Anda di halaman 1dari 114

0

Modul Ajar

METODE ANALISIS PERENCANAAN

PROGRAM STUDI
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

JURUSAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PATTIMURA
2020

1
MODUL KULIAH

METODE ANALISIS PERENCANAAN

Modul ini dibuat sebagai bagian dari bahan ajar untuk proses belajar mengajar

mata kuliah METODE ANALISIS PERENCANAAN untuk mahasiswa semester empat

Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota

Fakultas Teknik Universitas Pattimura

Dibuat oleh Dosen Mata Kuliah bersangkutan:


Stevianus Titaley, ST, M.Si

(NIDN : 0006097403)

PERENCANAAN WILAYAH & KOTA

FAKUTAS TEKNIK

UNIVERSITAS PATTIMURA

2020

2
LEMBAR PENGESAHAN

Modul ini dibuat sebagai bagian dari bahan ajar untuk proses belajar mengajar

mata kuliah METODE ANALISIS PERENCANAAN untuk mahasiswa semester empat

Program Studi Perencanaan Wilayah & Kota

Fakultas Teknik Universitas Pattimura

Dibuat oleh Dosen Mata Kuliah bersangkutan:


Stevianus Titaley, ST, M.Si

(NIDN : 0006097403)

Disahkan di Ambon

01 Juli 2020

Mengetahui,

Dekan Ketua
Fakultas Teknik Unpatti Jurusan Teknik Mesin

Dr. Ir. W. R. Hetharia, M.App.Sc M. Rumaherang, ST, M.Sc, Ph.D


NIP. 19620813 198903 1 003 NIP. 19720809 200003 1 001

3
UNIVERSITAS PATTIMURA

Tanggal Berlaku :

Perwakilan Mahasiswa

( ............................................... )
Dosen Pengampu Mata Kuliah
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK MESIN ( Stevianus Titaley, ST, M.Si )
Tanggal disahkan :

Ketua Program Studi


Perencanaan Wilayah & Kota

( Dr. P. Th Berhitu, ST, MT)

Materi Perubahan :
Alamat : Gedung Fakultas Teknik Jalan Ir. M.
Putuhena, Kampus Unpatti Poka-Ambon
Kode Pos 97233 Telp/Faximili : (0911)
3684030
Laman : http://fatek.unpatti.ac.id
Email : stevianus.titaley@fatek.unpatti.ac.id
stevi_74@yahoo.com
Whatsapp : +652 4334 4331

Revisi ke : ..................................

Tanggal Revisi : ..................................

BAHAN AJAR MATA KULIAH MANAJEMEN PEMBANGUNAN

4
DAFTAR ISI
No table of contents entries found.

5
1. Garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP)
a) Deskripsi Mata Kuliah
Diskripsi materi pembelajaran mata kuliah Metode Analisis Perencanaan
secara umum adalah membahas tentang metode-metode atau cara-cara perhitungan
dan analisis untuk perencanaan pengembangan wilayah dan kota, yang dalam mata
kuliah ini dibatasi hanya pada: analisis demografi/kependudukan dan dinamika
sosial masyarakat; analisis ekonomi untuk pembangunan wilayah/kota, dan analisis
spasial dan hubungan antar daerah.

b) Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran atau hasil pembelajaran yang diharapkan menjadi
kompetensi peserta mata kuliah, yaitu: Setelah mengikuti proses pembelajaran, mhs
peserta mampu menggunakan metode analisis demografi/kependudukan analisis
ekonomi untuk pembangunan wilayah, analisis sumberdaya alam, analisis spasial
dan hubungan antar daerah serta metode analisis lainnya untuk merencanakan
pengembangan wilayah dan kota. Tujuan ini dirinci menjadi beberapa kompetensi
khusus, yaitu: Setelah mengikuti proses pembelajaran, mhs peserta menguasai
dan mampu menggunakan metode:
(1) Analisis Kependudukan meliputi Proyeksi Jumlah Penduduk; Analisis
Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat Kesejahteraan: Indeks Kualitas Hidup
(IKH)/Indeks Pembangunan Manusia (IPM); serta Analisis Mobilitas/Dinamika
Masyarakat:
(2) Analisis ekonomi wilayah meliputi: Analisis Struktur ekonomi wilayah
(Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); Laju pertumbuhan ekonomi wilayah dan
laju pertumbuhan pendapatan/produktivitas per kapita; Analisis sektor basis dan
sektor unggulan wilayah, serta Analisis komparatif produksi/komoditas
unggulan.
(3) Analisis spasial meliputi Analisisi Pola Permukiman, Analisis Sistem Hubungan
antar Wilayah, Analisis Ketergantungan antar Wilayah serta Analisis
Aksesibilitas.

6
RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER

1. Mata Kuliah : METODE ANALISIS PERENCANAAN

2. Kode Mata Kuliah :

3. Dosen Fasilitator :

Diskripsi/silabus Membahas tentang metode analis perencanaan di bidang pengembangan wilayah dan kota, meliputi analisis
4. :
demografi/kependudukan, ketenaga kerjaan,pengukuran tingkat kesejahteraan dan analisis mobilitas/pergerakan masyarakat.

5. Disajikan Semester : Ganjil

Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah mengikuti proses pembelajaran, mhs peserta mampu menggunakan metode analisis demografi/kependudukan, ketenaga
6. kerjaan,pengukuran tingkat kesejahteraan dan analisis mobilitas/dinamika masyarakat untuk merencanakan pengembangan
: wilayah dan kota.

Tujuan Pembelajaran Khusus Setelah mengikuti proses pembelajaran, mhs peserta menguasai dan mampu menggunakan metode:

1. Analisis Kependudukan: Kepadatan Penduduk dan proyeksi jumlah penduduk


2. Analisis Ketenagakerjaan: Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja; Angka Beban Tanggungan; Tingkat Pengangguran Terbuka
7. :
3. Analisis Pengukuran Tingkat Kesejahteraan: Indeks Kualitas Hidup, Angka Tingkat Pembangunan Manusia.
4. Analisis Mobilitas/Dinamika Masyarakat: Model Pembangkit Bepergian (Travel Generation Model); Model Gravitasi,
Analisis Keterhubungan dan Aksesibilitas;
5. Pengukuran Sistem Kota-kota: Metode Christaller; Metode Rank Size Rule; Metode Zipt;

8. Daftar Literatur :
DAFTAR LITERATUR

 Amin, A. Mappadjantji (1996), Penataan Ruang untuk Pembangunan Wilayah (Pendekatan dalam Perencanaan
Pembangunan Daerah berdimensi Ruang), PPSL-UNHAS, Makassar.
 Direktorat Tata Kota & Tata Daerah (DTKTD) Dep. PU. (1992), Studi Tipologi Kabupaten, Laporan Penelitian
Kerjasama DTKTD Dep. PU-PPSDA Unhas, Makassar.
 Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, Halted Press John Wiley , New York.
 Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
 _______________(2008), Perencanaan Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta
 Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural Development, John Wiley , New York

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER


8
SES KEMAMPUAN MATERI BENTUK
DAFTAR BACAAN INDIKATOR PENILAIAN
I TERAKHIR PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN
1 Mhs peserta GBPP, Satuan Ceramah  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, Menguraikan pemahaman dan
mengetahui Acara Pembelajran, Halted Press John Wiley , New York. menggunakan metoda análisis
Tujuan Literature, Tugas,  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori pengelompokan hirarkis dalam
Pembelajaran Evaluasi dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. permasalahan perencanaan
 _______________(2008), Perencanaan dengan tepat
Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta
 Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
2. Mhs menguasai Analisis : SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, Menguraikan pemahaman dan
dan mampu Halted Press John Wiley , New York. menggunakan metoda análisis
melakukan :  Jumlah Penduduk  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori kependudukan dalam
dan kepadatan dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. permasalahan perencanaan
Analisis  Perhitungan  _______________(2008), Perencanaan dengan tepat
Kependudukan Persebaran Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
 Sex Ratio & Aksara, Jakarta
Kelompok Unur  Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
3. lanjutan Perkiraan/proyeksi SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, 
jumlah penduduk: Halted Press John Wiley , New York.
 Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori
 Model Linier; dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
 Model Bunga  _______________(2008), Perencanaan
Berganda; Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
 Model Aksara, Jakarta
Eksponensiat  Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.

9
SES KEMAMPUAN MATERI BENTUK
DAFTAR BACAAN INDIKATOR PENILAIAN
I TERAKHIR PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
4. lanjutan Model Analisis : SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, 
Halted Press John Wiley , New York.
 Model Cohort  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori
Survival (Model dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Komponen)  _______________(2008), Perencanaan
 Penggunaan Hasil Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Analisis Cohort Aksara, Jakarta
Survival (Model  Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Komponen) Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
5. lanjutan  Tugas SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, 
Survey & Latihan Halted Press John Wiley , New York.
soal-soal  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori
dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
 _______________(2008), Perencanaan
Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta
 Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
6. Mhs menguasai  Perhitungan SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, Menguraikan pemahaman dan
dan mampu Angka Beban Halted Press John Wiley , New York. menggunakan metoda análisis
melakukan : Tanggungan  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori ketenagakerjaan dalam
Analisis  Perhitungan dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. permasalahan perencanaan
Ketenaga
Tingkat  _______________(2008), Perencanaan dengan tepat
PArtisipasi Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Kerjaan Angkatan Kerja Aksara, Jakarta
10
SES KEMAMPUAN MATERI BENTUK
DAFTAR BACAAN INDIKATOR PENILAIAN
I TERAKHIR PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN
 Perhitungan  Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Tingkat Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
Pengangguran  Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Terbuka Development, John Wiley , New York
 Proyeksi TPAk
7. Mhs menguasai  Perhitungan SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, Menguraikan pemahaman dan
dan mampu Indeks Kualitas Halted Press John Wiley , New York. menggunakan metoda análisis
melakukan : Hidup  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori tingkat kesejahteraan dalam
 Perhitungan dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. permasalahan perencanaan
Analisis Tingkat Indeks Kualitas  _______________(2008), Perencanaan dengan tepat
Kesejahteraan Manusia Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta
 Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
8. lanjutan  Tugas SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics,
Survey & Latihan Halted Press John Wiley , New York.
soal-soal  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori
dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
 _______________(2008), Perencanaan
Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta
 Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
9. lanjutan
10 Mhs menguasai Metode Analisis : SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, Menguraikan pemahaman dan
dan mampu Halted Press John Wiley , New York. melakukan pengukuran Hirarki
 Model  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori Wilayah/Kota dalam
11
SES KEMAMPUAN MATERI BENTUK
DAFTAR BACAAN INDIKATOR PENILAIAN
I TERAKHIR PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN
melakukan : Christaller dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. permasalahan perencanaan
 Model Rank  _______________(2008), Perencanaan dengan tepat
Pengukuran Size Rule Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Hirarki  Model Zipf Aksara, Jakarta
Wilayah/Kota  Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
11. lanjutan  Analisis Tingkat SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, 
Aksesibilitas Halted Press John Wiley , New York.
 Gabungan  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori
beberapa dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
variabel  _______________(2008), Perencanaan
 Latihan Soal-soal Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta
 Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
12. Mhs menguasai  Model SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, Menguraikan pemahaman dan
dan mampu Pembangkit Halted Press John Wiley , New York. pengukuran DInamika Sosial
melakukan : Bepergian  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori Masyarakat dalam permasalahan
(Traavel dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. perencanaan dengan tepat
Pengukuran Gereation  _______________(2008), Perencanaan
Dinamika Sosial Model) Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Masyarakat  Model Gravitasi Aksara, Jakarta
Hansen  Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
 Implementasi Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
Model Gravitasi  Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York

12
SES KEMAMPUAN MATERI BENTUK
DAFTAR BACAAN INDIKATOR PENILAIAN
I TERAKHIR PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN
13 lanjutan  Model Gravitasi SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, 
Pembatas Halted Press John Wiley , New York.
Tunggal  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori
 Model Gravitasi dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Pembatas Ganda  _______________(2008), Perencanaan
Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta
 Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
14 lanjutan  Metoda SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, 
Partisipasi Halted Press John Wiley , New York.
Kelembagaan  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori
 Pengukuran dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
Dinamika Sosial  _______________(2008), Perencanaan
Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Aksara, Jakarta
 Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New York
15. Mhs menguasai  Indeks SCL  Richardson, H.W. (1972). Regional Economics, Menguraikan pemahaman dan
dan mampu Perkembangan Halted Press John Wiley , New York. melakukan pengukuran Tingkat
melakukan : Wilayah  Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori Perkembangan Wilayah dalam
 Pengukuran dan Aplikasi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta. permasalahan perencanaan
Pengukuran dengan UFRD  _______________(2008), Perencanaan dengan tepat
Tingkat Model Pembangunan Wilayah, Edisi Revisi, Penerbit Bina
Perkembangan Aksara, Jakarta
Wilayah  Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan
Daerah, Penerbit ITB, Bandung.
13
SES KEMAMPUAN MATERI BENTUK
DAFTAR BACAAN INDIKATOR PENILAIAN
I TERAKHIR PEMBELAJARAN PEMBELAJARAN
 Rondinell, D. (1976). Urban Function for Rural
Development, John Wiley , New Yor
16 lanjutan  Tugas
Survey & Latihan SCL
soal-soal

14
1. Proses Pembelajaran
Pembelajaran dalam kelas dilaksanakan dengan mengadopsi proses pembelajaran berbasis
student center learning. Kelas dibagi dalam kelompok sesuai dengan modul dan sub modul
pembelajaran. Mahasiswa melakukan pendalaman berpedoman kepada modul/bahan ajar serta
mengembangkan materi dengan tugas pengayaan yang dicari melalui internet.

Kelompok mahasiswa adalah juga kelompok peserta seminar. Dalam hal ini setiap kelompok
menjadi penyaji dari modul/sub modul yang menjadi tuga kelompoknya.

Pendalaman materi secara individu ilakukan dengan meminta mahasiswa peserta untuk
menjadi penanya atau memberi penjelasan atas materi diskusi.

2. Evaluasi

Evaluasi adalah proses penilaian kompetensi peserta perkuliahan, yaitu menguji


kemampuan mahasiswa sesuai dengan tujuan pembelajaran, dalam hal ini tujuan umum
pembelajaran dan tujuan khusus pembelajaran.

Indikator penialain evaluasi, adalah:

a) Menilai keaktifan mahasiswa dengan memperhatikan kehadiran, partisipasi dalam


seminar/diskusi.

b) Memeriksa tugas-tugas kelompok dan tugas individu

c) Mengadakan mid semester test. Test ini sifatnya tentatif, bergantung kepada penilaian
sepanjang proses pembelajaran

d) Penilaian akhir semester (final test). Evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui
kompetensi individu yang sering kurang berkembang karena kerja kelompok yang
tidak memeberi kesempatan untuk berkembang.

3. Kisi-kisi Evaluasi

Kisi-kisi evaluasi adalah rangkuman materi belajar yang diharapkan dapat menjadi indikator
penilaian kemampuan atau kompetensi yang diharapkan sebagai hasil akhir pembelajaran.

Materi kisi-kisi ini adalah mencakup substansi tujuan khusus pembelajaran, yaitu: Setelah
mengikuti proses pembelajaran, mahasiswa peserta mata kuliah menguasai dan mampu
menggunakan metode:

(1) Analisis Kependudukan meliputi Proyeksi Jumlah Penduduk; Analisis


Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat Kesejahteraan: Indekss Kualitas Hidup

15
(IKH)/Indekss Pembangunan Manusia (IPM); serta Analisis Mobilitas/Dinamika
Masyarakat:

(2) Analisis ekonomi wilayah meliputi: Analisis Struktur ekonomi wilayah (Nasional,
Provinsi, Kabupaten/Kota); Laju pertumbuhan ekonomi wilayah dan laju pertumbuhan
pendapatan/produktivitas per kapita; Analisis sektor basis dan sektor unggulan
wilayah, serta Analisis komparatif produksi/komoditas unggulan.

(3) Analisis spasial meliputi Analisisi Pola Permukiman, Analisis Sistem Hubungan antar
Wilayah, Analisis Ketergantungan antar Wilayah serta Analisis Aksesibilitas.

Komponen penilaian :

1. Kehadiran = 10 %
2. Tugas = 25%
3. UTS = 25 %
4. UAS = 40 %

Ambon, Januari 2020

Mengetahui,
Ketua Program Studi, Dosen Pengampu,

Dr. Pieter Th. Berhitu, ST, MT Stevianus Titaley

16
BAB I
PENDAHULUAN

A. Tinjauan Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan


Salah satu perubahan yang dilakukan terhadap Kurikulum S1 Prodi PWK Unpatti
tahun 2018 adalah terkait dengan Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan yang
disusun buku ajarnya ini, yaitu satu penyajian pada Semester IV (genap) yaitu
Metode Analisis Perencanaan (3 SKS).
Materi pembelajaran harus dikaji ulang untuk disesuaikan dengan kebutuhan
wilayah dan mengatur agar tidak ada yang hilang dalam proses pembelajaran mata
kuliah. Namun demikian, sejumlah materi metode analisis perencanaan belum dibahas
atau belum disajikan dalam mata kuliah ini, karena pertimbangan waktu penyajian yang
terbatas, keterkaitannya dengan mata kuliah lain serta tingkat kesulitan bahan
pembelajaran. Model analisis lain seperti Analisis SWOT, Analisis Lahan
(kemampuan/daya dukung), Analisis kesesuaian ekonomi (analisis investasi) akan
dibahas pada mata kuliah lain, sedangkan analisis dengan tingkat kerumitan matematis
tinggi seperti Programasi Tujuan Berganda (goal programming dengan metode Simplex),
serta penggunaan Programasi Integer untuk optimasi ruang belum dapat dijelaskan
dalam bahan ajar ini.
Penerapan pembelajaran dengan menerapkan metode Student Center Learning (SCL)
cukup membantu proses penyesuain ini, namun demikian agar kompetensi yang
diharapkan dari proses pembelajaran ini tetap tercapai maka pemberian tugas-tugas
latihan, baik kelompok maupun individu diintensifkan dan memperbanyak diskusi dan
dan kajian mandiri.

B. Struktur Bahan Ajar

Isi buku ajar ini disusun berdasarkan Pedoman Penulisan Buku Ajar Prodi PWK Unpatti
tahun 2018, yang secara terstruktur diuraikan sebagai berikut:
Halaman Judul
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan
Berisi Gambaran Umum Program Studi, Komptensi Lulusan, Garis Besar Rencana
Pembelajaran (GBRP) dan Struktur Buku Ajar.

17
Bab II. Analisis Kependudukan dan Dinamika Sosial;
Modul pembelajaran Metode Analisis Kependudukan dan Dinamika Sosial ini terdiri dari
beberapa sub modul, yaitu: Perhitungan dan proyeksi Jumlah Penduduk; Analisis
Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat Kesejahteraan: Indeks Kualitas Hidup (IKH)/Indeks
Pembangunan Manusia (IPM); serta Analisis Mobilitas/Dinamika Masyarakat:

Bab III. Analisis Ekonomi Wilayah/Kota


Berisi uraian Analisis Struktur ekonomi wilayah (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota);
Perhitungan Laju pertumbuhan ekonomi wilayah dan laju pertumbuhan
pendapatan/produktivitas per kapita; Analisis Location Quotient (LQ) untuk mengetahui
sektor basis dan sektor unggulan wilayah, Metode Analisis Input - Output (I-O
Analysist) serta Analisis komparatif produksi/komoditas unggulan.

Bab IV. Analisis Spasial dan Hubungan antar Wilayah.


Berisi uraian metode analisis hubungan antar wilayah, serta analisis ketergantungan
antar wilayah.

Bab IV. Penutup


Berisi Proses Pembelajaran, Tugas-tugas dan Evaluasi, terdiri dari uraian proses
pembelajaran selama 16 kali pertemuan, rincian tugas dan evaluasi atau penilaian hasil
pembelajaran. Termasuk uraian kisi-kisis soal untuk penilaian akhir (jika diperlukan test)
Daftar Pustaka
Surat Pernyataan
Lampiran:

18
BAB II
ANALISIS DEMOGRAFI DAN DINAMIKA SOSIAL

Analisis demografi/kependudukan dan dinamika sosial masyarakat diarahkan untuk


menghimpun informasi yang berkaitan dengan penilaian apakah sumberdaya manusia
yang ada pada suatu wilayah merupakan potensi ataukah masalah bagi usaha-usaha
peningkatan produktivitas wilayah, dan membandingkan tingkat perkembangan relatif
dari sub- wilayah yang terdapat pada suatu provinsi atau kabupaten/kota.
Penilaian dilakukan berdasarkan aspek kuantitas, kualitas dan kelembagaan. Untuk
maksud tersebut informasi yang dibutuhkan dan metode analisisnya, antara lain :

PERTANYAAN/ INFORMASI METODA ANALISIS


1. Bagaimana jumlah dan tingkat 1. Perhitungan jumlah dan
kepadatan penduduk kepadatan penduduk
2. Bagaimana penyebaran penduduk di 2. Perhitungan persebaran
kabupaten yang ditinjau penduduk
3. Bagaimana komposisi penduduk 3. Perhitungan komposisi umur
menurut umur dan jenis kelamin dan jenis kelamin
4. Berapa besar jumlah penduduk di 4. Perkiraan / proyeksi jumlah
masa yang akan datang penduduk
5. Bagaimana kondisi ketenagakerjaan di 5. Analisis Ketenagakerjaan
masa sekarang dan di masa akan datang

6. Indeks Kualitas Hidup


6. Bagaimana tingkat pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk
7. Pengukuran Indikator
7. Bagaimana tingkat pengembangan
Tingkat Pendidikan
wawasan, pengetahuan dan
Masyarakat.
ketrampilan penduduk
8. Metoda Partisipasi
8. Bagaimana tingkat aktivitas lembaga-
Kelembagaan
lembaga formal di desa
9. Pengukuran Dinamika Sosial
9. Bagaimana tanggapan / response
masyarakat terhadap program-program Masyarakat
pembangunan
10. Indeks Tingkat
10. Bagaimana perbedaan tingkat
Perkembangan Wilayah.
perkembangan dari sub-sub wilayah
yang ada.

19
1. Perhitungan Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Analisis digunakan untuk mengetahui jumlah dan tingkat kepadatan penduduk
dikaitkan dengan sumberdaya lahan yang tersedia. Pengukuran kepadatan dilakukan
dengan tiga cara, yaitu : (i) kepadatan penduduk kasar (crude density of
population), (ii) kepadatan penduduk agraris, dan (iii) kepadatan penduduk ekonomi
(economical density of population).
(i). Kepadatan Penduduk Kasar
Angka kepadatan ini biasanya disebut pula sebagai Kepadatan Penduduk
Matriks, merupakan ratio antara jumlah penduduk persatuan luas wilayah.
jumlah penduduk
kepadatan kasar =
luas wilayah
Contoh:
Jumlah penduduk pada suatu wilayah 1 juta jiwa
dengan luas wilayah
2
10000 Km , maka:
2
kepadatan penduduk adalah 100 jiwa untuk 1 Km
Penilaian:
Kepadatan Tinggi : di atas kepadatan nasional Kepadatan
Sedang : sama dengan kepadatan nasional Kepadatan
Rendah : di bawah kepadatan nasional
(ii) Kepadatan Penduduk Agraris
Kepadatan penduduk agraris adalah jumlah penduduk petani tiap 1
2
Km tanah pertanian,
jumlah rumah tangga petani
kepadatan penduduk agraris =
luas tanah pertanian
Contoh:
Jika jumlah rumah tangga petani pada suatu wilayah 10.000 dan luas tanah
2
pertanian 10 Km , maka:
Kepadatan penduduk agraris = 10.000 / 10 = 1.000
2
Jadi kepadatan penduduk agraris adalah 1.000 jiwa per 1 Km atau 1.000 rumah
tangga untuk 100 Ha tanah pertanian.
Penilaian:
Kepadatan Agraris Tinggi : 1 rumah tangga untuk tiap < 0.5 Ha
Kepadatan Agraris Sedang : 1 rumah tangga untuk 0.5-1.0 Ha
Kepadatan Agraris Rendah : 1 rumah tangga untuk tiap > 1.0 Ha
(iii) Kepadatan Penduduk Ekonomi
Kepadatan penduduk ekonomi adalah besarnya jumlah penduduk pada
suatu wilayah didasarkan atas kemampuan wilayah yang bersangkutan.
kepadatan penduduk ekonomi = 100 x (@ / c)
dengan:
@ = indeks jumlah penduduk
c = adalah indeks umum produksi pada tahun yang sama

Contoh :
Indeks jumlah penduduk dan produksi wilayah A terlihat pada tabel
berikut:
Tahun
1980 1990 Indeks.
Penduduk (jiwa) 1.000.000 1.200.000 1
Produksi (unit) 100.000.000 150.000.000 ,1
,
Maka Kepadatan Penduduk Ekonomi wilayah A adalah:
 = 100 x ( @ / c )
= 100 x (1,2 / 1,5) = 80
Keunggulan:
Data-data yang dibutuhkan seperti jumlah penduduk dan indekss umum
produksi tidak sulit diperoleh.
Kelemahan :
Gambaran yang diperoleh masih bersifat umum.

2. Persebaran Penduduk
Analisis digunakan untuk mengetahui penyebaran penduduk antara kota
dan desa, serta antar unit-unit wilayah (misalnya untuk RUTR kecamatan)
(i) Persebaran Penduduk Desa dan Kota
Merupakan proporsi penduduk desa dan kota terhadap jumlah
penduduk.
(ii) Persebaran Penduduk Antar Wilayah Kecamatan
Angka persebaran diketahui dengan cara membandingkan
kepadatan penduduk antar wilayah kecamatan.
Penilaian:
Persebaran proporsional atau persebaran tidak proporsional.
Persebaran proporsional adalah persebaran dimana jumlah penduduk sebanding
dengan ketersediaan sumberdaya alam (termasuk lahan) di wilayah yang
ditinjau.
Keunggulan:
Informasi tentang jumlah penduduk desa, kota dan wilayah kecamatan mudah
diperoleh.
Kelemahan:
Gambaran yang diperoleh masih sangat umum.

3. Komposisi Pendududk
Komposisi penduduk dibedakan menurut umur dan jenis kelamin.
Komposisi dimaksud dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan fasilitas
pelayanan 13ector dan ekonomi.
(i) Komposisi Menurut Umur
Struktur umur yang umum dipakai adalah interval waktu 5 tahun,
yaitu:
0 - 4 tahun
5 - 9 tahun
10 – 14 tahun
15 – 19 tahun
20 – 24 tahun
25 – 29 tahun
30 – 34 tahun
35 – 39 tahun
40 – 44 tahun
45 – 49 tahun
50 – 54 tahun
55 – 59 tahun
60 – 64 tahun
65 + tahun

Penilaian: Dengan melihat komposisi umur penduduknya, untuk kelompok usia


di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun, maka dapat ditentukan penduduk tua
(old population) dan penduduk muda (young population),
sebagai berikut:

UMUR PENDUDUK TUA PENDUDUK MUDA


0 – 14 < = 30 % > = 40 %
15 – 64 > = 60 % < = 55 %
65 + > = 10 % <=5%

Penggolongan penduduk tua dan penduduk muda dilakukan dengan


melihat umur mediannya, berdasarkan kategori berikut:

UMUR MEDIAN KATEGORI


< = 20tahun Penduduk muda
21 – 30 tahun Penduduk sedang
> 30 tahun Penduduk tua
Umur Median : adalah umur yang membagi penduduk menjadi dua bagian
yang sama, bagian yang pertama lebih muda dan bagian yang kedua lebih tua dari
umur median.
Umur median dihitung dengan ramus:
1 f
Md = M d + {((N/2) – fx)) / M d} * i
dengan:
M1
d = batas bawah kelompok umur yang mengandung jumlah N/2
N = jumlah penduduk
fx = jumlah penduduk kelompok komulatif sampai dengan
kelompok umur yang mengandung N/2
f
Md = jumlah penduduk pada kelompok umur dimana terdapat nilai
N/2
i = kelas interval umur

Contoh: Lihat data hipotetik pada tabel 2.1:


Md = 20 + {((438.775/2) – 215.885)) / 37.316} * 5
Md = 20 + 0,0939 * 5 = 20,47
Jadi Umur Median = 20,5 tahun (dibulatkan)

(ii) Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio)


Merupakan perbandingan-banyaknya penduduk laki-laki dengan
banyaknya penduduk perempuan pada suatu wilayah dan waktu tertentu. Biasanya
dinyatakan dalam banyaknya penduduk laki-laki per 100
perempuan.
Tabel 2.1 . Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur

KELOMPOK UMUR JUMLAH PENDUDUK JUMLAH


0–4 66.082 KUMULATIF
66.082
5–9 64.652 130.734
10 – 14 49.285 180.019
15 -19 35.866 215.885
20 – 24 37.316 253.201
25 – 29 36.568 289.769
30 – 34 30.830 320.599
35 – 39 25.455 346.054
40 – 44 22.825 368.906
45 – 49 18.053 386.959
50 – 54 17.105 404.064
55 – 59 9.829 413.893
KELOMPOK UMUR JUMLAH PENDUDUK JUMLAH
60 – 64 11.236 KUMULATIF
425.129
65 – 69 4.850 429.979
70 – 74 4.414 434.393
75 – 79 4.206 438.599
TT 176 438.775
Jumlah 438.775

jumlah penduduk laki-laki


Sex Ratio = * 100
Jumlah penduduk perempuan
Contoh:
Jika jumlah penduduk laki-laki = 58.338.664 dan jumlah penduduk
perempuan = 60.029.206, maka :
58.336.664
Sex Ratio = * 100
60.029.206
Penilaian:
Sex Ratio Tinggi : > 105
Sex Ratio Sedang : 95 – 105
Sex Ratio Rendah : < 95
4. Perkiraan Laju Pertambahan Penduduk
Perkiraan laju pertumbuhan penduduk diperlukan dalam perencanaan
pembangun-an wilayah, untuk : (i) memperkirakan jumlah dan jenis fasilitas
pelayanan 15ector ekonomi yang dibutuhkan selama kurun waktu pelaksanaan
rencana, dan (ii) merubah kecenderungan laju pertumbuhan penduduk dalam
rangka menanggulangi dinamika penduduk yang terlalu pesat.
Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh : (1) besarnya
kelahiran, (2) besarnya kematian, dan (3) besarnya migrasi masuk dan migrasi
keluar.
Keadaan penduduk pada tahun tertentu dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Pt = Po + {B – D} + {Mi – Mo}
dengan
Pt = Jumlah penduduk pada tahun t
Po = Jumlah penduduk pada tahun dasar
B = Jumlah kelahiran
D = Jumlah kematian
Mi = jumlah migrasi masuk
Mo = jumlah migrasi keluar
(B-D) = pertumbuhan penduduk alamiah
(Mi-Mo) = pertumbuhan penduduk migrasi (neto)
Dikenal beberapa metoda perkiraan jumlah penduduk, tiga diantaranya adalah:
- Metode Antar Sensus (Intercensal)
- Metode Sesudah Sensus (Postcensal)
- Metode Proyeksi (Projection Method)

(i) Metode Antar Sensus


Metode antar sensus (Intercensal) yang disebut pula interpolasi adalah suatu
perkiraan mengenai jumlah penduduk di antara dua waktu sensus (data) yang
diketahui. Pada metoda ini pertambahan penduduk diasumsikan linier.
Pn = Po + m/n (Pn – Po)
a
t Pm = Pn – {(n – m) / n} * (Pn – Po)
a
u Pn = jumlah penduduk pada tahun n
Po = jumlah penduduk pada tahun awal (penduduk dasar)
dengan:
Pm = jumlah penduduk pada tahun yang diestimasikan (tahun m)
m = selisih tahun yang dicari dengan tahun awal n =
selisih tahun dari dua sensus yang diketahui

Contoh:
Jika diketahui jumlah penduduk menurut sensus 1961 = 97 juta dan menurut
sensus 1971 = 118.2 juta. Hitung perkiraan jumlah penduduk pada tahun
1967.
P1967 = 97 – {(1967 – 1961) / 10} * (118.2 – 97)
P1967 = 109,72 juta
(ii) Perkiraan Sesudah Sensus
Digunakan rumus
Pm = Po – {(n + m) / n} * (Pn – Po)
atau
Pm = Pn + (m / n) * (Pn – Po)
dengan :
Po = jumlah penduduk dasar (tahun awal) Pn =
jumlah penduduk tahun n
Pm = jumlah penduduk pada tahun yang diestimasikan (tahun n)
m = selisih tahun yang dicari dengan tahun n
n = selisih tahun dari dua sensus yang diketahui

Contoh:
Jumlah penduduk menurut sensus tahun 1961 adalah 97 juta jiwa. Pada sensus
1971 berjumlah 118,2 juta jiwa Berapakah jumlah penduduk pada tahun 1975 ?
P1975 = 97 – {(10 + 4) / 10} * (118.2 – 97)
P1975 = 126,68 juta
(iii) Metode Proyeksi
Metoda proyeksi dibedakan menurut dua jenis, yaitu :
a. Metoda matematik, yang terdiri atas (1) metoda bunga berganda
(geometric rate of growth), dan (2) metoda eksponensial (exponential
rate of growth).
b. Metoda komponen (cohort)
Ad. A. Metode Matematik
(1) Metoda Bunga Berganda
Metoda bunga berganda berbasis pada rumus :
n
Pt = Po * (l + r)
dengan:
Pt = jumlah penduduk pada tahun t
Po = jumlah penduduk pada tahun awal r
= angka pertumbuhan penduduk
n = jangka waktu dalam tahun
Contoh:
Jumlah penduduk pada suatu wilayah pada tahun 1981 sebesar
2.163.000 jiwa, sedang pada tahun 1991 sebesar 2.490.000 jiwa.
Hitung tingkat pertumbuhan rata-rata pertahun antara tahun 1981 sampai
1991 dan perkirakan jumlah penduduk wilayah tersebut pada tahun 1996.
Tingkat Pertumbuhan rata-rata dihitung dengan rumus :
n
Pt = Po * (l + r)
10
2.490.000 = 2.163.000 (1 + r )
10
(1 + 10) = 2.490.000 / 2.163.000 = 1,151
10 log (l + r) = log 1,151 = 0,0611
1 + r = 1,014178 r
= 0,014178
Selanjutnya nilai r yang diperoleh dari perhitungan ini digunakan untuk
memperkirakan jumlah penduduk pada tahun 1996, dengan
menggunakan rumus yang sama:
5
P1996 = Po (l + 0,0142)
= 2.671.882,5 dibulatkan menjadi 2.671.883 (2)
Metoda Exponensial
Metoda exponensial berbasis pada rumus :
r t
Pn = Po exp *
dengan:
Pn = jumlah penduduk pada tahun n
Po = jumlah penduduk pada tahun awal
r = angka pertumbuhan penduduk t
t = waktu dalam tahun
Contoh :
Dengan menggunakan data hipotetis yang diberikan pada contoh sebelumnya
(metoda bunga berganda), perkirakan kembali jumlah penduduk pada tahun 2000
dengan menggunakan metoda exponensial.
r t
Pn = Po exp *
r.t
Exp = Pn / Po = 2.490.000 / 2.163.000 = 1.1511789
10 r = ln (1.1511789) = 0.14079 r
= 0.014079
0.014079 x 5
P1996 = P1991 exp
= 2.490.000 x 1.07293 = 2.671.595,8
= 2.671.596 (dibulatkan)
Keunggulan:
Metoda digunakan apabila tidak diketahui data tentang komponen dari pada
penduduk. Yang diketahui hanya penduduk keseluruhan dan tingkat pertumbuhan
penduduk. Cocok untuk proyeksi jangka pendek.
Kelemahan :
Menyajikan informasi yang 18ector18e terbatas karena tidak memberikan
informasi struktur umur dan jenis kelamin.
Tidak cocok untuk proyeksi jangka panjang.

Ad. b. Metoda Komponen (Cohort Survival Model)


Keunggulan:
o Memperhatikan perubahan tiap-tiap komponen perubahan penduduk
(Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi).
o Dimulai dengan asumsi-asumsi: Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi. Data-
data yang diperlukan:
 distribusi umur dan jenis kelamin penduduk yang telah dilakukan
protating dan 18ector18e1818
 menentukan level of mortality penduduk tersebut
 mengestimasikan pola fertilitas (ASFR)
 menentukan rasio jenis kelamin saat lahir
 menentukan pola migrasi (proporsi migrasi menurut umur)
Langkah-langkah perkiraan jumlah penduduk menurut metoda ini adalah
sebagai berikut :
Kolom 1: adalah kelompok umur dengan interval 5 tahunan
Kolom 2: adalah jumlah penduduk wanita menurut kelompok umur, 1971.
Kolom 3 : survival ratio penduduk wanita, yang dikutip dari 19ecto
kematian dengan asumsi level yang digunakan adalah level 13 model
West.
Survival Ratio untuk kelompok umur 55-59 tahun dan 60 +
sebesar 0,73665 diperoleh dari:
T60 + / T55 + di dalam life table level 13
Kolom 4: Penduduk masih hidup tahun 1976 = kol.2 x kol.3
Contoh : Penduduk kelompok umur 0-4 tahun, yang masih hidup
5 tahun lagi adalah :
381956 x 0,94528 = 361.055
Mereka inilah akan berusia 5-9 tahun pada tahun 1976
Untuk kelompok umur 55-59 tahun dan 60 tahun lebih,
diperoleh hasil 82.937 x 0,73665 = 61.096.
Mereka ini dikelompokkan dalam usia 60+ pada tahun 1976.
Kolom 5 : Adalah jumlah 19ector19 netto DKI Jakarta antara tahun 1971-
1976 yang diperoleh dari perkalian antara proporsi 19ector19
perempuan dengan total 19ector19.
Contoh: Migran netto perempuan (lihat 19ecto 3)
jumlah (0-4) = 500.000 (0,0365) = 18.250.
Kolom 6: Adalah hasil penjumlahan kolom- (4) + kolom (5). Untuk kelom-
pok umur 0-4 tahun belum dapat diisi, karena angka jumlah kelahiran
selama 5 tahun belum dihitung. Kolom-kolom selanjutnya (kolom 7, 8,
9) dibuat untuk menghitung jumlah kelahiran perempuan selama
periode 1971-1976.
Kolom 7: Adalah rata-rata jumlah penduduk perempuan per kelompok
umur :.{Kolom (2) + Kolom (6)} / 2
Kolom 8: Adalah jumlah kelahiran Age Specific Fertility Rate dari DKI
Jakarta.
Kolom 9 : Adalah jumlah kelahiran per tahun per kelompok umur antara
tahun 1971-1976, yang dihitung dari perkalian Kolom (7)
dengan Kolom (8).
Jadi jumlah kelahiran selama 5 tahun = 5 x 227.339 =
1.136.995. Dengan asumsi Sex Ratio at Birth = 105, maka diperoleh
proporsi perempuan yang lahir sebesar 0,488.
Jumlah kelahiran perempuan selama 5 tahun = jumlah kelahiran
selama 5 tahun x rasio kelahiran perempuan atas kelahiran laki- laki =
1.136.995x0,488 = 554.854.
Jumlah kelahiran perempuan yang masih hidup pada umur 0-4 tahun =
Jumlah kelahiran perempuan x rasio masih hidup pada saat dilahirkan
= 554.854 (0,85661) = 475.293.
Jadi penduduk perempuan yang berumur 0-4 tahun 1976 adalah :
475.293 + 18.250 x (migrasi usia 0-4) = 493.543.
20
Tabel 2.2: Proyeksi Jumlah Penduduk Perempuan di DKI Jakarta tahun 1971 -1976

Kelompok Penduduk Migran Penduduk Rata-rata ASFR Kelahiran


Ration Penduduk
Umur Perempuan Perempuan Perempuan Pend.Perp Jakarta pertahun
Masih Hidup Masih Hidup
Penduduk 1971 1971 -1976 1976 1971-1976 1971-1976 1971-1976

1 2 3 4 5 6 7 8 9
0-4 381.956 0.94528 - 18.250 493.543 - - -
5-9 319.450 0.98100 361.055 22.350 383.405 - - -
10-14 267.518 0.98043 313.380 29.500 342.880 - - -
15-19 265.251 0.97430 262.283 57.800 320.083 292.667 0.107 31.315
20-24 227.890 0.96927 258.432 49.900 308.334 268.112 0.242 64.883
25-29 201.771 0.96518 220.887 29.000 249.887 225.829 0.239 53.973
30-34 164.195 0.96077 194.745 15.850 210.959 187.395 0.236 44.225
35-39 135.959 0.95608 157.754 10.800 168.554 152.257 0.159 24.209
40-44 94.009 0.94998 129.988 7.350 137.338 115.674 0.070 8.097
45-49 60.930 0.93753 89.307 4.650 93.957 77.444 0.009 697
50-54 47382 0.91695 57.124 3.450 60.574 - - -
55-59 25.220 0.73655 43.477 1.950 45.397 - - -
21

Tabel 2.3 Distribusi Migran Perempuan ke Jakarta


Menurut Umur, tahun 1971 -1976

UMUR PERSENTASE UMUR PERSENTASE


0-4 0.0365 35-39 0.0216
5-9 0.0447 40-44 0.0147
10-14 0.0590 45-49 0.0093
15-19 0.1156 54-54 0.0069
20-24 0.0998 55-59 0.0039
25-29 0.0580 60 + 0.0096
30-34 0.0317
Sumber: PSDALUH-DTKTD (1992)

Untuk keperluan tertentu, misalnya untuk mengetahui jumlah penduduk usia


sekolah dasar (7-12 tahun), maka kelompok umur 5-9 perlu dipecah menjadi
umur 5, 6, 7, 8, dan 9 tahun, demikian pula kelompok umur 10-14 dipecah
menjadi umur 10,11,12,13, dan 14 tahun.
Pemecahan dilakukan dengan bantuan 21ector pengganda Sprague (Sprage’s
Multipliers). Pengganda ini memiliki 5 panel, sebuah untuk kelompok umur
tengah (midpanels) , dua buah untuk kelompok akhir (endpanel) , dan dua buah
lagi untuk kelompok umur yang berbatasan dengan kelompok umur akhir
PSDALUH-DTKTD (1992):
1. First end-panel : untuk golongan umur 0-4 tahun
2. First next-to-end panel : untuk golongan umur 5-9 tahun
3. Mid-panels : untuk golongan umur 10 -14 tahun
sampai dengan golongan 85 – 89 tahun
4. Last next-to-end panel: untuk golongan umur 90 – 94 tahun
5. Last end-panel : untuk golongan umur 95-99 tahun
Catatan:
Apabila data penduduk tidak dikelompokkan sampai golongan umur 95-99 tahun,
misalnya hanya sampai pada golongan umur 70-74 tahun, maka golongan umur di
atasnya menyesuaikan. Dalam kasus-kasus tertentu, adakalanya golongan umur
95+ diasumsikan sama dengan golongan umur 95-94, demikian pula golongan
umur 75 +, dapat diasumsikan sama dengan golongan umur 75-79 tahun, dan
sebagainya.
a. First end-panel
Pemecahan kelompok umur ini dilakukan dengan menggunakan rumus berikut:
n
nj = Ni ji . j = 1,5; i = 1,4
Ni
dengan : i
1

nj menyatakan-golongan umur tahunan : n1


= 0 tahun, n2 = 1 tahun, n3 = 2 tahun, n4 = 3
tahun dan n5 = 4 tahun.
Ni menyatakan jumlah penduduk pada kelompok umur ke-i, yaitu : N1 = 0-
4 tahun, N2 = 5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, N4 = 15-19 tahun.
ji menyatakan koefisien pengganda Sprague yang diperlihatkan pada faktor
4.
Tabel 2.4. Pengganda Sprague
N1 N2 N3 N4 N5
FIRST END-PANEL
nl +0.3616 -0.2768 + 0.1488 - 0.0336 -
n2 +0.2640 -0.0960 + 0.0400 - 0.0080 -
n3 +0.1840 + 0.0400 - 0.0320 +0.0080 -
n4 + 0.1200 + 0.1360 - 0.0720 + 0.0160 .
n5 +0.0704 + 0.1968 - 0.0848 + 0.0176 -
FIRST NEXT-TO-END PANEL
nl +0.0336 + 0.2272 - 0.0752 + 0.0144 -
n2 +0.0080 + 0.2320 - 0.0480 +0.0080 -
n3 - 0.0080 + 0.2160 - 0.0080 + 0.0000 -
n4 - 0.0160 + 0.1840 + 0.0400 - 0.0080 -
n5 - 00176 + 0.1408 + 0.0912 - 0.9144 -
MID-PANEL
nl - 0.0128 + 0.0848 + 0.1504 - 0.0240 + 0.0016
n2 -0.0015 + 0.0144 + 0.2224 - 0.0416 +0.0064
n3 +0.0084 - 0.0336 +0.2544 - 0.0336 - 0.0064
n4 +O0064 - 0.0416 + 0.2224 - 0.0144 - 0.0016
n5 +0.0016 - 0.0240 + 0.1504 +0.0848 - 0.0128
LAST NEXT-TO-END PANEL
nl - 0.0144 +0.0912 + 0.1408 - 0.0176 -
n2 - 0.0080 +0.0400 + 0.1840 - 0.0160 .
n3 +0.0000 - O.0080 + 0.2160 - 0.0080 -
n4 +0.0080 - a0480 +0.2320 + 0.0080 -.
n5 +0.0144 - 0.0752 +0.2272 +0.0336 -
LAST END PANEL
nl +0.0176 - 0,0848 +0.1968 +0.0764 -
n2 +0.0168 - 0.0720 +0.1360 +0.1200 -
n3 +0.0080 - 0.0320 + 0.0400 +0.1640 -
n4 - 0.0080 + 0.0400 -0.0960 +0.2640
n5 - 0.0336 + 0.1488 - 0.2768 + 03615 -
b. First next-to-end Panel
Golongan umur tahunan pada kelompok umur ini (5-9 tahun) diperkirakan dengan
menggunakan rUmus yang sama dengan yang dipakai pada kelompok umur 0-4
tahun, dengan n1 = 5 tahun, n2 = 6 tahun, n3 = 7 tahun, n4 = 8 tahun, dan n5 =
9 tahun.
Sedang data kelompok umur yang digunakan adalah : N1 = 0-4 tahun, N2
= 5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, dan N4 = 15-19 tahun.

c. Mid Panel
Kelompok umur ini juga menggunakan rumus yang sama dengan yang digunakan
pada kelompok umur sebelumnya, dengan perbedaan terletak pada jumlah
23ector penggandanya, yaitu sebanyak 5 buah
23ector23e2323 dengan 4 buah pada kelompok umur yang dibahas sebelumnya.
N3 diletakkan pada kelompok umur yang ingin dipecah, N2 dan Ni untuk dua
kelompok umur sebelumnya, dan N4 dan N5 untuk kelompok umur sesudahnya.
Misalnya kelompok umur yang ingin dipecah adalah 10-14 tahun, maka n1
= 10 tahun, n2 = 11 tahun, n3 = 12 tahun, n4 = 13 tahun, dan ns = 14 tahun.
Data kelompok umur yang digunakan adalah Ni = 0-4 tahun, N2 =
5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, N4 = 15-19 tahun, dan N5 = 20-24 tahun.
Catatan:
Untuk Last next-to-end panel pemecahan umur dihitung dengan cara yang sama
First next-to-end panel, sedang pemecahan umur untuk last end panel dihitung
dengan cara yang serupa dengan first end panel.
Contoh:
Perkirakan jumlah anak usia sekolah (7-12 tahun) berdasarkan data jumlah
penduduk menurut kelompok umur yang diperlihatkan pada kelompok 1.
Golongan umur 7-12 tabun terdiri atas dua kelompok umur, yaitu 5-9 tahun
dan 10-14 tahun. Kelompok umur 5-9 tahun dipecah dengan menggunakan First
next-to-end panel, sedangkan kelompok umur 4 tahun dipecah dengan
menggunakan faktor pengganda pada mid panel.
Golongan umur 5 tahun = 0.0336 x 66.082 + 0.2272 x 64.652 – 0.0752 x
49.285 + 00144 x 35.866 = 13.720 (dibulatkan)
Golongan umur 6 tahun = 0.0080 x 66.082 + 0.2320 x 64.652 – 0.0480 x
49.285 + 0.0080 x 35.866 = 13.499 (dibulatkan)
Golongan umur 13 tahun = 0.0064 x 66.082 – 0.0416 x 64.652 + 0.2224 x
49.285 + 0.0144 x 35.866 -0.0016x37.316 =
9.151 (dibulatkan)
Golongan umur 14 tahun = 0.0016 x 66.082 – 0.0240 x 64.652 + 0.1504 x
49.285 + 0.0848 x 35.866 -0.0128 x 37.316
= 8.530 (dibulatkan)
Dari perhitungan di atas terlihat bahwa untuk golongan umur 5, 6, 13 dan
14 terdapat 44.850 anak, dengan demikian jumlah penduduk yang
berumur 7-12 tahun adalah (64.652 + 49.285) – 44.850 = 69.087.

5. Analisis Ketenagakerjaan
Analisis dalam lingkup ini diperlukan untuk memperoleh informasi yang
berkaitan dengan jumlah penduduk yang tidak produktif, tingkat partisipasi
angkatan kerja, tingkat pengangguran, dan proyeksi tingkat partisipasi angkatan
kerja.
(i) Angka Beban Tanggungan
Angka beban tanggungan (Dependency Ratio) merupakan angka yang
menyatakan perbandingan antara jumlah penduduk yang tidak produktif
(umur dibawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas) dengan jumlah penduduk yang
termasuk usia produktif (umur 15-64 tahun).
{(Po – 14 + P65+) / (P15 – 64)} * 100
Penilaian:
Angka Beban-Tanggungan Tinggi : > 70
Angka Beban Tanggungan Sedang : 51 – 69
Angka Beban Tanggungan Rendah : <50
(ii) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Tingkat partisipasi angkatan kerja (Labor Force Participation) atau biasa
disingkat TPAK menyatakan perbandingan jumlah angkatan kerja dengan jumlah
penduduk usia kerja (di Indonesia umur 10 tahun ke atas).
TPAK = (jumlah angkatan kerja/jumlah penduduk usia kerja ) * 100
Penilaian :
TPAK Tinggi = > 70
TPAK Sedang = 50-69
TPAK Rendah = < 50
Data yang dibutuhkan berupa :
- Jumlah penduduk usia kerja (umur 10 tahun ke atas)
- Jumlah angkatan kerja.
Angkatan kerja adalah penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang secara
aktif melakukan kegiatan ekonomis.
Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang bekerja, penduduk yang
mempunyai pekerjaan tetap, tetapi sementara tidak bekerja, dan penduduk
yang tidak mempunyai pekerjaan tetapi mencari pekerjaan secara aktif.
(iii) Tingkat Pengangguran Terbuka
Tingkat pengangguran terbuka (Open Unemployment Rate) dihitung
dengan menggunakan rumus berikut:
TPT = ( jumlah pencari kerja / jumlah angkatan kerja ) * 100
Data yang dibutuhkan:
- Jumlah angkatan kerja
- Jumlah orang yang mencari pekerjaan
Pengertian penduduk yang mencari pekerjaan (menganggur) adalah mereka yang
tidak bekerja dan sekarang ini sedang aktif mencari pekerjaan menurut acuan
waktu tertentu. Termasuk kelompok ini adalah mereka yang pernah bekerja, atau
sekarang sedang dibebastugaskan, tetapi sedang menganggur dan mencari
pekerjaan.
(iv) Proyeksi TPAK
Proyeksi angkatan kerja dibutuhkan untuk memperoleh informasi
tentang jumlah dan karakteristik kerja yang tersedia pada masa yang akan
25ector, termasuk pertumbuhan angkatan kerja dan jumlah penduduk yang
pertama kali memasuki pasar tenaga kerja.
Proyeksi penyediaan tenaga kerja dilakukan dengan dua tahap,
yaitu :
1) proyeksi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dalam suatu
wilayah tertentu.
2) proyek TPAK untuk memperkirakan jumlah penyediaan tenaga kerja.
Tahap pertama diketahui secara khusus pada proyeksi penduduk. Pada
dasarnya perkiraan jumlah angkatan kerja dapat diperoleh sebagai hasil kali
antara TPAK dengan jumlah penduduk pada kelompok umur yang sama.
t t t
LF = lf * P
dengan x x x
t t
LF x = jumlah angkatan kerja pada kelompok umur x pada tahun t lf x
= TPAK pada kelompok umur x pada tahun t
t
Px = jumlah penduduk pada kelompok umur x pada tahun t
Dalam proyeksi ini perlu dibuat asumsi mengenai TPAK pada masa yang akan
datang.
Selain itu, TPAK pada masa yang akan datang dapat diketahui dengan
melakukan extrapolasi sebagai berikut:
x x x x
lf t+1 = lf t * { lf t / (lf t-1 )}
dengan
lfx t+1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t +1
x
lf t = TPAK kelompok umur x pada tahun t
x
lf t-1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t – 1
Tata perhitungan TPAK dengan cara extrapolasi dapat dilakukan dengan
menggunakan bantuan tabel berikut:

KELOMPOK TPAK TPAK TPAK 1990


(3): (2)
UMUR 1971 1980 (3)* (4)
1 2 3 4 5

10-19 50% 60% 60/50 = 1.2 72 %

Keunggulan : sangat sederhana


Kelemahan:
Dalam beberapa kasus, khususnya untuk kelompok umur yang memiliki TPAK
tinggi, hasil extrapolasi kadang-kadang lebih besar dari 100, suatu angka yang
tidak mungkin dicapai pada keadaan sebenarnya.
Untuk mengatasi kelemahan ini, digunakan faktor koreksi yang dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
lf x t+1 = lfx t * { (100 + x )t / 100}
dengan
lfx t+1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t +1
x
lf t = TPAK kelompok umur x pada tahun t
x
 t = Kenaikan TPAK dari tahun t sampai tahun t + 1
x
t Perhitungan 
dilakukan dengan bantuan rumus :
x x x x t
 t = (lf t/ lf to) * {(lft + U t) / (lfto * U to)}
dengan
x
lf t = TPAK kelompok umur x pada tahun t
x
lf to = TPAK kelompok umur x pada tahun to
x
Ut = Proporsi penduduk usia x yang tidak masuk angkatan kerja
pada tahun t
x
U to = Proporsi penduduk usia x yang tidak masuk angkatan kerja
pada tahun to
Contoh hipotesis proyeksi tingkat partisipasi angkatan kerja suatu
wilayah pada tahun 1990 berdasarkan data tahun 1971 dan 1980, sebagai
berikut:

UMUR lfto 1971 lfto 1980 3:2 Uto Ut lfto * Uto lft * Ut 8:7 t
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10-19 0.4938 0.4217 0.854 0.5062 0.5783 0.250 0.244 0.976 -0.833
20-34 0.6826 0.4141 0.606 0.3172 0.5859 0.217 0.243 1.120 -0.678
35-44 0.3397 0.6306 1.856 0.6603 0.3694 0.224 0.233 1.040 1.930

Dari tabel di atas dapat diperkirakan tingkat partisipasi angkatan kerja tahun
1990 sebagai berikut:

UMUR lf 1990
10-19 0.4217 * (100 – 0.833) /100 = 0.4182
20-34 0.4141 * (100- 0.678)/ 100 = 0.4113
35-44 0,6306 * (100-1.930)/ 100 = 0.6428

(i) Perhitungan Indekss Kualitas Hidup (IKH)


IKH atau disebut juga Physical Quality of Life Indeks (PQLI) merupakan indikator
gabungan (Composit Indicator) yang terdiri atas 3 unsur yang dinilai cukup valid
untuk menggambarkan kualitas sumberdaya manusia.
Ketiga indikator yang dimaksud ialah :
i. Angka kematian bayi (Infant Mortality Rate = IMR)
ii. Angka harapan hidup pada usia 0 (Life Expectancy = LE)
iii. Angka melek huruf penduduk usia 10 th keatas (Literacy Rate = LR)
Sebagai suatu mocel gabungan, IKH dinilai mempunyai kepekaan yang
tinggi untuk mengukur hasil dari suatu proses pembangunan ekonomi dalam
suatu masyarakat.
Informasi dasar yang diperlukan dalam pengukuran IKH adalah data
mengenai ketiga indikator tersebut di atas pada tahun yang sama.
Tahapan-tahapan pengukurannya adalah sebagai berikut:
(1) Pengumpulan data ketiga faktor yang tergabung dalam IKH, yaitu:
a. Angka Kematian Bayi (IMR)
- Angka ini menunjukkan jumlah rata-rata kematian bayi dalam setiap
1000 kelahiran pada suatu wilayah tertentu.
- Angka IMR ini oleh para ahli dipandang sebagai salah satu indikator yang
mampu mengukur perkembangan pembangunan ekonomi suatu
masyarakat.
- Data yang dibutuhkan untuk menghitung IMR ialah jumlah anak usia
dibawah 1 tahun yang meninggal pada suatu wilayah, serta jumlah
kelahiran di wilayah tersebut pada periode tahun yang sama.
Tetapi karena data yang dimaksud biasanya sulit diperoleh secara akurat di
seluruh wilayah, maka dianjurkan untuk mengutip saja hasil
perhitungan terakhir mengenai IMR dari pihak / instansi yang berkompeten
seperti Dep. Kesehatan, Kantor Statistik, BKKBN, ataupun dari Lembaga
Demografi pada Perguruan Tinggi setempat.
- Diumpamakan angka IMR yang diperoleh itu adalah 85. Itu berarti dalam
setiap 1000 kelahiran ada 85 bayi yang meninggal sebelum mencapai ulang
tahunnya yang pertama.
b. Angka Harapan Hidup (Life Expectancy)
- Angka ini mengukur jumlah rata-rata tahun (umur) yang diharapkan oleh
seseorang yang baru lahir untuk dijalani sampai meninggal kelak. Indikator
inipun jelas dapat menggambarkan tingkat kualitas hidup penduduk
melalui tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Semakin
besar angka harapan hidup (LE) berarti semakin tinggi pula kualitas
hidup penduduk yang bersangkutan.
- Seperti halnya pada perhitungan IMR, angka harapan hidup (LE) ini juga
dianjurkan untuk dikutip dari hasil perhitungan yang sudah dilakukan
oleh pihak/instansi yang berkompeten seperti yang disebutkan di atas,
karena untuk menghitung sendiri angka LE ini sangat rumit bagi mereka
yang bukan ahlinya. Hal ini tidak menjadi masalah karena data mengenai
LE dipublikasikan secara berkala oleh instansi-instansi tersebut di atas.
- Jika diumpamakan angka harapan hidup (LE) yang diperoleh untuk suatu
wilayah kabupaten adalah 58, ini menunjukkan bahwa setiap anak yang
lahir di wilayah tersebut pada periode tahun yang bersangkutan, dapat
mengharapkan hidup rata-rata selama 58 tahun.
c. Angka Melek Huruf (Literacy Rate)
Angka ini mengukur proporsi penduduk yang berusia 10 tahun ke atas
yang mampu membaca dan menulis. Jadi yang diukur ialah kondisi
pendidikan dasar penduduk.
Indikator ini dipandang memiliki kepekaan yang tinggi untuk
mengukur potensi pembangunan dan kesempatan-kesempatan yang dimiliki
oleh lapisan penduduk miskin / bawah untuk ikut berperan aktif dalam
pembangunan wilayah.
Data yang dibutuhkan untuk menghitung angka melek huruf (LR)
ialah data mengenai jumlah penduduk yang berusia 10 tahun ke atas dan data
mengenai jumlah orang yang mampu membaca dan menulis huruf latin di
antara seluruh penduduk usia 10 tahun keatas tersebut. Data ini tersedia pada
publikasi Biro Pusat Statistik (BPS).
Perhitungan LR dilakukan dengan bantuan rumus:
jumlah penduduk 10 thn keatas yang mampu baca tulis

LP=
jumlah penduduk usia 10 tahun keatas

Jika diumpamakan angka LR yang diperoleh adalah 72,5, ini menunjukkan bahwa
di antara 100 penduduk berusia 10 tahun ke atas terdapat 73 (setelah
dibulatkan) yang mampu membaca dan menulis huruf latin.
1. Perhitungan IKH
Setelah data / angka ketiga faktor tersebut di atas diperoleh, maka IKH
dapat dihitung dengan rumus berikut:
IKH = 1/3 [{(229-IMR)/2,22} + {(LE-38)/0,39} + LR]
dengan:
IMR = Angka Kematian Bayi
LE = Angka Harapan Hidup
LR = Angka Melek Huruf
Angka-angka yang tercantum dalam rumus di atas yaitu 1/3 ; 2,22;
0,39; 229 dan 38 merupakan konstanta.
Angka IKH yang dihasilkan dari perhitungan dengan rumus di atas akan
bergerak antara 0 sampai dengan 100, semakin dekat angka IKH ke 100
berarti kualitas hidup penduduk makin tinggi pula. Demikian pula sebaliknya.
Sebagai patokan umum dalam mengukur kualitas hidup pada masing- masing
wilayah, maka pengelompokannya adalah sebagai berikut:
kualitas hidup rendah : IKH < 50
kualitas hidup sedang : 50 < IKH < 75
kualitas hidup tinggi : IKH > 75
Contoh:
Perhitungan IKH dengan menggunakan contoh angka IMR, LE dan LR yang
ditemukan di sebelumnya yaitu masing-masing 85, 58, dan 72,5 akan
menghasilkan IKH sebagai berikut:
IKH = 1/3 [{(229-85)/2,22} + {(58-38)/0,39} + 72,5]
IKH = 62,8
Berdasarkan pengelompokan sebelumnya, maka angka IKH yang dihasilkan dari
perhitungan diatas yakni 62,8 adalah termasuk kategori sedang.
Kelebihan:
- Berlaku umum bagi berbagai model pembangunan.
- Terhindar dari ukuran-ukuran yang menggambarkan nilai khusus
masyarakat tertentu
- Mengukur hasil/output proses pertumbuhan ekonomi (pembangunan).
- Sederhana dan prosesnya mudah dimengerti
- Dapat dibandingkan (comparable) secara internasional.
Kelemahan
- Data indikator mengenai ketiga faktor dalam IKH seringkali kurang
tersedia di setiap kabupaten
- Angka IKH ini kurang tajam dalam mengukur tingkat pendapatan
masyarakat, padahal tingkat pendapatan sering pula dijadikan tolok ukur
kualitas kehidupan ekonomi masyarakat.

7. Indikator Tingkat Pendidikan Masyarakat


Indikator tingkat pendidikan dapat mengukur sejauh mana perkembangan
wawasan, aspirasi, pengetahuan dan keterampilan penduduk untuk meningkatkan
kemampuannya mengolah sumberdaya alam serta untuk mengembangkan
hubungan-hubungan sosialnya. Untuk maksud ini terdapat 3 metoda pengukuran
yang dinilai cukup valid untuk mengukur perkembangan pendidikan dimaksud,
yaitu :
(i) Rasio Pendaftaran Sekolah (Enrolment Ratio)
Metode ini mengukur proporsi anak usia sekolah yang benar-benar sudah
terdaftar di sekolah menurut jenjangnya masing-masing.
Menurut kelompok usianya, maka ukuran Enrolment Ratio (ER) dapat
dibagi atas 3 kategori, yaitu:
- ER untuk SD bagi usia 7-12 tahun
- ER untuk SLTP bagi usia 13-15 tahun
- ER untuk SLTA bagi usia 16-18 tahun
Langkah pertama untuk menghitung ER ialah mengumpulkan data
mengenai jumlah anak seluruhnya pada kelompok umur 7-12 tahun; 13-15 tahun;
dan 16-18 tahun. Kemudian dikumpulkan pula data mengenai jumlah anak pada
masing-masing kelompok umur yang benar-benar terdaftar di sekolah.
Kedua macam data tersebut cukup mudah diperoleh dari instansi terkait seperti
DIKBUD atau Kantor Statistik.
Setelah data tersebut diperoleh maka ER untuk masing-masing jenjang sekolah
dapat dihitung dengan rumus :

ERi = jumlah anak usia (i) yang bersekolah


jumlah anak usia (i)
dengan (i) menunjukkan kelompok usia atau jenjang pendidikan masing-
masing.
Contoh:
Pada suatu kabupaten jumlah anak usia 13-15 tahun adalah 81.500 orang.
Diantara jumlah itu terdapat 56.200 yang sedang bersekolah ditingkat SLTP, maka
ER-nya (tingkat SLTP) adalah:
(56.200 / 81.500) * 100 = 68,9
Dengan cara yang sama dapat dihitung ER untuk SD dan SLTA.
Sebagai patokan penilaian, ER yang dinilai menunjukkan perkembangan
pendidikan yang tinggi adalah:
- SD = 100 atau mendekati 100
- SLTP = sekitar 80
- SLTA = sekitar 60
Kelebihan:
- Mudah dihitung dan datanya mudah diperoleh.
- Mudah dibandingkan dengan wilayah atau daerah lain karena sangat umum
digunakan untuk memantau perkembangan pendidikan masyarakat.

Kelemahan :
- Belum menggambarkan kualitas pendidikan itu sendiri. Sehingga suatu wilayah
yang lebih tinggi Enrolment Ratio-nya belum otomatis juga lebih tinggi
perkembangan tingkat pengetahuan dan keterampilan masyarakatnya
dibandingkan dengan wilayah yang lebih rendah ER- nya.
(ii) Status Pendidikan (Educational Attainment)
Metoda ini mengukur jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan
oleh penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Jadi dapat dipakai untuk mengukur
kualitas sumberdaya manusia, terutama yang berhubungan dengan aspek
wawasan, pengetahuan dan keterampilan.
Ukuran yang umum digunakan ialah mengelompokkan penduduk usia 10
tahun ke atas menurut jenjang pendidikan formil yang telah diselesaikan ke dalam
7 kelompok sebagai berikut:
- tidak sekolah (TS)
- tidak tammat SD (TTSD)
- SD tammat
- SLTP
- SLTA
- Akademi
- Universitas / Institut / Sekolah Tinggi
Pengelompokan di atas 32ector32e mudah dilakukan karena datanya banyak
tersedia pada instansi-instansi yang berkompoten seperti BAPPEDA,
Kantor Statistik, dan Kantor DIKBUD setempat. Penyederhanaan 32ector32e32
status pendidikan ini dapat dilakukan dengan membagi dua penduduk usia 10
tahun ke atas menurut kelompok pendidikan formil yang telah diselesaikan, yaitu
menjadi:
- penduduk berpendidikan kurang dari SLTP
- penduduk berpendidikan SLTP ke atas.
Alasan pengelompokan di atas ialah bahwa dengan melewati SLTP ke atas
seseorang telah mengalami peningkatan wawasan dan pengetahuan secara cukup
substantial, yang memperbesar aksesnya terhadap berbagai macam informasi
dan keterampilan yang diperlukan dalam pengembangan sumberdayanya.
Makin besar proporsi penduduk yang berpendidikan SLTP ke atas berarti kualitas
sumberdaya manusia semakin tinggi pula.
Sebagai patokan umum, suatu wilayah dapat dinilai tinggi status
pendidikan penduduknya apabila proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas yang
berpendidikan SLTP ke atas mencapai minimal 40%.
Kelebihan:
Data yang dibutuhkan mudah diperoleh demikian pula proses perhitungannya.
Ukuran ini juga sudah langsung menggambarkan secara umum tingkat kualitas
sumber daya manusia dengan melihat jenjang pendidikan formilnya masing-
masing.
Kelemahan :
Seringkali data yang diperoleh kurang akurat atau kurang 33ector. Sebab
pendataan yang demikian ini biasanya dilakukan paling cepat lima tahun sekali
sejalan dengan pelaksanaan sensus atau survey penduduk antar sensus.
(iii) Rasio Guru dan Murid
Metode ini mengukur jumlah murid yang dilayani oleh setiap guru dalam
proses belajar mengajar, jadi secara tidak langsung mengukur kualitas proses
pendidikan di suatu wilayah.
Perhitungan Rasio Guru-Murid dilakukan menurut jenjang pendidikan, yaitu
rasio guru-murid pada SD, SLTP dan SLTA.
Data yang diperlukan ialah jumlah guru serta jumlah murid/siswa
keseluruhan-nya di suatu wilayah menurut jenjangnya masing-masing. Cara
perhitungannya ialah dengan rumus sederhana:
jumlah murid
Ratio Guru dan Murid
jumlah guru
Contoh:
Di kabupaten X terdapat 87.500 murid SD, dengan jumlah guru sebanyak
1950 orang, maka rasio guru-murid untuk tingkat SD adalah :
87500 / 1950 = 44,9 dibulatkan menjadi 45.
Artinya setiap guru SD di kabupaten ini melayani rata-rata 45 orang murid.
Dengan prosedur yang sama dapat dihitung rasio guru-murid pada tingkat SLTP
das SLTA.
Makin kecil rasio guru-murid menunjukkan makin tingginya intensitas
proses belajar mengajar, yang berarti pula makin tingginya kualitas proses
pendidikan di wilayah yang bersangkutan.
Sebagai patokan umum dalam penilaian, rasio guru-murid yang dinilai baik dan
mampu meningkatkan kualitas proses belajar mengajar secara nyata
adalah:
- SD = 1: 30 sampai 40
- SLTP = 1: 20 sampai 25
- SLTA = 1:15 sampai 20
Kelebihan :
Mudah dihitung dan datanyapun mudah diperoleh, karena data mengenai rasio
guru-murid ini setiap tahun diremajakan oleh Kantor Depdikbud. Kelebihan
lainnya adalah metoda ini dapat menjelaskan kualitas dari proses pendidikan
yang terjadi pada suatu wilayah.
Kelemahan :
Metoda ini menjelaskan perkembangan proses belajar mengajar
dikalangan penduduk yang hanya sementara terdaftar pada pendidikan
formal. Jadi tidak mampu mengukur kegiatan pendidikan di luar persekolahan
(pendidikan formal).
Kelemahan lainnya ialah metoda ini belum menggambarkan penyebaran guru-
guru menurut subjek pendidikan, melainkan hanya penyebaran menurut jumlah
totalnya saja.

6. Metode Partisipasi Kelembagaan


Metoda ini digunakan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Desa
Departemen Dalam Negeri untuk mengukur sampai sejauh mana lembaga
kemasyarakatan formal yang ada, telah melakukan fungsinya dengan baik.
Dengan mengukur aktifitas lembaga tersebut, maka sebenarnya berarti pula
mengukur partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan pembangunan, karena
lembaga-lembaga formal tersebut merupakan pula wadah interaksi antara
pemerintah dan masyarakat dalam melakukan kegiatan-kegiatan pembangunan.
Di antara keseluruhan lembaga formal yang ada ditengah-tengah masyarakat
desa/kelurahan, ada empat yang merupakan inti, dalam arti pembentukan dan
pembinaannya dilakukan serentak di seluruh Indonesia, dan berdasarkan pada
Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah.
Ke empat lembaga format dimaksud adalah Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD), Koperasi Unit Desa (KUD), Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) dan Karang Taruna.
 LKMD merupakan lembaga kemasyarakatan yang keberadaannya di tiap
desa dan kelurahan didasarkan atas Undang-Undang No.5/1979 tentang
penyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan. LKMD merupakan wadah
koordinasi dan pelaksanaan berbagai aspek kegiatan masyarakat.
 KUD merupakan lembaga kemasyarakatan yang berfungsi
menyalurkan atau mengkoordinasikan aktivitas perekonomian masyarakat
 PKK merupakan lembaga yang berfungsi mengkoordinasikan berbagai
kegiatan kaum wanita,
 sedangkan Karang Taruna mewadahi berbagai kegiatan kaum remaja dan
pemuda.
Mengingat fungsi dari keempat lembaga tersebut yang mewakili
34ector semua lapisan masyarakat, maka keempatnya dipilih sebagai
34ector34e34 untuk mengukur sampai sejauh mana potensi kelembagaan dalam
masyarakat mampu mendorong produktivitas mereka.
Informasi yang dibutuhkan untuk pengukuran ini adalah data kegiatan
lembaga-lembaga yang dimaksud, baik kegiatan administratifnya maupun
kegiatan operasionalnya masing-masing. Data ini dapat diperoleh secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan
mengadakan pengamatan di lapang dengan menghimpun informasi dari
kalangan masyarakat setempat tentang aktifitas lembaga yang dimaksud. Tetapi
karena cara langsung ini memerlukan waktu dan biaya yang besar, maka
disarankan untuk mengumpulkan data tersebut dari Kantor Pemerintah
Wilayah setempat cq. Kantor Pembangunan Desa (BANGDES).
Kantor ini melakukan monitoring setiap tahun mengenai perkembangan
pembangunan desa, dimana aspek kegiatan lembaga- lembaga kemasyarakatan
merupakan salah satu indikator yang diukur. Langkah-langkah pengukuran
potensi kelembagaan dengan menggunakan metoda partisipasi
kelembagaan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Keempat lembaga yang disebutkan di atas, diukur aktivitasnya (di tingkat desa)
dan hasilnya dikelompokkan kedalam 3 kategori, yaitu:
a. Aktif; dengan kondisi utama :
 kegiatan pengurusnya berjalan baik
 administrasi perkantoran berjalanteratur
 mempunyai kegiatan-kegiatan nyata sesuai yang digariskan oleh
pedoman dasar lembaga atau oleh keputusan-keputusan rapat.
b. Berkembang; dengan kendala utama :
 kepengurusannya belum terkonsolidasi dengan baik, misalnya rapat
sangat jarang diadakan.
 administrasi kantor belum teratur, misalnya belum ada jadwal
berkantor bagi pengurus.
 kegiatan-kegiatan yang dilakukan belum lancar dan belum
terjadwal dengan baik.
c. Passif; dengan kendala utama :
 kepengurusan belum berfungsi
 perkantoran belum berjalan, atau bahkan belum punya kantor.
 kegiatan-kegiatan belum ada yang melembaga.
Hasil pengelompokan lembaga-lembaga seperti disebut di atas telah
tersedia di Kantor BANGDES setempat.
Tahap selanjutnya, pengelompokan tersebut diagregasikan ke tingkat
kabupaten, serta diberikan skor masing-masing sebagai berikut:
a. Tinggi:
Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat 70% atau lebih dari seluruh
lembaga dimaksud masuk dalam kelompok aktif. Diberi skor dalam skala 8-
10.
b. Sedang:
Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat 50%-69% dari seluruh
lembaga dimaksud masuk dalam kelompok aktif. Diberi skor dalam skala 5-
7.
c. Rendah:
Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat kurang dari 50%
diantara lembaga dimaksud masuk dalam kelompok Aktif. Diberi skor
1-4.
Dengan cara agregasi ini maka pada tingkat kabupaten akan diperoleh
36ecto pengelompokan lembaga-lembaga yang diukur menurut tingkat
aktifitas dan skornya masing-masing sebagai berikut:

RENDAH SEDANG TINGGI


LEMBAGA
(SKOR) (SKOR) (SKOR)
LKMD 1-4 5-7 8-10
KUD 1-4 5-7 8-10
PKK 1-4 5-7 8-10
KARANG TARUNA 1-4 5-7 8-10

Terakhir, dengan menghitung skor kumulatif dari keempat lembaga tersebut di


atas maka dapat dinilai tinggi rendahnya potensi kelembagaan pada kabupaten
yang bersangkutan dengan klasifikasi sebagai berikut:
- rendah : memiliki skor < 27
- sedang : memiliki skor antara 27 – 33
- tinggi : memiliki skor > 33
Contoh:
Suatu kabupaten dengan pengelompokan tingkat aktifitas kelembagaan sebagai
berikut:

LEMBAGA PENILAIAN SKOR


LKMD TINGGI 9
KUD SEDANG 6
PKK TINGGI 8
K. TARUNA RENDAH 4
SKOR KUMULATIF 27

Dengan skor kumulatif 27, maka potensi kelembagaan di kabupaten yang


bersangkutan dapat diklasifikasikan sedang.
Kelebihan :
- Sederhana perhitungannya dan datanya sangat mudah diperoleh, karena
pihak Pemda cq. Kantor BANGDES secara rutin mengadakan pemantauan dan
evaluasi. Hasil evaluasi tersebut dapat digunakan sebagai data dalam pengukuran
ini.
Kelemahan:
- Penilaian terhadap tingkat kegiatan lembaga yang dimaksud 37ect bersifat
subjektif dari pihak yang dinilai.
- Ada kemungkinan lembaga yang dinilai tersebut sangat aktif, hanya karena
ditunjang oleh mobilisasi aparat pemerintah setempat, tetapi kurang
melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
7. Analisis Dinamika Sosial Masyarakat
Analisis dinamika sosial masyarakat diarahkan untuk mengetahui sampai
sejauh mana norma-norma sosial budaya atau tata nilai yang dianut
mempengaruhi pola sosial dan pola prilaku para warga masyarakat, baik dalam
arti positif maupun negatif. Pengaruh sistem nilai ini akan mempengaruhi
dinamika sosial masyarakat secara keseluruhan dan pada gilirannya akan
mendorong atau menghambat usaha-usaha peningkatan produktivitas masyarakat.
Walaupun masalah sistem nilai budaya bersifat abstrak, namun
terdapat beberapa pendekatan yang cukup baik untuk dipakai menilai
pengaruh sosial budaya tersebut terhadap dinamika sosial masyarakat, misalnya
pendekatan yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Desa,
Departemen Dalam Negeri.
Pendekatan dimaksud mengelompokkan masyarakat menurut keterikatan
para individu/keluarga dengan nilai-nilai budaya yang dianut ke dalam tiga
golongan, yaitu:
(i) Masyarakat Terbuka
Yaitu masyarakat yang sebagian besar keluarga dalam masyarakat tersebut
telah terbuka terhadap inovasi atau pengaruh baru dari luar, baik dalam bentuk
teknologi, maupun dalam cara berfikir dan berprilaku.
Ciri masyarakat terbuka yang dapat diobservasi antara lain :
- Rasional dalam interaksi faktor-faktor dominan, dibarengi dengan
menurunnya nilai gotong royong.
- Rasional dalam hubungan manusia dengan lingkungan alam,
dibarengi dengan semakin berkurangnya berbagai macam ritual- ritual
tradisional.
- Kegiatan ekonomi masyarakat didominasi oleh orientasi komersial,
menggantikan oririentasi sub-sistem.

(ii) Masyarakat Transisi


Adalah masyarakat yang pola sosial dan prilaku sebagian besar keluarga
dalam masyarakat tersebut disamping masih dipengaruhi oleh nilai budaya
tradisional, juga telah mulai dapat menerima pengaruh- pengaruh baru dari luar.
Ciri-ciri dari masyarakat transisi antara lain:
- Rasionalisme dalam interaksi sosial umumnya masih terbatas pada aspek-
aspek perekonomian. Sementara pada aspek non-ekonomi masih
dipengaruhi oleh faktor emosional dan solidaritas kelompok.
- Selain menerima ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan pengolahan
sumberdaya alam, Faktor-faktor kepercayaan tradisional masih juga
berpengaruh. Ditandai dengan masih banyaknya upacara tradisional yang
berhubungan dengan aktivitas dan siklus hidup.
(iii) Masyarakat Tradisional
Adalah masyarakat yang pola sosial dan prilaku sebagian besar warganya
masih didominasi oleh nilai-nilai tradisional yang diwarisi secara turun temurun.
Ciri utama masyarakat tradisional antara lain:
- Interaksi sosial antara warga masyarakat masih didominasi oleh semangat
solidaritas kelompok yang sifatnya cenderung emosional dan subyektif.
- Hubungan dengan alam sekelilingnya masih amat didominasi oleh
kepercayaan tradisional. Upacara-upacara tradisional sangat mewarnai
aktivitas warga masyarakat dalam berbagai 38ector kehidupan.
- Kegiatan ekonomi masyarakat umumnya bersifat sub-sistem untuk
pemenuhan kebutuhan keluarga dalam jangka pendek.
Data yang diperlukan dalam penilaian ini dapat diperoleh melalui
penelitian langsung di lapang, tetapi dapat pula dicari pada kantor Bangdes
setempat, yang merupakan bagian dari evaluasi tahunan untuk menilai
perkembangan desa/kelurahan dari swadaya ke swakarya/swasembada.
10. Indeks Tingkat Perkembangan Wilayah
Metoda perhitungan Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah digunakan
untuk membandingkan tingkat atau derajat perkembangan sub- wilayah yang
terdapat pada suatu wilayah dengan menggunakan beberapa indikator
sosial-ekonomi.
Metoda ini berbasis pada metoda pembobotan (ranking methods)
dan terdiri atas beberapa langkah, yaitu :
1. Menentukan indikator sosial ekonomi.
Indikator sosial ekonomi dimaksud disini adalah indikator yang secara
langsung maupun tidak langsung mengukur tingkat pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat, seperti: keadaan perumahan, tingkat pendidikan, derajat
kesehatan, kesempatan kerja, dan aksesibilitas ke fasilitas pelayanan umum
dan ke sumber-sumber informasi.
a. Perumahan
Keadaan perumahan dapat diukur dengan menggunakan beberapa
indikator seperti persentasi jumlah rumah tangga yang memiliki (i) sumber air
bersih, (ii) WC, (iii) listrik dan (iv) kondisi rumah, diukur dengan
sekurangnya dua dari tiga elemen utama bangunan rumah (dinding, atap dan
lantai) terbuat dari bahan permanen.
b. Pendidikan
Tingkat pendidikan diukur dengan indikator : (i) persentase / jumlah
penduduk yang melek huruf, (ii) persentasi jumlah anak usia sekolah yang
bersekolah dan (iii) persentasi murid SMP dibandingkan dengan jumlah
penduduk, (iv) persentase jumlah penduduk yang lulus sekolah (pada
tingkatan tertentu) terhadap jumlah penduduk, dan indikator lainnya.
c. Kesehatan
Derajat kesehatan antara lam dapat diukur dengan tingkat pelayanan
kesehatan dengan indikator berupa (i) jumlah fasilitas pelayanan kesehatan
untuk setiap luasan wilayah tertentu, (ii) jumlah dokter / paramedis untuk
setiap 1000-orang penduduk, (iii) jumlah tempat tidur di rumah sakit untuk
setiap 1000 orang penduduk dan (iv) jumlah kematian balita atau tingkat
mortalitas penduduk.
d. Kesempatan kerja
Persentasi jumlah penduduk usia kerja yang bekerja dapat digunakan
sebagai indikator kesempatan kerja.
e. Tingkat Aksesibilitas
Aksesibilitas ke pusat-pusat pelayanan antara lain dapat diukur dengan
jarak dan kondisi jalan, sedangkan aksesibilitas ke sumber- sumber informasi
dapat diukur dengan (i) persentase jumlah fasilitas komunikasi (telefon
misalnya), (ii) jumlah pesawat radio, dan (iii) jumlah pesawat TV,
masing-masing dihitung per 1000 orang penduduk.
Indikator-indikator pembanding yang disebutkan di atas merupakan
alternatif. Para penyusun rencana tata ruang dianjurkan untuk
memperkayanya, yaitu antara lain dengan menggunakan serangkaian
informasi yang berkaitan dengan tingkat perkembangan sosial dan ekonomi
yang dijabarkan pada bab 6 Buku Pedoman Teknik Penataan Ruang
Wilayah. Makin bervariasi jumlah indikator yang digunakan akan semakin
akurat pula indeks tingkat perkembangan wilayah yang dihasilkan.
Nama dan atau kode dari setiap indikator yang berhasil diidentifikasi
tadi ditulis berderet dalam satu baris yang sama.
2. Mengumpulkan dan mengisi data ke dalam tabel.
Data-data yang berkaitan dengan indikator-indikator tersebut dari setiap
sub wilayah perencanaan dikumpulkan dan diletakkan tepat dibawah nama
dan atau kode indikatornya masing-masing, dimulai dari sub wilayah
perencanaan yang pertama pada baris kedua, data dari sub wilayah perencanaan
yang kedua pada baris yang ketiga, dan seterusnya.
3. Pemberian nilai.
Nilai nominal yang diperoleh pada langkah kedua diberi nilai dengan
cara sebagai berikut:
- membagi rentang nilai yang ada untuk setiap indikator menjadi 3
kelompok.
- indikator yang memiliki nilai yang termasuk ke dalam kelompok dengan rentang
nilai terbesar diberi nilai 3, yang termasuk dalam kelompok dengan
rentang nilai terbesar kedua diberi nilai 2, dan sisanya diberi nilai 1.
- langkah pada butir di atas diulangi untuk setiap indikator yang ada.
4. Pemberian bobot untuk setiap indikator
Setiap indikator memiliki kontribusi yang berlainan terhadap pencapaian
derajat kesejahteraan yang diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar.
Oleh karena itu setiap indikator perlu diberi bobot yang sebanding dengan
kontribusinya masing-masing. Besar bobot untuk setiap indikator tergantung
kepada penilaian si perencana.
5. Menghitung indeks perkembangan pada sub-wilayah.
Nilai yang diperoleh untuk setiap indikator, setelah dikalikan dengan
bobotnya masing-masing, dijumlahkan dan hasilnya merupakan indeks tingkat
perkembangan yang dicari.
6. Interpretasi Hasil.
Hasil perhitungan indeks tingkat perkembangan wilayah dikelompokkan
ke dalam tiga kategori. Kelompok dengan indeks perkembangan tertinggi
diinterpretasikan sebagai sub wilayah yang memiliki tingkat perkembangan
terbaik dibandingkan dengan sub wilayah lainnya yang ada di dalam lingkup
wilayah perencanaan. Kelompok dengan indeks perkembangan menengah
merupakan sub wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, sedangkan yang
terakhir, yaitu kelompok yang memiliki nilai terkecil merupakan kelompok
sub wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang terbelakang dibanding
dengan sub wilayah lainnya.

Contoh Perhitungan.
Contoh perhitungan Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah dengan
menggunakan data Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan.
Data dari berbagai indikator. sosial ekonomi diperlihatkan pada Tabel 2.5
sampai dengan 2.9
Tabel 2.5. Indikator Perumahan

Persentase Jumlah Rumah Yang Memiliki Kondisi


Kecamatan
Sumber Air WC Listrik Perumahan
1. Mandai 24,65 8,12 47,59 43,55
2. Tanralili 4,83 1,55 2,51 38,09
3. Camba 6,00 1,92 10,73 42,01
4. Mallawa 12,46 3,99 9,88 44,51
5. Bantimurung 3,76 1,20 6,88 34,15
6. Maros Baru 11,81 3,79 2,68 28,17
7. Maros Utara 35,53 11,40 19,57 47,08

Tabel 2.6. Indikator Pendidikan

% Melek % Pend. Terdaftar di % Pend. Lulus Dari


Kecamatan f
Huruf SD SLTP SD SLTP
1. Mandai 76,87 70,35 6,31 21,14 13,43
2. Tanralili 75,53 40,81 1,57 8,30 3,97
3. Camba 72,52 50,43 2,39- 10,37 6,49
4. Mallawa 29,74 31,97 2,48 12,36 7,51
5. Bantimurung 84,16 49,21 2,71 11,55 6,71
6. Maros Baru 94,81 81,23 3,85 21,27 10,91
7. Maros Utara 78,80 65,10 5,24 15,16 8,00
Tabel 2.7. Indikator Kesehatan
Fasilitas Para Tingkat
Kecamatan Dokter Dukun
Kesehatan medis Mortalitas
1. Mandai 0,0634 0,11 0,66 0,87 59
2. Tanralili 0,0086 0,07 0,43 0,67 67
3. Camba 0,0108 0,08 0,45 0,72 72
4. Mallawa 0,0146 0,18 1,09 1,90 69
5. Bantimurung 0,0111 0,04 0,21 0,48 70
6. Maros Baru 0,0196 0,12 0,31 0,38 48
7. Maros Utara 0,0226 0,16 0,8ft 1,01 62
Catatan:
Kolom 2,3,4 dan 5 menyatakan angka untuk setiap 1000 orang penduduk

Tabel 2.8. Indikator Kesempatan Kerja


Kecamatan % jumlah penduduk yang bekerja
1. Mandai 15,11
2. Tanralili 5,11
3. Camba 6,00
4. Mallawa 14,81
5. Bantimurung 3,06
6. Maros Baru 23,68
7. Maros Utara 41,75

Tabel 2.9. Indikator Aksesibilitas


Jarak ke Kondisi
Kecamatan Telepon TV Radio
Ibukota Kab. Jalan
1. Mandai 1,95 12 72 10-15 21,85
2. Tanralili 0 8 62 20-25 14,21
3. Camba 0 7 55 30-35 18,76
4. Mallawa 0 6 53 20-25 10,21
5. Bantimurung 1,58 9 63 20-25 16,45
6. Maros Bam 11,20 17 87 0-5 36,65
7. Maros Utara 14,75 15 76 10-15 29,17

Catatan:
Kolom 2,3 dan 4 dinyatakan untuk setiap 1000 orang penduduk.
Perhitungan Indeks Tingkat Perkembangan Wilayah diperlihatkan pada
Tabel 10. Pada perhitungan ini setiap indikator diberi bobot yang sama atas
dasar asumsi bahwa indikator-indikator tersebut memberikan kontribusi yang
sama terhadap pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini
diperoleh nilai total (yang dicantumkan pada kolom terakhir), yaitu dengan
menjumlahkan nilai rata-rata dari setiap indikator. Hasil pembobotan di atas
memperlihatkan bahwa kecamatan Maros Utara dan kecamatan Mandai
tergolong sebagai kecamatan yang paling berkembang, kecamatan Maros
Bam memiliki tingkat perkembangan menengah, sedangkan kecamatan
lainnya termasuk dalam kelompok kecamatan yang memiliki tingkat
perkembangan yang relatif terkebelakang.
Untuk mendapatkan basil yang lebih akurat, maka komponen- komponen
dari setiap indikator dapat pula diberi bobot. Misalnya untuk indikator kesehatan,
bobot yang diberikan kepada Dokter seyogyanya berbeda dengan yang diberikan
kepada Para Medis atau Dukun. Babkan untuk lebih akurat lagi, komponen-
komponen dari setiap indikator perlu dikelompokkan terlebih dahulu sesuai
dengan karakteristik yang dimilikinya, kemudian untuk setiap kelompok yang
terbentuk dilakukan lagi pembobotan.
Sebagai contoh, pendekatan pembobotan bertingkat dimaksud dilakukan
untuk indikator kesehatan. Dari data terlihat bahwa komponen indikator tersebut
dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu yang menyangkut sarana kesehatan (jumlah
fasilitas pelayanan kesehatan per 1 Km luas wilayah), tenaga kesehatan (dokter,
paramedis dan dukun), dan tingkat mortalitas. Jika ketiganya diasumsikan
memiliki kontribusi yang sama terhadap derajat kesehatan, maka bobot yang
diberikan harus sama, yaitu masing-masing mendapat 33,33 %. Bobot ini
untuk tenaga kesehatan selanjutnya dibagi lagi untuk dokter, paramedis dan
dukun. Misalnya 1 tenaga dokter dianggap setara dengan 6 paramedis dan setara
dengan 2 dukun , maka bobot untuk dokter adalah 20 %, paramedis 3,33 %, dan
dukun memperoleh bobot 10 %.
44

Tabel 2.10. Indeks Tingkat Perkembangan Wilayah Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan
PERUMAHAN PENDIDIKAN KESEHATAN KK AKSESIBILITAS TO
KECAMATAN TAL
Al A2 A3 A4 A5 Bl B2 B3 B4 B5 B6 C1 C2 C3 C4 C5 C Dl E1 E2 E3 E4 E5 E

1. Mandai 2 3 3 2 3 3 3* 3 3 15 3 2 2 1 2 10 1 1 2 2 1 2 8 10,4
2. Tanralili 1 2 5 3 1 1 1 1 7 1 1 1 3 7 1 1 1 1 2 1 6 6,3
3. Camba 1 3 6 2 2 1 1 1 7 1 1 1 3 7 1 1 1 1 3 1 7 6,7
4. Mallawa 1 3 6 1 1 1 1 2 6 3 3 3 3 13 1 1 1 1 2 1 6 7,5
5. Bantimurung 1 1 4 3 2 1 1 1 8 1 1 1 3 7 1 1 1 1 2 1 6 6.2
6. Maros Baru 1 1 4 3 3 2 3 3 14 2 1 1 1 6 2 3 3 3 1 3 13 9,6
$. Marps Utara 3 2 3 11 3 3 3 2 2 13 3 3 2 2 11 3 3 3 3 1 3 13 13,2

Al = % rumah yang memiliki sumber air bersih C1 = Jumlah Fasilitas Kesehatan per 1 km luas wilayah
A2 = % rumah yang memiliki WC C2 = Jumlah Dokter per 1000 orang penduduk
A3 = % rumah yang memiliki aliran listrik C3 = Jumlah Paramedis per 1000 orang penduduk
A4 = % rumah yang 2 dari komponen utamanya (lantai, C4 = Jumlah Dukun per 1000 orang penduduk
dinding dan atap) terbuat dari bahan permanen C5 = Tingkat Mortalitas
A = Nilai total untuk mdikator perumahan C = Nilai total untuk indikator kesehatan
B1 = % penduduk yang melek huruf E1 = Jumlah pesawat telefon per 1000 orang penduduk
B2 = % penduduk usia sekolah (SD) yang terdaftar pada SD B3 = E2 = Jumlah TV per 1000 orang penduduk
% penduduk usia sekolah (SUIT) yang terdaftar di E3 = Jumlah Radio per 1000 orang penduduk
SLTP E4 = Jarak (dalam km) ke Ibu Kota Kecamatan
B4 = %jumlah penduduk yang lulus SD E5 = Kondisi permukaan jalan penghubung ke Ibu Kota
B5 = %jumlah penduduk yang lulus SLTP B Kecamatan
= Nilai total untuk indikator pendidikan E = Nilai total untuk indikator aksesibilitas
D1 = % penduduk usia kerja yang bekerja
Keunggulan
Metoda ini selain relatif mudah dan membutuhkan data yang umumnya telah
tersedia pada hampir semua kabupaten di Indonesia, juga mampu memberikan
gambaran tentang tingkat perkembangan relatif dari kecamatan-kecamatan yang
ada pada kabupaten yang ditinjau, khususnya yang berkaitan dengan tingkat
pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Dengan demikian dapat ditemukenali
kecamatan-kecamatan yang relatif kurang mendapat pelayanan sosial ekonomi
yang membutuh- kan penanganan khusus agar mampu mencapai tingkat
pelayanan yang setara dengan kecamatan lainnya.

Kelemahan
Hasil analisis hanya merupakan potret dari tingkat perkembangan relatif
kecamatan-kecamatan yang terdapat pada kabupaten yang ditinjau, tetapi tidak
memberikan informasi tentang penyebab berkembang atau tidak berkembangnya
suatu kecamatan.
Di samping itu, seperti dengan metoda lain yang berbasis pada skala/ pembobotan,
metoda ini cenderung bersifat subyektif. Bobot yang diberikan pada suatu
indikator sangat tergantung kepada penilaian si perencana yang umumnya
dipengaruhi, secara sadar atau tidak sadar, oleh pertimbangan yang bersifat
subyektif.
Pemilihan indikator juga merupakan titik kritis keberhasilan metoda ini
memberikan gambaran nyata tentang tingkat perkembangan kecamatan. Hasil
analisis mungkin kurang tepat disebabkan oleh pemilihan indikator yang kurang
mewakili keadaan yang sebenarnya. Hal ini sulit dihindari, utamanya bagi
perencana pemula, karena suatu indikator mungkin tepat untuk diterapkan pada
suatu wilayah tetapi belum tentu sesuai untuk wilayah lainnya.
Salah satu upaya untuk mengatasi kelemahan ini adalah menghitung terlebih
dahulu nilai yang diberikan pada suatu kelompok-indikator, misalnya tingkat
aksesibilitas fisik, dengan menggunakan metoda pengukuran aksesibilitas yang
telah baku. Dengan pendekatan ini "kekeliruan" dalam pemilihan dan pemberian
bobot bagi indikator-indikator aksesibilitas dapat dihindari. Pendekatan ini jelas
meminta waktu dan proses analisis yang lebih rumit, tetapi diimbangi dengan
basil analisis yang relatif lebih akurat.
BAB III
ANALISIS EKONOMI
WILAYAH

Analisis ekonomi wilayah diarahkan untuk menghimpun informasi


mengenai kinerja ekonomi kabupaten, potensi dan sektor-sektor yang dapat
dipacu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan, dan masalah-
masalah yang dihadapi.

PERTANYAAN / INFORMASI METODA ANALISIS


1. Bagaimana struktur ekonomi dan 1. Perhitungan sumbangan masing-
pergeserannya masing sektor ekonomi dalam
PDRB, dan Analisis
Shift-Share
2. Bagaimana laju pertumbuhan 2. Perhitungan pertumbuhan
ekonomi dalam beberapa tahun ekonomi
terakhir
3. Perhitungan laju pertumbuhan
3. Bagaimana laju pertumbuhan
pendapatan / produktivitas per pendapatan / produktivitas
kapita
4. Location Quotient, Analisis
4. Sektor-sektor mana saja yang
Input Output dan Analisis Shift-
termasuk sektor basis dan sektor
Share
unggulan
5. Keterkaitan antar sektor dalam 5. Analisis Input Output
kabupaten
6. Bagaimana keterkaitan 6. Analisis Input Output
kesempatan kerja dengan
pertumbuhan ekonomi / sektor
7. Apakah komoditas yang 7. Revealed Comparative
dihasilkan memiliki keunggulan Advantage, dan Biaya
komparatif atau tidak Sumberdaya Domestik
8. Bagaimana aspek pemerataan 8. Kurva Lorenz dan Gini Ratio
pendapatan
9. Indeks Distribusi dan Asosiasi
9. Bagaimana penyebaran aktivitas
ekonomi dalam wilayah yang
ditinjau.

2
1. Struktur Ekonomi dan Pergeserannya
Analisis struktur ekonomi digunakan untuk mengetahui sumbangan atau
peranan masing-masing kegiatan ekonomi atau sektor dalam perekonomian
kabupaten secara keseluruhan dalam suatu tahun tertentu. Dengan kata lain,
dengan analisis ini dapat diketahui besarnya persentase masing-masing kegiatan
ekonomi atau sektor dalam Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB)
kabupate/kota.
Struktur ekonomi ini bisa mempunyai pengertian yang dinamis apabila
struktur ekonomi tersebut tidak dibatasi pada suatu tahun tertentu saja, melainkan
dalam suatu rangkaian waktu, sehingga dapat dilihat proses pergeseran struktur
ekonomi.
Untuk mengukur struktur ekonomi kabupaten digunakan rumus:
Nilai PDRB setiap sektor
Struktur Ekonomi = * 100%
Nilai PDRB total

Contoh :
Kegiatan ekonomi suatu kabupaten A dikelompokkan dalam tiga sektor
utama, yakni pertanian, industri, dan jasa dengan PDRB sebagai berikut:

SEKTOR PDRB/SEKTOR % DALAM PDRB


Pertanian Rp. 625.000,- 625.000/840.000*100% = 74%
Industri Rp. 125.000,- 125.000/840.000*100% = 15%
Jasa Rp, 90.000,- 90.000/ 840.000 * 100% = 11%
Total Rp. 840.000,-

Dari contoh di atas terlihat jelas bahwa struktur ekonomi kabupaten A didominasi
oleh sektor pertanian karena sumbangan sektor tersebut paling besar, yakni 74
persen. Berhubung peranan sektor pertanian dominan pada hampir semua
kabupaten di Indonesia, maka yang dimaksud pergerakan struktur ekonomi
adalah menurunnya peranan sektor pertanian dalam PDRB dari tahun ke tahun
dan digantikan oleh sektor-sektor non-pertanian terutama industri. Jadi untuk
mengukur pergeseran struktur ekonomi, diperlukan perhitungan struktur ekonomi
dalam rangkaian waktu (beberapa tahun) sehingga nampak perubahan peranan
masing-masing sektor dalam PDRB
Data yang diperlukan:
- Untuk perhitungan struktur ekonomi, data yang dibutuhkan adalah PDRB per
sektor menurut harga berlaku atau lebih tepat menurut harga konstan pada tahun
tertentu.

3
- Untuk perhitungan pergeseran struktur ekonomi, data yang dibutuhkan adalah
PDRB menurut harga berlaku atau lebih tepat menurut harga konstan dalam
beberapa tahun.
Keunggulan :
Metoda analisis ini sangat mudah dilakukan karena datanya tersedia pada hampir
semua kabupaten dengan pembagian sektor yang lebih rinci. Kelemahan :
Salah satu kelemahan dari metoda analisis ini bersumber pada
kelemahan pengukuran PDRB itu sendiri, yakni hanya mengukur kegiatan
produksi yang melalui transaksi pasar. Disamping itu, metoda analisis ini tidak
mampu mendeteksi faktor-faktor penyebab pergeseran struktur ekonomi dalam
suatu kabupaten.
2. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Analisis ini digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi
kabupaten dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada proses
karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau perkembangan. Oleh karena
itu pemakaian indikator pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam
kurun waktu tertentu, misalnya selama Pelita atau periode tertentu, tetapi dapat
pula secara tahunan.
Laju pertumbuhan ekonomi diukur melalui indikator perkembangan PDRB
dari tahun ke tahun. Cara menghitung laju pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan
dengan tiga metoda, yaitu:
1. Cara Tahunan
PDRBx - PDRBx-1
Laju Pertumbuhan PDRBx = * 100%
PDRBx-1

dengan
PDRBx = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun tertentu PDRBx-1
= Pendapatan Domestik Regional Bruto 1 tahun sebelumnya.
Contoh :
Jika PDRB tahun 1983 sebesar Rp.73.697,6 miliar dan tahun 1984
Rp.77.996,8 milliar, maka laju pertumbuhan ekonomi adalah : Laju
Pertumbuhan Ekonomi
= {(77.996,8 – 73.697,6) / 73.697,6} * 100 % = 5,8 %

2. Cara rata-rata setiap tahun :

4
Keterangan:
r = laju pertumbuhan ekonomi rata-rata setiap tahun n
= jumlah tahun
PDRBn = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun terakhir periode
PDRBo = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun awal periode

Contoh :
PDRB tahun awal Pelita II (1973) sebesar Rp.9.566,5 miliar dan
PDRB akhir Pelita II (1978) sebesar Rp.6.753,4 miliar. n =
6

3. Dengan Compounding Factor:


n-1
PDRBn = PDRBo * ( 1 + r )
dengan
n-1
(1 + r) = mencerminkan compounding factor
Contoh:
Dengan data yang sama dengan contoh sebelumnya, laju pertumbuhan
ekonomi dihitung kembali dengan menggunakan metoda compounding
factor :
n-1
PDRBn = PDRBo * ( 1 + r )
n-1
(1 + r) = PDRBn / PDRBo
6-1
(1 + r) = 9.566,5 / 6.753,4 = 1,416545

Dengan menggunakan tabel compounding factor diperoleh nilai r yang


mendekati, yakni pada tingkat 7,2%.
Data yang diperlukan :
Sama dengan perhitungan struktur ekonomi dan pergeserannya, metoda analisis
ini membutuhkan data PDRB menurut harga berlaku atau lebih tepat menurut
harga konstan
Keunggulan :
Perhitungannya relatif mudah dan data yang diperlukan tersedia pada hampir
semua kabupaten.
Kelemahan:
Sama pada metoda analisis struktur ekonomi.

5
3. Laju Pendapatan/Produktivitas per Kapita
Dengan metoda analisis ini dapat diketahui pendapatan per kapita yang
menunjukkan kemampuan yang nyata dari suatu kabupaten dalam menghasilkan
barang dan jasa. Pada umumnya pendapatan per kapita disebut juga produktivitas
per kapita. Sesungguhnya ini hanya soal istilah karena cara perhitungan yang
digunakan sama.
Suatu wilayah kabupaten yang memiliki jumlah penduduk yang tergolong
besar dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi, mempunyai
tantangan yang lebih besar daripada kabupaten yang tergolong kecil dengan laju
pertumbuhan rendah. Tingkat kemajuan suatu kabupaten secara riel: dapat
ditunjukkan dengan indikator berikut:
ix = Laju Pertumbuhan PDRBx – r
dengan:
r = laju pertumbuhan penduduk (%)
i = laju pendapatan per kapita, jika angkanya negatif berarti kemerosotan x =
tahun tertentu
Sedangkan tingkat produktivitas per kapita suatu kabupaten dapat diukur
dengan indikator:
npx = PDRBx / Px
dengan
np = nilai produktivitas kabupaten per kapita, sering disebut juga
pendapatan per kapita
P = jumlah penduduk x
= tahun tertentu
Contoh :
1. Laju pertumbuhan PDRB tahun 1978 sebesar 7% dan laju
pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun dalam periode 1971-1980
2,1%. Dengan demikian laju produktivitas / pendapatan per kapita
adalah :
ix = 7% -2,1% = 4,9%.
2. PDRB tahun 1980 atas dasar harga konstan 1973 sebesar Rp.11.169 juta,
sedangkan penduduk tahun 1980 tercatat 125.000 jiwa. Nilai produktivitas per
kapita per tahun adalah:
npx = Rp. 11.169.000.000 / 125.000 = Rp. 89.352

Data yang diperlukan :


PDRB kabupaten menurut harga konstan pada suatu tahun tertentu dan pada
periode tertentu, jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk.

6
Keunggulan:
Di samping perhitungan dan data metoda analisis ini relatif mudah karena tersedia
pada hampir semua kabupaten, hasil perhitungan yang diperoleh dapat
menggambarkan kemampuan riel kabupaten dalam menghasilkan barang dan jasa
karena unsur penduduk digunakan sebagai penimbang dan pengaruh kenaikan
harga sudah dihilangkan.
Kelemahan:
Sama halnya pada perhitungan yang menggunakan rata-rata, metoda analisis ini
tidak menggambarkan tingkat kemakmuran pada berbagai pelapisan masyarakat.
4. Analisis Location Quotient (LQ)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat spesialisasi
sektor-sektor di suatu kabupaten atau sektor-sektor apa saja yang merupakan
sektor basis atau sektor "leading".
Location Quotient banyak digunakan sebagai alat yang sederhana untuk
mengukur spesialiasi relatif suatu wilayah/kabupaten pada sektor- sektor tertentu.
Location Quotient ini mempunyai penggunaan yang luas sehingga satuan
pengukuran apa saja dapat digunakan untuk menghitungnya. Untuk ilustrasi
yang akan digunakan adalah alat ukur yang paling umum, yakni kesempatan
kerja (employment). Untuk menghitung Location Quotient kesempatan kerja,
maka kesempatan kerja pada sektor tertentu suatu kabupaten dikaitkan dengan
peubah acuan (reference variable), yakni kesempatan kerja total pada tingkat
kabupaten dan tingkat nasional. Hubungan antara kedua tingkat tersebut
dibandingkan dan dianalisis.
Kesempatan kerja suatu sektor yang disebut peubah spesialisasi, dikaitkan
dengan kesempatan kerja total atau peubah acuan melalui suatu ratio yang
sederhana, kemudian ratio tingkat kabupaten dan tingkat nasional dibandingkan
melalui ratio yang lain. Jadi Location Quotient merupakan ratio dari ratio.
Rumus yang digunakan adalah:
peubah spesialisasi kabupaten
peubah acuan kabupaten
LQ =
peubah spesialisasi nasional peubah
acuan nasional
Dalam kasus kesempatan kerja, rumus di atas menjadi:
jumlah tenaga kerja suatu sektor kabupaten
jumlah tenaga kerja seluruh sektor kabupaten
LQ =
jumlah tenaga kerja sektor yang sama nasional jumlah
tenaga kerja seluruh sektor nasional

7
Dari perhitungan Location Quotient suatu sektor, aturan umum yang digunakan adalah :
- Jika LQ > 1, disebut sektor basis, yakni sektor yang tingkat
spesialisasinya lebih tinggi daripada tingkat nasional.
- Jika LQ < 1, disebut sektor non-basis, yakni sektor yang tingkat
spesialisasinya lebih rendah daripada tingkat nasional.
- Jika LQ = 1, tingkat spesialisasi kabupaten sama dengan tingkat
nasional.
Contoh :
Misalkan pada suatu kabupaten, kesempatan kerja di sektor pertanian adalah
120.000 pada suatu tahun tertentu, kesempatan kerja total kabupaten
tersebut adalah 315.000. Dimisalkan juga pada tahun yang sama, kesempatan
kerja sektor pertanian nasional adalah 10.000.000 dan kesempatan kerja total
nasional 36.000.000.
Location Quotient sektor pertanian kabupaten yang bersangkutan
adalah:
120.000
315.000
LQ =
10.000.000
36.000.000

0,38
LQ =
0,28
= 1,4

Metoda analisis ini memerlukan data sektor kabupaten dan propinsi atau
nasional untuk suatu tahun tertentu, atau dalam suatu periode untuk melihat
perubahan LQ setiap sektor.
Apabila digunakan data PDB dan PDRB, maka sebaiknya data menurut harga
konstan yang mencerminkan pendapatan dan produksi riel.
Keunggulan :
Location Quotient merupakan suatu alat yang dapat digunakan dengan
mudah dan cepat. Location quotient dapat digunakan sebagai alat analisis
awal untuk suatu kabupaten, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan alat
analisis lainnya. Berhubung kesederhanaannya, location quotient dapat
dihitung berulang kali untuk setiap peubah spesialisasi dengan menggunakan
berbagai peubah acuan dan periode waktu.

8
Kelemahan:
Perlu diketahui bahwa nilai perhitungan location quotient dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Nilai hasil perhitungannya bias karena tingkat disaggregasi
peubah spesialisasi, pemilihan peubah acuan, pemilihan entity yang
diperbandingkan, pemilihan tahun dan kualitas data.
5. Analisis Input-Output
Analisis ini menjawab pertanyaan mengenai keterkaitan produksi
(production linkages) di antara berbagai kegiatan ekonomi/sektor dalam suatu
kabupaten pada suatu tahun tertentu. Hal tersebut tercermin dalam keterkaitan
kedepan (forward linkage), keterkaitan kebelakang (backward linkage), dan
pengaruh-ganda (multiplier effects) permintaan akhir (final demand) dari
konsumen, pemerintah, sektor-sektor ekonomi kabupaten, dan dari luar kabupaten
terhadap produksi masing-masing sektor dalam kabupaten yang bersangkutan.
Analisis input-output didasarkan pada teori keseimbangan umum (general
equilibrium) karena mengintegrasikan permintaan (demand) dan penawaran
(supply), memberikan manfaat antara lain: (a) mampu memberikan gambaran
rinci mengenai perekonomian dengan mengkuantifikasikan ketergantungan
(interdependency) antar sektor, (b) dapat digunakan untuk memperkirakan
dampak permintaan akhir dan perubahannya terhadap keluaran berbagai sektor
produksi, nilai tambah, penerimaan pajak, kebutuhan tenaga kerja dan sebagainya,
(c) dapat digunakan untuk memproyeksi peubah-peubab ekonomi pada butir b di
atas, dan (d) memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai
pengaruh yang terkuat terhadap pertumbuhan ekonomi (sektor leading) serta
sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan perekonomian regional dan
nasional.
Analisis input-output bertolak dari anggapan bahwa suatu sistem
perekonomian terdiri dari sejumlah kegiatan ekonomi atau sektor- sektor yang
saling berkaitan satu sama lain. Masing-masing sektor menggunakan keluaran
(output) dari sektor lain sebagai masukan (input) bagi keluaran yang
dihasilkannya dan selanjutnya menjadi masukan pula bagi sektor lain. Transaksi
antar sektor ini disebut transaksi-antara atau permintaan antara (intermediate
demand). Di samping menjadi masukan sektor lain, terdapat pula keluaran dari
suatu sektor yang menjadi masukan bagi sektor itu sendiri, dan sebagai barang
konsumsi bagi pemakai akhir (final demand).
Dalam suatu input-output yang bersifat terbuka dan statis,
transaksi-transaksi yang dikaji dilandasi oleh tiga asumsi dasar sebagai berikut:

9
- homogenitas atau keseragaman : setiap sektor hanya menghasilkan satu
jenis barang dan jasa dengan masukan tunggal.
- proporsionalitas atau kesebandingan : kenaikan penggunaan masukan ber-
banding lurus dengan kenaikan keluaran.
- additivitas atau penjumlahan : efek total dari kegiatan produksi pada
berbagai sektor merupakan penjumlahan efek masing-masing kegiatan.
Model umum analisis input-output dapat ditulis dalam bentuk notasi
matriks sebagai berikut:
X = AX + F
atau :
-1
X = (I-A) F
dengan :

X = jumlah keluaran yang dihasilkan


oleh suatu sektor
A = koefisien masukan, yakni keluaran suatu sektor yang dibeli oleh
sektor lain sebagai masukan untuk menghasilkan satu unit
keluaran
F = permintaan akhir terhadap keluaran suatu sektor
I = matriks identitas, yakni matriks yang elemennya pada
diagonal utama adalah satu dan lainnya nol.
(I - A) = matriks Leontief
-1
(I - A) = matriks kebalikan (inverse) Leontief
Langkah-Langkah Dasar:
Langkah 1: Sebagai langkah awal dalam analisis input-output adalah
menyusun tabel transaksi. Tabel ini berisi keterangan-keterangan tentang
bagaimana, baik dalam satuan kuantitatif fisik atau dalam satuan mata
uang, keluaran suatu sektor terdistribusi ke sektor- sektor lain sebagai
masukan antara dan ke permintaan akhir. Contoh tabel transaksi yang
terdiri atas 3 sektor (pertanian, industri dan jasa) diperlihatkan pada tabel
3.1.

Tabel 3.1. Matriks Transaksi Perekonomian Kabupaten X Yang Disederhanakan


(dalam Jutaan Rupiah)

Alokasi
Permintaan Antara Permintaan Akhir Jumlah
Keluaran
Keluaran
Susunan Rumah
Pertanian Industri Jasa Lainnya
Masukan Tangga
Masukan Pertanian 3 8 18 100 21 150
Antara Industri 33 10 9 20 8 80
Jasa 15 5 30 7 60
Masukan Upah/Gaji 75 30 12 - - 117
Primer Lainnya 24 27 18 - - 69
Jumlah Masukan 150 80 60 150 36

10
Pembacaan tabel ke samping (baris) menunjukkan bahwa dari jumlah
keluaran sektor pertanian sebanyak 150, senilai 3 digunakan oleh sektor pertanian
sendiri sebagai masukan, senilai 8 digunakan oleh sektor industri, 18 digunakan
oleh sektor jasa, dan sisanya senilai 121 (= 100 +
21) digunakan oleh permintaan akhir sebagai barang konsumsi.
Pembacaan tabel ke bawah (kolom) menunjukkan bahwa dari jumlah
masukan sektor pertanian senilai 150, senilai 3 berupa masukan dari sektor
itu sendiri, senilai 33 masukan dari sektor industri, 15 dari sektor jasa, dan
selebihnya senilai 99 ( = 75 + 24) berupa masukan primer yang disebut juga
nilai tambah bruto (gross valued added). Total nilai tambah bruto dicantumkan
pada kolom terakhir (sel yang diarsir) sebesar 186. Nilai tambah bruto ini
mencerminkan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten,
berupa balas jasa atas pemakaian faktor-faktor produksi yang terdiri dari tenaga
kerja, tanah, modal dari kewiraswataan. Dari cara pemasukan angka-angka
dengan sistem matriks dapat dilihat bahwa-tiap angka pada setiap sel muncul
dua kali, yakni sebagai elemen baris dan sebagai elemen kolom. Hal ini
menunjukkan keterkaitan (interdependency) antar-sektor dalam perekonomian.
Tabel transaksi dapat juga ditulis dalam bentuk notasi matriks. Misalkan xij
merupakan keluaran sektor i yang digunakan sebagai masukan oleh sektor j,
Fi merupakan permintaan akhir terhadap keluaran sektor i, Vi melambangkan nilai
tambah sektor i, dan Xj adalah jumlah keluaran sektor j, maka tabel transaksi
dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:
3
Baris: x
j 1
ij
 Fi  X i ; untuk i = 1,2,3

3
Kolom: xi
ij V j  X j ; untuk i = 1,2,3
1

Langkah 2 : Buat tabel kebutuhan langsung (direct requirement table) atau


matriks teknologi. Tabel ini bersumber dari tabel transaksi, menunjukkan
porsi masukan suatu sektor yang berasal dari sektor lain (termasuk sektor
itu sendiri) untuk setiap unit keluaran yang dihasilkan. Koefisien tabel ini
(dinamakan koefisien teknologi) dihitung dengan membagi nilai atau
elemen setiap kolom sektor- antara dalam tabel transaksi dengan masukan
total:
aij = xij / Xj

dari rumus di atas terlihat bahwa aij merupakan rasio yang menunjukkan
jumlah keluaran sektor i yang digunakan oleh sektor j sebagai masukan.

11
Cara yang sama dilakukan untuk memperoleh koefisien masukan primer,
yaitu dengan membagi elemen kolom dengan jumlah masukan.
Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa untuk setiap unit yang dihasilkan oleh sektor
pertanian, memerlukan masukan 2 persen dari sektor itu sendiri, 22 persen dari
sektor industri, 10 persen dari sektor jasa, dan sisanya, 66 persen masukan primer.
Untuk memudahkan perhitungan selanjutnya, tanpa memasukkan masukan
primer, elemen Tabel 3.2 (aij) dapat disusun dalam bentuk matriks (matriks
koefisien masukan) dengan nama matriks A sebagai
berikut:
0,02 0,100 0,30
 
A  0,22 0,125 0,15
 0,063 0,05


Tabel 3.2. Tabel Kebutuhan Langsung (Koefisien Masukan/Teknologi)

Keluaran Permintaan Antara


Masukan Pertanian Industri jasa
Masukan Pertanian 0,02 0,100 0,30
Antara Industri 0,22 0,125 0,15
Jasa 0,10 0.063 0,05
Masukan Primer 0,66 0,713 0,50
Masukan Total 1.00 1,000 1,00

Langkah 3 : Tabel selanjutnya yang perlu dibuat adalah tabel jumlah


kebutuhan (total requirement table). Tabel ini bersumber dari tabel
kebutuhan langsung (Tabel 3.2) yang menunjukkan jumlah
masukan langsung dan tidak langsung (masukan untuk menghasilkan
masukan) yang diperlukan oleh sektor-sektor perekonomian untuk
menghasilkan keluaran guna memenuhi satu unit permintaan akhir. Isi
tabel jumlah kebutuhan ini dapat dihitung dengan memanfaatkan
matriks koefisien. Matriks tersebut perlu dicari kebalikannya (inverse)
dengan prosedur sebagai berikut:
a. Buat matriks Leontief, yakni dengan memperkurangkan matriks
identitas dengan matriks A:

12
1 0 0 0,100 0,30
0,02
  
( I  A)  0 0
  0,125 0,15
1   0,22
 
0 0  0,063 0,05
1 0,10

 0,98   0,30
 
  0,22 0,100  0,15
0,875
 0,10  0,063 0,95
-1
b. Hitung matriks kebalikan (inverse) Leontief, atau (I - A)
Metoda untuk meng inverse matriks tidak dijabarkan disini, hanya
diberikan hasilnya saja:
1,0 0,15 0,37 
9 ( I  A) 1
1,20 
 0,27

0,03
0,13 0,09 1,11
Dari perhitungan yang telah dilakukan dapat disusun tabel jumlah
kebutuhan sebagai berikut:

Tabel 3.3. Tabel Jumlah Kebutuhan Input-Output


Memerlukan masukan Keluaran sektor untuk satu unit permintaan akhir
dari sektor Pertanian Industri Jasa
Pertanian 1,09 0,15 0,37
Industri 0,30 1,20 0,28
Jasa 0,13 0,09 1,11

Matriks kebalikan Leontief dalam Tabel 3.3 merupakan peralatan utama dalam
analisis input-output karena dengan peralatan ini dapat segera dievaluasi pengaruh
perubahan permintaan akhir terhadap keluaran bruto sektor-sektor ekonomi.
Selain itu, dengan peralatan ini dapat diketahui PDRB dan beberapa bilangan
pengganda (multiplier) antar sektor yang saling mempengaruhi secara beruntun
dalam proses produksi, dan sekaligus mencerminkan sifat keterkaitan antar sektor,
sesuai dasar falsafah teori tabel input-output. Bilangan pengganda yang dimaksud
adalah pengganda tenaga kerja (employment multiplier), pengganda pendapatan
(income multiplier), dan pengganda keluaran (output multiplier).
Contoh Penggunaan:
1. Menghitung keluaran sektor untuk memenuhi permintaan akhir
tertentu.
Misalkan untuk meningkatkan pendapatan di Kabupaten X, berbagai upaya
telah dilakukan sehingga diperkirakan pada tahun berikut
13
permintaan akhir terhadap keluaran sektor pertanian, industri, dan jasa akan
meningkat menjadi:
Pertanian = 150
Industri = 35
Jasa = 40
Hitung output setiap sektor untuk memenuhi kenaikan permintaan akhir
tersebut.
Dengan menggunakan matriks kebalikan Leontief, keluaran masing-
masing sektor dapat dihitung sebagai berikut:
1,09 0,15 0,37  150
  
X '  ( I  A) 1
F' 0,03 1,20 0,27 30
 
0,13 0,09 1,11 40 



184

 
 98


68

Berdasarkan perhitungan di atas, maka untuk memenuhi peningkatan
permintaan akhir, maka keluaran sektor pertanian harus sebesar 184, sektor
industri 98, dan sektor jasa 68.
2. Menghitung Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tahun
yang akan datang.
Untuk menghitung PDRB, maka terlebih dahulu perm diketahui koefisien nilai
tambah (value added coefficient), dengan rumus :
vi = Vi / X’i atau Vi = vi . X’i
dengan:
vi = koefisien nilai tambah
Vi = nilai tambah sektor i
X’I = keluaran sektor i setelah kenaikan permintaan akhir
3
PDRB = V i  vi .
Xi
j
1

Dari Tabel 3.1 diketahui bahwa: V


pertanian = 75 + 24 = 99
V industri = 30 + 27 = 57
V jasa = 12 + 18 = 30

14
sehingga koefisien nilai tambah setiap sektor
V pertanian = 99/150 = 0,66
V industri = 57/80 = 0,71
V jasa = 30/60 = 0,50
dan PDRB adalah :

15
PDRB = (0,66)(184) +
(0,71)(98) + (0,50)(68) =
225,02
Dengan demikian, PDRB Kabupaten X diramalkan meningkat menjadi
225 setelah terjadi kenaikan permintaan akhir.
3. Menghitung kesempatan kerja yang tercipta pada masing- masing sektor.
Untuk tujuan ini perlu diketahui terlebih dahulu koefisien tenaga kerja dari
masing-masing sektor, dengan rumus:
Ii = Li / Xi atau Li = Ii . Xi
dengan:
li = pengganda tenaga kerja
Li = kesempatan kerja di sektor i
Misalkan kesempatan kerja pada masing-masing sektor di Kabupaten X
adalah :
L pertanian = 35.000 orang L
industri = 11.000 orang L
jasa = 7.500 orang
maka koefisien tenaga kerja:
l pertanian = 35.000/150.000.000 = 0,002333 l
industri = 11.000/80.000.000 – 0,000138
l jasa = 7.500/60.000.000 = 0,000125
Kesempatan kerja masing-masing sektor menjadi:
l pertanian . X pertanian = (0,002333) . (184.000.000) = 42.933
orang
l industri . X industri = (0,000138) . (98.000.000) = 13.475
orang
l jasa . X jasa = (0,000125) . (68.000.000) = 8.500
orang
Dengan demikian, dapat diketahui tambahan kesempatan kerja yang
tercipta akibat peningkatan permintaan akhir terhadap keluaran masing- masing
sektor sebagai berikut:
Sektor pertanian = 42.933 - 35.000 = 7.933 orang
Sektor industri = 13.475 -11.000 = 2.475 orang
Sektor jasa = 8.500 - 7.500 = 1.000 orang
4. Pengganda Pendapatan dan Pengganda Kesempatan Kerja.
Pengganda pendapatan dan Pengganda kesempatan kerja adalah angka
yang menunjukkan berapa kali pendapatan dan kesempatan kerja meningkat
sebagai akibat kenaikan satu unit permintaan akhir terhadap keluaran suatu sektor.

15
Pengganda pendapatan dapat dibagi dalam Pengganda Pendapatan
Kerja Tipe I dan II, dan Pengganda Kesempatan Kerja. Pengganda Pendapatan
Tipe I dan II dibedakan oleh perlakuan rumah tangga dan upah dan gaji. Pada
Tipe II, rumah tangga yang tadinya berada pada kolom permintaan akhir,
dimasukkan pada permintaan antara, demikian juga upah dan gaji pada
masukan antara. Model ini disebut model tertutup (closed model) karena
memperlakukan rumah tangga sebagai peubah endogen. Pengganda pendapatan
Tipe II tersebut sangat penting dalam perencanaanj angka panjang untuk
peningkatan pendapatan di masa yang akan datang.
a. Pengganda Pendapatan Tipe I: Pengganda
ini dihitung dengan rumus:
3
PPT - Ij = c
i
ij .. Pj
1

dengan:
PPT Ij = Pengganda Pendapatan Tipe I sektor j cij
= unsur matriks kebalikan Leontief
Pj = koefisien masukan upah / gaji rumah tangga sektor j
Untuk menghitung PPT-I terlebih dahulu perm diketahui koefisien upah/
gaji dengan rumus:
Pj = (Besarnya Upah & Gaji pada Sektor J / Jumlah Keluaran Sektor j
atau:
P pertanian = 75/150 = 0,50
P industri = 30/80 = 0,38
P jasa = 12/60 = 0,20.
Dengan demikian, PPT-I dari masing-masing sektor dapat dihitung
PPT – I pertanian =
0,50 x 1,09 + 0,38 x 0,15 + 0,20 x 0,37
0,50
= 1,35
PPT – I industri =
0,50 x 0,30 + 0,38 x 1,20 + 0,20 x 0,28
0,38
= 1,74
PPT – I jasa =
0,50 x 0,13 + 0,38 x 0,09 + 0,20 x 1,11
0,20
= 1,61

Ternyata koefisien pengganda pendapatan yang tertinggi adalah pada sektor


industri, yaitu 1,74. Ini berarti bahwa setiap kenaikan satu unit permintaan
akhir terhadap keluaran semua sektor Kabupaten X akan

16
meningkatkan pendapatan di sektor industri sebesar 1,74 kali lipat. Hal penting
untuk perencanaan di masa datang bahwa ditinjau dari kesempatan kerja, sektor
industri yang perlu dikembangkan.
b. Pengganda Pendapatan Tipe II.
Terlebih dahulu perlu dibuat matriks yang diperluas dengan memasukkan
tambahan kolom konsumsi rumah tangga dan baris upah dan gaji, yakni (I
-1
-Ah) dan matriks kebalikannya, (I - Ah) .

1 0 0 0,0 0,10 0,30 0,67


 0 2 
0 0  0  0,13 0,15 0,13 
( I  Ah)   
1 0,22
0 0 1 0 0,06 0,05 0,20
 0,10 
0  
 0,98   0,30  0,67 
0 0 0 0,100,50 0,38 0,20 0,00
  
 0,22 0,87  0,13
 0,15
 0,10  0,06  0,20
 0,95 
 ,050  0,38  0,20 1,00 
Setelah di invers, diperoleh :
2,62 1,51 2,23
1,36
1,07 0,86 
1,81
1
(I  Ah)  
0,74 1,56 1,12
0,57
 
1,86 1,39 2,
1,47
0,88


71

Selanjutnya Pengganda Pendapatan Tipe II
dihitung dengan rumus :
PPT-IIj = Dij / Pj
dengan:
PPT IIj = pengganda pendapatan tipe II sektor j
Dij = baris rumah tangga (baris keempat) pada matriks
kebalikan
1
(I - Ah)-
Pj = koefisien pendapatan (upah / gaji) sektor j
dengan menggunakan rumus di atas diperoleh :
PPT II pertanian = 1,86/0,50 = 3,72
PPT II industri = 1,47/0,38 = 3,87
Dari contoh yang diberikan ternyata sektor jasa memiliki koefisien Pengganda
Pendapatan Tipe II yang tertinggi, yakni 6,95 sehingga pengembangan sektor jasa
di masa yang akan datang akan menguntungkan Kabupaten X ditinjau dari segi
pendapatan.
17
c. Pengganda Kesempatan Kerja:
Pengganda kesempatan kerja dihitung dengan menggunakan koefisien tenaga
kerja yang telah dihitung pada contoh 3, dan dimasukkan dalam rumus:

18
3

c ij .l
PKK j = j
j 1

dengan: lj
PKKj = pengganda tenaga kerja
c ij = elemen matriks kebalikan Leontief lj
= koefisien tenaga kerja sektor j :
Berdasarkan rumus tersebut dapat dihitung pengganda kesempatan kerja
dimaksud :
PKK pertanian =
0,002333 x 1,09 + 0,000138 x 0,15 + 0,000125 x 0,37
0,002333
= 1,12
PKK industri =
0,002333 x 0,30 + 0,000138 x 1,20 + 0,000125 x 0,28
0,000138
= 1,96
PKK jasa =
0,002333 x 0,13 + 0,000138 x 0,09 + 0,000125 x 1,11
0,000125
= 1,45
Dari contoh yang diberikan, ternyata sektor industri memiliki pengganda
pendapatan yang tertinggi, yakni 1,96.
5. Pengganda Keluaran (output multiplier).
Pengganda keluaran, mengukur pengaruh langsung dan tidak langsung
kenaikan satu unit permintaan akhir terhadap keluaran suatu sektor dan
selanjutnya pada keluaran sektor-sektor ekonomi lainnya. Pengganda keluaran
dapat dihitung dengan rumus:
3
PK j = c ij
; j 1, 2, 3;
untuk
j 1

dengan:
PKj = pengganda keluaran sektor j c ij
= kebalikan matriks Leontief
Penerapan rumus inti dalam contoh kasus di atas memberikan: PK
pertanian = 1,09 + 0,30 + 0,13 = 1,52
PK industri = 0,15 + 1,20 + 0,09 = 1,44
PK jasa = 0,37 + 0,28 + 1,11 = 1,76
Pengganda keluaran yang paling besar dimiliki oleh sektor jasa yang berarti
bahwa kenaikan permintaan akhir terhadap keluaran sektor ini mempunyai
pengaruh langsung dan tidak langsung yang paling besar atas keluaran
seluruh sektor perekonomian.
18
6. Keterkaitan langsung ke depan (forward linkage) dan keterkaitan
langsung ke belakang (backward linkage) setiap sektor.
Keterkaitan langsung ke depan menggambarkan dampak sektor
tertentu ter-hadap sektor-sektor lainnya yang menggunakan keluaran sektor
tersebut sebagai masukan antara untuk setiap unit kenaikan permintaan akhir.
Keterkaitan langsung ke depan suatu sektor dihitung dengan menjumlahkan
koefisien teknologi sektor tersebut ke kanan atau elemen kolom :
dengan:
KLD i = keterkaitan langsung ke depan sektor i
x ij = banyaknya keluaran sektor i yang digunakan oleh sektor j
Xi = jumlah keluaran sektor i (antara dan akhir)
dari rumus tersebut diperoleh :
KLD pertanian = 0,02 + 0,10 + 0,30 = 0,42
KLD industri = 0,22 + 0,125 + 0,15 = 0,50
KLD jasa = 0,10 + 0,063 + 0,05 = 0,21
Kaitan langsung ke depan tertinggi dimiliki oleh sektor industri. Ini berarti
bahwa keluaran sektor industri mempunyai pengaruh yang lebih besar
terhadap sektor-sektor Iain yang menggunakan keluaran tersebut sebagai
masukan dibandingkan keluaran sektor pertanian dan sektor jasa. Keterkaitan
langsung ke belakang menggambarkan dampak sektor
tertentu terhadap sektor-sektor lain yang keluarannya digunakan sebagai
masukan antara untuk setiap unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan
langsung ke belakang suatu sektor didukung dengan menjumlahkan
koefisien teknologi sektor tersebut ke bawah atau menurut elemen baris : dengan:
KLBj = keterkaitan langsung ke belakang sektor j xij
= banyaknya masukan sektor j
Xj = jumlah masukan sektor j
Dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh : KLB
pertanian = 0,02 + 0,22 + 0,10 = 0,32
KLB industri = 0,10 + 0,125 + 0,063 = 0,29
KLB jasa = 0,30 + 0,15 + 0,05 = 0,50
Keterkaitan langsung ke belakang yang paling besar dimiliki oleh sektor jasa yang
sekaligus berarti bahwa keluaran sektor ini paling besar pengaruhnya terhadap
sektor-sektor lain yang keluarannya digunakan oleh sektor jasa sebagai
masukan dibandingkan sektor pertanian dan industri.
7. Daya penyebaran (backward power of dispersion) dan daya
kepekaan (forward power of dispersion).
Daya penyebaran menggambarkan pengaruh yang timbul oleh kenaikan
satu unit permintaan akhir keluaran suatu sektor terhadap peningkatan keluaran
semua sektor dalam perekonomian. Bila

19
koefisiennya 1, menunjukkan kebutuhan masukan antara sektor tertentu dapat
menimbulkan dampak peningkatan keluaran di atas rata-rata terhadap sektor-
sektor lainnya. Sektor yang mempunyai koefisien daya penyebaran yang paling
tinggi berarti mempunyai pengaruh yang terbesar dalam pertumbuhan
perekonomian secara keseluruhan.
Daya penyebaran dapat dihitung dengan rumus :
DPj = Daya penyebaran sektor j
Daya kepekaan menggambarkan pengaruh yang ditimbulkan oleh kenaikan
satu unit permintaan akhir keluaran semua sektor terhadap keluaran salah satu
sektor ekonomi. Sektor yang memiliki daya kepekaan yang paling tinggi berarti
sektor tersebut akan terkena pengaruh yang paling besar dari pertumbuhan
perekonomian secara keseluruhan.
Daya kepekaan dihitung dengan rumus :
DKi = daya kepekaan sektor i
Untuk melihat sektor yang dapat dijadikan prioritas dalam proses pengembangan
kabupaten, maka semua indekss keterkaitan antar sektor produksi yang dihitung
dengan analisis input-output disajikan sekaligus dalam suatu tabel. Bentuk tabel
dimaksud dengan menggunakan hasil analisis sebelumnya diperlihatkan pada
Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Daftar Indeks Keterkaitan Antar Sektor pada Kabupaten X

Indekss Sektor Sektor


Sektor Jasa
Keterkaitan Pertanian Industri
PPT-I 1,35 1,74 1,61
PPT-II 3,72 3,87 6,95
PKK 1,12 1,96 1,45
PK 1,52 1,44 1,76
DP 0,97 0,92 1,12
DK 1,03 1,13 0,84

Walaupun indekss keterkaitan antar sektor, berdasarkan Tabel 3.4, bervariasi,


tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa sektor jasa dan industri perlu
mendapat prioritas agar terjadi peningkatan pendapatan, kesempatan kerja, dan
pertumbuhan dalam pembangunan jangka panjang dari Kabupaten X.
Pendekatan lain dalam mengevaluasi Tabel 3.4 adalah dengan memberikan bobot
tertentu kepada setiap indekss, sesuai dengan keterkaitan indekss tersebut
terhadap prioritas pembangunan. Misalnya peningkatan kesempatan kerja
merupakan prioritas pembangunan maka

20
bobot yang diberikan pada indekss PKK relatif lebih besar dibanding dengan
bobot yang diberikan pada indekss lainnya.
Keunggulan :
Analisis input-output merupakan peralatan analisis yang dapat
memberikan begitu banyak informasi yang sangat relevan untuk
perencanaan pembangunan wilayah dan sangat luwes. Peralatan ini dapat
digunakan dengan tingkat aggregasi yang lebih besar atau lebih kecil -dalam
sektor-sektor antara, permintaan akhir ataupun pada pemasok primer
sesuai kebutuhan. Dalam praktek, yang paling umum dilakukan adalah
melakukan agregasi sektor-sektor yang relatif memiliki volume penjualan yang
kecil ke dalam katagori "sektor-sektor lainnya". Keluwesannya juga terletak pada
data yang digunakan. Secara ideal, data yang digunakan bersumber dari survei
kegiatan ekonomi kabupaten mengenai transaksi penjualan dan pembelian
dalam satu tahun. Tetapi pendekatan yang lebih sederhana dapat dilakukan
dengan melakukan survei skala kecil pada kegiatan usaha mengenai proporsi
masukan yang dibeli dari berbagai sumber dan keluaran yang dijual pada
berbagai kegiatan usaha lainnya atau pasar. Hal ini dapat merupakan
subsitusi survei intensif yang berskala besar. Keluaran total dapat diestimasi dari
Hal yang paling penting dari analisis input-output ini adalah kemampuannya
untuk digunakan sebagai alat perencanaan wilayah yang terintegrasi karena dapat
menunjukkan keterkaitan/ketergantungan antar sektor dalam perekonomian
kabupaten.
Kelemahan :
Kelemahan utama analisis input-output terletak pada kesalahfahaman yang
sering timbul, seolah-olah menggambarkan model perekonomian suatu wilayah
padahal sesungguhnya hanya merupakan suatu potret yang kasar tentang
keterkaitan antar-sektor.
Kelemahan lain adalah angka-angka yang ada pada tabel kebutuhan yang
menggambarkan jumlah keluaran pada suatu waktu. Dengan menggunakan angka-
angka tersebut sebagai dasar prediksi dapat menyesatkan karena anggapan
bahwa keterkaitan antar-sektor pada setiap tingkat keluaran adalah sama.
Anggapan ini tidak realistis sehingga hasil prediksi yang diperoleh tidak dapat
diterima sepenuhnya.
Data yang digunakan untuk analisis input-output adalah data penjualan dari
setiap sektor. Berhubung keterbatasan data, penyusunan tabel input- output untuk
tingkat kabupaten masih dipandang sulit dan memerlukan penelitian dasar
terhadap kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Jika suatu kabupaten memiliki
data yang terbatas, maka analisis input-output dapat

21
memberikan kerangka dasar untuk pengumpulan data untuk perencanaan
pembangunan.
6. Analisis Shift Share
Metoda analisis Shift-Share digunakan untuk mengetahui kinerja
perekonomian kabupaten, pergeseran struktur, posisi relatif sektor-sektor ekonomi
dan identifikasi sektor-sektor "unggul" kabupaten dalam kaitannya dengan
perekonomian acuan (nasional atau propinsi) dalam dua atau lebih titik waktu.
Metoda analisis ini pada hakekatnya merupakan teknik yang relatif
sederhana untuk menganalisis perubahan struktur perekonomian lokal dalam
kaitan dengan perekonomian acuan yang lebih besar. Perekonomian
lokal dapat berupa kota, kabupaten, atau propinsi, sedangkan
perekonomian acuan dapat berupa propinsi atau negara. Analisis shift-share yang
bertitik tolak pada asumsi pertumbuhan sektor kabupaten yang sama dengan
pada tingkat nasional, membagi perubahan atau pertumbuhan kinerja ekonomi
lokal/kabupaten dalam tiga komponen, yakni:
1. Komponen pertumbuhan nasional (national growth component) :
mengukur perubahan kinerja ekonomi pada perekonomian acuan.
2. Komponen pertumbuhan proporsional (mix-industry or proportional shift
component) : mengukur perbedaan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi
acuan dengan pertumbuhan agregat. Apabila komponen ini pada salah satu
sektor nasional bernilai positif, berarti bahwa sektor tersebut berkembang
dalam perekonomian acuan. Sebaliknya jika negatif, sektor tersebut menurun
kinerjanya.
3. Komponen pergeseran atau pertumbuhan pangsa wilayah (differential
shift atau regional share) : mengukur kinerja sektor-sektor lokal terhadap
sektor-sektor yang sama pada perekonomian acuan. Apabila komponen ini
pada salah satu sektor positif, maka daya saing sektor lokal meningkat
dibandingkan sektor yang sama pada ekonomi acuan, dan apabila negatif
terjadi sebaliknya.
Dengan demikian, apabila perubahan atau pertumbuhan kinerja ekonomi
kabupaten adalah PEK, pertumbuhan nasional adalah KPN, pertumbuhan
proporsional adalah KPP, dan KPK adalah pertumbuhan daya saing
kabupaten, maka hal tersebut dapat ditulis dengan rumus :
PEK = KPN + KPP + KPK

Selanjutnya rumus di atas dapat dijabarkan secara rinci sebagai berikut:


dengan:

22
Y* = indikator ekonomi nasional akhir tahun kajian
Y = indikator ekonomi nasional awal tahun kajian
Yi’ = indikator ekonomi nasional sektor i akhir tahun kajian
Yi = indikator ekonomi nasional sektor i awal tahun kajian
yi’ = indikator ekonomi kabupaten sektor i akhir tahun kajian yi
= indikator ekonomi kabupaten sektor i awal tahun kajian
Sedang Pergeseran Netto (PN) dihitung dengan rumus:
PN = KPP + KPK
Langkah-langkah Dasar
Dengan mengambil contoh data Pendapatan Domestik Regional Bruto
Kabupaten Tual, Maluku Tenggara (PDRBT) dan Pendapatan Domestik Bruto
Indonesia (PDB), pada tahun 1985 dan 1989 menurut harga konstan 1983, berikut
ini adalah langkah-langkah dasar dalam analisis shift-share :
Langkah 1: Hitung dan bandingkan pertumbuhan pendapatan di kabupaten
dengan nasional. Untuk memudahkan analisis, perekonomian kabupaten
dan nasional dipecah dalam sebelas sektor, yakni pertanian, pertambangan
/ penggalian, industri pengolahan, listrik / gas / air minum, bangunan,
perdagangan / hotel / restoran, pengangkutan / komunikasi, bank /
lembaga keuangan lainnya, pemerintahan / pertahanan, dan jasa-jasa.
Tabel berikut menunjukkan bahwa pendapatan nasional tumbuh 26,14
persen, sedangkan pendapatan Kabupaten Tual hanya tumbuh
21,38 persen. Bagaimana pertumbuhan pendapatan kabupaten dijelaskan
dalam kaitannya dengan pertumbuhan pendapatan nasional?
Langkah 2 : Hitung perubahan pendapatan kabupaten setiap sektor, yaitu dengan
memperkurangkan pendapatan pada akhir waktu kajian untuk masing-
masing sektor (elemen kolom 4 Tabel 6.5) dengan pendapatan pada awal
tahun kajian (elemen kolom 3 Tabel 6.5). Hasilnya ditunjukkan pada Tabel
6.6 .
Langkah 3 : Hitung komponen masing-masing pertumbuhan sesuai rumus
yang telah dijabarkan secara rinci sebagai berikut:
a. Komponen Pertumbuhan Nasional (KPN): Bagi jumlah PDB89
(baris 12 kolom 6 Tabel 6.5) dengan PDB85 (baris 12 kolom 5
Tabel 6.5), kemudian hasil pembagian tersebut dikurangi 1. Hasilnya
adalah 0,26 atau 26 persen. Angka-angka inilah yang menjadi KPN pada
semua sektor.
b. Komponen Pertumbuhan Proporsional (KPP) :

23
1. Bagi angka-angka PDB89 menurut sektor (elemen-elemen kolom
6 Tabel 6.5) dengan angka-angka sektor yang sama pada PDB89
(elemen-elemen kolom 5 Tabel 6.5).
2. Bagi jumlah PDB89 (baris 12 kolom 6 Tabel 6.5) dengan
PDBS5 (baris 12 kolom 5 Tabel 6.5)
3. Perkurangkan hasil butir 1 dengan hasil butir 2 untuk masing- masing
sektor.
4. Isi kolom KPP dengan hasil butir 3.
c. Komponen Pertumbuhan Daya Saing Kabupaten (KPK):
1. Bagi angka-angka PDRBT89 menurut sektor (elemen-elemen kolom
4 Tabel 6.5) dengan angka-angka sektor yang sama pada
PDRBT85 (elemen-elemen kolom 3 Tabel 6.5).
2. Perkurangkan hasil butir 1 dengan hasil KPP butir 1
3. Isi kolom KPK dengan hasil butir 2.
Hasil perhitungan yang dilakukan ditunjukkan pada Tabel 3.7 berikut:

Tabel 3.7. Hasil Perhitungan Komponen KPN, KPP, KPK, dan PN


SEKTOR KPN KPP KPK PN
1. Pertanian 0,26 -0,12 0,01 -0,10
2. Pertambangan 0,26 -0,18 -0,06 -0,24
3. Industri 0,26 0,22 -0,05 0,16
4. Listrik 0,26 0,44 0,44 0,89
5. Bangunan 0,26 0,04 - 0,46 -0,42
6. Perdagangan 0,26 0,13 0,05 0,18
7. Angkutan 0,26 0,00 0,21 0,21
8. Bank 0,26 0,16 2,41 2,57
9. Sewa Rumah 0,26 -0,09 -0,03 -0,12
10. Pemerintahan 0,26 0,04 -0,07 -0,03
11. Jasa-Jasa 0,26 -0,09 -0,02 -0,12
PDRB/PDB 0,26 0,00 - 0,05 -0,05

Langkah 4 : Tafsirkan hasil perhitungan pada Tabel 6.7 dengan menemukenali


sektor-sektor KPP yang bertanda positif dan negatif. Apabila suatu sektor
bertanda positif, maka sektor tersebut pesat pertumbuhannya dan
pengaruhnya pada pendapatan kabupaten juga positif. Sebaliknya yang
bertanda negatif disebut sektor yang lamban pertumbuhannya yang
berpengaruh negatif pada pendapatan kabupaten. Suatu kabupaten yang
sebagian besar

24
pendapatannya berasal dari sektor-sektor yang lamban pertumbuhannya,
maka pendapatan di kabupaten tersebut akan tumbuh di bawah tingkat
pertumbuhan nasional. Sebaliknya, apabila sebagian besar pen-dapatan
bersumber dari sektor-sektor yang pesat pertumbuhannya, maka
porsinya akan meningkat dalam perekonomian nasional, cateris paribus.
Dari Tabel 6.7 diketahui bahwa sektor-sektor yang positif adalah industri,
listrik, bangunan, per-dagangan, angkutan, bank, dan pemerintahan,
sedangkan yang negatif adalah pertanian, pertambangan, sewa rumah dan
jasa- jasa.
Langkah 5 : Selanjutnya temukenali sektor-sektor KPK yang bertanda positif
dan negatif. Tabel 6.7 menunjukkan bahwa sektor-sektor yang
bertanda positif atau yang mengalami peningkatan daya saing/keunggulan
komparatif kabupaten dalam kaitan dengan kabupaten lainnya pada waktu
kajian adalah pertanian (1 persen), listrik (44 persen), perdagangan (5
persen), angkutan (21 persen), dan bank (241 persen). Sedangkan yang
bertanda negatif atau yang mengalami penurunan adalah
pertambangan^ persen), industri (5 persen), bangunan(46 persen), sewa
rumah (3 persen), pemerintahan (7 persen) dan jasa-jasa (2 persen).
Langkah 6 : Analis dapat dilanjutkan (optional) dengan menghitung pergeseran
bersih (net shift) untuk menemukenali sektor-sektor maju dan
kurangmaju, yaitu dengan menjumlahkan komponen KPP dan KPK dari
masing-masing sektor. Apabila hasil penjumlahan yang diperoleh untuk
suatu sektor adalah positif, maka sektor yang bersangkutan termasuk maju.
Sebaliknya jika negatif, maka sektor tersebut kurang maju. Tabel 6.7
menunjukkan bahwa sektor-sektor yang kurang maju adalah pertanian,
pertambangan, bangunan, sewa rumah, pemerintahan, dan jasa-jasa,
sedangkan sektor industri, listrik, perdagangan, angkutan, dan bank
termasuk kategori maju.
Langkah 7 : Sebagai alternatif dari langkah 6 , analisis lain yang dapat dilakukan
adalah dengan menemukenali sektor-sektor yang termasuk unggul, agak
unggul, agak mundur dan mundur dalam selang waktu kajian. Untuk
tujuan ini KPK dan KPP semua sektor kabupaten diletakkan pada suatu
diagram sumbu yang terdiri dari empat kuadran. Kuadran I
merepresentasikan sektor unggul karena baik KPK maupun KPP memiliki
nilai positif, kuadran II merepresentasikan sektor agak mundur karena
KPK negatif tetapi

25
KPP positif, Kuadran III merepresentasikan sektor mundur KPK dan KPP
negatif, dan kuadran IV merupakan tempat kedudukan sektor agak unggul
karena KPK positif walaupun KPP negatif. Yang menjadi acuan utama
dalam analisis ini adalah KPK atau komponen pertumbuhan daya
saing kabupaten. Hal ini dapat dipahami karena komponen tersebut
merupakan komponen terpenting dalam pertumbuhan suatu kabupaten.
Posisi sektor-sektor ekonomi Kabupaten Tual diperlihatkan pada
Gambar 6.1.
Langkah 8 : Kalikan komponen KPN, KPP, dan KPK masing-masing
sektor pada Tabel 6.7 dengan sektor yang sama pada PDB85 untuk
mengetahui nilai absolut pertumbuhan.
Tabel 3.8 menunjukkan bahwa angka-angka PEK menurut sektor sama dengan
angka-angka perubahan PDRB pada Tabel 3.6.
Data yang dibutuhkan :
Data pendapatan kabupaten (PDRB) dan propinsi atau nasional (PDB) yang
diperinci menurut sektor pada dua titik waktu, misalnya awal Pelita dan akhir
Pelita yang berdasarkan harga konstan. Apabila ingin dilihat pergeseran yang
bersifat dinamis, maka dapat digunakan data lebih dari dua titik waktu. Data lain
yang umum
Keunggulan:
Metoda ini banyak digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci
mengenai pergeseran struktur ekonomi. Demikian pula metoda ini disamping
dapat menggambarkan posisi relatif masing-masing sektor perekonomian
kabupaten terhadap perekonomian nasional, juga dapat digunakan untuk
menemukenali sektor-sektor unggulan dapat dipacu untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi wilayah. Selain itu, metoda ini dapat pula digunakan untuk
menemukenali sektor-sektor yang posisi relatifnya lemah tetapi dianggap strategis
(pertimbangan penyerapan tenaga kerja) untuk dipacu agar dapat meningkatkan
kesempatan kerja.
Perhitungannya relatif mudah, demikian pula data yang diperlukan mudah
diperoleh karena tersedia pada hampir semua kabupaten.
Kelemahan:
Asumsi yang melandasi bahwa sektor-sektor acuan tumbuh dengan tingkat
yang sama. Kelemahan lain adalah pergeseran posisi sektor dianggap linear.

26
7. Revealed Comparative Advantage (RCA)
Metoda analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan
komparatif komoditas yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh suatu
kabupaten.
RCA pada hakekatnya membandingkan rasio antara ekspor komoditas
tertentu dari suatu kabupaten dengan pangsanya pada ekspor total.
Data yang diperlukan:
Untuk analisis RCA diperlukan data mengenai nilai ekspor komoditas yang dikaji
dari suatu kabupaten berdasarkan harga konstan. Apabila hendak dibandingkan
pergeseran koefisien RCA, maka sebaiknya data yang dikumpulkan dalam
beberapa titik waktu, misalnya tahun 1970; 1975;
1980, dan seterusnya.
Keunggulan :
Metoda analisis ini sederhana dan dapat memberikan gambaran singkat mengenai
keunggulan komparatif komoditas yang dihasilkan atau diperdagangkan dari suatu
kabupaten. Data yang diperlukan relatif mudah diperoleh.
Kelemahan :
Tidak memberikan petunjuk tentang faktor-faktor penyebab terjadinya
keunggulan komparatif dan mengabaikan impor komoditas yang dikaji.

8. Biaya Sumberdaya Domestik (BSD)


Metoda analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah komoditas
tertentu yang dihasilkan oleh suatu kabupaten memiliki keunggulan komparatif
atau tidak pada pasar regional, nasional, maupun internasional.
Biaya sumberdaya domestik (Domestic Resource Cost) dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

BSDj = Biaya sumber daya domestik komoditas j


Bij = Biaya ekonomi faktor produksi domestik i yang
digunakan untuk menghasilkan komoditas j
Ej = efek externa]itas dari komoditas j (dapat bertanda
positif atau negatif)
Uj = nilai total output komoditas j pada nilai harga pasar
internasional atau maksimal atau propinsi (dalam US
$ kalau harga internasional)

27
mj = nilai total input antara yang diimpor langsung untuk
komoditas j (dalam US $ kalau pasar internasional)
rj = nilai total penerimaan faktor-faktor produksi luar
negeri atau dari wilayah lain (nasional atau
propinsi) yang digunakan dalam komoditas j, baik
langsung maupun tidak langsung (dalam US $ kalau
pasar internasional).
n = jumlah jenis faktor produksi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan komoditas j.
Efek eksternalitas pada rumus BSD biasanya dihilangkan karena sampai saat ini
belum ada metoda yang baik untuk memperkirakan besarnya efek eksternalitas
tersebut. Dengan rumus BSD di dapat dihitung produksi suatu komoditas
dikatakan efisien dari segi ekonomi apabila nilai BSD lebih kecil daripada
harga bayangan nilai tukar uang (koefisien BSD < 1). Hal ini berarti bahwa
sumberdaya domestik yang harus dikorbankan untuk menghemat atau
memperoleh devisa dari komoditas tersebut lebih kecil daripada sumberdaya
domestik yang bersedia dikorbankan pada sistem ekonomi. Hai ini berarti bahwa
permintaan dalam lokal suatu komoditas lebih menguntungkan dengan cara
menghasilkan atau memproduksi komoditas tersebut secara lokal. Sebaliknya
kegiatan dikatakan tidak efisien apabila nilai BSD lebih besar daripada harga
bayangan nilai tukar uang (koefisien BSD > 1) yang berarti bahwa
pemenuhan permintaan lokal lebih menguntungkan dengan mendatangkan
komoditas tersebut. Apabila nilai BSD sama dengan harga bayangan nilai tukar
uang, maka komoditas tersebut bersifat netral (koefisien BSD = 1).
Contoh:
Penerimaan penjualan kopi yang dihasilkan di kabupaten Tana Toraja (Propinsi
Sulawesi Selatan) di tangan petani sebesar Rp. 614.175,- sedangkan di tangan
eksportir sebesar Rp. 1.126.729 / ton. Komponen biaya produksi dinyatakan dalam
Tabel 3.10.
Perhatikan bahwa biaya yang dikeluarkan (biaya finansial) pada tabel di atas
seluruhnya dikonversi ke biaya ekonomi sebelum dipisahkan menjadi komponen
domestik dan komponen asing. Hal ini perlu dilakukan agar hasil perhitungan
tidak dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang keuangan, seperti
pajak, subsidi, dan sebagainya. Jadi dalam hal ini biaya ekonomi benar-benar
mencerminkan biaya yang sebenarnya harus dikeluarkan jika tidak ada campur
tangan pemerintah.

28
Keunggulan :
Metoda analisis ini mampu memberi petunjuk apakah suatu jenis komoditas
efisien diproduksi secara lokal atau diimpor dari luar kabupaten. Hasil
perhitungan sangat rinci sehingga memberikan gambaran nyata tentang
keunggulan komparatif suatu komoditas karena adanya perhitungan biaya yang
sangat rinci.
Kelemahan :
Perhitungan metoda ini cukup rumit dan membutuhkan informasi yang lengkap
sehingga kurang memungkinkan dilakukan oleh setiap kabupaten. Walaupun
rumit dan rinci, faktor eksternalitas seperti dampak lingkungan masih diabaikan.
9. Distribusi Pendapatan
Metoda analisis ini dapat memberi gambaran mengenai distribusi
pendapatan atau pemilikan faktor-faktor produksi di antara berbagai lapisan
masyarakat dalam suatu wilayah.
Indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur distribusi
pendapatan, yakni kurva Lorenz.
 Kurva Lorenz
Peralatan ini disebut juga kurva frekuensi persentase kumulatif yang
menggambarkan data tentang distribusi persentase kekayaan/pendapatan dalam
hubungannya terhadap distribusi persentasi jumlah keseluruhan penduduk yang
menerima pendapatan dalam suatu kabupaten.
Penggambaran kurva Lorenz dimulai dengan mengubah data pendapatan dan
jumlah penerima pendapatan ke dalam prosentase kemudian menyusunnya ke
dalam distribusi pendapatan kumulatif.

29
BAB IV.
ANALISIS STRUKTUR TATA RUANG

Analisis Struktur Tata Ruang digunakan untuk mengumpulkan informasi


yang-dibutuhkan untuk mengarahkan / membentuk tata jenjang pusat-pusat
pelayanan wilayah dan jaringan transportasi serta jaringan sarana dan
prasarana lainnya yang mendukung pusat-pusat pelayanan tersebut, sehingga
membentuk suatu sistem terpadu yang mampu memanfaatkan potensi kabupaten,
yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing kabupaten.
Analisis mengacu pada dua azas penataan ruang, yaitu demokratisasi
ruang dan sinergi wilayah. Implementasi dari azas pertama berupa usaha-usaha
penciptaan tingkat kemudahan yang proporsional bagi masyarakat untuk
menikmati pelayanan sosial ekonomi yang tersedia pada pusat-pusat pelayanan,
seperti kemudahan untuk melakukan kegiatan-kegiatan produktif (penciptaan nilai
tambah) dan memasarkan hasil produksinya, dan kemudahan untuk menikmati
pendapatan mereka, misalnya dalam bentuk kemudahan untuk menikmati fasilitas
rekreasi, kemudahan untuk membelanjakan pendapatan, dan sebagainya.
Kemudahan yang sama juga disediakan bagi sektor untuk melaksanakan program
pembangunan menurut sektornya masing-masing dan sekaligus untuk
menghindari benturan kepentingan antar sektor dalam pemanfaatan ruang. Selain
itu penataan ruang menurut azas ini diarahkan pula untuk meningkatkan
kesempatan ekonomi (economic opportunities) dari lahan dan sumberdaya alam
lainnya.
Azas kedua diwujudkan dalam bentuk menciptakan keterkaitan fungsional
antar satuan-satuan pemukiman/sub wilayah sedemikian rupa, baik yang antar
maupun inter wilayah, sehingga membentuk wilayah yang terpadu yang mampu
berartikulasi terhadap proses pembangunan wilayah. Keterkaitan fungsional
ini dikembangkan berdasarkan keunggulan yang dimiliki oleh setiap sub
wilayah, dalam arti penataan ruang dibuat sedemikian rupa sehingga keunggulan
yang dimiliki oleh satu sub wilayah dapat dinikmati seoptimal mungkin oleh
bagian wilayah lainnya.
Untuk menciptakan struktur tata ruang menurut pendekatan tersebut, maka
informasi yang perlu dikumpulkan serta peralatan analisis yang diperlukan
diperlihatkan pada Tabel 4.1 Perlu ditambahkan bahwa dalam proses analisis,
ketiga perangkat analisis yang disebutkan pada Tabel 4.1 tidak berdiri sendiri-
sendiri, tetapi saling berkaitan satu dengan lainnya, sehingga dalam prakteknya
ketiganya sering dilakukan secara keratif/simultan.

30
Tabel 4.1. Informasi yang Dibutuhkan dan Metoda Analisis dalam Analisis
Struktur Tata Ruang

PERTANYAAN/INFORMASI METODA ANALISIS


1. Bagaimana distribusi pelayanan sosial 1. Analisis Pola Pemukiman
ekonomi pada wilayah yang ditinjau /
diamati
2. Bagaimana memilih lokasi strategis 2. Analisis Sistem Hubungan
untuk menempatkan fasilitas pelayanan
agar mampu menjangkau secara efektif
satuan-satuan pemukiman yang ada
pada wilayah yang ditinjau.

3. Seberapa besar tingkat kemudahan pada 3. Analisis Aksesibilitas


suatu lokasi untuk menikmati fasilitas
pelayanan tertentu yang terdapat pada
pusat-pusat pelayanan.

1. Analisis Pola Permukiman


Analisis pola pemukiman diarahkan untuk mengetahui tata jenjang dan
distribusi pusat-pusat pelayanan dalam wilayah yang ditinjau. Dengan perangkat
analisis ini dapat diketahui tingkat pelayanan sosial ekonomi, atau dengan kata
lain dapat menentukan bagian-bagian wilayah yang kurang memperoleh
pelayanan.
Informasi yang perlu dikumpulkan untuk maksud tersebut serta peralatan
analisis-nya diperlihatkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Informasi dan Peralatan Analisis untuk Analisis Pola
Pemukiman.
INFORMASI METODA ANALISIS
Bagaimana struktur / hirarki pusat-pusat Skalogram
pelayanan di wilayah yang ditinjau Skala Guttman, dan
Indeks Sentralitas Terbobot
Bagaimana pola / distribusi tingkat Skala Guttman
perkembangan pada wilayah yang
ditinjau
Fungsi-fungsi apa saja yang seharusnya Skalogram
ada tetapi tidak terdapat pada suatu
pusat pelayanan
Berapa jumlah penduduk minimal yang Analisis Ambang Batas
dibutuhkan untuk mendukung
keberadaan suatu fungsi pelayanan
Bagaimana tingkat dan distribusi Analisis Distribusi Fungsi
pelayanan pada wilayah yang ditinjau Pelayanan

31
Perlu ditambahkan disini bahwa analisis yang dilakukan berdasarkan
metoda-metoda yang disebutkan di atas dititik beratkan pada klasifikasi
pemukiman berdasarkan fungsi pelayanan sosial ekonomi yang dimilikinya.
Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh hasil-hasil analisis yang
diperoleh perlu pula dikombinasikan dengan klasifikasi pemukiman dari segi
morfologi, yang cenderung membedakan pemukiman menjadi sistem perkotaan
dan pedesaan, berdasarkan karakteristik fisik dan kependudukan, serta klasifikasi
yang berdasarkan ukuran jumlah dan kepadatan penduduk, seperti kota
metropolitan, kota madya, ibukota kabupaten, kecamatan, dan desa.
Kedua pendekatan klasifikasi di atas tidak dijabarkan disini, karena dianggap telah
cukup banyak dibahas pada buku-buku teks yang lain, dan khusus yang berkaitan
dengan masalah kependudukan dibahas pada bab lain laporan ini.
(i) SKALOGRAM

Metoda Skalogram digunakan untuk menjawab pertanyaan mendasar


tentang bagaimana pola fungsi/fasilitas pelayanan sosial ekonorni yang terdapat
pada berbagai tingkatan perkotaan / pusat pelayanan dan bagaimana pola tersebut
melayani kebutuhan penduduk di wilayah yang ditinjau. Dengan kata lain metoda
ini dapat digunakan untuk mengelompokkan satuan permukiman berdasarkan
tingkat kompleksitas fungsi pelayanan yang dimilikinya, serta menentukan jenis
dan keragaman pelayanan dan fasilitas yang terdapat pada pusat-pusat
pelayanan dengan berbagai tingkatan.
Di samping itu metoda skalogram dapat pula digunakan untuk :
1. Memperlihatkan asosiasi kasar antara -fasilitas dan sistem pelayanan pada
suatu lokasi dan kemungkinan hubungan antara mereka.
2. Memperlihatkan urutan fungsi pelayanan yang seyogyanya terdapat pada
satuan pemukiman dengan tingkatan tertentu.
3. Dengan mengkombinasikan skalogram dengan peta lokasi fasilitas pelayanan
dan kriteria pelayanan baku, maka dapat diketahui cukup tidaknya suatu
fungsi pelayanan pada wilayah yang ditinjau.
4. Ketidak beradaan suatu fungsi atau fasilitas pelayanan pada suatu satuan
pemukiman dapat segera terlihat, sehingga dengan demikian dapat dilakukan
analisis mengapa hal tersebut terjadi dan pengambilan keputusan tentang
investasi untuk pengadaan fungsi atau fasilitas pelayanan tersebut dapat segera
diambil.
5. Keberadaan suatu fungsi atau fasilitas pelayanan yang seharusnya tidak ada
pada suatu permukiman dapat diketahui, sehingga dengan demikian dapat
dicari alasan keberadaan fungsi tersebut.
Untuk menyusun skalogram dibutuhkan seperangkat data sebagai berikut:

32
- Daftar semua pemukiman yang ada pada wilayah yang ditinjau.
- Jumlah penduduk untuk setiap pemukiman
- Peta yang menunjukkan lokasi dari setiap pemukiman
- Daftar fungsi / fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terdapat pada setiap
pemukiman.
Penyusun skalogram dilakukan dengan mengikuti tahapan sebagai berikut:
1. Buat sebuah tabel yang jumlah barisnya sama dengan jumlah satuan
pemukiman ditambah satu, dan jumlah kolomnya sama dengan jumlah
fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terdapat pada wilayah yang ditinjau
ditambah satu.
2. Kolom pertama, dimulai pada baris kedua, diisi dengan nama satuan
pemukiman, dimulai dengan satuan pemukiman yang memiliki jumlah
penduduk terbesar.
3. Pada baris pertama dimulai dari kolom kedua berturut-turut k-earah kanan
diisi dengan nama atau kode dari fungsi / fasilitas pelayanan. Dengan-
demikian setiap sel dari tabel tersebut mewakili keberadaan suatu fungsi pada
suatu satuan pemukiman.
4. Isi dengan tanda "X" sel yang mewakili fungsi tertentu yang terdapat pada
suatu satuan permukiman.
Contoh hasil langkah-langkah 1 sampai dengan 4 diperlihatkan pada
Gambar 4..1 untuk 7 satuan pemukiman dan 12 fungsi pelayanan.
Gambar 4.1. Skalogram Fungsi Pemukiman
FASILITAS PELAYANAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kota A X X X X X X X X X X X X
Kota B X X X X X X X
Kota C X X X X X X
Kota D X X X
Kota E X X
Kota F X X X X X
Kota G X X

5. Atur kembali letak setiap fungsi dan satuan pemukiman.


Fungsi yang paling banyak terdapat pada satuan pemukiman diletakkan pada
kolom paling kiri dan satuan pemukiman yang memiliki jumlah fungsi terbanyak
diletakkan pada baris paling atas.
Pengaturan ini diulangi untuk semua satuan pemukiman dan fungsi yang ada
sedemikian rupa sehingga diperoleh pola "X" yang mendekati bentuk segitiga.
Hasil pengaturan diperlihatkan pada Gambar 4.2

33
Gambar 4.2. Skalogram Fungsi Pemukiman Yang Telah Diolah

FASILITAS PELAYANAN
7 1 9 5 3 6 8 10 2 4 11 12
Kota A X X X X X X X X X X X X
Kota B X X X X X X X .
Kota C X X X X X X
Kota F X X X X X
Kota D X X X
Kota E X X
Kota G X X

Jumlah fungsi yang ikut dianalisis dengan metoda ini bervariasi dari suatu
wilayah ke wilayah lainnya, serta tergantung pada justifikasi perencana tentang
fungsi apa saja yang paling penting untuk menentukan derajat sentralitas suatu
pemukiman.
Sebagai gambaran fungsi pelayanan sosial ekonomi yang dapat dipakai dalam
analisis skalogram diperlihatkan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3. Fungsi Pelayanan Sosial Ekonomi

KATEGORI FUNGSI/FASILITAS
Aktivitas Ekonomi Pusat Perbelanjaan atau super-market
Pasar Umum
Toko (dengan berbagai jenisnya) Bank
dan lembaga keuangan lainnya Industri
manufaktur
Fasilitas Pelayanan Sosial Sekolah (dengan berbagai tingkatan dan
jenisnya)
Rumah sakit swasta Rumah
sakit pemerintah Klinik
swasta, Puskesmas Apotik
dan rumah obat
Perpustakaan Umum
Fasilitas Pelayanan Bandara
Transportasi dan Pelabuhan Terminal
Komunikasi Bus Stasiun Kereta
Api Stasiun Radio
Penerbit Surat Kabar
Kantor Pos
Kantor Telepon dan Telekomunikasi

34
KATEGORI FUNGSI/FASILITAS
Infra Struktur dan Fasilitas Pusat Pembangkit Listrik
Pemeliharaan Perusahaan Air Minum
Bengkel perbaikan peralatan pertanian
Pemasok bahan konstruksi
Toko Pemasok kebutuhan hardware
Aktivitas Rekreasi Fasilitas Olah Raga (dirinci menurut jenisnya)
Gymnasium atau auditorium
Bioskop (harian)
Bioskop (periodik)
Night Club
Taman dengan fasilitasnya
Fasilitas Pelayanan Pribadi Photo Copy
Studio Foto
Restaurant
Kuburan
Hotel (dirinci menurut kelasnya)
Organisasi Koperasi
Kemasyarakatan Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Profesi
Lembaga / Organisasi Olah Raga
Pelayanan Penyuluhan Lembaga Pengamanan (swasta)
dan Keamanan Kantor Palang Merah
Kantor Penyuluhan Pertanian Lembaga
Penyuluhan untuk kegiatan sektoral
lainnya
Lembaga Swadaya Masyarakat ,

Keunggulan:
Metoda Skalogram membutuhkan data yang relatif mudah untuk dikumpulkan dan
prosedur analisis juga relatif tidak terlalu rumit.
Di samping itu metoda dapat memproses data kuantitatif yang tidak bebas
kesalahan (error-prone) atau tidak andal secara statistik dengan hanya
menggunakan materi kualitatifnya yang batas kesalahannya relatif rendah,
sehingga dengan demikian mampu menggantikan metoda analisis kuantitatif
lainnya yang memerlukan data kuantitatif yang sulit dikumpulkan secara cepat
dan mur ah.
Metoda ini mampu menganalisis data kualitatif yang sebelumnya hanya dapat
dianalisis secara intuitif.

35
Kelemahan:

Metoda ini didasarkan pada pendekatan yang melihat pusat pelayanan sebagai
suatu unit diskrit, padahal keberadaan suatu fungsi pelayanan pada suatu pusat
tidak dapat dilepaskan dari hubungan pusat tersebut dengan wilayah
pelayanannya, yang justru diabaikan pada metoda ini.
Di samping itu metoda tidak memperhitungkan efek aglomerasi, yaitu keunggulan
lokasi atau daya tarik suatu pusat bagi pengembangan fungsi pelayanan baru
banyak ditentukan oleh fungsi-fungsi pelayanan lainnya yang sebelumnya telah
ada pada pusat yang ditinjau.
(ii). Indekss Sentralitas Terbobot
Metoda Indekss Sentralitas Terbobot dapat dipakai untuk menentukan
tingkat sentralitas suatu satuan permukiman.Metoda ini mengukur sentralitas
satuan pemukiman tidak hanya berdasarkan jumlah fungsi atau fasilitas pelayanan
yang ada pada satuan permukiman tetapi juga berdasarkan frekuensi keberadaan
fungsi atau fasilitas tersebut pada wilayah yang ditinjau.
Suatu fungsi akan diberikan bobot yang berbanding terbalik dengan
frekuensi keberadaannya. Misalnya suatu sekolah teknik yang hanya terdapat pada
beberapa pemukiman akan diberi bobot yang relatif lebih besar dibanding dengan
bobot yang diberikan pada sekolah dasar yang terletak pada hampir semua
pemukiman.
Indekss sentralitas dari suatu pemukiman dihitung berdasarkan jumlah dad
bobot fungsi yang terdapat pada permukiman tersebut. Makin besar indeks ini
menunjukkan tingkat sentralitas yang makin tinggi pula.
Tahapan perhitungan indekss sentralitas terbobot adalah sebagai berikut:
1. Salin skalogram yang sebelumnya telah dibuat, ganti tanda "X"
dengan angka “1”.
2. Hitung jumlah total menurut baris dan kolom.
3. Hitung bobot dari setiap fungsi berdasarkan rumus :

C=t/T
dengan :
C = bobot fungsi
t = nilai sentralitas total, diambil sama dengan 100
T = jumlah total fungsi dalam wilayah yang ditinjau.

36
Tabel 4.4. Perhitungan Bobot Fungsi
SATUAN FUNGSI
TOTAL
PEMUKIMAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A 1 1 1 1 1 1 1 1 10
B 1 1 1 1 1 0 1 0 8
C 1 1 1 1 0 0 0 0 6
D 1 1 1 1 0 1 0 0 7
E 1 1 1 0 0 0 0 0 5
F 1 1 1 0 0 0 0 0 0 4
G 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3
H 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3
Jumlah Fungsi 8 8 8 6 5 4 2 ? 2 1 46
Centralitas Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bobot 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 25.0 50.0 50.0 50.0 100

4. Tambahkan satu baris pada tabel dimaksud dan tuliskan pada baris tersebut
hasil perhitungan bobot fungsi tadi.
Hasil langkah-langkah 1 sampai dengan 4 diperlihatkan pada Tabel 4.4
5. Buat tabel lain yang serupa dengan tabel sebelumnya. Ganti angka "1" yang
ada dengan bobot fungsi yang telah dihitung pada langkah 3.
6. Hitung jumlah total dari setiap bobot fungsi untuk mendapatkan indeks
sentralitas terbobot dari setiap satuan pemukiman.
Hasil akhir diperlihatkan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Perhitungan Indeks Sentralitas

SATUAN FUNGSI TOTAL


PEMUKIMAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 25.0 50.0 50.0 50.0 100 349.1
B 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 250 50.0 50.0 199.1
C 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 25.0 99.1
D 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 25.0 50.0 149.1
E 12.5 12.5 12.5 16.6 20O 74.1
F 12.5 12.5 12.5 16.6 54.1
G 12.5 12.5 12.5 16.6 54.1
H 12.5 12.5 12.5 37.5
Centralitas Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 1000.0

Keunggulan :
Sama dengan metoda skalogram, malah metoda ini menghasilkan urutan hirarki
pusat pelayanan yang lebih tajam, meskipun data yang dibutuhkan

37
tidak terlalu banyak dan umumnya mudah diperoleh, serta proses
analisisnya relatif lebih mudah dilakukan.
Kelemahan :
Sama dengan metoda skalogram.

(iv) Skala Guttman


Pemakaian Skala Guttman di samping dapat digunakan untuk menentukan
hirarki pemukiman sebagai pusat pelayanan, juga dapat dipakai untuk melihat
distribusi tingkatan perkembangan wilayah yang ditinjau.
Metoda ini berbasis pada asumsi bahwa keberadaan fungsi pelayanan
memiliki hirarki tertentu, dalam arti bahwa jika suatu fungsi yang memiliki
hirarki yang lebih tinggi terdapat pada suatu pusat, maka fungsi-fungsi lainnya
yang memiliki hirarki yang lebih rendah harus ada pula pada pusat tersebut. Atau
dengan kata lain, suatu pusat pelayanan dengan hirarki tertentu diharapkan
memiliki fungsi dengan jumlah dan urutan tertentu. Suatu fungsi yang terdapat
pada pusat pelayan dengan hirarki yang lebih rendah tetapi tidak terdapat pada
pusat pelayanan yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dianggap sebagai suatu
kesalahan. Jika hal ini terjadi maka perlu dilakukan kajian statistik tertentu, dan
mungkin saja fungsi yang ditinjau perlu dihilangkan dari proses analisis
selanjutnya.
Prosedur penyusunan skala Guttman untuk sistem pemukiman adalah
sebagai berikut:
1. Susun skalogram fungsi pemukiman dengan cara yang telah dijabarkan pada
sub-bab di atas
Hasil skalogram dimaksud dengan menggunakan data hipotetis
diperlihatkan pada Gambar 4.3
2. Berdasarkan skalogram diatas dihitung Koefisien Reprodusibilitas (Kr)
dan Koefisien Skalabilitas (Ks), dengan menggunakan rumus : Kr =
1 – (e / n)
Kn = 1 – {e / (0.5 x (n – Tn)}
Berdasarkan data pada Gambar 7.3, diperoleh K r = 0,89 dan Ks =
0,52 . Mengingat bahwa nilai Kr dan Ks yang dapat diterima adalah Kr
> 0,90 dan Ks > 0,6 maka salah satu fungsi pada skalogram di atas harus
dieliminasi.

38
3. Fungsi nomor 2 pada skalogram terlihat memiliki tingkat kesalahan
terbesar, oleh sebab itu dieliminasi. Setelah dihitung ulang diperoleh nilai e,
Tn dan n yang baru, yaitu masing-masing 5, 30 dan 60.
Gambar 4.6. Skalogram Untuk Penyusunan Skala Guttman

SATUAN FUNGSI
PEMUKIMA 3 1 2 7 4 6 5
N
D X X X X X X X
A X X X X X
B X X X X X
H X X X X X
C X X X
F X X X
E X X X X
J X
G X X
I X X
e 1 2 3 0 1 I 0 8
Tn 9 7 7 7 3 3 1 37
n = 10 x 7 = 70

4. Dengan nilai yang baru tersebut dihitung kembali Kr dan Ks, dan
diperoleh Kr = 0,916 dan Ks = 0,66.
Keduanya lebih besar dari batas bawah yang diizinkan, dengan
demikian skalogram tersebut dapat diterima.
5. Dengan skalogram yang bam ditentukan skala dari setiap fungsi, yaitu sama
dengan nilai Tn-nya masing-masing.
6. Skala dari setiap satuan pemukiman ditentukan berdasarkan fungsi
dengan skala terbesar yang dimiliki oleh satuan pemukiman.
Skala Guttman yang diperoleh dapat dikombinasikan dengan metoda lain untuk
mengelompokkan pemukiman ke dalam beberapa tingkatan perkembangan dan
menampilkannya pada peta.
Sebagai contoh diberikan hasil analisis yang dilakukan pada Wilayah Aliran
Sungai (DAS) Bicol di Philipina (lihat Tabel 4.6). Hirarki pemukiman yang
diperoleh berdasarkan skala Guttman dikelompokkan ulang menjadi
30 skala jenjang (stepscale) yang selanjutnya dipadatkan menjadi9 jenjang
saja. Dengan menggunakan jenjang ini sebagai indikator tingkat perkembangan,
dapat ditarik serangkaian garis isopleth yang melingkupi

39
pemukiman/wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang sama,
seperti diperlihatkan pada Gambar 4.6.

Tabel 4.6. Skala Guttman untuk Sistem Pusat-Pusat Pelayanan pada


Camarines Sur Province, Wilayah Aliran Sungai Bicol, 1975 [36]

SKOR SKALA SKALA JENJANG


RANK PEMUKIMAN JUMLAH PERSEN DIPADAT
N
FUNGSI TASE KAN
33 Gainza 29 19 1 1
32 Del GaHego 48 32 2 2
31 Lupi 53 35 3 2
30 Tinambac 55 36 4 2
29 Balaian 55 36 4 2
28 Minalabac 57 38 5 2
27 Pasacao 59 39 6 2
26 Bula 61 40 7 2
25 Bombon 63 41 8 2
24 Camaligan 63 41 8 2
23 Cabusao 65 43 9 2
22 San Fernando 66 43 10 2
21 MHaor 66 43 10 2
20 Ocampo 67 44 11 2
19 Magarao 68 45 12 2
18 Canaman 70 46 13 2
17 Sangay 71 47 14 2
16 San Jose 73 48 15 2
15 Lagonoy 74 49 16 2
14 Pamplona 81 53 17 3
13 Ragay 88 58 18 4
12 Bato 93 61 19 5
11 Sipocot 96 63 20 5
10 Calabanga 97 64 21 5
9 Baao 99 65 22 5
8 Buhi 104 66 23 6
7 Tigaon 109 72 24 6
6 Nabua 111 73 25 6
5 Libmanan 117 77 26 7
4 Pili 119 78 27 1
3 Goa 122 80 28 1
2 Iriga City 134 88 29 8
1 Naga City 152 100 30 9

Keunggulan:
Walaupun data yang dibutuhkan relatif mudah diperoleh dan proses analisis-nya
juga tidak terlalu rumit tetapi mampu memperlihatkan pola / distribusi tingkat
perkembangan wilayah. Pola ini membantu proses analisis lainnya (seperti
analisis sistem hubungan) untuk memahami struktur tata ruang wilayah yang
ditinjau.

40
Kelemahan:
Dalam prakteknya sulit ditemui pola fungsi pelayanan memenuhi asumsi yang
mendasari metoda ini. Oleh sebab itu sering dalam proses penyusunan skala
Guttman, beberapa fungsi terpaksa dihilangkan agar asumsi dimaksud dapat
dipenuhi. Padahal fungsi tersebut (berdasarkan pendekatan lain) justru yang
menentukan derajat sentralitas dari suatu pusat pelayanan.
Di samping itu hasil analisis baru memberikan perkiraan kasar tentang hirarki
perkembangan pemukiman sehingga masih perlu di cross-check dengan hasil
analisis metoda lainnya.
(v) Analisis Ambang Batas
Analisis ambang batas (Threshold Analysis) digunakan untuk menghitung
jumlah penduduk minimal yang dibutuhkan untuk mendukung keberadaan suatu
fungsi atau fasilitas pelayanan sosial ekonomi.
Salah satu pendekatan yang dapat dipakai dalam analisis ini adalah aturan
yang direkomendasikan oleh Marshall (dalam PSDALUH-DTKTD,
1992) sebagai berikut :
 Ambang batas adalah jumlah penduduk dari pusat pelayanan yang
terdapat pada garis yang membagi dua daftar urutan pusat-pusat dengan
cara sedemikian rupa sehingga jumlah pusat yang tidak memiliki fungsi di
atas garis pembagi tadi sama dengan jumlah pusat yang memiliki fungsi
yang terdapat di bawah garis pembagi.
 Jika suatu ambang batas telah ditemukan, maka ambang ini
(bersama dengan fungsinya) secara berurutan dapat dihilangkan kecuali
sekurang-kurangnya setengah dari pusat-pusat yang berada di atas
ambang batas memiliki fungsi yang ditinjau.
Prosedur untuk menentukan ambang batas suatu fungsi peiayanan sosial ekonomi
adalah sebagai berikut:
1. Buat suatu tabel yang diisi dengan pusat pelayanan yang diurut
berdasarkan jumlah penduduknya dikaitkan dengan keberadaan (1) atau
ketidak beradaan (0) dari semua fungsi atau fasilitas pelayanan. Tabel
dimaksud dengan menggunakan data hipotetis diperlihatkan pada Tabel
4.7
2. Gunakan aturan Marshall pertama untuk mengidentifikasi ambang batas
dari setiap fungsi
3. Gunakan aturan Marshall kedua untuk mengeliminasi beberapa fungsi.

41
Tabel 4.7. Perhitungan Ambang Batas untuk Fungsi-Fungsi Pelayanan
Sosial Ekonomi

PUSAT JUMIAH FUNGSI 1 FUNGSI 2 FUNGSI 3


PELAYANAN PENDUDUK
A 10.000 1 1 1
B 8.000 0 1 1
C 6.000 0 1 1
D 5.500 0 0 1
E 3.000 0 0 1
F 2.700 1 1 0
G 1.900 0 1 1
H 1.700 0 0 1

Berdasarkan prosedur di atas maka diperoleh ambang batas untuk fungsi pertama
adalah 8000, untuk fungsi kedua 3000, dan untuk fungsi ketiga sama dengan
1900.
Kelemahan :
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penggunaan metoda analisis ini, antara
lain cenderung memberikan penaksiran yang kurang cermat karena hanya
menghitung jumlah penduduk yang berada pada pusat pemukiman, tidak
memperhitungkan jumlah penduduk yang berdiam pada wilayah sekitar pusat
pemukiman yang masih termasuk dalam jangkauan pelayanan.
Di samping itu ambang batas yang dihitung mungkin tidak realistik menyatakan
potensi suatu pemukiman untuk mendukung keberadaan suatu fungsi khususnya
pada wilayah-wilayah yang belum terintegrasi atau wilayah yang belum
berkembang secara wajar.
Metoda ini juga cenderung bias pada kriteria lokasi (yang ditetapkan berdasarkan
pertimbangan tertentu) dibanding pada pertimbangan efisiensi ekonomi.
Keunggulan :
Metoda analisis ini dapat memberikan informasi kasar tentang ambang batas
untuk setiap fungsi dan fasilitas pelayanan yang ada pada suatu wilayah secara
cepat dan dengan menggunakan data yang relatif mudah dikumpulkan. Disamping
itu sekaligus memberikan informasi tentang fasilitas pelayanan yang berlebihan
atau kurang pada suatu pusat pelayanan.

42
Informasi ini minimal dapat dipakai pada proses pemeriksaan silang (cross
checking) dengan hasil yang diperoleh dari metoda analisis lainnya.
(vi) Distribusi Fungsi Pelayanan
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat / hirarki pusat-pusat
pelayanan dan distribusi fungsi-fungsi pelayanan sosial ekonomi dihubungkan
dengan jumlah penduduk atau satuan pemukiman yang membutuhkan pelayanan
tersebut.
Analisis didasarkan pada hasil yang diperoleh dari analisis skalogram dan
indeks sentralitas terbobot yang telah dilakukan terdahulu.
Analisis tingkat pusat-pusat pelayanan dilakukan dengan mengelompokkan
satuan-satuan pemukiman berdasarkan indeks sentralitas terbobot (1ST) yang
dimilikinya. Berdasarkan nilai IST-nya masing-masing kelompok tersebut
dinamakan pusat pelayanan pertama (PP1), pusat pelayanan kedua (PP2), dan
seterusnya.
Dengan membandingkan nilai IST rata-rata dari setiap kelompok dapat diketahui
apakah distribusi pusat-pusat pelayanan tersebut cukup baik sehingga mampu
menjangkau satuan-satuan pemukiman yang ada. Sebagai acuan dapat digunakan
kaidah bahwa jika IST pusat pelayanan pada suatu tingkatan memiliki nilai sekitar
0.5 dari IST pusat pelayanan pada tingkatan di atasnya, maka dianggap hirarki
pusat-pusat pelayanan di wilayah yang ditinjau cukup baik. Sebaliknya jika IST
pusat pelayanan pada tingkatan tertinggi sangat besar dibanding dengan IST
pada tingkatan berikutnya, maka terjadi struktur primasi (primacy), artinya
pelayanan pada wilayah tersebut terkonsentrasi hanya pada satu pusat utama saja.
Untuk memberikan gambaran lebih jauh tentang metoda analisis
dimaksud, diperlihatkan Hasil analisis hirarki pusat-pusat pelayanan di kabupaten
XXX
Tabel 4.8. Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan di Kabupaten XXX

NO. FUNGSI JUMLAH INDEKS IST RATA-


LOKASI SENTRALITAS RATA
1 PP1 1 1.493 1.493
2 PP2 3 240 - 276 270
3 PP3 4 109 - 176 135
4 PP4 15 58 - 91 75
5 PEMUKIMAN 109 2 - 47 16
BIASA

43
Tabel 4.8 di atas memperlihatkan bahwa pusat-pusat pemukiman di Kabupaten
Pacitan berdasarkan indekss sentralitasnya dibagi menjadi 5 kategori, yaitu pusat
pelayanan utama (PPI), pusat pelayanan kedua (PP2), pusat pelayanan ketiga
(PP3) dan pusat pelayanan keempat (PP4). Kategori kelima tidak digolongkan
sebagai pusat pelayanan (hanya merupakan pemukiman biasa) karena tidak /
kurang memiliki kemampuan pelayanan kepada wilayah sekitarnya.
Informasi yang dapat diperoleh dari tabel ini antara lain bahwa terdapat
kesenjangan yang cukup besar antara PPI (dengan IST = 1.493) dengan PP2 yang
memiliki IST rata-rata hanya sebesar 270, atau sekitar kurang dari 20% IST PPI.
Dengan kata lain bahwa PP2 di kabupaten XXX hanya memiliki kurang dari 20 %
fasilitas yang terdapat di PPI. Padahal seperti disebutkan sebelumnya, persentase
tersebut seyogyanya berkisar 50%. Keadaan ini menunjukkan bahwa adanya
ketidak seimbangan struktur pusat-pusat di kabupaten XXX, pola hirarki pusat-
pusat pelayanan membentuk struktur primacy atau terkosentrasi pada satu pusat
saja, yaitu di kota XXX. Hal ini merupakan indikator ketersediaan fungsi
pelayanan yang tidak merata serta penyampaian pelayanan sosial ekonomi
yang tidak efisien pula.
Analisis akan lebih tajam lagi jika tabel hirarki pusat-pusat pelayanan tadi
dilengkapi dengan jumlah dan persentase pemukiman serta jumlah dan persentase
penduduk yang berdiam pada setiap kelompok pusat-pusat tadi. Dari kaitan ini
dapat dilihat distribusi penduduk yang terlayani dengan intensitas pelayanan
tertentu. Berdasarkan informasi tersebut dapat ditemukenali program-program
indikatif untuk memperbaiki atau meningkatkan kondisi fungsi pelayanan di
wilayah yang ditinjau.
Keunggulan :
Keunggulan metoda terletak pada kesederhanaannya, baik yang menyangkut
jumlah dan jenis data yang dibutuhkannya, maupun prosedur analisisnya,
Walaupun demikian metoda ini mampu menggali informasi yang berkaitan
dengan tingkatan dan distribusi pelayanan sosial ekonomi pada suatu wilayah.
Kelemahan :
Karena metoda ini berbasis pada hasil analisis skalogram, maka semua kelemahan
dari metoda skalogram juga otomatis menjadi kelemahan metoda ini. Di
samping itu, analisis distribusi pelayanan tidak

44
memperhitungkan faktor aksesibilitas lokasi, sehingga tidak memberikan
gambaran distribusi pelayanan yang sebenarnya.
2. Analisis Sistem Hubungan
Analisis Sistem Hubungan digunakan untuk menemukenali lokasi
strategis bagi penempatan / pengembangan fasilitas sosial ekonomi dilihat dari
segi potensinya sebagai wilayah tujuan penduduk dan luas jangkauan
pelayanannya.
Untuk maksud tersebut, perlu dievaluasi berbagai jenis keterkaitan
fungsional antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Khusus untuk penyusunan
RUTR, analisis keterkaitan fungsional dimaksud cukup dilakukan untuk 3 jenis
keterkaitan, yaitu : (i) keterkaitan ekonomi, (ii) keterkaitan fisik, dan (iii)
keterkaitan sosial.
Analisis keterkaitan ekonomi difokuskan pada keterkaitan antara pusat-
pusat pemasaran yang ada, keterkaitan fisik difokuskan pada analisis sistem
jaringan perhubungan / transportasi, sedangkan analisis sosial difokuskan pada
hubungan yang terjadi akibat adanya pelayanan sosial ekonomi, khususnya
sekolah dan rumah sakit.
Pertanyaan analitik yang berkaitan dengan analisis sistem hubungan
diperlihatkan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Pertanyaan Analitis dalam Analisis Sistem Hubungan.

PERTANYAAN / INFORMASI METODA ANALISIS


Bagaimana keterkaitan dan hirarki Analisis Pusat Pemasaran
pasar-pasar yang ada pada wilayah
yang ditinjau
Bagaimana pola keterkaitan satuan- Analisis Jaringan Transportasi
satuan pemukiman dan tingkat
efektivitas pelayanan jaring an
transportasi yang ada
Bagaimana keterkaitan sosial Analisis Keterkaitan Sosial
mempengaruhi pola arus pergerakan
penduduk

a. Analisis Pusat Pemasaran


Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hirarki pasar-pasar yang terdapat
pada wilayah perencanaan dan jangkauan pelayanannya masing-masing.
Analisis ini digunakan untuk mengetahui arah pergerakan

45
penduduk khususnya yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi masyarakat.
Prosedur analisis ini adalah sebagai berikut:
1. Kompilasi daftar pasar-pasar yang terdapat pada pusat-pusat pemukiman.
Data yang dibutuhkan antara lain berupa frekuensi dan besaran pasar, yaitu
meliputi jumlah pedagang, jenis dan jumlah komoditas yang diperdagangkan,
luas lantai, dan sebagainya. Umumnya data tersebut telah tersedia sehingga
tidak membutuhkan survei khusus.
2. Memetakan dan mengklasifikasikan pasar menurut frekuensi dan besarannya.
3. Mengukur aktivitas pasar; Untuk penyusunan RUTR aktivitas pasar dapat
diukur secara tidak langsung, yaitu dengan menganalisis data yang berkaitan
dengan jumlah penerimaan retribusi pasar yang berhasil dikumpulkan,
jumlah izin yang dikeluarkan, luas lantai yang digunakan oleh pedagang,
ukuran bangunan pasar permanen dan data-data lainnya.
4. Menentukan wilayah pengaruh pasar. Perkiraan kasar tentang wilayah
pengaruh suatu pasar dilakukan dengan menganalisis data asal tujuan
komoditas pada setiap pasar yang ada pada satuan pemukiman, hambatan-
hambatan alamiah, dan sarana serta prasarana transportasi yang
menghubungkan satuan-satuan pemukiman. Data dimaksud dikumpulkan pada
tingkatan satuan pemukiman {desa-desa) dan umumnya telah tersedia, antara
lain pada buku Kabupaten dalam Angka, Kecamatan dalam Angka, atau Buku
Profil Desa. Data orientasi pasar juga dapat diperoleh dari buku Common
Data Base (CDB) Kabupaten yang disusun oleh PUSIDO/P2Rsetempat, atau
jika tidak tersedia dapat dicari pada kantor Kanwil/Dinas Perdagangan
setempat. Jika data sekunder tidak tersedia, maka dibutuhkan survei
khusus. Untuk keadaan seperti ini, disarankan untuk melakukan analisis pusat
pemasaran dengan mengambil beberapa pasar dengan berbagai hirarki,
misalnya 2 atau 3 pasar terbesar dan beberapa pasar lokal lainnya sebagai
sample.
Keunggulan :
Analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui luas atau jangkauan wilayah
pelayanan suatu pasar dengan hanya mengandalkan data sekunder saja, sehingga
tidak diperlukan survei khusus.
Kelemahan :

46
Metoda analisis ini tidak mampu menjelaskan lingkup orientasi pemasaran
terutama bagi pasar-pasar besar yang melayani perdagangan yang bersifat
lebih luas (antar wilayah).
b. Analisis Jaringan Transportasi
Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antar satuan-satuan
pemukiman berdasarkan jaringan transportasi yang tersedia dan tingkat efektivitas
pelayanan sistem jaringan transportasi dilihat dari jumlah satuan pemukiman /
penduduk yang terlayani.
Data yang dibutuhkan untuk analisis ini antara lain [3] :
1. Kerapatan jalan, yaitu berupa panjang jalan dibagi dengan luas wilayah.
2. Kebutuhan transportasi bagi penduduk pedesaan
3. Kualitas / kelas jalan, untuk menentukan aksesibilitas terhadap fasilitas
pelayanan yang ada di pusat-pusat pelayanan.
4. Jarak rata-rata satuan pemukiman ke jaringan transportasi utama.
5. Klasifikasi jalan menurut: jalan negara, jalan propinsi dan jalan kabupaten.
6. Moda transportasi yang tersedia, mulai dari dokar, sepeda, sepeda motor,
mobil, dan sebagainya, dikaitkan dengan kemudahan transportasi pada masa
sekarang dan pada masa akan datang.
7. Kondisi permukaan jalan, misalnya beraspal, jalan krikil, jalan tanah, dan
sebagainya, dikaitkan dengan kriteria-kriteria aksesibilitas.
8. Data asal dan tujuan perjalanan penumpang dan barang, termasuk
volumenya.
Umumnya data di atas telah tersedia, misalnya dapat diperoleh dari buku
Kabupaten dalam Angka, dan khusus untuk data asal tujuan perjalanan
penumpang dan barang dapat diperoleh dari hasil survei asal dan tujuan yang
dilakukan secara periodik oleh Departemen Perhubungan atau dapat dikumpulkan
dari kantor DLLAJ setempat.
Data tersebut dikompilasi menurut moda, jaringan dan kondisi jalan, dan
diarahkan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan
kemampuan jaringan transportasi melayani kebutuhan penduduk.
Contoh hasil analisis dimaksud ditayangkan pada Tabel 7.10 yang
memperlihatkan kemampuan pelayanan yang ditawarkan oleh jaringan
transportasi pada suatu wilayah hipotetis.
Dengan memperhatikan tabel ini terlihat bahwa jaringan transportasi pada wilayah
yang ditinjau belum memadai, karena persentase penduduk yang

47
tidak terlayani oleh jalan raya mencapai angka 30 % yang berdiam pada
321 satuan pemukiman (kurang lebih 41 % dari total satuan pemukiman yang
ada).
Jumlah jalan aspal juga kurang memadai karena hanya mampu melayani
9% dari seluruh jumlah penduduk, atau hanya menghubungkan 3% dari total
satuan pemukiman saja.
Tabel 4.10 Jumlah Penduduk dan Satuan Pemukiman yang Dilayani oleh
Jaringan Jalan di Kabupaten Antah Berantah

PENDUDUK YANG PEMUKIMAN


TERLAYANI YANG
% JML.TOTAL % TERLAYANI
JML.TOTAL
Jalan Raya:
Aspal 9 50.783 3 23
Krikil 13 73.354 6 47
Tanah 46 259.560 48 376
Sub Total 383.697 446
Jalan Setapak 30 169.278 41 321
Lainnya:
Sungai -
Kereta Api 2 11.285 2 16
Total 100 564.260 100 784

Keunggulan dan Kelemahan :


Data yang dibutuhkan untuk analisis ini. yaitu mengenai prasarana dan sarana
transportasi relatif tersedia di semua kabupaten di Indonesia, tetapi data
mengenai asal tujuan perjalanan barang tidak dilakukan setiap tahun (sekali dalam
5 tahun), sedangkan asal tujuan penumpang sangat jarang dilakukan sehingga
diperlukan survei khusus.
Data asal tujuan penumpang dan barang memperlihatkan kepadatan angkutan
menurut ruas jalan, dengan demikian dapat disusun prioritas pembangunan dan
pengembangan jalan secara tepat.
c. Analisis Keterkaitan Pelayanan Wilayah
Salah satu cara untuk melihat derajat keterkaitan antara satuan- satuan
pemukiman dengan pusat-pusat pelayanan, atau untuk mengukur wilayah
pengaruh suatu pusat pelayanan adalah dengan mempelajari asal dari penduduk
yang memanfaatkan suatu fasilitas pelayanan, khususnya pelayanan sosial,
misalnya sekolah dan rumah sakit.
Tahapan untuk analisis ini, dengan mengambil sekolah lanjutan sebagai contoh
fasilitas pelayanan sosial, adalah sebagai berikut:

48
1. Kumpulkan data tentang jumlah sekolah menengah yang ada pada setiap
satuan pemukiman.
2. Pilih beberapa sekolah menengah yang ada pada setiap satuan
pemukiman sebagai cuplikan (sample).
3. Catat asal dari siswa sekolah yang dicuplik tersebut dan buat
distribusinya menurut jarak dari sekolah.
4. Hasil tabulasi data (hipotetis) diperlihatkan pada Tabel 4.11

Tabel 4.11 Jangkauan Pelayanan dari Sekolah Menengah di


Kabupaten Antah Berantah

JUMLAH % DISTRIBUSI PEMUKIMAN ASAL


LOKASI 0-5 Km 5 -10 Km > 10 Km
SEKOLA SISWA
SEKOLAH
H DARI Rata-2 Rata-2 Rata-2
Jumlah Jumlah Jumlah
LUAR per per per
Pemu- Pemu- Pemu-
DAE Pemu Pemu Pemu-
kiman kiman kiman
RAH kiman kiman kiman
A 9 58 205 1.9 30 6.2 7 17.9
B 7 69 82 2.1 12 6.7 6 14.6
C 3 55 13 2.3 3 7.2 1 29.3
D 2 54 16 2.5 7 7.3 3 16.2
E 2 48 40 2.1 3 8.6 2 13.7
F 1 56 16 2.6 3 6.9 2 18.6
H 1 44 24 4.0 3 6.5 2 13.5
I 1 28 2 5.2 - - 2 14.7
J 1 42 - - 3 8.3 1 16.7

Beberapa informasi dapat ditarik dari Tabel 4.11, antara lain bahwa pelayanan
sekolah menengah tidak terdistribusi merata pada seluruh wilayah kabupaten.
Sekitar60%dari seluruh sekolah menengah terdapat pada dua kota saja, yaitu kota
A dan B.
Informasi lainnya yang dapat ditarik, bahwa berdasarkan data tersebut terlihat
bahwa untuk kota A, 58 % siswanya berasal dari 242 satuan pemukiman di
luar kota A, dan dari jumlah itu sekitar 85 % (205 satuan pemukiman) dalam
jangkauan jarak kurang dari 5 km. Ini menunjukkan kecilnya jangkauan pelayanan
fungsi tersebut.
Keunggulan dan Kelemahan :
Informasi yang diperoleh dari analisis ini bersama-sama dengan kedua jenis
analisis yang disebutkan terdahulu dapat dipakai untuk menentukan sentralitas
dari suatu pusat pelayanan sekaligus jangkauan wilayah pelayanannya.

49
Analisis ini hanya menjelaskan pelayanan yang sifatnya "kedalam" (sekolah
dan rumah sakit) dan bukan untuk fungsi pelayanan yang bersifat sentral
(misalnya fasilitas pelayanan pendidikan tinggi atau rumah sakit spesialistis) yang
cenderung melayani penduduk yang berasal dari luar kabupaten.
3. Analisis Aksesibilitas
Analisis Aksesibilitas diarahkan untuk mengetahui tingkat kemudahan
hubungan dari penduduk yang berdiam pada suatu pemukiman yang tersebar
dalam wilayah perencanaan untuk menikmati fasilitas pelayanan sosial ekonomi
yang terletak pada pusat-pusat pelayanan.
Dengan kata lain analisis dapat digunakan untuk menentukan satuan-
satuan pemukiman yang tidak terjangkau secara memadai oleh pusat-pusat
pelayanan sosial ekonomi (wilayah terisolasi).
Tingkat kemudahan diukur dengan jumlah pengorbanan yang harus dikeluarkan
oleh penduduk untuk menikmati pelayanan sosial ekonomi yang tersedia pada
pusat-pusat pelayanan. Jumlah pengorbanan
Dalam proses analisis aksesibilitas, analisis diarahkan untuk menjawab
sekurangnya dua pertanyaan analitis yang diperlihatkan pada Tabel 4.12

4. Indekss Wilayah Pelayanan


Analisis ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan (dengan
kata lain wilayah pelayanan) dari setiap fungsi pelayanan sosial ekonomi.
Jangkauan pelayanan dimaksud diukur berkisarkan waktu atau ongkos tertentu
yang harus dikeluarkan oleh penduduk untuk menikmati pelayanan yang tersedia
pada pusat-pusat pelayanan, dibandingkan dengan suatu kriteria atau acuan baku
tertentu. Acuan ini bervariasi menurut jenis pelayanan.

Tabel 4.12. Pertanyaan Analitis yang Berkaitan dengan Aksesibilitas

PERTANYAAN / INFORMASI METODA


ANALISIS
Seberapa jauh jangkauan pelayanan yang Indeks Wilayah Pelayanan
mampu disediakan oleh suatu jenis fasilitas
pelayanan.
Bagaimana mengukur tingkat kemudahan Model Aksesibilitas
yang dimiliki oleh suatu lokasi / pusat
pelayanan

Prosedur untuk menghitung indeks wilayah pelayanan terdiri atas empat langkah
sederhana, yaitu:

55
1. Catat semua jarak yang menghubungkan pusat-pusat pelayanan dengan
satuan-satuan pemukiman yang ada pada wilayah perencanaan.
2. Hitung jarak antara setiap satuan pemukiman ke setiap fasilitas pelayanan,
dan hitung pula jumlah penduduk yang berdiam pada setiap interval jarak
ke fungsi pelayanan.
3. Buat tabel yang memperlihatkan distribusi persentasi penduduk menurut
jarak dari lokasi fungsi pelayanan untuk setiap fungsi pelayanan yang
dianalisis.
4. Bandingkan hasil yang diperoleh pada langkah 3 di atas dengan acuan /
kriteria yang dianut untuk memperoleh kesimpulan apakah jangkauan
pelayanan suatu fasilitas memenuhi kriteria atau tidak.
Contoh :
Aksesibilitas penduduk kota A terhadap beberapa fungsi pelayanan dapat
ditentukan dengan mengukur jarak dari kota A ke lokasi fungsi pelayanan. Hasil
pengukuran dimaksud (dengan data hipotetis) diperlihatkan pada Tabel 4.13.
Jika berdasarkan pengamatan diperoleh bahwa sulit bagi penduduk kota A
berjalan lebih jauh dari 15 km berhubung kondisi jalan yang buruk atau kendala
geografis lainnya, maka berdasarkan data pada Tabel 7.13 dapat disimpulkan
bahwa penduduk yang berdiam di kota A masih dalam jangkauan pelayanan dari
fungsi balai pertemuan, sekolah dasar dan puskesmas, tetapi berada-diluar
jangkauan pelayanan efektif dari rumah sakit, dan SLTP.
Tabel 4.13 Jarak Rata-Rata kota A ke Fungsi Pelayanan

Fungsi Pelayanan Jarak Rata-Rata


Balai Pertemuan 0 Km (terletak pada kota A)
Sekolah Dasar 5 Km
Puskesmas 10 Km
Rumah Sakit 20 Km
SLTP 20 Km

Wilayah pelayanan dari setiap fasilitas ditentukan dengan menghitung proporsi


jumlah penduduk yang berdiam pada interval jarak tertentu dari lokasi fasilitas
pelayanan. Contoh perhitungan-ini, juga dengan menggunakan data hipotetis,
diperlihatkan pada Tabel 4.14

56
Tabel 4.14 Distribusi Jumlah Penduduk
Menurut Jarak Dari Fungsi Pelayanan
0 Km 1 -5 Km 6-10 Km 11 -20 Km > 20 Km
Balai Pertemuan 60 30 10
Sekolah Dasar 30 40 30
Puskesmas 20 30 30 20
Rumah Sakit 10 15 20 25 30
SLTP 10 15 20 25 30

Selain menggunakan variabel jarak, metoda analisis ini dapat pula didasarkan
pada variabel waktu atau ongkos yang dibutuhkan untuk mencapai fasilitas
pelayanan. Tergantung pada kondisi wilayah yang dianalisis, tetapi dalam banyak
kasus variabel waktu atau ongkos ini lebih mencerminkan aksesibilitas yang
sebenarnya.
Untuk mengukur apakah jangkauan pelayan memadai atau tidak, diperlukan
kriteria baku yang menyangkut waktu, jarak atau ongkos maksimal yang
dikeluarkan untuk mencapai lokasi fasilitas pelayanan. Misalnya, jika disepakati
bahwa sekurangnya 50% penduduk harus berdiam pada wilayah yang berjarak
kurang dari 5 km dari SLTP sebagai kriteria jangkauan pelayanan untuk SLTP,
maka berdasarkan data pada Tabel 4.13 di atas, dapat disimpulkan bahwa
wilayah pelayanan SLTP kurang atau tidak memadai. Jika kriteria jangkauan
pelayanan untuk balai pertemuan adalah sekurang-kurangnya 50 % penduduk
berdiam pada lokasi yang berjarak kurang dari 10 km dari balai pertemuan, maka
berdasarkan data di atas diperoleh kesimpulan bahwa aksesibilitas fungsi tersebut
jauh di atas rata-rata.
Keunggulan :
Analisis membutuhkan data yang umumnya tersedia atau gampang dikumpulkan
dan proses analisisnya juga relatif mudah. Walaupun demikian metoda ini mampu
dengan cepat memperlihatkan kekurangan fungsi-fungsi pelayanan tertentu pada
wilayah yang ditinjau, dan sekaligus memberikan informasi alternatif lokasi
tempat pengembangan fungsi- fungsi pelayanan yang dianggap kurang.
Kelemahan :
Hasil analisis tidak mencerminkan tingkat aksesibilitas yang sebenarnya, karena
analisis tidak didasarkan pada pengukuran jumlah penduduk yang betul-betul
membutuhkan fasilitas pelayanan tersebut.
Di samping itu, hasil pengukuran hanya mencerminkan aksesibilitas yang bersifat
fisik saja, variabel-variabel lainnya belum tercermin. Misalnya, penduduk yang
berdiam di dekat rumah sakit swasta yang modern, secara fisik memiliki tingkat
57
aksesibilitas yang tinggi, tetapi pada kenyataannya tidak mampu menikmati
fasilitas pelayanan rumah sakit tersebut karena tidak memiliki uang yang cukup.
5. Model Aksesibilitas
berdasarkan pendekatan lain, misalnya DAS atau lainnya.
Untuk memudahkan analisis diasumsikan bahwa semua perjalanan
dilakukan antar pusat-pusat kawasan. Pada contoh ini diambil 3 buah kawasan.
Model ini dapat dipakai untuk mengukur tingkat kemudahan suatu pusat
pelayanan yang memiliki beberapa fungsi pelayanan sosial ekonomi. Model
mengacu pada pendekatan bahwa tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jumlah
penduduk yang berpotensi untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan yang tersedia.
Makin banyak jumlah penduduk makin tinggi pula aksesibilitas pusat pelayanan
tersebut.
Contoh cara perhitungan indeks aksesibilitas lokasi dengan menggunakan data
hipotetis adalah sebagai berikut :
1. Tentukan kawasan dan pusat kawasan
Kawasan dimaksud dapat ditentukan berdasarkan wilayah administratif
(kecamatan), atau
2. Tentukan jaringan perhubungan antara setiap pusat serta jenis sarana
transportasi yang ada.
3. Hitung waktu jelajah, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan dari
satu pusat ke pusat kawasan lainnya, termasuk waktu jelajah dalam pusat
kawasan. Hasil perhitungan dinyatakan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Dari Kawasan Ke kawasan


1 2 3
1 0.3 6.8 7.3
2 7.0 0.5 4.0
3 7.4 3.9 0.4

4. Kumpulkan data tentang jumlah penduduk serta jumlah dan jenis fungsi-
fungsi pelayanan yang tersedia pada setiap kawasan, dan tayangkan hasilnya
dalam bentuk tabel.

Contoh tabel tersebut adalah sebagai berikut:

Jumlah Fungsi Jumlah Fungsi


Kawasan Jumlah Penduduk
A B
1 10.000 7 3
2 6.000 2 0
3 4.000 0 0

5. Hitung indekss Travel Convenience , yaitu jumlah fungsi yang berada pada
suatu kawasan dibagi dengan waktu jelajah ke kawasan tersebut.
Aij = Nkj / Tik
dengan:
Nkj = Jumlah fungsi j pada kawasan k
58
Tik = Waktu jelajah dari kawasan i ke kawasan k
Hasil perhitungan ini diperlihatkan pada Tabel berikut:

FUNGSI
KAWASAN
A B
1 23.63 10.00
2 5.00 0.43
3 1.46 0.41

6. Beri bobot setiap fungsi berdasarkan pentingnya fungsi tersebut di mata


penduduk.
Pada model ini diasumsikan bahwa bobot setiap fungsi tergantung pada jumlah
kunjungan dan waktu jelajah rata-rata yang dibutuhkan untuk menikmati pelayanan
yang ditawarkan fungsi tersebut.
Bobot dimaksud dihitung dengan rumus berikut:
W j = Nj x T j x Pj
dengan:
Nj = Jumlah kunjungan rata-rata ke fungsi j dalam waktu
tertentu.
Tj = Waktu jelajah rata-rata ke lokasi fungsi j
Pj = Proporsi penduduk yang menggunakan fungsi j

7. Hitung Bobot Penduduk


Di sini diasumsikan bahwa lokasi fungsi yang dapat menjangkau lebih banyak penduduk
lebih baik dibanding dengan lokasi yang relatif kurang dijangkau oleh penduduk. Indeks
Aksesibilitas Total (Ai) untuk setiap kawasan dihitung dengan rumus :
m Ai = 2 AijxWj
Keunggulan :
Mampu memperlihatkan distribusi pusat-pusat pelayanan berdasarkan indeks
aksesibiliitasnya masing-masing, sehingga dengan demikian kesenjangan an-tara pusat-
pusat pelayanan dapat diketahui yang akan berguna sebagai input dalam usaha
pemerataan pelayanan keseluruh pelosok wilayah perencanaan.
Kelemahan :
Membutuhkan data yang relatif banyak yang kadang-kadang tidak tersedia,
sehingga membutuhkan survei tersendiri.
Selain itu, informasi yang diberikan bersifat agregatif, tidak menggambarkan fungsi-
fungsi pelayanan yang kurang atau berlebih pada wilayah perencanaan.

59
BAB V.
PENUTUP
1. Proses Pembelajaran

Pembelajaran dalam kelas dilaksanakan dengan mengadopsi proses


pembelajaran berbasis student center learning. Kelas dibagi dalam kelompok
sesuai dengan modul dan sub modul pembelajaran. Mahasiswa melakukan
pendalaman berpedoman kepada modul/bahan ajar serta mengembangkan materi
dengan tugas pengayaan yang dicari melalui internet.
Kelompok mahasiswa adalah juga kelompok peserta seminar. Dalam hal
ini setiap kelompok menjadi penyaji dari modul/sub modul yang menjadi tuga
kelompoknya.
Pendalaman materi secara individu ilakukan dengan meminta mahasiswa
peserta untuk menjadi penanya atau memberi penjelasan atas materi diskusi.
2. Evaluasi
Evaluasi adalah proses penilaian kompetensi peserta perkuliahan, yaitu
menguji kemampuan mahasiswa sesuai dengan tujuan pembelajaran, dalam hal
ini tujuan umum pembelajaran dan tujuan khusus pembelajaran.
Indikator penialain evaluasi, adalah:
a) Menilai keaktifan mahasiswa dengan memperhatikan kehadira,
partisipasi dalam seminar/diskusi.
b) Memeriksa tugas-tugas kelompok dan tugas individu
c) Mengadalan mid semester test. Test ini sifatnya tentatif, bergantung
kepada penilaian sepanjang proses pembelajaran
d) Penialai akhir semester (final test). Evaluasi ini dilakukan untuk
mengetahui kompetensi individu yang sering kurang berkembang
karena kerja kelompok yang tidak memeberi kesempatan untuk
berkembang.
3. Kisi-kisi Evaluasi
Kisi-kisi evaluasi adalah rangkuman materi belajar yang diharapkan dapat
menjadi indikator penilaian kemampuan atau kompetensi yang diharapkan sebagai
hasil akhir pembelajaran.

56
Materi kisi-kisi ini adalah mencakup substansi tujuan khusus pembelajaran, yaitu:
Setelah mengikuti proses pembelajaran, mahasiswa peserta mata kuliah menguasai
dan mampu menggunakan metode:
(1) Analisis Kependudukan meliputi Proyeksi Jumlah Penduduk; Analisis
Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat Kesejahteraan: Indekss Kualitas Hidup
(IKH)/Indekss Pembangunan Manusia (IPM); serta Analisis
Mobilitas/Dinamika Masyarakat:
(2) Analisis ekonomi wilayah meliputi: Analisis Struktur ekonomi wilayah
(Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); Laju pertumbuhan ekonomi wilayah
dan laju pertumbuhan pendapatan/produktivitas per kapita; Analisis sektor
basis dan sektor unggulan wilayah, serta Analisis komparatif
produksi/komoditas unggulan.
(3) Analisis spasial meliputi Analisisi Pola Permukiman, Analisis Sistem
Hubungan antar Wilayah, Analisis Ketergantungan antar Wilayah serta
Analisis Aksesibilitas.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang


Penataan Ruang;
2. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum, Nomor 2 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah.
3. PSDAL-UH dan DTKTD Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan
Umum (1992) Studi Tipologi Kabupaten, Lembaga Penelitian Universitas
Hasanuddin, Ujung Pandang.
4. Amin, Mappadjantji (1991) Pokok-pokok Pikiran dalam Rangka
Identifikasi dan Penyusunan Tipologi Kabupaten, Makalah, Jakarta 16
Agustus.
5. Barlowe, Raleigh (1986). Land Resource Economic, Prantice Hall Ltd., New
Jersey, USA.
6. Bellasa, Bela (1989), Comparative Advantage, Trade Policy and
Economic Development, New York University Press, New York.
7. Budiharsono, Sugeng (1988), Dasar-dasar Perencanaan Wilayah,
Penerbit Universitas Nusa Bangsa, Bogor.
8. Dajan, Anto (1991), Pengantar Metode Statistik, Jilid 1, LP3ES
Universitas Indonesia, Jakarta.
9. Dykstra, Dennis P. (1984). Mathematical Programming for Natural
Resource Management, McGraw-Hill Book Company, New York, USA.
10. Friedmann, John (1966), Regional Development Policy, a Case Study of
Venezuela, MAT Press, Cambridge, Mass. USA.
11. Kurniati, Nia dan Zavir D. Pontoh (1998). Pengantar Perencanaan
Kota, Penerbit ITB, Bandung.
12. Mantra, Ida Bagus (1985) Pengantar Studi Demografi, Penerbit
Nurcahaya, Yogyakarta.
13. Parenta, Taduddin (1987), Kajian Posisi Relatif Perekonomian
Sulawesi Selatan terhadap Perekonomian Nasional, Lembaga Penelitian
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
14. Rondinelli, Dennis A. (1985), Applied Methods of Regional Analysis, the
Spatial Dimensions of Development Policy, Westview Press, Boulder
Colorado, USA.

58
15. (1976). Urban Function for Rural Development, John
Wiley , New York
16. Richardson, H, W. (1972), Input-Output and Regional Economics,
Halsted Press Book, John Wiley , New York.
17. (1972). Regional Economics, Halted Press John
Wiley , New York.
18. Sen, Amartya (1983). Development Economics – Which Way New?,
Economic Journal Vol. 93 No. 372.
19. Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi,
Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
20. (2008), Perencanaan Pembangunan Wilayah, Edisi
Revisi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta
21. Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan Daerah, Penerbit ITB,
Bandung.

59

Anda mungkin juga menyukai