubahan struktural
dalam masyarakat, sehingga daerah yang dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata
pencaharian yang agraris lambat laun atau melalui proses yang mendadak memperoleh sifat kehidupan
kota.
Pada umumnya, urbanisasi ditandai oleh meluasnya wilayah perkotaan karena pesatnya
perkembangan dan meluasnya daerah pinggiran terutama di kota-kota besar dan metropolitan. Semakin
luasnya perkembangan fisik perkotaan di kawasan suburban yang telah menyatu dengan kota inti dan
membentuk konurbasi yang tidak terkendali, serta meningkatnya jumlah desa kota (desa yang tergolong
daerah perkotaan) juga dinilai sebagai salah satu tanda terjadinya urbanisasi. Indikator terjadinya
urbanisasi juga dapat berupa reklasifikasi (perubahan daerah pedesaan menjadi daerah perkotaan), serta
adanya kecenderungan penurunan tingkat pertumbuhan penduduk kota inti di kawasan metropolitan
(Napitupulu, 2005: 3). Adapun Mardiansjah (2005) berpendapat bahwa penyebab terjadinya urbanisasi
antara lain adanya pengembangan aktivitas baru, lokasi yang strategis, kelengkapan fasilitas sosial
ekonomi, kelengkapan sarana prasarana transportasi, difusi inovasi (faktor kemajuan dan peningkatan
bidang teknologi), serta kebijakan pemerintah.
Proses terjadinya urbanisasi pada dasarnya dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu
berdasarkan aspek demografi, ekonomi dan sosial (Mc Gee, 1971). Dilihat dari aspek demografi, proses
urbanisasi dapat terjadi apabila kota-kota tumbuh dan berkembang dengan cepat serta proporsi jumlah
penduduk di daerah perkotaan meningkat jika dibanding dengan jumlah penduduk di daerah pedesaan.
Pada umumnya, kota berkembang dengan tiga cara, antara lain karena pertumbuhan penduduk, dimana
permukiman yang semula diklasifikasikan sebagai daerah pedesaan, diklasifikasikan sebagai daerah
perkotaan (reklasifikasi). Kedua, kota dapat berkembang melalui peningkatan jumlah kelahiran yang
melebihi jumlah kematian (pertumbuhan alamiah) serta karena pergerakan/ perpindahan penduduk
dari daerah nonperkotaan (pedesaan) ke daerah perkotaan. Dari ketiga cara perkembangan penduduk
tersebut, pergerakan/ perpindahan penduduk dari daerah pedesaan menuju daerah perkotaan dinilai
menjadi komponen yang paling mempengaruhi perkembangan kota di negara-negara maju. Hal
tersebut berbeda dengan perkembangan kota di negara berkembang, dimana menurut Firman dan
Tjahjati (2005), migrasi/ perpindahan penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan dan
reklasifikasi merupakan komponen/ faktor utama dalam mendukung perkembangan kota. Kedua
komponen tersebut memberikan andil dua pertiga pada kenaikan jumlah penduduk perkotaan,
sedangkan pertumbuhan alamiah hanya memberikan andil sebesar sepertiga bagian. Untuk kasus di
negara-negara berkembang, faktor yang paling mempengaruhi peningkatan jumlah penduduk dalam
kota antara lain karena adanya penurunan angka tingkat kematian, terutama tingkat kematian bayi,

3
perluasan ukuran daerah perkotaan, munculnya kota-kota satelit (kota baru) yang menyediakan lahan
perumahan di daerah pinggiran kota, serta adanya migrasi desa-kota (Mc Gee, 1971).
Jika dilihat dari aspek ekonomi, proses urbanisasi terjadi karena adanya pergeseran lapangan
pekerjaan dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, seperti perdagangan dan industri. Dengan
adanya pergeseran sektor lapangan pekerjaan tersebut berdampak pada meningkatnya produktivitas
ekonomi suatu kota yang pada akhirnya akan meningkatkan perkembangan dan aktivitas kota. Hal
tersebut dapat terjadi karena sektor pertanian masih mengandalkan lahan sebagai instrumen utama dan
permintaan terhadap produk pertanian kurang elastis, dalam arti cenderung konstan dari waktu ke
waktu. Adapun sektor perdagangan-jasa dan industri menggunakan lahan hanya sebagai site, dan
permintaan terhadap produknya cenderung lebih elastis. Ketika produktivitasnya meningkat, sektor
perdagangan-jasa dan industri dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja dengan upah yang lebih tinggi,
jika dibandingkan dengan sektor pertanian yang apabila teknologi pengolahannya meningkat, biaya/
modal yang diperlukan juga meningkat. Di sisi lain, tenaga kerja yang dibutuhkan akan berkurang
apabila dibandingkan dengan penggunaan teknologi yang masih tradisional.
Proses urbanisasi yang terjadi melalui aspek sosial terlihat dari perubahan pola pikir dan gaya
hidup masyarakatnya, seperti berkurangnya jumlah anggota keluarga dan menurunnya peran agama
dalam kehidupan masyarakatnya. Kota dianggap sebagai pusat perubahan sosial, yang memperkenalkan
pola sosial baru dan mematahkan pola sosial yang lama, dimana pola tersebut tidak hanya berkutat di
perkotaan tetapi juga menyebar ke daerah pedesaan.
Fenomena urbanisasi sangat mempengaruhi dinamika tumbuh kembangnya suatu kota yang
antara lain dapat dilihat dari aspek sosial ekonomi dan aspek lingkungan. Dilihat dari aspek sosial
ekonomi, urbanisasi dapat mengakibatkan rendahnya kualitas SDM karena tidak bisa menyesuaikan
dengan perubahan yang terjadi, sehingga pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya pengangguran,
berkembangnya sektor informal, serta kemiskinan. Adapun jika dilihat dari aspek lingkungan,
urbanisasi dapat mengakibatkan kemerosotan lingkungan fisik, dan masalah sarana prasarana, seperti
munculnya kawasan kumuh, polusi, konversi lahan, kemacetan, permukiman liar, dan lain sebagainya
(Mardiansjah, 2005). Sementara itu, Firman dan Tjahjati (2005: 92) menyatakan bahwa implikasi dari
urbanisasi dilihat dari aspek fisik adalah meluasnya wilayah perkotaan terutama di kawasan pinggiran,
sehingga menimbulkan terjadinya urban sprawl, dan terjadinya pengintegrasian kota-kota yang lebih kecil
di sekitar kota inti akibat meluasnya perkembangan fisik kota. Adanya pengintegrasian kota-kota
tersebut mengakibatkan terjadinya interaksi yang sangat tinggi antara kota-kota tersebut.

Kota Kecil dan Perannya terhadap Perkembangan Kota


Sejak diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan UU 32
tahun 2004 tentang Otonomi Daerah membawa dampak pada perubahan mekanisme pemerintahan di
masing-masing daerah. Salah satu hal yang menjadi konsekuensi dari perubahan tersebut adalah
dilimpahkannya wewenang mengenai pengaturan dan pengelolaan sumber daya lokal, sehingga
mengakibatkan masing-masing daerah mempunyai kekuatan dan daya tarik masing-masing. Hal
tersebut pada akhirnya berdampak pada adanya aliran pergerakan penduduk ke daerah tersebut untuk
mendapatkan pelayanan yang lebih baik tanpa harus ke kota besar.
Kota kecil muncul sebagai salah satu dampak dari Otonomi Daerah, adanya arus urbanisasi
serta perkembangan wilayah perkotaan yang merembet ke luar (ekspansi kenampakan kota secara fisik)
akibat konversi penggunaan lahan. Adapun kriteria yang digunakan sebagai dasar untuk menentukan
kota kecil dalam hierarki kekotaan berbeda antara satu kota dengan kota yang lain, tergantung pada
pola permukiman perkotaan, tingkat pembangunan, dan struktur ekonomi. Akan tetapi, kriteria yang
paling umum dan sering digunakan adalah ukuran/ jumlah penduduk (Rondinelli, 1983: 47).
Menurut Rondinelli (1983), ditinjau dari karakteristik penduduknya, kota kecil merupakan kota
dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 100.000 jiwa. Sedangkan menurut Jayadinata, kota kecil
merupakan suatu wilayah yang memiliki jumlah penduduk antara 50.000-100.000 jiwa (di Pulau Jawa)
atau 20.000-100.000 jiwa (di luar Pulau Jawa).
Ditinjau dari karakteristik sosial dan ekonomi, kota-kota kecil cenderung mempunyai
kombinasi karakteristik sosial ekonomi pedesaan dan perkotaan, dalam arti perekonomian didominasi
oleh sektor perdagangan jasa dan industri primer dalam skala kecil serta sektor pertanian. Dari segi
sosial, kota kecil mempunyai tingkat inmigrasi yang relatif tinggi, penduduk yang heterogen dan lebih

4
berpendidikan daripada daerah pedesaan. Kota kecil juga cenderung mempunyai keanekaragaman yang
lebih besar serta mutu fasilitas dan pelayanan sosial yang lebih baik daripada kota-kota yang lebih kecil
dan daerah pedesaan. Namun, kota kecil juga mempunyai mutu fasilitas dan pelayanan sosial yang
masih lebih kecil jika dibandingkan dengan kota-kota yang lebih besar (Rondinelli, 1983).
Pertumbuhan kota-kota kecil di negara berkembang, khususnya di Indonesia relatif lebih
lambat jika dibandingkan dengan kota-kota besar. Oleh karenanya, kota kecil mempunyai peran yang
lemah dalam menyerap peningkatan jumlah penduduk atau dalam menciptakan distribusi keruangan
penduduk yang lebih seimbang. Dengan kata lain, kota-kota kecil belum berperan secara optimal untuk
menjadi penyangga kota-kota besar. Migrasi penduduk dari pedesaan dan kota-kota kecil masih
mempunyai peran yang besar dalam perluasan primate cities dan dalam pertumbuhan daerah
metropolitan (Rondinelli, 1983).
Perkembangan kota yang cenderung masih sangat tergantung pada kota-kota besar akibat
masih mendominasinya peran kota besar, mengakibatkan munculnya fenomena kota-kota kecil. Dalam
pengembangannya, kota kecil diharapkan dapat meningkatkan dekonsentrasi/ menyebarkan pola
urbanisasi, sehingga dapat mencegah polarisasi dan mendorong perekonomian pedesaan (Rondinelli,
1983). Untuk itu, peran kota kecil dinilai sangat penting dalam pembangunan nasional dan regional.
Lebih lanjut, Rondinelli menjelaskan pentingnya peran kota kecil dalam pembangunan nasional
dan regional, yaitu sebagai dekonsentrasi urbanisasi, dalam hal ini untuk mengurangi besarnya
konsentrasi penduduk yang bermigrasi ke kota besar, sehingga beban kota besar tidak terlalu berat.
Dengan berkurangnya konsentrasi penduduk di kota besar dan bertambahnya penduduk di kota-kota
kecil, maka polarisasi penduduk pada suatu kota besar dapat dicegah, serta dapat meringankan
permasalahan di kota yang lebih besar. Dengan demikian, secara tidak langsung, dapat mengurangi
ketimpangan/ disparitas antarwilayah, karena perekonomian pedesaan dan kota-kota kecil yang ada
semakin maju serta kapasitas administratif semakin meningkat. Pada akhirnya, produktivitas wilayah
pedesaan dan kota-kota kecil menjadi lebih meningkat dan kemiskinan di perkotaan dapat dikurangi
(Rondinelli, 1983).
Menurut Mathur (1982), peran kota-kota kecil antara lain dapat mencegah adanya urban primacy,
yaitu kecenderungan masih mendominasinya kota-kota besar terhadap daerah belakangnya. Di samping
itu, kota kecil juga berperan sebagai fasilitator pertumbuhan kota metropolitan melalui desentralisasi,
menyediakan aksesibilitas bagi daerah pedesaan terhadap pelayanan kota yang lebih tinggi,
menjembatani hubungan antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan, serta meningkatkan integrasi
keruangan nasional melalui pemerataan populasi.
Adapun de Jong (1988) dalam Sugiana (2005) menambahkan bahwa dalam kaitannya dengan
proses transformasi di pedesaan maupun dengan proses perkembangan kota-kota besar, peran kota
sedang dan kecil adalah sebagai pusat pelayanan dan perbelanjaan kebutuhan masyarakat pedesaan di
sekitarnya, sebagai simpul pelayanan wilayah yang berfungsi mengurangi beban migrasi desa-kota ke
wilayah metropolitan, serta sebagai pendukung dan tempat pemasaran untuk kegiatan pertanian.
Berdasarkan peran-peran kota kecil di atas, dapat diketahui bahwa peran kota kecil sangat
besar terhadap perkembangan suatu kota. Kota kecil dapat menjadi pemecah konsentrasi penduduk di
kota-kota besar, sehingga dapat mengurangi beban yang ditanggung oleh kota besar tersebut. Hal
tersebut terjadi karena kota-kota kecil sudah memiliki ciri-ciri kekotaan yang salah satunya tercermin
dari adanya kelengkapan fasilitas pelayanan kota, yang walaupun tidak selengkap di kota-kota besar,
mengakibatkan penduduk tidak langsung lari ke kota besar untuk mendapatkan fasilitas dan pelayanan
kota yang lebih baik. Di samping itu, kota kecil juga mempunyai peran dalam meningkatkan integrasi
keruangan nasional, karena menjadi penghubung antara kota yang bersifat modern dan desa yang
masih bersifat tradisional. Dengan adanya kota-kota kecil, perbedaan yang terlalu mencolok antara kota
dan desa dapat diminimalisasi karena kota kecil mempunyai aktivitas campuran antara kota dan desa.
Dengan demikian, paling tidak dapat mengurangi disparitas antara kota dan desa. Namun, pada
kenyataannya, peran kota-kota kecil di Indonesia saat ini dinilai belum terlalu besar dalam
perkembangan kota di Indonesia. Hal tersebut terlihat dari masih adanya kecenderungan urban primacy,
dimana terdapat kecenderungan penduduk pedesaan yang melakukan urbanisasi ke kota-kota besar
untuk mendapatkan fasilitas pelayanan kota dan penghidupan yang lebih baik. Untuk itu, diperlukan
suatu upaya agar peran kota-kota kecil dapat meningkat agar permasalahan-permasalahan perkotaan
yang selama ini terjadi dapat diminimalisasi.

5
Interaksi antarkota Kecil
Kota-kota kecil di Indonesia salah satunya dapat dijumpai di sepanjang koridor perkotaan yang
menghubungkan kota-kota besar. Kota-kota kecil tersebut membentuk jalur memanjang dan menerus
seakan-akan tidak ada batas yang memisahkan kota kecil tersebut dengan jelas. Dalam
perkembangannya, kota-kota kecil tersebut di samping berinteraksi dengan kota-kota yang lebih besar,
juga berinteraksi dengan kota-kota kecil lainnya yang letaknya saling berdekatan. Dalam hal ini
merupakan Kota Batang dan Pekalongan.
Interaksi dapat diartikan sebagai hubungan antara dua wilayah atau lebih yang dapat
menimbulkan suatu kenyataan baru dalam wujud tertentu. Interaksi juga dapat dilihat sebagai suatu
proses sosial, ekonomi, budaya ataupun politik, dan sejenisnya yang lambat atau cepat dapat
menimbulkan suatu realita atau kenyataan (Bintarto, 1983: 61). Menurut Ullman, interaksi meliputi
gerak barang, penumpang, migran, uang dan informasi (Daldjoeni, 1998: 245). Interaksi tersebut
didasarkan pada pergerakan penduduk dan barang serta informasi yang menyertai tingkah laku
penduduk dari suatu tempat ke tempat lainnya, baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi maupun
kebutuhan sosial lainnya (Daldjoeni, 1998).
Interaksi keruangan pada akhirnya akan menghasilkan suatu pola distribusi kota. Menurut
Rondinelli (1983), interaksi keruangan dalam pengembangan suatu wilayah terdiri dari:
• Keterkaitan fisik, berbentuk keterkaitan manusia melalui jaringan transportasi baik alami maupun
rekayasa.
• Keterkaitan ekonomi, berkaitan erat dengan pemasaran, sehingga terjadi aliran berbagai jenis bahan
dan barang manufaktur, modal dan keterkaitan produksi ke depan dan ke belakang di antara
berbagai kegiatan ekonomi.
• Keterkaitan pergerakan penduduk, berupa pola migrasi baik permanen maupun temporer.
Keterkaitan ini merupakan gambaran dari keterkaitan wilayah pedesaan dengan keterkaitan
pedesaan dan perkotaan maupun keterkaitan antar-perkotaan.
• Keterkaitan teknologi, terutama peralatan, cara dan metode produksi harus terintegrasi secara
spasial dan fungsional karena inovasi teknologi saja tidak akan memacu transformasi sosial dan
ekonomi pada suatu wilayah jika tidak disesuaikan dengan kebutuhan wilayah tersebut.
• Keterkaitan sosial, merupakan dampak dari keterkaitan ekonomi terhadap pola hubungan sosial
penduduk.
• Keterkaitan pelayanan sosial, seperti rumah sakit, puskesmas, sekolah dan sebagainya.
• Keterkaitan administratif, politik dan kelembagaan, misalnya pada struktur pemerintahan, batas
administratif maupun sistem anggaran dan biaya pembangunan.
Berdasarkan pada penjelasan dan pendapat Rondinelli (1983), maka fokus dari penelitian ini adalah
hanya melihat bentuk interaksi antarkota dari keterkaitan pergerakan penduduknya, khususnya
penglajuan antara kota kecil, dalam hal ini Kota Batang dan Pekalongan.

Penglajuan Penduduk
Penglajuan penduduk yang merupakan salah satu bentuk dari pergerakan penduduk
merupakan salah satu perwujudan dari interaksi antarkota. Penglajuan atau yang dikenal dengan gerak
ulang-alik merupakan gerak keluar dari daerah dan kembali ke daerah asal secara teratur dengan selang
waktu 6 sampai 24 jam. Penglajuan ini merupakan suatu bentuk alternatif antara pindah ke tempat baru
dan tetap menetap di tempat asal. Dalam pembahasannya penglajuan penduduk ini dapat dianalogikan
dengan pergerakan penduduk.
Secara umum, terdapat dua faktor yang mempengaruhi pergerakan penduduk. Faktor pertama,
merupakan faktor yang mendorong orang untuk melakukan pergerakan ke tempat baru. Hal ini
didorong oleh adanya kondisi yang ada di pedesaan. Faktor-faktor tersebut antara lain tingkat
pertumbuhan penduduk pedesaan yang tinggi, ketersediaan lahan yang semakin sedikit, tingkat
pendapatan dan produktivitas pertanian yang rendah, serta lemahnya sektor pertanian. Faktor kedua,
merupakan faktor-faktor yang menarik orang untuk melakukan pergerakan. Hal ini didorong oleh
adanya kondisi yang ada di perkotaan. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain tingkat kepuasan
hidup yang lebih besar di perkotaan, kesempatan kerja yang lebih tinggi dan bervariasi di bidang
industri, perdagangan dan jasa, perkembangan perekonomian perkotaan yang lebih maju, serta
ketersediaan fasilitas kota yang lebih lengkap. Secara lebih khusus, terdapat faktor mikro yang

6
mempengaruhi orang melakukan pergerakan antara lain adanya koneksi di tempat tujuan, adanya
informasi dan fasilitas serta dukungan dari migran sebelumnya di tempat tujuan, serta perbedaan
tingkat pendapatan, tingkat kepemilikan lahan, ukuran rumah tangga, tingkat pendidikan, status,
informasi tentang tempat tujuan dan lain sebagainya (Parnwell, 1993).
Sementara itu, menurut Warpani (1990) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
pergerakan pada suatu kota, salah satunya adalah maksud pergerakan. Pada dasarnya setiap pergerakan
didasari oleh maksud tertentu, yang mungkin saja berbeda antara satu individu dengan individu lainnya,
walaupun tujuan pergerakan sama. Misalnya untuk bekerja, belajar, berbelanja dan lain sebagainya.
Faktor kedua adalah penghasilan/ pendapatan keluarga yang juga berkaitan dengan kepemilikan
kendaraan untuk melakukan pergerakan. Di sisi lain, faktor kepemilikan kendaraan juga berkaitan
dengan jarak dari pusat kegiatan kota. Penggunaan lahan, baik di tempat asal maupun tujuan, juga dapat
dijadikan sebagai akibat maupun sebab melakukan pergerakan.
Jarak dari pusat kegiatan kota juga dinilai mempengaruhi pergerakan pada suatu kota, dimana
semakin dekat jarak dengan pusat kegiatan kota, pada umumnya pergerakan yang terjadi semakin besar.
Jarak dari pusat kegiatan kota ini juga berkaitan dengan jauhnya pergerakan, yang sangat bergantung
pada moda transportasi yang digunakan. Faktor ini sangat penting untuk diperhatikan dalam
menentukan peruntukan lahan dan meminimumkan jarak serta biaya pergerakan. Faktor berikutnya
adalah waktu pergerakan. Faktor ini merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan besarnya
pergerakan yang terjadi dalam waktu 24 jam/ hari, dimana biasanya selama 24 tersebut, terdapat jam-
jam padat/ sibuk. Faktor terakhir adalah moda pergerakan. Moda pergerakan ini dapat digunakan
dalam pengelompokan macam pergerakan, dalam arti menggunakan moda transportasi pribadi atau
moda transportasi umum. Di samping itu, moda juga dapat diartikan sebagai cara dalam melakukan
pergerakan. Dengan kata lain dapat diartikan sebagai pergerakan dengan motorize maupun non-motorize.
Menurut Tamin (1997), pergerakan/ penglajuan dapat dibedakan menjadi tiga, antara lain
pergerakan yang berdasarkan tujuan. Untuk pergerakan berbasis rumah tangga, tujuan pergerakan yang
paling sering digunakan adalah pergerakan ke tempat kerja, pergerakan dengan tujuan pendidikan,
pergerakan ke tempat belanja, pergerakan untuk kepentingan sosial dan rekreasi dan lain-lain. Adapun
pergerakan yang berdasarkan waktu, pada umumnya dibedakan dalam pergerakan pada jam sibuk dan
tidak sibuk. Pergerakan yang berdasarkan jenis orang, lebih ditekankan pada kondisi sosial ekonominya,
antara lain tingkat pendapatan, tingkat kepemilikan kendaraan, ukuran dan struktur rumah tangga dan
lain sebagainya.
Penglajuan ini biasanya terjadi pada wilayah/ kota yang tidak sama hierarkinya, dimana
penglaju biasanya pergi ke kota yang lebih tinggi hierarkinya, untuk mengakses fasilitas umum yang
lebih lengkap selama jarak antara kedua kota tersebut masih relatif dekat. Namun, tidak selamanya
demikian, penglajuan juga dapat terjadi pada kota-kota yang hampir sama hierarkinya, karena adanya
kedekatan lokasi dan perbedaan karakteristik kota. Dengan demikian, penduduk yang ada di kota-kota
yang saling berdekatan tersebut seolah-olah mempunyai lebih banyak pilihan, misalnya untuk
mendapatkan pelayanan umum, bekerja, belajar dan lain sebagainya. Adanya aktivitas penglajuan ini
membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan kota, dimana aktivitas penglajuan yang besar
dengan intensitas yang cukup tinggi ke suatu kota akan membentuk suatu pola penglajuan tertentu.
Adapun pola penglajuan itu sendiri sangat berkaitan erat dengan asal dan tujuan, maksud, lamanya
penglajuan serta volume dan frekuensi penglajuan, di samping juga berkaitan dengan pelaku penglaju,
baik dari segi pendidikan, pendapatan, mata pencaharian dan kepemilikan kendaraan pribadi serta tata
guna lahan baik di tempat asal maupun tujuan.

Penglajuan Penduduk dalam Konteks Urbanisasi


Pergerakan penduduk, termasuk di dalamnya berupa penglajuan dari satu tempat ke tempat
yang lain merupakan suatu sistem yang terdiri atas beberapa subsistem, seperti sistem aktivitas, sistem
jaringan dan sistem pergerakan yang keterkaitannya dipengaruhi oleh sistem kelembagaan
(Kusbiantoro, 2005). Subsistem-subsistem tersebut memiliki keterkaitan yang sangat erat dalam
pertumbuhan dan perkembangan kota secara keseluruhan. Apabila keempat subsistem pergerakan
tersebut berfungsi dengan baik, maka akan berdampak pada pesatnya pertumbuhan dan perkembangan
kota. Pergerakan penduduk yang didukung dengan kemajuan transportasi, komunikasi, kelengkapan

7
fasilitas perkotaan di tempat tujuan, kedekatan lokasi, dan lokasi yang strategis akan menjadi faktor-
faktor yang mendorong terjadinya urbanisasi (Daldjoeni, 1998; Mardiansjah, 2005).
Pergerakan penduduk akan terjadi apabila terdapat pusat aktivitas serta jaringan infrastruktur
dan pelayanan transportasi yang menunjang. Adanya pergerakan penduduk yang ditunjang dengan
keberadaan jaringan infrastruktur akan memberikan dampak pada pesatnya perkembangan aktivitas di
sepanjang jalur pergerakan (Kusbiantoro, 2005). Perkembangan aktivitas tersebut salah satunya
tercermin dari adanya perubahan guna lahan dari yang semula lahan terbuka hijau berubah menjadi
lahan terbangun, baik berupa permukiman, perdagangan-jasa maupun aktivitas-aktivitas lainnya yang
menunjukkan ciri-ciri kekotaan. Dengan adanya perembetan aktivitas tersebut, secara tidak langsung
mengakibatkan terjadinya urbanisasi (proses pengkotaan) yang pada akhirnya akan berdampak pada
perubahan struktur ruang suatu kota. Di samping itu, juga akan berdampak pada penyatuan dengan
kota-kota di dekatnya, sehingga pada akhirnya mengakibatkan kemungkinan munculnya fenomena
perluasan wilayah perkotaan mikro di masa-masa mendatang. Namun, tidak jarang adanya pergerakan
penduduk dalam suatu kota juga menimbulkan berbagai permasalahan perkotaan seperti terjadinya
pemusatan aktivitas penduduk pada suatu tempat, perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali,
serta kemacetan lalu lintas akibat buruknya jaringan infrastruktur dan pelayanan transportasi yang ada.
Penglajuan sebagai salah satu bentuk dari pergerakan penduduk juga tidak terlepas dari
berbagai hal di atas. Penglajuan yang merupakan bentuk pergerakan penduduk keluar kota juga
mengakibatkan terjadinya perkembangan kota yang sangat pesat apabila ditunjang oleh keberadaan
jaringan infrastruktur dan pelayanan transportasi. Perkembangan kota tersebut terlihat dari adanya
peningkatan aktivitas perkotaan di sepanjang koridor yang menghubungkan kota satu dengan kota
lainnya, terutama di kawasan perbatasan, yang sebagian besar masih berupa kawasan terbuka hijau.
Dengan adanya penglajuan penduduk yang terjadi secara terus menerus mengakibatkan munculnya
aktivitas-aktivitas baru di sepanjang jalan, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya perluasan
daerah perkotaan antara dua kota atau lebih yang biasa disebut dengan urbanisasi, dan tidak menutup
kemungkinan pada masa-masa mendatang akan terjadi perluasan wilayah perkotaan mikro.
Berdasarkan pada penjelasan-penjelasan di atas, dan disesuaikan dengan tujuan yang ingin
dicapai dalam penelitian, yaitu untuk mengetahui pola penglajuan penduduk Kota Batang dan
Pekalongan, maka dirumuskan variabel-variabel yang dijadikan batasan studi. Variabel-variabel tersebut
antara lain jenis kelamin, usia, jenis pekerjaan, lama tinggal, alasan tinggal, lama bepergian, tempat asal
dan tempat tujuan penglajuan, waktu tempuh, jarak tempuh, ketersediaan fasilitas perkotaan di tempat
tujuan, ketersediaan sarana prasarana transportasi, maksud dan tujuan penglajuan, jenis pekerjaan,
tingkat pendapatan, kepemilikan kendaraan, kendaraan yang digunakan, biaya penglajuan, frekuensi dan
besaran penglajuan.

KARAKTERISTIK KOTA BATANG DAN PEKALONGAN SEBAGAI KOTA KECIL


Kota Batang dan Pekalongan merupakan dua kota kecil yang berbatasan secara langsung,
berjarak 9 km dan terletak di sepanjang koridor yang menghubungkan Kota Cirebon dan Semarang.
Kota Batang memiliki luas wilayah 4.700,3 Ha, yang terdiri atas 3 kecamatan, yaitu sebagian besar
Kecamatan Batang, sebagian Kecamatan Tulis dan sebagian Kecamatan Warungasem. Adapun Kota
Pekalongan memiliki luas wilayah 4.525 Ha, dan terdiri dari 4 kecamatan dengan 46 kelurahan.
Jika dilihat dari topografinya, baik Kota Batang maupun Pekalongan merupakan kota yang
memiliki topografi yang datar, mengingat keduanya merupakan kota yang dekat dengan daerah pantai.
Dengan kondisi geografis yang relatif datar tersebut, mengakibatkan kedua kota menjadi lebih cepat
berkembang, ditambah lagi dengan adanya jalur pantura yang merupakan jalur transportasi utama yang
menghubungkan kota-kota di Jawa bagian utara membuat kota-kota tersebut mengalami
perkembangan yang relatif lebih cepat daripada kota-kota lain yang tidak berada di jalur tersebut.

8
LAUT JAWA

KABUPATEN
PEKALONGAN

KECAMATAN
PEKALONGAN BARAT

KECAMATAN
TULIS

KECAMATAN
PEKALONGAN SELATAN

KECAMATAN
TULIS

KABUPATEN
PEKALONGAN
KECAMATAN
WARUNGASEM

KETERANGAN U

Batas Kabupaten/Kota Jalan Lokal


Batas Kecamatan Garis Pantai B T
Rel Kereta Api Sungai
Jalan Arteri Primer Pusat S
Jalan Kolektor Pemerintahan 0 0.5 1 1.5 2Km

Sumber: Peta Rupa Bumi, 1999


Gambar 1.
Kota Batang dan Pekalongan sebagai Wilayah Studi

Berdasarkan karakteristik penduduknya, pada tahun 2005 jumlah penduduk di Kota Batang
adalah sebanyak 126.657 jiwa, dengan jumlah rumah tangga sebesar 28.637 KK, sedangkan di Kota
Pekalongan pada tahun yang sama, memiliki jumlah penduduk sebanyak 267.574 jiwa dengan jumlah
rumah tangga sebesar 66.556 KK. Dilihat dari kepadatan penduduknya, Kota Pekalongan dinilai
memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi daripada Kota Batang, baik kepadatan penduduk kotor
maupun kepadatan penduduk bersih. Hal tersebut dikarenakan jumlah penduduk Kota Pekalongan
lebih besar daripada Kota Batang, sedangkan jika dilihat dari luas wilayahnya, Kota Pekalongan
memiliki luas yang lebih kecil. Dengan demikian, luas penggunaan lahan terbangun di Kota Pekalongan
lebih banyak daripada di Kota Batang.

9
80

60

40

20

0
Kota Batang Kota Pekalongan

Kepadatan Bersih Kepadatan Kotor

Sumber: BPS Kabupaten Batang 2005; BPS Kota Pekalongan, 2005


Gambar 2.
Kepadatan Penduduk Kotor dan Bersih
Kota Batang dan Pekalongan

Dilihat dari penggunaan lahannya, baik Kota Batang dan Pekalongan masih menunjukkan
adanya percampuran antara penggunaan lahan pertanian dan non-pertanian, dengan persebaran dan
kepadatan yang tidak merata. Sebagian besar aktivitas, terutama aktivitas nonpertanian berupa kawasan
komersial dan campuran terpusat di sepanjang jalan utama penghubung kedua kota. Dengan adanya
kecenderungan perkembangan tersebut, maka dapat diperkirakan bahwa struktur ruang Kota Batang
dan Pekalongan termasuk dalam struktur ruang sektoral karena terdapat kecenderungan arah
perkembangan suatu aktivitas/ penggunaan lahan tertentu. Dalam struktur ruang kota ini, jalur
transportasi kota mempunyai peran yang besar dalam pembentukannya. Hal tersebut terlihat jelas pada
peta penggunaan lahan Kota Batang dan Pekalongan, dimana penggunaan lahan terbangun, terutama
penggunaan lahan untuk aktivitas komersial dan campuran cenderung berada di sepanjang jalur
transportasi.

Sumber: Yunus, 1999 dengan modifikasi.


Gambar 3.
Struktur Ruang Kota Batang dan Pekalongan

10
Dilihat dari kondisi perekonomiannya, aktivitas utama yang paling mempengaruhi tingkat
perekonomian, baik Kota Batang maupun Kota Pekalongan adalah sektor industri pengolahan,
walaupun dengan jumlah/ proporsi yang berbeda, dimana jika dibandingkan proporsi kontribusi sektor
industri Kota Pekalongan hampir setengah dari proporsi sektor industri Kota Batang terhadap PDRB.
Dengan demikian, sektor industri pengolahan cukup memegang peranan yang penting dalam
perekonomian kedua kota. Keberadaan industri ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan
untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Kota Batang dan Pekalongan, karena produk-produk yang
dihasilkan merupakan produk andalan dengan potensi pasar yang baik.
Adapun jika dilihat dari kondisi fasilitas pelayanan kotanya, secara keseluruhan baik Kota
Batang maupun Pekalongan memiliki jumlah fasilitas perkotaan yang hampir sama. Perbedaan yang
dinilai cukup signifikan terletak pada keberadaan fasilitas perekonomian modern berupa mall dan
fasilitas pendidikan berupa perguruan tinggi, dimana kedua fasilitas tersebut hanya dimiliki oleh Kota
Pekalongan.

18% 11% 0% 15% 10% 0%


4%
4%
10% 24%

16% 42% 10%


1%
4% 1% 21% 9%
Kota Batang Kota Pekalongan
21% 9%
pertanian pertambangan&penggalian
industri pengolahan listrik, gas&air minum
bangunan perdagangan
pengangkutan&komunikasi keuangan, persewaan&jasa perusahaan
jasa-jasa
Sumber: BPS Kabupaten Batang 2005; BPS Kota Pekalongan dalam Angka, 2005
Gambar 4.
Kontribusi Tiap Sektor terhadap Perekonomian
Kota Batang dan Pekalongan Tahun 2005

METODE PENELITIAN
Studi mengenai pola penglajuan penduduk Kota Batang dan Pekalongan ini merupakan
penelitian yang diawali dari pemikiran positivisme, sehingga metode penelitian yang digunakan adalah
metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan teori yang sudah ada sebagai dasar dalam perumusan
variabel penelitian yang akan digunakan dalam proses pencarian data di lapangan (survei), untuk
selanjutnya diolah dengan teknik analisis yang sudah ditentukan. Adapun teknik pengumpulan data
yang digunakan adalah kuesioner, wawancara, observasi dan telaah dokumen yang relevan.
Sasaran responden dalam penelitian ini adalah penduduk Kota Batang dan Pekalongan yang
berusia lebih dari 15 tahun dan melakukan penglajuan setiap harinya. Adapun unit yang digunakan
sebagai responden adalah unit rumah tangga yang dibagi berdasarkan kawasan fungsionalnya, yaitu
kawasan komersial, kawasan campuran dan kawasan permukiman. Dengan adanya pembagian kawasan
tersebut diharapkan dapat diperoleh populasi yang homogen. Adapun teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah convenience/accidental sampling, yaitu teknik pengambilan sampel secara kebetulan.
Dalam pengambilan sampel ini, sampel tidak direncanakan terlebih dahulu, tetapi didapatkan/ dijumpai
secara tiba-tiba. Dengan kata lain, siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat
digunakan sebagai sampel, jika orang yang ditemui tersebut dipandang sesuai sebagai sumber data.
Jumlah penduduk Kota Batang dan Pekalongan berdasarkan pada kawasan fungsionalnya
adalah sebanyak 53.492 KK. Berdasarkan hasil perhitungan, maka sampel yang diambil adalah
sebanyak 67 KK di Kota Batang dan 68 KK di Kota Pekalongan. Jumlah tersebut masih dirinci lagi
berdasarkan pada kawasan fungsionalnya, yang dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah Sampel berikut ini.

11
TABEL 1.
JUMLAH SAMPEL TIAP KAWASAN FUNGSIONAL
KOTA BATANG DAN PEKALONGAN

No Kawasan Kota Batang Kota Pekalongan


1 Kawasan komersial 7 6
2 Kawasan campuran 11 13
3 Kawasan permukiman 49 49
Jumlah 67 68
Sumber : Analisis Penyusun, 2007

Sumber: Analisis Penyusun, 2007


Gambar 5.
Tahapan Reduksi Data

Dalam pelaksanaannya di lapangan, kuesioner yang disebarkan adalah sebanyak 180


responden, yaitu 90 untuk Kota Batang dan 90 untuk Kota Pekalongan. Hal tersebut dilakukan untuk
mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, seperti responden yang salah
sasaran, dalam arti tidak melakukan pergerakan setiap hari. Berdasarkan hasil kuesioner, dapat diketahui
bahwa dari 90 kuesioner yang disebarkan di Kota Batang, hanya sekitar 69 responden yang melakukan
pergerakan, sedangkan untuk Kota Pekalongan, dari 90 kuesioner yang disebarkan, hanya 72 responden
yang melakukan pergerakan setiap hari. Responden yang melakukan pergerakan itulah yang akan
dibahas dalam penelitian ini. Adapun pembahasan lebih lanjut mengenai penglajuan, diperoleh dengan
pemilahan banyaknya responden yang melakukan pergerakan di Kota Batang dan Pekalongan
berdasarkan lama dan tujuan pergerakannya. Dengan demikian, dalam penelitian ini akan terjadi reduksi
data mulai dari awal pengumpulan kuesioner sampai ditemukan responden yang benar-benar
melakukan penglajuan.
Kuesioner yang disebarkan berisi pertanyaan terbuka dan tertutup mengenai variabel-variabel
penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, yaitu meliputi jenis kelamin, usia, jenis pekerjaan, lama
dan alasan tinggal, lama penglajuan, tempat asal dan tujuan penglajuan, waktu tempuh, jarak tempuh,
ketersediaan sarana dan prasarana transportasi, ketersediaan fasilitas perkotaan, maksud penglajuan,
tingkat pendapatan, kepemilikan kendaraan, kendaraan yang digunakan, biaya yang dikeluarkan dan
frekuensi penglajuan. Beberapa variabel tersebut dianalisis menggunakan teknik analisis tabulasi silang
dan teknik analisis kualitatif deskriptif. Adapun analisis yang digunakan meliputi lima analisis, yaitu
analisis karakteristik penglaju, karakteristik penglajuan, motivasi penglajuan, frekuensi penglajuan dan
analisis pola penglajuan yang diperoleh dari keempat analisis sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat pada Gambar 6. Kerangka Analisis Penelitian.

12
Gambar 6.
Kerangka Analisis Penelitian

POLA PENGLAJUAN PENDUDUK KOTA BATANG DAN PEKALONGAN


Pola penglajuan penduduk Kota Batang dan Pekalongan diperoleh dari analisis-analisis yang
telah dilakukan sebelumnya. Analisis-analisis tersebut meliputi analisis karakteristik penglaju,
karakteristik penglajuan, motivasi/ tujuan penglajuan serta frekuensi dan besaran penglajuan
penduduknya. Oleh karena itu, berdasarkan pada analisis-analisis tersebut dapat diperoleh kesimpulan
tentang pola penglajuan penduduk Kota Batang dan Pekalongan.
Secara keseluruhan, dari beberapa analisis yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa di Kota
Batang dan Pekalongan ditemukan adanya penglajuan penduduk dengan intensitas yang cukup tinggi.
Adapun pola penglajuan penduduk Kota Batang dan Pekalongan tersebut mempunyai kecenderungan
yang sama. Dilihat dari karakteristik penglajunya, penglaju Kota Batang dan Pekalongan lebih
didominasi oleh penduduk usia 20-50 tahun dengan jenis kelamin laki-laki. Jika dilihat berdasarkan jenis
pekerjaan dan tingkat pendapatannya, sebagian besar penglaju merupakan karyawan/ pegawai, baik
pemerintahan maupun swasta dengan tingkat pendapatan 1-3 juta/ bulan. Adapun jika dilihat

13
berdasarkan lama tinggal dan alasannya, hampir semua penglaju sudah tinggal di kota tersebut lebih
dari 10 tahun dengan alasan turun temurun.

70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
laki-laki wanita laki-laki wanita
Kota Batang Kota Pekalongan

< 20 tahun 20-50 tahun > 50 tahun

Sumber: Olahan Kuesioner, 2007


Gambar 7.
Pelaku Penglajuan Kota Batang dan Pekalongan
Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Dilihat dari karakteristik penglajuan berdasarkan tempat asal dan tujuan penglajuannya,
penglajuan penduduk Kota Batang dan Pekalongan dari kawasan permukiman menuju kawasan
campuran lebih mendominasi daripada penglajuan dari dan ke kawasan lainnya. Hal ini disebabkan
sebagian besar penglaju adalah karyawan/ pegawai, yang tujuan penglajuannya merupakan daerah
perkantoran, pendidikan, kesehatan yang kesemuanya termasuk dalam kawasan campuran. Hal
diperkuat oleh adanya analisis penglajuan penduduk yang didasarkan pada jenis pekerjaan, tempat asal
dan tujuan penglajuannya. Untuk penglajuan yang dilihat dari jarak dan waktu tempuh, hal ini berkaitan
dengan jarak Kota Batang dan Pekalongan yang berdekatan, yaitu sekitar 9 km. Dengan adanya lokasi
yang demikian, jarak yang ditempuh juga di bawah 10 km, sehingga waktu yang dibutuhkan juga tidak
lebih dari 1 jam. Penglajuan penduduk tersebut pada umumnya dimulai pada pukul 06.00-10.00 dan
berakhir pada pukul 12.00-17.00. Dengan dilaluinya Kota Batang dan Pekalongan oleh jalur
transportasi utama pantai utara jawa dan adanya penglajuan yang terjadi antara kedua kota,
mengakibatkan lalu lintas harian di sepanjang koridor jalan utama tersebut sangat padat/ tinggi,
terutama pada jam-jam puncak, sehingga tidak jarang menimbulkan kemacetan lalu lintas. Kemacetan
tersebut semakin diperparah karena adanya aktivitas-aktivitas utama yang ada di sepanjang koridor
tersebut dengan intensitas yang tinggi, sehingga terjadi percampuran moda dalam dan luar kota.

14
70%
70%

60%
60%

50%
50%

40%
40%

30%
30%

20%
20%

10%
10%

0%
0%
pelajar/ karyawan/ pedagang/ buruh lainnya karyawan/ pedagang/
mahasiswa pegawai wiraswasta industri pegawai wiraswasta
Kota Batang Kota Pekalongan

tdk berpenghasilan <1 juta 1-3 juta >3 juta

Sumber: Analisis Penyusun, 2007


Gambar 8.
Pelaku Penglajuan Kota Batang dan Pekalongan
Berdasarkan Pekerjaan dan Tingkat Pendapatan

80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
sudah turun dekatdekat dengan sudah turun dekat dengan
run temurun dengan tempat lainnya
temurun tempat kerja temurun tempat kerja
kerja
Kota Batang Kota Pekalongan

5-10thn >10thn

Sumber: Analisis Penyusun, 2007


Gambar 9.
Pelaku Penglajuan Kota Batang dan Pekalongan
Berdasarkan Lama dan Alasan Tinggal

15
Sumber: Olahan Kuesioner, 2007
Gambar 10.
Penglajuan Penduduk Kota Batang ke Kota Pekalongan

Sumber: Olahan Kuesioner, 2007


Gambar 11.
Penglajuan Penduduk Kota Pekalongan ke Batang

Penglajuan penduduk yang dilihat berdasarkan motivasinya, antara lain dapat dilihat
berdasarkan maksud penglajuan, kepemilikan kendaraan, kendaraan yang digunakan untuk melakukan
penglajuan dan biaya yang dikeluarkan. Penglajuan yang dilihat berdasarkan maksudnya sangat
berkaitan dengan pekerjaan penglajunya. Dengan adanya dominasi pekerjaan penglaju berupa
karyawan/ pegawai, baik pemerintahan maupun swasta, maka secara otomatis maksud penglajuannya
adalah untuk bekerja. Adapun dalam kaitannya dengan kepemilikan kendaraan pribadi, hampir semua
penglaju memiliki kendaraan pribadi dan menggunakannya untuk melakukan penglajuan. Kepemilikan

16
kendaraan pribadi terutama didominasi oleh penglaju dengan jenis pekerjaan karyawan/ pegawai.
Dengan adanya fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa kepemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi
dalam melakukan penglajuan dinilai merupakan prestise tersendiri bagi para penglaju, walaupun saat ini
kepemilikan kendaraan pribadi dinilai bukan menjadi suatu hal yang istimewa lagi.
Biaya penglajuan yang dikeluarkan pun relatif sama untuk setiap penglaju, karena hal tersebut
berkaitan dengan jarak tempuh antara Kota Batang dan Pekalongan yang relatif dekat, sehingga biaya
yang dikeluarkan pun relatif rendah setiap harinya. Walaupun demikian, biaya yang dikeluarkan
penglaju yang menggunakan kendaraan pribadi dinilai sedikit lebih besar daripada jika menggunakan
angkutan umum. Akan tetapi, hal tersebut dinilai bukan menjadi suatu masalah besar karena pada
umumnya para penglaju menganggap bahwa dengan menggunakan kendaraan pribadi, pergerakan yang
dilakukan menjadi lebih efektif dan praktis. Adapun jika dilihat berdasarkan pada frekuensi
penglajuannya, sebagian besar penglaju merupakan penglajuan harian mengingat sebagian besar
penglaju merupakan karyawan/ pegawai yang memiliki jumlah hari kerja sebanyak 6 kali dalam
seminggu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Pola Penglajuan Penduduk Kota Batang dan
Pekalongan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Hasil temuan studi membawa kesimpulan bahwa terdapat kecenderungan pola penglajuan
penduduk Kota Batang dan Pekalongan ke arah yang sama. Adanya pola tersebut menimbulkan kesan
bahwa terjadi semacam “pertukaran” penduduk (SDM) dan saling mengisi antara kedua kota dalam
melakukan aktivitasnya, dalam arti banyak penduduk Kota Batang yang bekerja di Pekalongan, begitu
pula sebaliknya. Dengan adanya pertukaran penduduk tersebut tidak berpengaruh terhadap
produktivitas masing-masing kota secara signifikan. Namun jika dilihat dari sisi negatifnya, adanya
penglajuan penduduk kedua kota dapat berimplikasi pada timbulnya berbagai masalah perkotaan,
seperti permasalahan pada kinerja jalur pantura yang merupakan jalur utama penghubung Kota Batang
dan Pekalongan. Jalur utama tersebut dinilai sudah tidak dapat lagi menampung aktivitas yang ada,
terutama pada jam-jam puncak. Hal tersebut diindikasikan oleh adanya kemacetan akibat percampuran
moda lokal dan regional yang semakin diperparah oleh terpusatnya aktivitas-aktivitas perdagangan jasa
di sepanjang koridor tersebut. Di samping itu, tingginya penglajuan penduduk Kota Batang dan
Pekalongan juga dapat mengakibatkan permasalahan seperti yang dikatakan Mardiansjah (2005), yaitu
perubahan penggunaan lahan secara besar-besaran, pencemaran lingkungan, permukiman kumuh, serta
permasalahan perkotaan lain yang jika terus dibiarkan akan mengakibatkan munculnya dampak ikutan
yang lebih kompleks.
Tingginya penglajuan penduduk antara kedua kota dan adanya kesan saling mengisi aktivitas
antara kedua kota tersebut juga mengindikasikan bahwa terdapat ketergantungan dan interaksi yang
sangat tinggi antara kedua kota. Seiring dengan perkembangannya, kedua kota tersebut mengalami
perkembangan terutama di kawasan perbatasan sepanjang jalur utama, sehingga lambat laun terjadi
perubahan aktivitas yang menuju aktivitas kekotaan. Adanya perubahan aktivitas kekotaan di kawasan
perbatasan tersebut mengakibatkan kaburnya batas antara kedua kota, sehingga menimbulkan
terjadinya urbanisasi. Adanya fenomena urbanisasi tersebut tidak menutup kemungkinan akan
mengakibatkan terjadinya perluasan wilayah perkotaan mikro (extended mikro urban regions) antara Kota
Batang dan Pekalongan di masa-masa mendatang karena menyatunya kenampakan fisik kedua kota
(konurbasi) (Firman, 2000; Sugiana, 2005; Mc Gee, 1993). Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari
Firman dan Tjahjati (2005), dimana tingginya penglajuan dan adanya kecenderungan pola penglajuan
yang sama antara Kota Batang dan Pekalongan dapat mengakibatkan permasalahan yang lebih
kompleks, yaitu meluasnya wilayah perkotaan di kawasan pinggiran, sehingga menimbulkan terjadinya
urban sprawl dan terjadinya pengintegrasian kota akibat meluasnya perkembangan fisik kota. Adanya
penglajuan penduduk yang berimplikasi pada perkembangan wilayah perkotaan Kota Batang dan
Pekalongan tersebut hendaknya diantisipasi dengan baik, agar dalam perkembangan kedua kota ke
depan permasalahan-permasalahan tersebut tidak terjadi atau paling tidak dapat diminimalisasi.

17
TABEL 2.
TEMUAN ANALISIS POLA PENGLAJUAN PENDUDUK
KOTA BATANG DAN PEKALONGAN

Analisis Variabel Temuan Analisis


Usia Penglaju Kota Batang dan Pekalongan didominasi oleh kelompok usia 20-
50 tahun karena kelompok usia tersebut merupakan kelompok usia
produktif yang lebih banyak melakukan pergerakan.
Jenis Kelamin Penglaju Kota Batang dan Pekalongan didominasi oleh jenis kelamin laki-
laki karena berkaitan dengan peran dan fungsinya yang lebih ke fungsi
produksi, sehingga aktivitas yang dilakukan adalah bekerja yang
Karakteristik membutuhkan pergerakan yang lebih luas daripada wanita.
Penglaju Jenis Pekerjaan Penglaju Kota Batang dan Pekalongan didominasi oleh pegawai/
dan Tingkat karyawan dengan pendapatan 1-3 juta karena berkaitan dengan adanya
Pendapatan mutasi kerja, terutama pegawai negeri yang mempunyai peluang untuk
pindah/ dipindahkan tempat kerjanya. Dengan demikian, terdapat
kemungkinan pegawai yang semula bertempat tinggal dan bekerja di Kota
Batang dimutasikan ke Pekalongan, tapi tidak disertai dengan perpindahan
tempat tinggal. Demikian juga sebaliknya.
Lama dan Alasan Penglaju Kota Batang dan Pekalongan sebagian besar tinggal selama lebih
Tinggal dari 10 tahun dengan alasan turun temurun karena berkaitan dengan
Karakteristik budaya/ adat istiadat masyarakat yang lebih suka berkumpul dengan
Penglaju keluarga dan memilih jauh dari tempat kerja selama jarak antara tempat
tinggal dan tempat kerja masih memungkinkan untuk dicapai dengan
menglaju.
Tempat Asal dan Penglajuan penduduk Kota Batang dan Pekalongan didominasi dari
Tujuan kawasan permukiman menuju kawasan campuran. Hal ini disebabkan
sebagian besar kawasan merupakan kawasan permukiman, sedangkan
kawasan campuran pada umumnya berupa kawasan perkantoran dan
pendidikan merupakan tempat kerja pegawai/ karyawan.
Jarak Tempuh Jarak yang ditempuh oleh sebagian besar penglaju adalah 5-10 km. Hal ini
berkaitan dengan jarak Kota Batang dan Pekalongan yang hanya 9 km,
sehingga penglajuan yang terjadi kurang dari 10 km.
Karakteristik
Waktu Tempuh Mengingat jarak tempuh Kota Batang dan Pekalongan hanya 5-10 km,
Penglajuan
maka waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penglajuan kurang dari 1
jam.
Waktu Aktivitas Seperti pada pergerakan pada umumnya, sebagian besar penglajuan
dimulai pada pagi hari (06.00-12.00) dan selesai pada siang-sore hari
(12.00-17.00). Adanya kesamaan waktu dengan pergerakan pada
umumnya tersebut berpotensi untuk menimbulkan kemacetan di jalur
pantura yang merupakan satu-satunya jalur utama penghubung Kota
Batang dan Pekalongan.
Maksud Maksud penglajuan penduduk Kota Batang dan Pekalongan untuk bekerja
Penglajuan lebih mendominasi daripada maksud lainnya. Hal ini berkaitan dengan
dominasi jenis pekerjaan berupa karyawan/ pegawai, baik pemerintahan
maupun swasta.
Motivasi/
Kepemilikan Sebagian besar penglaju mempunyai kendaraan pribadi dan
Tujuan
Kendaraan Pribadi menggunakannya untuk melakukan penglajuan. Hal ini berkaitan dengan
Penglajuan
dan Kendaraan prestise seseorang dan adanya anggapan penggunaan kendaraan pribadi
yang Digunakan lebih efektif dan efisien dalam melakukan penglajuan.
Biaya yang Sebagian besar mengeluarkan biaya sebesar 5-10 ribu perhari untuk
Dikeluarkan melakukan penglajuan.
Frekuensi Frekuensi penglajuan adalah lebih dari tiga kali dalam seminggu, atau
Frekuensi
Penglajuan dapat dikatakan penglajuan harian. Hal ini berkaitan dengan maksud
dan Besaran
penglajuan berupa bekerja, dimana jumlah hari kerja pada umumnya
Penglajuan
adalah 6-7 hari seminggu.
Sumber: Analisis Penyusun, 2007

18
Tingginya tingkat penglajuan dan adanya kecenderungan pola penglajuan yang sama dan
mengakibatkan kemungkinan terjadinya perluasan wilayah perkotaan mikro di Kota Batang dan
Pekalongan dipengaruhi/ disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain adanya
karakteristik Kota Batang dan Pekalongan sebagai kota kecil yang hampir sama, baik karakteristik
penduduk maupun karakteristik sosial ekonominya. Di samping itu, juga terjadi karena adanya lokasi
yang strategis, yaitu dilalui oleh jalur utama pantai utara Jawa, adanya kedekatan lokasi pusat Kota
Batang dan Pekalongan (yang hanya berjarak 9 km), adanya perbedaan orde kedua kota yang
berimplikasi pada perbedaan kelengkapan fasilitas perkotaan, serta adanya ketersediaan sarana dan
prasarana transportasi berupa jaringan jalan dan moda transportasi, yang kesemuanya merupakan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya urbanisasi seperti yang dikatakan oleh Mardiansjah
(2005) dan Daldjoeni (1998).
Adanya fenomena tingginya penglajuan penduduk Kota Batang dan Pekalongan, sehingga
mengakibatkan perkembangan kota yang cenderung mengarah ke perluasan wilayah perkotaan mikro
mendorong adanya tindak lanjut dalam perencanaan wilayah dan kota agar perkembangan kedua kota
sesuai dengan karakteristik aktivitas yang ada di dalamnya. Untuk itu, diperlukan adanya rekomendasi
bagi pembuat dan penentu kebijakan berdasarkan hasil temuan studi dan kesimpulan agar dapat
dijadikan sebagai salah satu dasar pertimbangan dalam menyusun kebijakan kedua kota. Adapun
rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:
• Diperlukan adanya suatu kerjasama antara Pemerintah Kota Pekalongan dan Kabupaten Batang
dalam berbagai bidang agar perkembangan kedua kota dapat sinergis dan terarah, sehingga
permasalahan-permasalahan perkotaan, terutama di kawasan perbatasan dapat diminimalisasi.
• Dalam kaitannya dengan dampak yang ditimbulkan pada kinerja jalur utama penghubung Kota
Batang dan Pekalongan, diperlukan adanya upaya untuk merencanakan jalur alternatif baru khusus
untuk jalur regional yang tidak terganggu oleh aktivitas-aktivitas di dalam kota. Di samping itu, juga
diperlukan adanya perbaikan sistem transportasi secara menyeluruh, baik itu peningkatan kualitas
prasarana jalan maupun moda transportasi, sehingga permasalahan transportasi tidak lagi menjadi
kendala utama dalam pengelolaan perkotaan.

DAFTAR PUSTAKA
Abustam, Muhammad Idrus. 1990. Gerak Penduduk, Pembangunan dan Perubahan Sosial: Kasus Tiga
Komunitas Padi Sawah di Sulawesi Selatan. Jakarta: UI Press.
Asy’ari, Imam Sapari. 1993. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.
Bintarto. 1983. Interaksi Kota-Desa dan Permasalahannya. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
______. 1984. Urbanisasi dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
BPS. 2005. Kabupaten Batang dalam Angka Tahun 2005. Kantor Statistik Kabupaten Batang.
___. 2005. Kota Pekalongan dalam Angka Tahun 2005. Kantor Statistik Kota Pekalongan.
Creswell, John P. 2003. Research Design. United States: University of Nebraska, Lincoln.
Daldjoeni. 1992. Seluk Beluk Masyarakat Kota. Bandung: Penerbit Alumni.
________. 1998. Geografi Kota dan Desa. Bandung: Penerbit Alumni.
Firman, Tommy. 2000. “Keterkaitan Antarkota dan Implikasinya.” Kompas, 15 Februari.
_____________. 2000. “Urbanisasi, Persebaran Penduduk dan Tata Ruang di Indonesia.” Kompas, 15
Februari.
_____________ dan Budhy Tjahjati S. Soegijoko. 2005.“ Urbanisasi dan Pembangunan Perkotaan di
Indonesia.“ Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, Konsep dan Pendekatan
Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Ford, Tania. 1999. “Understanding Population Growth in The Peri-Urban Region.” International Journal
of Population Geography, Vol. 5, pp. 297-311.
Hjort, Susanne dan Gunnar Malmberg. 2006. “The Attraction of The Rural: The Characteristics of
Rural Migrants in Sweden.” Scottish Geographycal Journal, Vol 122, No.1, March, pp.55-57.
Kusbiantoro. 2005. Peran Transportasi terhadap Perkembangan dan Pertumbuhan Kota. “Bunga
Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan
di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Leedy, Paul D.1997. Practical Research Planning and Design. New Jersey: Prentice Hall.

19
Mardiansjah, Fajar Hari. 2005. “Urbanisasi Perkotaan.” Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Th ke
5/No.5, hal.7.
Masri, Singarimbun. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: PT Pustaka LP3ES.
Mathur, Om Prakash. 1982. Small Cities and National Develoment United Nation for Small Cities.
Mc Gee. 1971.The Urbanization Process in The Third World, Explorations in Search of Theory. London: g. Bell
and Sons, LTD.
Napitupulu, Gita Chandrika. 2005. “Isu Strategis dan Tantangan dalam Pembangunan Perkotaan.”
Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, Konsep dan Pendekatan Pembangunan
Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Pemerintah Kabupaten Batang. 2003-2013. Rencana Umum Tata Ruang Kota Batang. Bappeda Kabupaten
Batang
Pemerintah Kota Pekalongan. 2003-2013. Rencana Umum Tata Ruang Kota Pekalongan. Bappeda Kota
Pekalongan.
Pontoh, Nia K dan Sri Maryati. 2003. “Karakteristik Pergerakan Pria dan Wanita di Daerah Perkotaan
sebagai Masukan untuk Layanan Transportasi (Kasus: Perumahan Formal di Kecamatan
Margacinta, Bandung).” Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 14, No.2, Hal. 27-42.
Rondinelli, Dennis A. 1983. Secondary Cities in Developing Countries. London: Sage Publisher.
Rumidi, Sukandar. 2004. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Santoso, Singgih. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: Penerbit PT Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.
Satriadi, Novi. 2003. Pola Pergerakan Komuter Berdasarkan Pelayanan Sarana Angkutan Umum di Kota Baru
Bumi Serpong Damai. Tugas Akhir Tidak Diterbitkan, Program Studi Perencanaan Wilayah dan
Kota, Fakultas Teknik Univeritas Diponegoro, Semarang.
Soegijoko, Budhy Tjahjati S. 2005. “Keterkaitan antar Kota dalam suatu Sistem Perkotaan.” Bunga
Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21, Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan
di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Subroto, Yoyok Wahyu. 2000. Perluasan Kota dalam Realitas Sosial dan Kultural Masyarakat. Available at
http://www.google.com/perkembangan kota. Diakses tanggal 16 April 2006.
Sugiana, Kawik. 2005 “ Keterkaitan Desa-Kota di Indonesia.” Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia
dalam Abad 21, Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
Sujarto, Djoko. 1995. “Konsepsi Perencanaan Kota Kecil atau Menengah.” Tata Loka, No. 02, Juni
1995. Semarang: Undip.
Tamin, Ofyar Z. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung: Penerbit ITB
UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang
Warpani, Suwardjoko. 1990. Merencanakan Sistem Perangkutan. Bandung: Penerbit ITB.
Widodo, Satriyo Catur. 2003. Interaksi Kecamatan di Wilayah Pinggiran Metropolitan dengan Kota Induknya
(Studi Kasus : Kecamatan Kaliwungu dan Kecamatan Boja dengan Kota Semarang). Tugas Akhir Tidak
Diterbitkan, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Univeritas
Diponegoro, Semarang.
Yunus, Hadi Sabari. 1999. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

20

Anda mungkin juga menyukai