Anda di halaman 1dari 82

IDENTIFIKASI DAN INTERAKSI

PUSAT PERTUMBUHAN DENGAN


DAERAH HINTERLAND DI PROVINSI
BANTEN

(Skripsi)

Oleh

Ahmad Dawami
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG
2018
IDENTIFICATION AND INTERACTION OF GROWTH CENTER WITH
HINTERLAND AREA IN BANTEN PROVINCE

BY

AHMAD DAWAMI

ABSTRACT

This study aims to determine the centers of growth in Banten Province, the interaction and
its relationship with the hinterland area. Using analysis methods schallogram, a centrality
index, gravity analysis and moran’s I index. The results of the scalogram analysis and the
centrality index shows that South Tangerang City, Serang City and Lebak Regency
became the centers of growth in Banten Province. The result of gravity analysis shows that
the City of Tangerang has the strongest interaction with the growth center area of South
Tangerang City. The results of the moran’s I index analysis globally and locally shows
that there are spatial linkages between regions in Banten Province based on GRDP tertiary
sector.

Keywords: Growth Center, Indeks Moran’s I, Spatial Interaction, Spatial Linkage.


IDENTIFIKASI DAN INTERAKSI PUSAT PERTUMBUHAN DENGAN
DAERAH HINTERLAND DI PROVINSI BANTEN

Oleh
AHMAD DAWAMI
ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pusat pertumbuhan di Provinsi Banten dan
interaksi serta keterkaitannya dengan daerah hinterland. Dengan menggunakan analisis
skalogram, indeks sentralitas, analisis gravitasi dan indeks moran’s I. Hasil analisis
skalogram dan indeks sentralitas diperoleh bahwa Kota Tangerang Selatan, Kota Serang
dan Kabupaten Lebak menjadi wilayah pusat pertumbuhan di Provinsi Banten. Hasil
analisis gravitasi menunjukkan bahwa Kota Tangerang memiliki interaksi paling kuat
dengan wilayah pusat pertumbuhan Kota Tangerang Selatan. Hasil analisis indeks
moran’s I secara global maupun secara lokal, menunjukan hasil bahwa terdapat
keterkaitan spasial antar wilayah di Provinsi Banten berdasarkan PDRB sektor tersier-
nya.

Kata Kunci: Indeks moran’s I, Interaksi spasial, Keterkaitan spasial, Pusat pertumbuhan.
Oleh

Ahmad Dawami

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar


SARJANA EKONOMI

Pada

Jurusan Ekonomi Pembangunan


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
Judul Skripsi : Identifikasi Dan Interaksi Pusat Pertumbuhan

Dengan Daerah H i n t e r l a n d Di Provinsi

Banten

Nama Mahasiswa : Ahmad Dawami

Nomor Pokok Mahasiswa : 1411021006

Jurusan : Ekonomi Pembangunan

Fakultas : Ekonomi dan Bisnis

TUJUI

'embimbing

Zulfa Emalia, S.E., M.Sc.


MIP .19850510,201012 2004

2. Ketua Juru: in EkonomfPembangunan

/Dr. Nair
i, S.E., M.Si.
(IP 1 199003 1 00^“
19660i
\
MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Zulfa Emalia, S.E., M.Sc.

Penguji I : Dr. Lies Maria H S.E., M.E.

Penguji II : Divjda Budiarty, S.E., M.Si.

Ekonomi dan Bisni

'roL DrdSfttria Bangsawan, STL., M.Si.


r
19610904 198703 1 Oil

Tanggal Lulus Ujian Skripsi : 26 November 2018


\
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa skripsi telah ditulis dengan sungguh-

sungguh dan tidak merupakan penjiplakan hasil karya orang lain. Apabila dikemudian hari

terbukti bahwa pemyataan ini tidak benar maka saya sanggup menerima hukuman/sanksi sesuai

peraturan yang berlaku.

Bandar Lampung, 20 Desember 2018

Jimad Dawami
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ahmad Dawami lahir di Kartaharja Tulang Bawang Barat, Provinsi

Lampung pada tanggal 28 Februari 1996, sebagai anak pertama dari bapak Dalail dan Ibu

Risminiyati.

Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) Raudattul Aliyah Kartaraharja diselesaikan tahun

2002, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 02 Kartaraharja tahun 2008. Sekolah

Menengah Pertama (SMP) di SMPN 01 Marga Kencana Tulang Bawang Barat pada tahun

2011, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA N 1 Tumijajar pada tahun 2014.

Tahun 2014, penulis terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Ekonomi Pembangunan

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Lampung. Pada tahun 2017 penulis mengikuti

program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Sungai Langka, Gedong


Tataan, Pesawaran.
MOTO
dirinya sendiri”

(QS. Al-Ankabut 29:6)

“Barang siapa“Masa depan milik mereka


bersungguh-sungguh, yang terbukakesungguhan
sesungguhnya dan bekerja keras”
itu adalah
untuk
(Ahmad Dawami)

“Setiap orang dapat mencapai kejayaan dalam hal apa saja, asalkan ia sangat

menyukai pekerjaan yang dilakukan”

(Ariel Noah)
PERSEMBAHAN

Dengan segenap rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan

nikmat yang diberikan, ku persembahkan skripsi ini dengan segala ketulusan dan

kerendahan hati kepada:

> Kedua orang tuaku yang sangat kusayangi, Bapak Dalail dan Ibu Risminiyati,

yang telah memberikan kasih sayang, semangat, doa dan cinta. Sehingga anak mu

ini yakin bahwa Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya.

> Semua Sahabat-sahabat ku (Bima, Budi, Al, Rama, Om Arya dan Yusuf) yang

begitu tulus menyayangiku dengan segala kekuranganku, dari kalian aku banyak

belajar tentang kehidupan.

> Para dosen yang telah begitu berjasa memberikan bimbingan dan ilmu yang

sangat berharga bagi penulis.

> Semua Sahabat yang begitu tulus menyayangiku dengan segala kekuranganku,

dari kalian aku belajar memahami arti ukhuwah.

> Almamater Universitas Lampung tercinta.


SANWACANA

Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga

penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi yang berjudul “Identifikasi Dan Interaksi Pusat Pertumbuhan Dengan Daerah

Hinterland Di Provinsi Banten” disusun untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas

Lampung.

Dalam proses penyelesaian skripsi, penulis mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini

dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan, S.E, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Nairobi, S.E., M.Si. selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung.

3. Ibu Emi Maimunah, S.E., M.Si. selaku sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas

Lampung.

4. Bapak Dr. I Wayan Suparta. S.E.,M.Si selaku dosen pembimbing akademik.

5. Ibu Zulfa Emalia, S.E., M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dengan penuh

kesabaran, memberikan sumbangan pemikiran, perhatian, kritik, saran, dan motivasi selama penyusunan skripsi sehingga skripsi

ini dapat terselesaikan dengan baik.

6. Ibu Dr. Ida Budiarty. S.E.M.Si dan Dr. Lies Maria Hamzah, S.E, M.E selaku Dosen Pembahas yang telah memberikan bimbingan,

pelajaran, perhatian, motivasi dan masukan yang sangat berharga bagi penulis.

7. Seluruh Bapak Ibu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah membimbing dan memberikan bekal ilmu pengetahuan yang

bermanfaat bagi penulis selama proses perkuliahan hingga selesai

8. Orang tua ku tercinta, Bapak Dalail dan Ibu Risminiyati yang memberikan banyak cinta dan kasih sayang dengan tulus dan penuh
kesabaran, bimbingan dan nasihat, semangat, doa, serta kerja keras yang tak kenal lelah.

9. Teman-teman seperjuangan KKN di Desa Sungai Langka baik kelompok 1 sampai kelompok 4 dan terutama untuk teman-teman

kelompok 1 : Aul, Ismi, Ifah dan Digo. Induk Semang : Mbah Saeno dan Mbah Marsinah. Pak Lurah dan Pak Sekdes, serta

seluruh Masyarakat Desa Sungai Langka, terimakasih atas kesempatan, pengalaman, dan kebersamaannya selama menjalani KKN.

10. Almamater Universitas Lampung tercinta yang telah mendewasakanku.

11. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

12. Teman-teman Sariah Adventure Aji, Sule, Rendra, Regis, Hendy, Benny, Hadi, Ferry dan Ikhsan terimakasih atas kebersamaannya

selama ini. Kalian semua membuatku bisa melupakan sejenak tentang tugas-tugas kuliah.

13. Para sahabat konco Bima, Budi, Al, Ari, Om Arya dan Yusuf yang telah tinggal bersama selama masa perkuliahan. Dari kalianlah

saya merasakan arti dari ketulusan sebuah persahabatan dan tak pernah kenal pamrih.

14. Teman-teman Ekonomi Pembangunan 2014, EP Brother Selon yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih untuk

kebersamaannya. Kalian sudah menjadi bagian dari cerita hidupku.

Semoga Allah SWT memberikan balasan terbaik atas segala bantuan yang telah diberikan, dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi

para pembaca.

Bandar Lampung, 20 Desember 2018 Penulis,


DAFTAR ISI

Halama
n
Ahmad Dawami
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... i
DAFTAR TABEL........................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................... vi

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 12
D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Landasan Teori ............................................................................................... 13
1. Teori Pusat Pertumbuhan .......................................................................... 13
2............................................................................................................. Teori
Pusat Pertumbuhan Menurut Perroux .................................................... 14
3............................................................................................................. Teori
Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menurut Richardson................................ 15
4. Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Myrdal............................................... 16
5. Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Boudville............................................ 16
6. Teori Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menurut
Rondinelli dan Unwin................................................................................. 17
7. Tipologi Klasen ........................................................................................ 17
8. Interaksi Spasial ....................................................................................... 18
9. Analisis Skalogram ................................................................................... 19
10. Indeks Sentralitas .................................................................................... 20
11. Skala Ordinal .......................................................................................... 21
12. Keterkaitan Spasial ................................................................................. 22
13. Indeks Moran .......................................................................................... 24
14. Matriks Pembobot Spasial....................................................................... 24
B. Tinjauan Empiris ............................................................................................ 26
C. Kerangka Pemikiran ....................................................................................... 29
D. Hipotesis ........................................................................................................ 31

III. METODE PENELITIAN


A. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................................. 32

i
B. Jenis dan Sumber Data ................................................................................... 32
C. Metode Analisis Data ..................................................................................... 33

i
i
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Tipologi Klassen................................................................................. 51
B. Hasil Analisis Tipologi Klassen........................................................................ 54
C. Analisis Indeks Skalogram Dan Indeks Sentralitas........................................... 56
D. Hasil Analisis Skalogram.................................................................................. 62
E. Hasil Perhitungan Indeks Sentralitas................................................................. 64
F. Hasil Analisis Skala Ordinal............................................................................. 69
G. Hasil Indeks Gravitasi....................................................................................... 71
H. Hasil Indeks Morans’s 1................................................................................... 77
I. Implikasi Hasil Penelitian................................................................................. 85

V. KESIMPULAN DAN SARA


A. Kesimpulan....................................................................................................... 90

B. Saran................................................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Di Pulau Jawa.................................... 3
1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2011-2016............................................................... 5
1.3 Jarak Antar Kabupaten/Kota ke Pusat Kota.................................................. 8
1.4 Data Luas, Kepadatan Penduduk dan Jumlah Fasilitas
Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2016......................................... 9
2.1 Matrik Tipologi Daerah.......................................................................................... 18
3.1 Penentuan Skoring Setiap Aspek.................................................................. 41
3.2 Contoh Merangking dalamRangka Pengambilan Keputusan.................................. 41
4.1 Rata-rata PDRB Perkapita Kab/Kota Di Provinsi Banten
Tahun 2011-2016................................................................................................... 51
4.2 Rata-rata Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2011-2016......................................................................... 53
4.3 Hasil Analisis Tipologi Klassen................................................................... 54
4.4 Jumlah Fasilitas Pendidikan (Unit) 2017...................................................... 58
4.5 Jumlah Fasilitas Kesehatan (Unit) 2017....................................................... 59
4.6 Jumlah Fasilitas Peribadatan (Unit) 2017..................................................... 60
4.7 Jumlah Fasilitas Ekonomi Tahun 2017......................................................... 61
4.8 Jumlah Potensi Ekonomi (Unit) 2017.......................................................... 62
4.9 Hasil Analisis Skalogram....................................................................................... 63
4.10 Hasil Perhitungan Indeks Sentralitas.................................................................... 65
4.11 Penentuan Skoring Dari Hasil Analisis Skalogram.............................................. 66
4.12 Penentuan Skoring dari Hasil Perhitungan Indeks Sentralitas.............................. 67
4.13 Skoring Variabel Kepadatan Penduduk................................................................ 68
4.14 Penentuan Rangking (Analisis Skalogram,
Indeks Sentralitas dan Kepadatan Penduduk)......................................................... 69
4.15 Data Kepadatan Penduduk (jiwa/ km2) 2016........................................................ 72
4.16 Jumlah Penduduk Dan Jarak Antar Wilayah Di Provinsi
Banten Tahun 2016................................................................................................ 73
4.17 Hasil Indeks Gravitasi (Interaksi spasial) dan Rangking
dengan Skala Ordinal Kota Tangerang Selatan sebagai
Pusat Pertumbuhan................................................................................................. 74
4.18 Hasil Indeks Gravitasi (Interaksi spasial) dan Rangking
dengan Skala Ordinal Kota Serang sebagai
Pusat Pertumbuhan................................................................................................. 75
4.19 Hasil Indeks Gravitasi (Interaksi spasial) dan Rangking dengan
Skala Ordinal Kabupaten Lebak sebagai Pusat Pertumbuhan................................ 76
4.20 Kriteria Tetangga Queen Contiguity Menurut Kabupaten/kota
Di Provinsi Banten................................................................................................. 87
4.21 Nilai Moran's I Keterkaitan Perekonomian Rata-rata
(PDRB) Periode 20011-2016................................................................................. 78
4.22 Nilai Moran's I Keterkaitan Perekonomian Periode 20011-2016
Berdasarkan Sektor................................................................................................ 78
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Persinggungan Perbatasan...................................................................................... 25


2.2 Bagan Kerangka Pemikiran ................................................................................... 30
3.1 Kuadran Moran’s Scatterplot.................................................................................. 49
3.2 Representasi Grafis Dari Lokasi Kabupaten/kota
Di Provinsi Banten .................................................................................................. 49
4.1 Diagram kartesius rata-rata PDRB/kapita dan rata-rata
pertumbuhan ekonomi menurut hasil analisis tipologi klassen...................... 55
4.2 Peta Pusat Pertumbuhan Provinsi Banten..................................................... 70
4.3 Moran’s Scaterrplot (A) Rata-rata PDRB, (B) Sektor Primer,
(C) Sektor Sekunder, (D) Sektor Tersier..................................................... 79
4.4 Peta Signifikansi dan cluster map LISA Rata-rata PDRB (A),
Sektor Primer (B), Sekunder (C) dan Tersier
(D) Periode 2011-2016.......................................................................................... 80
4.5 Gambar 4.5 Peta Signifikansi dan cluster map LISA
Rata-rata PDRB (A), Sektor Primer (B), Sekunder
(C) dan Tersier (D)Periode 2011-2016 .................................................................... 82
1. Perhitungan Analisis Skalogram ............................................................................ L-1
2. Perhitungan Jumlah Kelas, Interval Kelas dan Kelompok Hierarki ....................... L-2
3. Hasil Hierarki Analisis Skalogram.......................................................................... L-3
4. Rumus Bobot Fungsi.............................................................................................. L-4
5. Hasil Indeks Sentralitas........................................................................................... L-5
6. Penentuan Skoring Hasil Analisis Skalogram......................................................... L-6
7. Perhitungan Gravitasi (Interaksi Spasial)................................................................ L-7
8. Perhitungan untuk wilayah pusat pertumbuhan Kota Tangsel................................ L-8
9. Perhitungan untuk wilayah pusat pertumbuhan Kota Serang ................................. L-9
10.......................................................................................................................... Perhitun
gan untuk wilayah pusat pertumbuhan Kab. Lebak............................................... L-10
11. Penentuan Jumlah Skor Hasil Perhitungan Indeks
Gravitasi Dengan Skala Ordinal..................................................................... L-11
12. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota
Di Provinsi Banten tahun 2011-2016............................................................. L-12
13. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota
Di Provinsi Banten tahun 2011-2016............................................................. L-13
14. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota
Di Provinsi Banten tahun 2011-2016.................................................................... L-14
15. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota Di Provinsi
Banten tahun 2011 -2016 ..................................................................................... L-15
16. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota Di Provinsi
Banten tahun 2011 -2016 ..................................................................................... L-16
17. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota Di Provinsi
Banten tahun 2011 -2016 ..................................................................................... L-17
18. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota Di Provinsi
Banten tahun 2011 -2016 ..................................................................................... L-18
19. PDRB ADHK 2010 Kabupaten atau Kota Di Provinsi
Banten tahun 2011 -2016 ..................................................................................... L-19
20. Nilai Moran's I Keterkaitan Perekonomian
Rata-rata (PDRB) Periode 20011 -2016............................................................... L-20
21. Nilai Moran's I Keterkaitan Perekonomian Periode
20011 -2016 Berdasarkan Sektor.......................................................................... L-21
22. Nilai Moran's Scatterplot Keterkaitan Perekonomian Di
Provinsi Banten Periode 2011-2016 Berdasarkan
Rata-rata PDRB..................................................................................................... L22
23. Nilai Moran’s Scatterplot Keterkaitan Perekonomian
Di Provinsi Banten Periode 2011-2016 Berdasarkan Sektor PDRB............... L-23
24.......................................................................................................................... Kriteria
Penentuan Ketetanggaan dan Moran’s Scatterplot................................................ L-24
25.......................................................................................................................... Kriteria
Penentuan Ketetanggaan dan Moran’s Scatterplot................................................ L-25
26. Moran’s Scatterplot PDRB Sektor Primer, Sekunder dan Tersier................ L-26
27. Peta Signifikansi LISA dan Cluster Map Rata-rata
PDRB dan PDRB Sektor Primer, Sekunder dan Tersier................................. L-27
28. Penentuan nilai Z-value dari Rata-rata PDRB dan
Rata-rata PDRB Berdasarkan Sektor PDRB................................................... L-28
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep pusat pertumbuhan pada dasarnya dilandasi oleh konsep ruang ekonomi (economic space) yang dikemukakan oleh Francois

Perroux. Menurut Perroux dalam Komarovskiy dan Bondaruk (2013) menyatakan bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial adalah

sebagaimana halnya dengan perkembangan industri. Pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara

serentak, pertumbuhan terjadi pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah dan perkembangan itu

menyebar sepanjang saluran- saluran yang beraneka ragam.

Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara fungsional dan secara geografis. Secara fungsional,

pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki

unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar. Menstimulasi secara

kedalam mempunyai artian bahwa daerah pusat pertumbuhan menstimulasi daerah belakangnya dengan cara menggunakan bahan baku

dari daerah belakangnya. Sedangkan menstimulasi keluar mempunyai artian bahwa daerah pusat pertumbuhan mampu menyediakan

kebutuhan bagi daerah belakangnya.


2

Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas

dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction), yang

menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi di situ dan masyarakat

senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada didaerah tersebut, walaupun kemungkinan

tidak ada interaksi antara usaha-usaha tersebut. Tidak semua kota generatif dapat

dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan. Kota generatif adalah kota-kota yang

menjalankan bermacam-macam fungsi, baik untuk dirinya sendiri atau untuk daerah

belakangnya, sehingga bersifat saling menguntungkan atau mengembangkan. Pusat

pertumbuhan memiliki empat ciri- ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai

macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya multiplier effect (unsur

pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan daerah

belakangnya (Tarigan, 2005:161-163).

Penentuan pusat pertumbuhan disuatu wilayah memiliki peranan yang sangat penting

dalam menentukan arah kebijakan dan regulasi bagi pemerintah pusat maupun daerah

dalam melakukan pembangunan wilayah. Penentuan pusat pertumbuhan mempunyai fungsi

untuk pemerataan pembangunan di semua wilayah, memudahkan kordinasi antar wilayah

dan memaksimalkan pengelolaan potensi dan sumber daya alam yang ada. Pertumbuhan

ekonomi pada pusat pertumbuhan akan berpengaruh pada daerah belakangnya melalui efek

polarisasi (polarization effect), efek penetesan kebawah (trickling down effect) dan

mendorong suatu wilayah berkembang menjadi pusat pertumbuhan. Sehingga penentuan

pusat pertumbuhan disuatu wilayah sangat penting untuk dilakukan. Salah satu indikator

keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dapat dijadikan tolak ukur secara makro

ialah pertumbuhan ekonomi yang dicerminkan dari perubahan Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) dalam suatu wilayah. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
3

menandakan semakin baik kegiatan ekonominya (Todaro dan Smith, 2008:56).

Pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa dalam lima tahun terakhir masih sangat besar

kontribusinya terhadap pembentukan PDB nasional dibandingkan dengan wilayah lainnya

di Indonesia. Pulau Jawa berkontribusi sebesar 58,49 persen terhadap produk domestik

bruto (PDB) nasional. Pulau Jawa terdiri dari enam Provinsi, yaitu Provinsi DKI Jakarta,

Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Banten.

Dari keenam Provinsi tersebut, Provinsi DKI Jakarta mempunyai rata-rata pertumbuhan

PDRB yang paling besar, diikuti oleh Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat diurutan kedua

dan ketiga. Sedangkan Provinsi Banten, Jawa Tengah dan DI.Yogyakarta berada dalam

urutan tiga terendah. Berikut data laju pertumbuhan ekonomi enam Provinsi di Pulau Jawa.

Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Di Pulau Jawa (persen)


Rata-
NO Provinsi 2011 2012 2013 2014 2015 2016
rata
DKI
1 Jakarta 6,73 6,53 6,07 5,91 5,88 6,5 6,27
2 Jawa Barat 6,5 6,5 6,33 5,09 5,03 6,6 6,00
Jawa
3 Tengah 5,3 5,34 5,11 5,28 5,44 6,7 5,52
4 DI. 5,21 5,37 5,47 5,16 4,94 5,9 5,34
Yogyakarta
5 Jawa 6,44 6,64 6,08 5,86 5,44 6,6 6,17
Timur
6 Banten 6,02 6,68 6,23 5,18 5,2 5,6 5,81
7 Indonesia 6,44 6,19 5,56 5,02 4,88 5,02 5,63
Sumber : Badan Pusat Statistik Indonesia 2016, diolah.

Tabel 1.1 memperlihatkan laju pertumbuhan ekonomi di enam Provinsi di Pulau Jawa.

Provinsi dengan laju pertumbuhan tertinggi yaitu Provinsi DKI Jakarta dengan presentase

sebesar 6,27 persen, dimana angka ini berada diatas rata-rata laju pertumbuhan ekonomi

nasional yang sebesar 5,63 persen. Sedangkan Provinsi dengan laju pertumbuhan ekonomi

terendah yaitu Provinsi DI.Yogyakarta dengan presentase sebesar 5,34 persen, dimana
4

angka ini berada dibawah rata-rata laju pertumbuhan ekonomi nasional pada Tahun 2011-

1016 yang sebesar 5,63 persen.

Pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten dilihat dari nilai rata-ratanya masih berada

diposisi tiga terbawah jika dibandingkan dengan enam Provinsi yang terdapat di pulau

Jawa. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi

nasional yang sebesar 5,63 persen, pertumbuhan ekonomi di Provinsi Banten masih berada

diatasnya. Hal ini menunjukan bahwa Provinsi Banten mempunyai potensi untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonominya.

Potensi yang dimiliki Provinsi Banten dapat dimaksimalkan untuk meningkatkan laju

pertumbuhan ekonominya, seperti potensi geografis, potensi ekonomi dan potensi-potensi

lainnya. Letak Provinsi Banten yang sangat strategis, yaitu berdekatan dengan wilayah

Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat, yang mana kedua provinsi tersebut menjadi

pusat perekonomian di Indonesia. Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi

dibutuhkan suatu kebijakan pemerintah. Salah satu solusi yang dapat diambil untuk

mempercepat pembangunan suatu daerah adalah pengembangan wilayah dengan

menetapkan pusat pertumbuhan.

Arah kebijakan pengembangan kawasan strategis adalah percepatan pengembangan pusat-

pusat pertumbuhan ekonomi wilayah, terutama di luar Jawa (Sumatera, Kalimantan,

Sulawesi, dan Papua) dengan memaksimalkan keuntungan aglomerasi, yaitu keuntungan

skala besar, keuntungan lokalisasi dan keuntungan urbanisasi.

Serta menggali potensi dan keunggulan daerah dan peningkatan efisiensi dalam penyediaan

infrastruktur. Pendekatan ini pada intinya merupakan integrasi dari pendekatan sektoral

dan regional. Setiap wilayah akan mengembangkan potensi dan keunggulannya melalui

pengembangan industri manufaktur, industri pangan, industri maritim, dan pariwisata


5

(Renstra Bappenas, 2015-2019).

Perekonomian Provinsi Banten secara keseluruhan Tahun 2017 diperkirakan tumbuh pada

kisaran 5,5 sampai 5,9 persen lebih tinggi dibandingkan Tahun 2016 (Banten Dalam

Angka, 2017). Beberapa faktor yang mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut

di antaranya adalah optimisme perbaikan ekonomi global dan nasional. Seluruh komponen

PDRB di sisi pengeluaran diperkirakan tumbuh lebih tinggi, begitu pula dengan kinerja

lapangan usaha utama seperti industri pengolahan yang berpotensi tumbuh lebih kuat

seiring dengan membaiknya kinerja korporasi (Banten Dalam Angka, 2017). Berikut data

yang menunjukan laju pertumbuhan ekonomi (PDRB ADHK 2010) kabupaten/kota di

Provinsi Banten:

Tabel 1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun


2011-2016 (persen)
Rata-
No Kabupaten/kota 2011
2012 2013 2014 2015 2016 Rata
1 Kab Pandeglang 5,74 5,81 4,72 4,93 5,96 5,49 5,3
2 Kab Lebak 5,99 5,11 6,3 5,83 5,8 5,7 5,8
3 Kab Tangerang 6,75 6,17 6,41 5,37 5,36 5,32 6,1
4 Kab Serang 6,1 5,42 6,04 5,39 5,02 5 5,7
5 Kota Tangerang 7,39 7,07 6,52 5,15 5,37 5,3 6,5
6 Kota Cilegon 6,62 7,7 6,69 4,62 4,78 5,05 6,4
7 Kota Serang 8,34 7,42 7,3 6,86 6,29 6,22 7,4
8 Kota Tangsel 8,81 8,66 8,75 8,05 7,2 6,98 8,5
Provinsi Banten 6,02 6,68 6,23 5,18 5,2 5,6 5,81
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Banten, 2017.

Tabel 1.2 memperlihatkan data rata-rata laju pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di

Provinsi Banten dari Tahun 2011-2016. Daerah yang memiliki nilai rata-rata pertumbuhan

tertinggi yaitu Kota Tangerang Selatan mencapai 8,5 persen. Sedangkan kabupaten/kota

yang memiliki nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi terendah yaitu Kabupaten Pandeglang

dengan pertumbuhan sebesar 5,3 persen, dan bahkan lebih rendah daripada pertumbuhan

ekonomi Provinsi Banten itu sendiri yang sebesar 5,81 persen.


6

Kota Tangerang Selatan merupakan daerah yang mempunyai rata-rata pertumbuhan

ekonomi yang paling tinggi, hal ini dikarenakan sektor industri dan perdagangan di Kota

Tangerang Selatan berkembang sangat pesat. Seperti real estate, perdagangan serta

informasi dan komunikasi. Sedangkan Kabupaten Pandeglang merupakan daerah yang

mempunyai rata-rata pertumbuhan yang paling rendah, hal ini dikarenakan perekonomian

di Kabupaten Pandeglang masih bergantung pada sektor pertanian (Banten Dalam Angka,

2017). Perbedaan nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/kota

di Provinsi Banten menunjukan adanya permasalahan dalam pembangunan wilayah yang

dilakukan.

Data laju pertumbuhan ekonomi menggambarkan potensi sekaligus kemampuan suatu

daerah untuk mengelola sumber daya alam dan potensi ekonomi yang dimiliki (BPS

Provinsi Banten, 2017). Untuk itu diperlukan adanya strategi pembangunan yang tepat

sasaran sehingga dapat menggurangi ketimpangan pembangunan wilayah yang ada. Salah

satu strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan

cara menetapkan wilayah pusat pertumbuhan di wilayah-wilayah yang ada.

Penetapan pusat pertumbuhan oleh pemerintah Provinsi Banten berdasarkan RPJMD

(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang tertuang dalam

PERDA Provinsi Banten Nomor 4 Tahun 2012-2017, menetapkan bahwa terdapat empat

kawasan pusat pertumbuhan di Provinsi Banten yaitu Kota Tangerang Selatan, Kota

Serang, Kota Cilegon dan Kabupaten Lebak. Setiap kawasan pusat pertumbuhan yang

ditetapkan mempunyai wilayah intinya masing-masing. Untuk Kota Tangerang Selatan,

yang menjadi kawasan inti pusat pertumbuhan yaitu kawasan Setu, untuk Kota Serang

wilayah yang menjadi pusat pertumbuhan adalah kawasan Kaseman, untuk Kota Cilegon

yang menjadi kawasan pusat pertumbuhan adalah Kecamatan Cilegon, dan untuk wilayah
7

Kabupaten Lebak yang menjadi inti pusat pertumbuhan adalah kawasan Malingping dan

Rangkasbitung (RPJMD Provinsi Banten, 2012-2017).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kabupaten/kota mana saja yang menjadi

pusat pertumbuhan di Provinsi Banten dan apakah daerah yang diidentifikasi sesuai dengan

yang ditetapkan dalam RPJMD Pemerintah Provinsi Banten. Selain mengidentifikasi

daerah pusat pertumbuhan, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hubungan

interaksi serta keterkaitan spasial daerah pusat pertumbuhan dengan daerah hinterland-

nya. Penelitian ini mengunakan alat analisis tipologi klassen, analisis skalogram, indeks

sentralitas, skala ordinal, indeks gravitasi dan indeks moran.

Kota Serang adalah ibukota dari Provinsi Banten, dan merupakan pusat kota di Provinsi

Banten. Pada umumnya pusat kota terletak di lokasi yang sangat strategis dan mempunyai

akses yang lebih baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Perbedaan ini

menyebabkan interaksi yang berbeda-beda disetiap daerah. Bentuk interaksi yang beragam

ini seperti kegiatan pemerintahan, kegiatan ekonomi, kegiatan pendidikan dan lain-lain.

Pada umumnya kekuatan interaksi antara daerah pusat pertumbuhan dengan daerah

hinterland-nya ditentukan oleh jarak antar wilayah. Berikut data jarak antar wilayah di

Provinsi Banten dengan pusat kota.


Tabel 1.3 Jarak Antar Kabupaten/Kota ke Pusat Kota (Kota Serang)
No Kabupaten/Kota Jarak ke Pusat Kota (Km)
1 Kab Pandeglang 21
2 Kab Lebak 41
3 Kab Tangerang 33
4 Kab Serang 9
5 Kota Cilegon 20
6 Kota Tangerang 65
7 Kota Serang -
8 Kota Tangsel 75
Sumber : Badan Pusat Statistik 2017, diolah.

Tabel 1.3 memperlihatkan jarak antar kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten ke pusat
8

kota. Kabupaten/kota yang memiliki jarak terjauh ke pusat kota yaitu Kota Tangerang

Selatan dengan jarak sejauh 75 km. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki jarak

terdekat dengan pusat kota yaitu Kabupaten Serang dengan jarak 9 km. Jarak antar wilayah

yang berbeda-beda akan mempengaruhi kuat atau lemahnya interaksi spasial maupun

keterkaitan spasial yang akan terjadi di wilayah- wilayah tersebut. Misalnya kota A dan

Kota B mempunyai jarak yang berjauhan, maka jarak akan mempengaruhi keinginan orang

untuk bepergian dan mobilitas barang dan jasa dari kota A ke kota B begitu juga

sebaliknya. Karena untuk menempuh jarak tersebut diperlukan waktu, tenaga, dan biaya.

Semakin jauh jarak yang memisahkan lokasi keduanya, akan mengurangi interaksi spasial

dan keterkaitan spasial yang terjadi. Keterkaitan spasial terbentuk karena adanya mobilitas

faktor produksi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Ada daerah yang berperan

sebagai pemasok faktor-faktor produksi dan ada juga daerah yang berperan sebagai

penerima fakor produksi. Hal ini memungkinkan backwash effect akan menjadi lebih

kuat dari spread effect yang ditandai dengan adanya penyerapan ekonomi wilayah

sekitarnya ke pusat-pusat pertumbuhan wilayah tersebut.

Secara geografis pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang memiliki banyak fasilitas dan

kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan

berbagai usaha tertarik untuk berlokasi di tempat tersebut dan masyarakat senang datang

memanfaatkan fasilitas yang ada. Kemudahan akses yang ada dapat menjadi daya tarik

(attrativiness) bagi wilayah tersebut, sehingga akan menciptakan economic of scale.

Dengan segala fasilitas yang dimiliki dan kemudahan yang ada, daerah tersebut lebih

berpeluang untuk menjadi wilayah pusat pertumbuhan, hal ini karena wilayah pusat

pertumbuhan akan lebih berkembang jika mempunyai konsentrasi geografis yang tinggi

(Tarigan, 2005:162). Berikut data luas, kepadatan dan fasilitas yang terdapat di Provinsi
9

Banten.

Tabel 1.4 Data Luas, Kepadatan Penduduk dan Jumlah Fasilitas Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten Tahun 2016
No Kabupaten Luas Kepadatan Jumlah Fasilitas (Unit)
/Kota (km2) Penduduk Fasilitas Fasilitas Fasilitas
(per km2) Pendidikan Kesehatan Peribadatan
Kab
1 Pandeglang 2746.89 435 1970 1857 4278
2 Kab Lebak 3426.56 371 1890 2038 2799
Kab
3 Tangerang 1011.86 3331 2929 2622 5142
4 Kab Serang 1734.28 850 1705 1654 3740
Kot
5 Tangerang 153.93 13299 1708 1195 2287
6 Kota Cilegon 1 75.5 2348 495 446 455

7 Kota Serang 266.71 2412 672 713 1814


8 Kota Tangsel 147.19 108484 1182 1091 1672

Prov Banten 9662.92 1237 12552 11616 22187


Sumber : BPS Provinsi Banten, 2017 & Banten Dalam Angka, 2017

Tabel 1.4 menunjukan jumlah data luas, kepadatan penduduk dan jumlah fasilitas

kabupaten/kota di Provinsi Banten. Untuk mewakili komponen fasilitas yang dimasukan

dalam tabel tersebut menggunakan jumlah data fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan

fasilitas peribadatan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa Kota Tangerang

memiliki nilai kepadatan penduduk tertinggi yaitu dengan jumlah kepdatan sebesar 13.229

km2. Sedangkan kabupaten yang memiliki nilai kepadatan penduduk terendah yaitu

Kabupaten Lebak dengan jumlah kepadatan penduduk sebesar 3.71 km 2. Untuk daerah

yang memiliki fasilitas tertinggi adalah Kabupaten Tangerang dengan jumlah 9.713 yang

terdiri dari 2.929 fasilitas pendidikan, 2.622 fasilitas kesehatan dan 5.142 fasilitas

peribadatan. Sedangkan daerah yang memiliki jumlah fasilitas terendah adalah Kota

Cilegon dengan jumlah fasilitas sebanyak 1.396 unit yang terdiri dari 495 fasilitas

pendidikan, 446 fasilitas kesehatan dan 455 fasilitas peribadatan.


10

Perbedaan jumlah fasilitas yang dimiliki oleh suatu daerah akan mempengaruhi kepadatan

penduduknya, hal ini terjadi karena setiap orang ingin mencari kehidupan yang lebih baik

dengan tinggal di daerah yang memiliki kemudahan dalam akses pelayanan seperti daerah

yang memiliki kelengkapan fasilitas. Sesuai dengan analisis skalogram dan indeks

sentralitas dalam menentukan pusat pertumbuhan, wilayah yang memiiki kelengkapan

fasilitas akan menjadi wilayah pusat pelayanan sedangkan wilayah dengan fasilitas yang

relatif kurang akan menjadi daerah belakang (hinterland). Menurut Respati dalam Farida

(2017) dalam analisis skalogram yang dilakukan, tidak hanya digunakan untuk mengetahui

jumlah fasilitas-fasilitas yang ada dan kemampuan daerah dalam memberikan pelayanan.

Interaksi spasial terjadi karena suatu daerah tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri,

sehingga daerah perlu melakukan interaksi dengan daerah-daerah disekitarnya. Penelitian

tentang penentuan pusat pertumbuhan sudah banyak dilakukan sebelumnya, salah satu

contohnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Liang Hua, Zhao Yong dan Yuan Wei

dengan menggunakan metode penelitian Analisis LQ, Indeks Gravitasi, Shift Share,

Analisis Overlay. Dengan hasil penelitian, bahwa untuk menumbuhkan kutub-kutub

pertumbuhan baru di China dapat dilakukan dengan langkah-langkah seperti mempercepat

pembangunan pusat kota dan pertumbuhan skala, mengelola industri khusus untuk

mendorong pertumbuhan industri lainnya, mengoptimalkan interaksi daerah kutub

pertumbuhan yang ada dengan daerah belakangnya dan menggunakan teknologi informasi

terbaru untuk mendukung pembentukan kutub pertumbuhan baru. Perbedaannya dengan

penelitian ini terdapat pada lokasi penelitian dan untuk mencari interaksi spasial dan

keterkaitan spasial mengunakan indeks gravitasi dan indeks moran juga dilakukan skoring

dengan skala ordinal untuk memperoleh urutan rangking (penentuan prioritas) kekuatan

interaksi .
11

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat diambil rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Kabupaten atau kota mana saja yang berperan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi

di Provinsi Banten, dan apakah sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam RPJMD?

2. Kabupaten atau kota mana yang mempunyai nilai interaksi spasial tertinggi dengan

wilayah pusat pertumbuhan di Provinsi Banten?


3. Apakah ada keterkaitan spasial antar kabupaten/kota di Provinsi Banten?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kabupaten atau kota mana yang menjadi pusat pertumbuhan

ekonomi di Provinsi Banten, dan apakah sudah sesuai dengan yang ditetapkan

dalam RPJMD.

2. Untuk mengetahui kabupaten atau kota mana yang memiliki nilai interaksi spasial

tertinggi dengan wilayah pusat pertumbuhan di Provinsi Banten.

3. Untuk mengetahui keterkaitan spasial antar kabupaten atau kota di Provinsi Banten .

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :

1. Bagi penulis sebagai salah satu syarat kelulusan Strata 1 (S1) di Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Lampung.

2. Bagi Fakultas dan pembaca sebagai referensi untuk mengetahui teoritis ekonomi

regional.

3. Dapat menjadi masukan bagi peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan penelitian

sejenis.
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

1. Teori Pusat Pertumbuhan ( G r o w t h P o l e )

a) Konsep Pusat Pertumbuhan Menurut Tarigan

Menurut Tarigan (2005:162) pusat pertumbuhan (Growth Pole) dapat diartikan

dengan 2 cara yaitu:

1. Secara Fungsional, adalah suatu konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang

sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu menstimulasi

kehidupaan ekonomi baik kedalam maupun keluar (daerah hinterland-nya).

2. Secara Geografis, adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan

sehingga menjadi daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai macam

usaha tertarik untuk berlokasi disuatu tempat tanpa adanya hubungan antara usaha-

usaha tersebut.

Ciri-ciri pertumbuhan ekonomi menurut Tarigan (2005:162-163):

1. Adanya hubungan intern dari berbagai macam kegiatan. Keterkaitan antara satu sektor

dengan sektor lain akan saling mendorong pertumbuhan, karena keterkaitan yang

dimiliki.

2. Ada efek penggandaan (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang saling

terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek penggandaan. Permintaan


14

akan menciptakan produksi baik sektor tersebut maupun sektor yang terkait akhirnya

akan menjadi akumulasi modal. Unsur efek penggadaan sangat berperan dalam

membuat kota mampu memacu pertumbuhan belakangnya.

3. Adanya konsentrasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa

menciptakan efisiensi diantara sektor-sektor yang saling membutuhkan, juga

meningkatkan daya tarik dari kota tersebut.

4. Bersifat mendorong dari belakang. Terdapat hubungan yang harmonis antara Kota dan

wilayah yang ada berada dibelakangnya. kota membutuhkan bahan baku dari wilayah

belakangnya dan menyediakan berbagai kebutuhan wilayah belakangnya untuk dapat

mengembangkan dirinya.

b) Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Francois Perroux (1950)

Menurut Perroux, kutub pertumbuhan adalah pusat-pusat dalam arti keruangan yang

abstrak, sebagai tempat memancarnya kekuatan-kekuatan sentrifugal dan tertariknya

kekuatan-kekuatan sentripetal. Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan

spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri bahwa pertumbuhan tidak

terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, pertumbuhan terjadi

pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah dan

perkembangan itu menyebar sepanjang saluran- saluran yang beraneka ragam dan dengan

efek yang beraneka ragam terhadap keseluruhan perekonomian. Dalam proses

pembangunan akan timbul industri unggulan yang merupakan industri penggerak utama

dalam pembangunan suatu daerah. Keterkaitan antar industri sangat erat, maka

perkembangan industri unggulan akan mempengruhi perkembangan industri lain yang

berhubungan dengan industri unggulan.


Inti dari teori Perroux adalah:

1. Dalam proses pembangunan akan timbul industri unggulan yang merupakan industri
15

penggerak utama dalam pembangunan suatu daerah. Keterkaitan industri sangat erat,

maka perkembangan industri unggulan akan mempengaruhi perkembangan industri lain

yang berhubungan dengan industri unggulan.

2. Pemusatan industri pada satu daerah akan mempercepat pertumbuhan perekonomian

karena akan menciptakan pola konsumsi yang berbeda antar daerah.

3. Perekonomian merupakan gabungan dari sistem industri yang relatif aktif (unggulan)

dengan industri yang relatif pasif atau industri yang tergantung industri unggulan.

c) Teori Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menurut Richardson Menurut Richardson dalam

Poetra (2010), memberikan definisi pusat pertumbuhan sebagai berikut: “A growth pole

was defined as a set of industries capable of generating dynamic growth in the

industry (propulsive industry) ”.

Dari definisi tersebut Richardson menjabarkan empat karakteristik utama sebuah pusat

pertumbuhan, yaitu:

1. Adanya sekelompok kegiatan ekonomi terkonsentrasi pada suatu lokasi tertentu

2. Konsentrasi ekonomi tersebut mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang dinamis

dalam perekonomian.

3. Terdapat keterkaitan input dan output yang kuat antara sesama kegiatan ekonomi pada

pusat tersebut.

4. Dalam kelompok kegiatan ekonomi tersebut terdapat sebuah industri induk yang

mendorong pengembangan kegiatan ekonomi pusat tersebut.

Kesimpulan dari Richardson adalah jika kegiatan ekonomi yang saling berkaitan

dikonsentrasikan pada suatu tempat tertentu, pertumbuhan ekonomi daerah yang

bersangkutan akan meningkat lebih cepat dibanding jika kegiatan ekonomi tersebut

tersebar dan terpencar ke seluruh pelosok daerah.


16

d) Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Myrdal

Menurut Myrdal dalam Muta’ali (2003:36), pertumbuhan ekonomi dalam suatu wilayah

tertentu bergantung pada lokasi dari sumberdaya alam dan keuntungankeuntungan lokasi

lainnya. Pertumbuhan ini akan terjadi pada daerah belakangnya melalui melalui efek

kumulatif yaitu efek sebar (spread effect) dan efek serap (backwash effect). Prinsip

pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh adanya industri propulsive tertentu,

cenderung hanya akan menarik modal dari daerah sekitarnya, karena keuntungan lokasi

pada wilayah tersebut. Hal ini memungkinkan backwash effect akan menjadi lebih kuat

dari spread effect yang ditandai dengan adanya penyerapan ekonomi wilayah sekitarnya

ke pusat-pusat pertumbuhan wilayah tersebut. Apabila tidak ada kebijaksanaan intervensi

dari suatu mekanisme pasar maka pertumbuhan ekonomi ini akan menimbulkan

pertumbuhan wilayah yang timpang dan cenderung akan terkonsentrasi dibeberapa wilayah

tertentu (Muta’ali, 2003:36).

e) Teori Pusat Pertumbuhan Menurut Boudville

Boudville dalam Muta’ali (1999:37), menyatakan bahwa setiap wilayah mempunyai

perbedaan struktur ekonomi. Perbedaan ini dipengaruhi antara lain oleh adanya perbedaan

latar belakang historis dan potensi sumber daya manusia pada wilayah-wilayah tersebut.

Untuk dapat menyebarkan pertumbuhan ekonomi dari pusat ke daerah belakangnya, maka

Boudville mengusulkan perlu dilakukan

pemilihan lokasi pusat atau kutub pertumbuhan yang dapat mendorong efek kumulatif

kegiatan ekonomi dan menyebarkannya ke wilayah belakangnya.

f) Teori Pusat Pertumbuhan Ekonomi Menurut Rondinelli dan Unwin Teori pusat

pertumbuhan didasarkan pada keniscayaan bahwa pemerintah di negara berkembang dapat

mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan dengan melakukan investasi yang


17

besar pada industri padat modal di pusat kota.

Teori pusat pertumbuhan juga ditopang oleh kepercayaan bahwa kekuatan pasar bebas

melengkapi kondisi terjadinya trickle down effect (dampak penetesan ke bawah) dan

menciptakan spread effect (dampak penyebaran) pertumbuhan ekonomi dari perkotaan ke

pedesaan.

2. Tipologi Klassen

Analisis tipologi wilayah digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur

pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi daerah yang pada dasarnya

membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan

pendapatan perkapita daerah (Sjafrizal, 2014). Variabel pertumbuhan ekonomi dan

pendapatan perkapita masing-masing daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat

klasifikasi atau kuadran sebagai berikut:


Tabel 2.1 Matrik Tipologi Daerah
Kuadran IV Kuadran I

Daerah relatif tertinggal Daerah cepat maju dan cepat tumbuh


xi< x dan Axi< Ax xi> x dan Axi>Axi>x
Kuadran III Kuadran II

Daerah berkembang cepat Daerah maju tapi tertekan xi> x dan


xi< x dan Axi> Ax Axi< Ax
Sumber: Sjafrizal, 2014
Keterangan:

xi = PDRB Perkapita di salah satu daerah/wilayah analisis x = PDRB


Perkapita di daerah/wilayah referensi A = Laju Pertumbuhan Axi =
xu- xU-i/xu-iX 100%
Axi = Pertumbuhan PDRB di salah satu daerah/wilayah analisis Ax =
Pertumbuhan PDRB di daerah/wilayah referensi

3. Interaksi Spasial
18

Interaksi keruangan merupakan suatu hubungan timbal balik (resiprocal relationship)

yang saling berpengaruh antara dua wilayah atau lebih yang dapat menimbulkan gejala,

kenampakan, atau permasalahan baru. Kuat lemahnya interaksi sangat dipengaruhi oleh

tiga faktor utama, yaitu adanya wilayah-wilayah yang saling melengkapi (regional

complementary), adanya kesempatan untuk berintervensi (intervening opportunity),

serta adanya kemudahan transfer atau pemindahan dalam ruang (spatial transfer ability)

(Ermawati, 2010).

Para ahli banyak yang mengembangkan teori interaksi spasial, seperti K.J. Kansky dan

W.J. Reilly. Aplikasi teori-teori interaksi dapat diterapkan dalam perencanaan

pembangunan. Misalnya, penempatan lokasi pusat pelayanan masyarakat pembangunan

prasarana transportasi yang dapat membuka keterasingan suatu wilayah dari wilayah lain,

dan kemajuan informasi serta teknologi. Contoh teori interaksi keruangan antara lain

model gravitasi (Sjafrizal, 2014:205).

Teori gravitasi pertama kali diperkenalkan dalam disiplin ilmu fisika oleh (Sir Issac

Newton 1687). Inti dari teori ini adalah bahwa dua buah benda yang memiliki masa

tertentu akan memiliki gaya tarik menarik antara keduanya yang dikenal sebagai gaya

gravitasi. Kekuatan gaya tarik menarik ini akan berbanding lurus dengan hasil kali kedua

massa benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda

tersebut (Ermawati, 2010).

Menurut Schoenmaker (1984), model interaksi dalam peranannya (Daljoeni, 1997: 204)

1. Semakin besar atau semakin kecil jarak antaranya, daya tarik semakin kecil dan

semakin besar ini berarti apabila jarak antaranya mengecil (lebih cepat dan murah

untuk mencapainya), maka daya tariknya akan semakin besar dan sebaliknya apabila

jarak antaranya semakin besar (makin lama dan mahal menempuhnya), daya tariknya
19

akan semakin berkurang.

2. Semakin bobot dari tempat-tempat tersebut membesar atau mengecil semakin

bertambah atau berkurang daya tariknya.

4. Analisis Skalogram

Analisis skalogram pertama kali diperkenalkan oleh Guttman (1950) sehingga analisis ini

sering disebut sebagai analisis skala Guttman. Analisis skalogram didefinisikan oleh

Guttman sebagai salah satu skala satu dimensi yang menggambarkan respon subyek

terhadap obyek tertentu menurut tingkatan yang sempurna, orang yang mampu menjawab

semua pertanyaan dengan baik akan lebih baik dibandingkan dengan yang mampu

menjawab sebagian saja.

Analisis skalogram mengelompokkan klasifikasi kota berdasarkan pada tiga komponen

fasilitas dasar yang dimilikinya yaitu:

1. Differentiation adalah fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Fasilitas ini

menunjukkan bahwa adanya struktur kegiatan ekonomi lingkungan yang kompleks,

jumlah dan tipe fasilitas komersial akan menunjukkan derajat ekonomi kawasan/kota

dan kemungkinan akan menarik sebagai tempat tinggal dan bekerja

2. Solidarity adalah fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas sosial. Fasilitas ini

menunjukkan tingkat kegiatan sosial dari kawasan/kota. Fasilitas tersebut

dimungkinkan tidak seratus persen merupakan kegiatan sosial namun pengelompokan

tersebut masih dimungkinkan jika fungsi sosialnya relatif lebih besar dibandingkan

sebagai kegiatan usaha yang berorientasi pada keuntungan (benefit oriented)

3. Centrality adalah fasilitas yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi, politik dan

pemerintahan. Fasilitas ini menunjukkan bagaimana hubungan dari masyarakat dalam

sistem kota atau komunitas. Sentralitas ini diukur melalui perkembangan hierarki dari
20

institusi sipil, misalnya kantor pos, sekolahan, kantor pemerintahan dan sejenisnya.

Salah satu tujuan menetapkan orde perkotaan adalah agar dapat diperkirakan luas wilayah

pengaruh dari kota tersebut dan dengan demikian dapat diperkirakan jenis dan tingkat atau

mutu fasilitas kepentingan umum apa saja yang perlu dibangun di kota tersebut, baik untuk

melayani penduduk kota itu sendiri maupun penduduk wilayah belakangnya yang sering

datang ke kota tersebut. Di sisi lain, hal ini dapat dipergunakan untuk memperkirakan

apakah fasilitas yang telah ada di kota tersebut akan dimanfaatkan secara penuh oleh

penduduk kota itu atau penduduk wilayah belakangnya (Tarigan 2005:170).

5. Indeks Sentralitas

Indeks sentralitas merupakan bagian dari matriks fungsi wilayah atau yang sering disebut

dengan analisis fungsi yang merupakan analisis terhadap fungsi-fungsi pelayanan yang

tersebar di wilayah studi, dalam kaitannya dengan berbagai aktivitas penduduk/masyarakat,

untuk memperoleh atau memanfaatkan fasilitas- fasilitas tersebut (Riyadi, 2003:49 ).

Indeks sentralitas dimaksudkan untuk mengetahui struktur/hierarki pusat-pusat pelayanan

yang ada dalam suatu wilayah perencanaan pembangunan, seberapa banyak fungsi yang

ada, berapa jenis fungsi dan berapa jumlah penduduk yang dilayani serta seberapa besar

frekuensi keberadaan suatu fungsi dalam satu satuan wilayah permukiman. Frekuensi

keberadaan fungsi menunjukkan jumlah fungsi sejenis yang ada dan tersebar di wilayah

tertentu, sedangkan frekuensi kegiatan menunjukkan tingkat pelayanan yang mungkin

dapat dilakukan oleh suatu fungsi tertentu di wilayah tertentu (Riyadi, 2003:56).

Berikut adalah rumus untuk mencari nilai sentralitas terbobot:

C = (t/T)

Keterangan:

C = bobot atribut fungsi x T = jumlah


21

total fungsi dalam sistem t = Nilai


sentralitas gabungan = 100

6. Skala Ordinal

Skala ordinal adalah angka yang diberikan di mana angka-angka tersebut mengandung

pengertian tingkatan. Ukuran skala ordinal hanya untuk mengurutkan objek atau data dari

yang terendah sampai tertinggi atau sebaliknya. Skala ordinal hanyalah memberikan nilai

urutan atau rangking dan tidak mengambarkan nilai absolut (Suharyadi, 2008). Skala

ordinal dalam penelitian ini digunakan untuk merangking atau mengurutkan masing-

masing kabupaten/kota yang akan menjadi prioritas wilayah pusat pertumbuhan dari hasil

analisis skalogram, indeks sentralitas dalam rangka penentuan wilayah pusat pertumbuhan

dan analisis gravitasi untuk menentukan kekuatan interaksi antara daerah pusat

pertumbuhan dengan daerah disekitarnya. Riyadi dalam Ermawati (2010) menyatakan

bahwa hendaknya matriks fungsi dengan metode skalogram ini dilengkapi dengan data-

data yang disusun melalui matriks fungsi lainya, dimana data-data yang dihitung secara

lebih detail, dengan mengunakan teknik pembobotan (indeks sentralitas), pemberian

rangking dan sebagainaya. Sehingga dalam penelitian ini analisis skalogram dan Indeks

Sentralitas yang mengunakan variabel jenis fungsi (fasilitas dan potensi ekonomi) dan

kepadatan penduduk juga dirangking dengan skala ordinal.

7. Keterkaiatan Spasial (Autocorrelation Spatial)

Menurut Anselin dalam Yuriantari (2017), autokorelasi spasial atau keterkaitan spasial

adalah korelasi antara variabel dengan dirinya sendiri berdasarkan ruang atau bisa

dikatakan kemiripan objek dalam suatu ruang, baik jarak, waktu ataupun wilayah. Besaran

autokorelasi spasial dapat digunakan untuk mengidentifikasi hubungan spasial. Unit

analisis yang digunakan adalah wilayah baik itu berupa desa, kota, kabupaten, provinsi
22

atau bahkan suatu negara. supaya kajian kewilayahan ini memiliki arti empiris secara

ekonomi maka dibutuhkan data spasial sebagai penunjang utama.

Interaksi yang terjadi antar wilayah dapat berupa di bidang ekonomi contohnya adalah

aliran barang dan jasa, migrasi tenaga kerja, aliran pendapatan masuk transfer dan

pengiriman uang. Interaksi juga dapat terjadi di bidang teknologi yaitu, terjadinya difusi

teknologi dari wilayah yang memiliki teknologi lebih tinggi ke wilayah yang memiliki

teknologi lebih rendah. Selain itu, situasi politik di suatu wilayah akan mempengaruhi

kebijakan di wilayah tersebut yang akan berdampak ke wilayah tetangganya (Romzi,

2011).

Besarnya keterkaitan antar wilayah dapat berbeda-beda tergantung dari intensitas dan

kualitas interaksinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah letak suatu wilayah

dengan wilayah lain (tetangga). Semakin dekat letak suatu wilayah terhadap wilayah lain

memungkinkan tingkat interaksi yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah yang

letaknya lebih jauh. Hal ini sesuai dengan hokum Tobler I bahwa segala sesuatu berkaitan

satu sama lain, namun sesuatu yang dekat memiliki keterkaitan yang lebih erat

dibandingkan yang jauh.

Pola distribusi spasial secara umum terbagi menjadi tiga (Briggs, 2007):

a) Mengelompok (Clustered) yaitu beberapa titik terkonsentrasi berdekatan satu sama

lain dan ada area besar yang berisi sedikit titik yang sepertinya ada jarak yang tidak

bermakna.

b) Menyebar (Dispersed) yaitu setiap titik berjauhan satu sama lain atau secara jarak

tidak dekat secara bermakna.


c) Acak (random) yaitu titik-titik muncul pada lokasi yang acak dan posisi satu titik
dengan titik lainnya tidak saling terkait.
23

Menurut Kosfield dalam Wuyandari (2014), pengukuran autokorelasi spasial untuk data

spasial dapat dihitung menggunakan metode Moran’s Index (Indeks Moran), Geary’s C,

dan Tango’s excess. Pada penelitian ini metode analisis hanya dibatasi pada metode

Moran’s Index (Indeks Moran). Indeks Moran ( Moran’s I) merupakan metode yang

paling banyak digunakan untuk menghitung autokorelasi spasial secara global. Metode ini

dapat digunakan untuk mendeteksi permulaan dari keacakan spasial. Keacakan spasial ini

dapat mengindikasikan adanya pola-pola yang mengelompok atau membentuk tren

terhadap ruang.

8. Indeks M o r a n ’ s I

Uji indeks moran’s I dalam penelitian ini menggunakan data rata-rata PDRB dan data

rata-rata PDRB berdasarkan sektor. Indeks Moran’s I adalah sebuah tes statistik lokal

untuk melihat nilai autokorelasi spasial, yang mana digunakan untuk mengidentifikasi

suatu lokasi dari pengelompokan spasial atau autokorelasi spasial. Indeks Moran’s I juga

dapat digunakan untuk menganalisis keterkaitan spasial bukan hanya di bidang ekonomi

saja tetapi juga di segala macam bidang kajian seperti, pertanian, kesehatan, lingkungan,

ketenaga kerjaan (Emalia dan Ratih, 2015:50).

9. Matriks Pembobot Spasial

Hubungan kedekatan (neighbouring) antar lokasi dinyatakan dalam matrik pembobot

spasial W, dengan elemen-elemennya Wij. Matrik pembobot dapat dibedakan menurut tipe

data spasial, yaitu tipe titik dan tipe area. Matrik pembobot spasial dapat ditentukan dengan

beragam metode. Dalam penelitian ini mengggunakan matriks pembobot spasial queen

contiguity (persinggungan sudut). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam metode-

metode yang dikemukakan oleh LeSage (1999), metode itu antara lain adalah sebagai

berikut:
24

a) Linear Contiguity (Persinggungan tepi), matriks pembobot spasial ini

mendefinisikan Wij = 1 untuk wilayah yang bersinggungan di tepi kiri dan kanan

wilayah yang menjadi titik perhatian dan Wij= 0 untuk wilayah lainnya yang tidak

bersinggungan tepi kiri dan kanan.


25

b) Rook Contiguity (Persinggungan sisi), matrik pembobot spasial ini

mendefinisikan bobot antar wilayah (Wij) = 1 untuk wilayah yang bersisian

(common side) dengan wilayah yang menjadi titik perhatian dan untuk wilayah

lain yang tidak bersisian.

c) Bhisop Contiguity (Persinggungan sudut), matriks pembobot spasial ini

mendefinisikan Wij= 1 untuk wilayah yang titik sudutnya bertemu dengan

wilayah yang menjadi titik perhatian dan Wij = 0 untuk wilayah lain yang bertemu

titik sudutnya.
26

d) Queen Contiguity (Persinggungan sisi sudut), matriks pembobot spasial ini

mendefinisikan Wij = 1 untuk wilayah yang bersisian atau titik sudutnya bertemu

dengan wilayah yang menjadi titik perhatian dan Wij = 0 untuk wilayah lain yang

tidak bersisian dan bertemu titik sudutnya.

\ /
\//
y_
'
✓ \
2. Rook Contiquity 3.Bishop Contiquity

Gambar 2.1 Persinggungan Perbatasan

4.Queen Contiquit
27

B. Tinjauan Empiris

l. Tinjauan Riset Terdahulu

Sebelum melakukan penelitian ini, telah dipelajari beberapa hasil-hasil penelitian


sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Berikut hasil beberapa penelitian tersebut:

Judul
Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial di Kalimantan:
Studi Empiris di 55 Kabupaten/Kota, 2000-2012 Maria Christina
Penulis Jenis
Yuli Pratiwi Data Sekunder
Data Model
Variabel yang digunakan yaitu PDRB non-minyak dan gas (non-
dan Alat
migas), pertumbuhan ekonomi, dan jumlah penduduk. Alat analisis
Analisis
yang digunakan yaitui analisis kuantitatif deskriptif dengan beberapa
alat analisis, yaitu Tipologi Kabupaten/Kota, Analisis Overlay,
Transformasi Struktural Kesimpulan yang dapat ditarik
berdasarkan hasil
kesimpulan
analisis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut. Pertama, berdasarkan hasil analisis tipologi kabupaten/kota
dan autokorelasi spasial Moran’s I diperoleh bahwa sebagian besar
kabupaten/kota di bagian timur Pulau Kalimantan termasuk dalam
daerah cepat maju tumbuh. Konsentrasi pertumbuhan ekonomi di
Pulau Kalimantan tersebar di bagian timur dan barat. Klaster di
bagian timur Pulau Kalimantan, meliputi Kabupaten Malinau,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kota Bontang, Kabupaten Kutai
Timur, dan Kabupaten Berau memiliki konsentrasi pertumbuhan hot
spot (klasterisasi tinggi).
28

Judul
Analisis Penentuan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi Di
Kabupaten Simalungun
Penulis Pandapotan T.P Nainggolan
Jenis Data Time Series

Model Dan Variabel yang digunakan penduduk, kesempatan kerja,


Alat Analisis
pendapatan, pengeluaran, jarak. Alat analisis yang digunakan adalah
Analisis Gravitasi, Skalogram dan Indeks Sentralitas
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis skalogram dan indeks sentralitas terdapat 5
kecamatan yang ditetapkan sebagai kecamatan pusat pertumbuhan.
Berdasarkan hasil analisis gravitasi menunjukkan bahwa kecamatan
pusat pertumbuhan Siantar memiliki hubungan interaksi yang paling
kuat dengan Kecamatan Gunung Malela sebagai wilayah hinterlandnya.

Judul
Interaksi Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Jember dan
Kontribusinya Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun 2004-
2008
Penulis Haris Susanto (2014)
Jenis Data Data Sekunder

Model Dan Variabel yang digunakan variabel jumlah penduduk dan jarak
Alat Analisis
antar wilayah. Alat analisis yang digunakan adalah Analisis Gravitasi,
Skalogram dan Indeks Sentralitas
Kesimpulan
Hasil analisis gravitasi menunjukkan kecamatan yang ada di Kabupaten
Jember pada umumnya memiliki interaksi yang cukup tinggi terhadap
wilayah pusat pertumbuhan ditingkat kecamatan. Sedangkan tingkat
kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap total penerimaan
Pendapatan Asli Daerah rata-rata mengalami kenaikan di tiap tahunya
walaupun memiliki proporsi kontribusi yang cukup kecil terhadap total
penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
29

Judul
Peran Dan Fungsi Ibu Kota Kecamatan Lasem Sebagai Pusat
Pertumbuhan Di Kabupaten Rembang
Penulis Dita Hestuadiputri (2007)
Jenis Data Data Primer dan Data Sekunder

Model Dan Variabel yang digunakan dalam peneltian ini yaitu Aktivitas
Alat Analisis
penduduk, jarak fasilitas, fasilitas pelayanan. Alat analisis yang
digunakan Indeks sentralis berbobot, identifikasi, mean centre, standart
distance
Kesimpulan
Analisis wilayah pengaruh dan analisis interaksi pusat pertumbuhan
dengan wilayah belakangnya menunjukkan bahwa peran IKK Lasem
sebagai pusat pertumbuhan telah mampu menjadi penarik tandingan
bagi pusat pertumbuhan di Kecamatan Rembang.

Judul
Analisis Penentuan Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi dan Interaksi
antar Kecamatan di Kabupaten Pringsewu
Penulis Ade Pratama Poetra (2016)
Jenis Data Data Sekunder

Model dan Variabel yang digunakan Jumlah penduduk, Jarak antar


Alat Analisis
wilayah, jumlah fasilitas. Alat analisis yang digunakan adalah analisis
Tipologi Klassen, skalogram, indeks sentralis, skala ordinal

kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis skalogram, indeks sentralitas dan skala
ordinal yang dilakukan dengan menggunakan 40 jenis fasilitas yang
dijadikan sebagai indikator terdapat 1 kecamatan yang ditetapkan
sebagai kecamatan pusat pertumbuhan yaitu Kecamatan Pringsewu,
karna memiliki hierarki dan skor tertinggi.

C. Kerangka Pemikiran

Setiap wilayah mempunyai daerah yang menjadi pusat pertumbuhan bagi daerah- daerah
30

tertinggal di sekitarnya. Untuk mengindentifikasi kabupaten/kota di Provinsi Banten yang

menjadi pusat pertumbuhan dalam penelitian ini yaitu langkah pertama melakukan analisis

tipologi klassen, tipologi klasen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang kondisi

dan struktur pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah yang dikaitkan dengan

perekonominan diatasnya.

Tahapan selanjutnya yaitu menggunakan alat analisis skalogram dan indeks sentralitas

dengan mengunakan variabel fasilitas dan potensi ekonomi yang terdapat pada masing-

masing kabupaten/kota. Fasilitasnya berupa fasilitas pendidikan, kesehatan, dan variabel

potensi ekonomi yang digunakan yaitu (pariwisata, perikanan dan industri) serta variabel

kepadatan penduduk. Setelah hasil analisis skalogram dan indeks sentralitas ditemukan,

selanjutnya dari hasil tersebut akan ditentukan prioritas atau rangking dari masing-masing

kabupaten/kota dengan skala ordinal.

Setelah wilayah pusat pertumbuhan di temukan tahapan selanjutnya yaitu mencari interaksi

dan keterkaitan spasial wilayah pusat pertumbuhan terhadap daerah hinterland-nya .

Untuk mencari interaksi spasial antara wilayah pusat pertumbuhan dengan daerah

disekitarnya mengunakan indeks gravitasi. Indeks gravitasi digunakan untuk mengetahui

seberapa besar nilai interaksi pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya. Nilai interaksi

yang paling tinggi menunjukan antar daerah tersebut memiliki interaksi spasial yang kuat,

variabel yang digunakan dalam analisis indeks gravitasi ini mengunakan variabel jumlah

penduduk dengan jarak antar wilayah. Hasil dari indeks gravitasi ini juga akan dilakukan

skoring untuk memperoleh urutan rangking (penentuan prioritas) kekuatan interaksi

dengan skala ordinal. Tidak hanya interaksi spasial saja yang dicari, namun dalam

penelitian ini juga dicari keterkaiatan spasial antara daerah pusat pertumbuhan dengan

daerah belakangnya menggunkan Indeks Moran.


31

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Pemikiran

F . Hipotesis

1. Diduga Kota Tangerang Selatan yang memiliki jumlah fasilitas dan jumlah

kepadatan penduduk yang relatif tinggi akan menjadi wilayah pusat pertumbuhan

dan sesuai dengan penetapan pusat pertumbuhan di RPJMD.

2. Diduga Kota Tangerang memiliki nilai interaksi spasial tertinggi dengan wilayah

pusat pertumbuhan Kota Tangerang Selatan.


32

3. Diduga terdapat keterkaitan spasial antar kabupaten atau kota di Provinsi Banten.
III. METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Wilayah yang menjadi daerah penelitian adalah wilayah Provinsi Banten, yang secara administratif terdiri dari 4

kabupaten dan 4 kota, untuk wilayah kabupaten diantaranya kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kabupaten

Lebak, Kabupaten Pandeglang dan untuk wilayah kota diantaranya Kota Tangerang Selatan, Kota Serang, Kota Cilegon

dan Kota Tangerang. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data runtun waktu ( t i m e s e r i e s ) tahun

2011-2016.

B. Jenis dan Sumber Penelitian

Jenis penelitian ini berupa penelitian deskriptif kuantitatif, karena penelitian ini disajikan dengan angka-angka.

Penelitian kuantitatif merupakan tipe penelitian yang mempergunakan data penelitian berupa angka-angka dan analisis

menggunakan statistik. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti akan menyajikan hasil perhitungan dan menjelaskan

secara deskriptif terhadap data yang ada (Sugiyono, 2011:14).

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder adalah data yang telah

dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data (Kuncoro, 2009).

Data sekunder yang digunakan diperoleh dari statistik ekonomi seperti BPS Provinsi Banten dan instansi terkait.
33

C. Metode AnalisisData

1. Alat Analisis Untuk Mengetahui Gambaran dan Kondisi Struktur Pertumbuhan Ekonomi Di

Provinsi Banten

1.1 Analisis Tipologi Klassen

Analisis tipologi klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang kondisi dan

struktur pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah yang dikaitkan dengan perekonominan

diatasnya, dalam penelitian ini yang menjadi wilayah referensi adalah Provinsi Banten dan

wilayah analisisnya adalah masing-masing kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten dan

dibagi menjadi 4 kuadran (Sjafrizal, 2014:198-199), sebagai berikut:

a) Kuadran pertama adalah daerah cepat maju dan cepat tumbuh yaitu daerah yang

memiliki tingkat PDRB perkapita dan laju pertumbuhan yang lebih unggul

dibandingkan dengan wilayah referensi. Kuadran pertama memberikan gambaran

wilayah dengan kondisi perekonomian yang baik.

b) Kuadran kedua adalah daerah maju tapi tertekan yaitu daerah yang memiliki tingkat

PDRB perkapita yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah referensinya, tetapi

laju pertumbuhan ekonominya lebih kecil dari pada wilayah referensinya.

c) Kuadran ketiga adalah daerah berkembang cepat, daerah ini memiliki tingkat PDRB

Perkapita lebih kecil dibandingkan dengan wilayah referensinya, tetapi laju

pertumbuhan ekonominya lebih besar dari pada wilayah referensinya.

d) Kuadran keempat adalah daerah relatif tertinggal yaitu daerah yang memiliki tingkat

PDRB perkapita dan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil dibandingkan

wilayah referensinya.

Data yang digunakan dalam analisis tipologi klassen, yaitu data rata-rata laju pertumbuhan

ekonomi (PDRB) kabupaten/kota Provinsi Banten atas dasar harga berlaku tahun 2010.
34

Laju pertumbuhan ekonomi merupakan data yang menunjukan perkembangan agregat

pendapatan dari satu waktu tertentu terhadap waktu sebelumnya, diperoleh dengan cara

mengurangi nilai PDRB (ADHK 2010) pada tahun ke-n (tahun dasar) terhadap nilai pada

tahun ke n-1(tahun sebelumnya) dibagi dengan niali PDRB tahun ke n-1, dikali 100. Dengan

menjumlahkan hasil perhitungan pada setiap tahun dan di bagi banyaknya tahun maka

diperoleh nilai rata-ratanya.

2. Alat Analisis Untuk Mengidentifikasi Pusat Pertumbuhan

2.1 Analisis Skalogram

Analisis sklagoram ini sering juga disebut sebagai metode analisis skala Guttman . Dalam

jurnal Gaffara (2015) menerangkan bahwa metode analisis skala Guttman merupakan suatu

teknik skala, yang memiliki sedikit perbedaan dengan teknik- teknik skala lainnya, yaitu

metode yang menuliskan ada atau tidaknya suatu fungsi (fasilitas dan potensi ekonomi) di

suatu wilayah, dengan mengisikan angka 1 bila suatu fungsi tersebut terdapat pada suatu

wilayah dan mengisikan anggka 0 jika tidak ada.

Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran hierarki atau urutan peringkat wilayah

berdasarkan jenis dan jumlah unit prasarana pembangunan dari yang paling banyak sampai

paling sedikit. Sehingga analisis skalogram dalam penelitian ini juga menggunakan metode

menuliskan ada atau tidaknya fasilitas dan potensi ekonomi di suatu wilayah, yaitu dengan

mengisikan angka 1 bila fasilitas dan potensi ekonomi tersebut terdapat pada suatu wilayah

dan mengisikan anggka 0 bila jika tidak ada. Semua jumlah fasilitas dan potensi ekonomi yang

dimiliki setiap unit wilayah disusun dalam suatu tabel dan kemudian dicari hierarki atau

kelompok wilayahnya (Rodinelli, 1985:115).

Kelemahan dari analisis skalogram adalah tidak mempertimbangkan frekuensi setiap jenis
35

fasilitasnya. Sedangkan untuk menentukan kabupaten/kota sebagai pusat pertumbuhan tidak

hanya berdasarkan keberadaan setiap jenis fasilitasnya tetapi juga dengan mempertimbangan

frekuensinya. Dalam prakteknya di lapangan hendaknya matriks fungsi dengan metode

skalogram ini dilengkapi dengan data- data yang disusun melalui matriks fungsi lainnya

dimana data-data yang disampaikan dihitung secara lebih detail dengan menggunakan teknik

pembobotan (indeks sentralitas), pemberian ranking dan sebagainya (Riyadi dalam Poetra,

2016).

Tahapan penyusunan analisis skalogram menurut Rondinelli dan Budi harsono dalam Mulyadi

(2007:11) sebagai berikut:

a) Membuat urutan kabupaten atau kota berdasarkan jumlah dari semua fasilitas (pendidikan,

kesehatan, peribadatan) dan potensi ekonomi yang digunakan pada pada bagian atas tabel

b) Membuat urutan fasilitas yang ditentukan berdasarkan frekuensi pada bagian kiri tabel.

c) Menggambar garis kolom dan baris sehingga lembar kerja tersebut membentuk matriks

yang menampilkan fasilitas yang ada pada masing-masing wilayah kabupaten atau kota.

d) Mengunakan tanda (1) pada sel yang menyatakan keberadaan suatu fasilitas pada suatu

wilayah dan tanda (0) pada sel yang tidak memiliki fasilitas. Wilayah
36

e) dengan jumlah tanda (1) terbanyak akan menjadi wilayah yang memiliki

kelengkapan fasilitas.

f) Mengalikan kolom-kolom yang telah disusun dengan nilai indeks sentralitas masing-

masing.

g) Langkah terakhir yaitu mengidentifikasi peringkat/hierarki kota yang dapat

diinterpretasikan berdasarkan nilai keberadaan fasilitas pada suatu wilayah. Semakin tinggi

nilainya, maka hierarki kota tersebut akan semakin tinggi.

h) Menyusun ulang baris dan kolom berdasarkan frekuensi keberadaan fasilitas, semakin

banyak fasilitas yang ada pada suatu wilayah kota, maka wilayah tersebut berada di kolom

sebelah kiri, semakin banyak wilayah yang memiliki fasilitas tersebut, maka jenis fasilitas

tersebut berada pada kolom paling bawah.

Untuk menentukan orde-orde pusat pertumbuhan maka digunakan metode Struges.

Rumus untuk mencari banyaknya kelas dari tiap-tiap kabupaten atau kota sebagai

pusat pertumbuhan adalah sebagai berikut: k = 1 +

3,3 log n

Keterangan:
k = banyaknya kelas
n = banyaknya kecamatan

Selanjutnya untuk menentukan besarnya interval kelas, dengan cara:

/= A- B k

Keterangan:
A = jumlah fasilitas tertinggi B =
jumlah fasilitas terendah k =
banyaknya kelas
37

Setelah orde didapatkan maka selanjutnya menentukan hierarki dengan menggunakan orde

terkecil sebagai hierarki tertinggi. Jika orde yang lebih tinggi didapat tapi tidak ada daerah

yang memenuhi keriteria tersebut maka daerah dengan orde yang lebih rendah akan

mendapatkan hierarki yang lebih tinggi.

2.2 Indeks Sentralitas

Indeks sentralitas (Centrality Indeks Analysis) merupakan langkah lanjutan dari analisis

skalogram yang dalam analisisnya tidak hanya berdasarkan jumlah fungsi atau fasilitas

pelayanan yang ada pada suatu wilayah, tetapi juga berdasarkan frekuensi keberadaan fungsi

atau fasilitas tersebut pada wilayah yang ditinjau. Frekuensi keberadaan fungsi menunjukan

jumlah fungsi sejenis yang ada dan tersebar di wilayah tertentu (Muta’ali, 2003).

Menurut Riyadi dalam Ermawati (2010) perbedaan indeks sentralitas dan skalogram adalah

pada indeks sentralitas dilakukan penilaian berdasarkan bobot dari setiap jenis fungsi yang

ada, sehingga disebut juga dengan indeks sentralitas berbobot. Pengukuran tingkat sentralitas

didasarkan pada jumlah fungsi atau fasilitas pelayanan pada suatu wilayah berdasarkan

frekuensi keberadaan fungsi atau fasilitas tersebut pada suatu wilayah terkait. Fungsi alat

analisis indeks sentralitas ini sama dengan analisis skalogram, yaitu digunakan untuk

mengetahui struktur atau hierarki pusat pertumbuhan ekonomi yang ada dalam suatu wilayah

dengan menghitung berapa jumlah fungsi yang ada, berapa jenis fungsi serta seberapa besar

frekuensi keberadaan suatu fungsi dalam satu satuan wilayah.

Oleh karena itu, untuk mengetahui pusat pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah dalam

penelitian ini menggunakan analisis skalogram dengan menggabungkan analisis indeks

sentralitas dengan teknik pembobotan dan pemberian rangking

dengan skala ordinal.


38

Tahapan dalam metode ini antara lain:

1. Kabupaten/kota di Provinsi Banten disusun urutannya berdasarkan jumlah dan jenis

fasilitas yang ada pada wilayah tersebut.

2. Fasilitas disusun urutannya berdasarkan kabupaten/kota yang memiliki jenis fasilitas

tersebut.

3. Peringkat fasilitas disusun urutannya berdasarkan total nilai fasilitas.

4. Peringkat kabupaten/kota disusun urutannya berdasarkan jumlah total fasilitas yang

dimiliki oleh masing-masing kabupaten/kota.

5. Setelah didapatkan nilai indeks fungsi (indeks sentralitas) masing-masing kabupaten/kota,

selanjutnya disusun ulang urutannya berdasarkan fungsi dari kabupaten/kota dengan nilai

indeks terbesar sampai yang terkecil (Budiharsono, 2005:26).

Rumus nilai sentralitas adalah:

_t_T

Keterangan:

C = bobot dari atribut fungsional suatu fasilitas t = nilai

sentralitas total yaitu 100 T = jumlah total dari atribut

dalam sistem

3. Skala Ordinal

Skala ordinal dalam penelitian ini digunakan untuk menentukan prioritas atau rangking dalam

rangka untuk mengurutkan wilayah yang mempunyai hasil tertinggi

sampai yang terendah dari analisis skalogram dan indeks sentralitas. Dilakukan dengan cara

memberikan skor pada masing-masing analisis kemudian skor tersebut ditotal dan dilakukan

perangkingan, yang memeperoleh skor terbanyak akan memperoleh rangking yang pertama

dan sebaliknya. Besarnya kelas interval diperoleh dari selisih aspek tertinggi-terendah dibagi

jumlah kelas berikut ini contohnya.


39

Tabel 3.1 Penentuan Skoring Setiap Aspek


No Kelas Interval Skor

1 Kelas interval rendah 1


2 Kelas interval sedang 2

3 Kelas interval cukup 3


4 Kelas interval tinggi 4

5 Kelas Interval sangat tinggi 5


Sumber: Farida, 2017.

Tabel 3.2 Contoh Merangking dalam Rangka Pengambilan Keputusan


No Kab/kota Analisis Analisis Kepadatan
skalogram sentralis penduduk Total Rangking skor
Kab
1 - - - --
Pandeglang
2 Kab Lebak - - - --
3 Kab Tangerang - - - --
4 Kab Serang - - - --
5 Kota Tangerang - - - --
6 Kota Cilegon - - - --
7 Kota Serang - - - --
8 Kota Tangsel - - - --
Sumber: Farida, 2017

Berikut ini langkah-langkah dalam analisis skalogram dan indeks sentralitas dengan skala

ordinal:

1. Kolom pertama diisi dengan jenis fungsi (jenis fasilitas dan potensi ekonomi) yang terdiri

dari 33 jenis fungsi, pengisian kolom jenis fungsi diisi dengan nilai
40

1 jika ada fasilitas dan potensi ekonomi tersebut di suatu wilayah atau 0 jika tidak ada.

2. Kolom selanjutnya adalah kolom yang diisi nama-nama 8 kabupaten/kota yang ada di

Provinsi Banten.

3. Pada baris total fungsi (jenis fasilitas dan potensi ekonomi) diisi dengan menjumlahkan

masing-masing fungsi yang ada pada setiap kabupaten/kota (setiap baris).

4. Pada kolom jumlah jenis fungsi diisi dengan menjumlahkan jenis fungsi yang ada dari

seluruh kabupaten/kota (setiap kolom).

5. Setelah total fungsi ditemukan, selanjutnya akan dicari tingkat/kelompok hierarki wilayah,

dalam menentukan kelompok hierarki terlebih dahulu harus dicari jumlah kelas dan

interval kelasnya dengan rumus.

Rumus mencari banyaknya kelas dengan menggunakan metode Strugess (Gulo,

2015).

k = 1 + 3,3 Log n

Keterangan:

k = banyaknya kelas (tingkat hirarki) n =

banyaknya kabupaten/kota.

Selanjutnya rumus untuk menentukan besarnya interval kelas:


Keterangan:
A—
/= B
k

A = jumlah fasilitas tertinggi B =

jumlah fasilitas terendah k =

banyaknya kelas (tingkat hierarki)


41

6. Setelah banyaknya kelas dan besarnya interval kelas ditemukan, hierarki wilayah dapat

ditentukan wilayah yang memiliki hierarki kecil misalnya hierarki I merupakan wilayah

yang menjadi tingkat hierarki tertinggi berarti memiliki kelas interval yang tertinggi juga

dan dan sebaliknya.

7. Selanjutnya hasil tersebut diurutkan berdasarkan besarnya tingkatan hierarkinya, supaya

lebih mudah dalam membaca hasil analis skalogramnya.

8. Setelah analisis skalogram selesai selanjutnya dari hasil analisis tersebut akan dilakukan

skoring mengunakan skala ordinal, jumlah skor yang diberikan berdasarkan besarnya

kelas interval dan jumlah kelas yang harus dicari terlebih dahulu seperti dalam

menentukan tingkatan hierarki yang sudah dibahas sebelumnya.

9. Selanjutnya akan mencari nilai indeks sentralitas. Dengan cara membuat tabel baru yang

sama seperti cara analisis skalogram dan mengalikan setiap kolom dan baris yang

berisikan dengan angka 1 dan 0 dengan jumlah frekunsi masing- masing fungsi.

10. Setelah itu jumlah frekuensi masing-masing fungsi dicari nilai bobot sentralitasnya

dengan rumus bobot fungsi.

11. Setelah itu pada baris total fungsi dan jumlahkan nilai bobot sentraliats tersebut pada

setiap masing-masing jenis fungsi yang ada pada setiap wilayah (setiap baris). Pada kolom

jumlah jenis fungsi diisi dengan menjumlahkan jenis fungsi yang ada dari seluruh

kabupaten/kota (setiap kolom), penjumlahan tersebut akan menghasilkan nilai indeks

sentralitas.

12. Dari nilai indeks tersebut kemudian akan ditentukan hierarki pusat pertumbuhan ekonomi

tingkat kabupaten atau kota.

13. Setelah nilai indeks sentralitas diperoleh, selanjutnya hasil analisis tersebut akan

dilakukan skoring mengunakan skala ordinal dan variabel kepadatan penduduk juga akan
42

dilakukan skoring, jumlah skor yang diberikan berdasarkan besarnya kelas interval dan

jumlah kelas yang harus dicari terlebih dahulu seperti dalam menentukan tingkatan

hierarki yang sudah dibahas sebelumnya.

14. Semua hasil skoring kemudian direkap dalam satu tabel dan akan dilakukan perangkingan

untuk menentukan prioritas wilayah pusat pertumbuhan, yang mendapatkan rangking

tertinggi merupakan wilayah yang mendapatkan skor paling banyak.

Data-data yang digunakan dalam analisis indeks skalogram dan indeks sentralitas meliputi

data fasilitas-fasilitas, data kepadatan penduduk, data jumlah penduduk yang ada di

kabupaten/kota di Provinsi Banten. Fasilitas-fasilitas yang digunakan, seperti fasilitas

pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, fasilitas ekonomi dan potensi ekonomi.

4. Alat Analisis Untuk Mencari Nilai Kekuatan Interaksi Spasial Antar Wilayah 4.1 Analisis

Gravitasi

Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk melihat besarnya daya

tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu lokasi. Model ini sering digunakan untuk

melihat kaitan potensi suatu lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut.

Dalam perencanaan wilayah, model ini sering dijadikan alat untuk melihat apakah lokasi

berbagai fasilitas kepentingan umum telah berada pada tempat yang benar. Selain itu juga

model ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal dalam pembangunan

fasilitas baru. Itulah sebabnya model gravitasi berfungsi ganda, yaitu sebagai teori lokasi dan

sebagai alat dalam perencanaan (Tarigan, 2005:148).

Dari beberapa alat ukur tersebut yang sering digunakan adalah jumlah penduduk, hal ini

dikarenakan data jumlah penduduk mudah didapatkan, selain itu juga jumlah penduduk sangat

terkait langsung dengan berbagai ukuran lain yang dikemumukan diatas. Faktor kedua yang
43

mempengaruhi interaksi itu adalah jarak antara kota A dan B. Jarak mempengaruhi keinginan

orang untuk bepergian karena untuk menempuh jarak tersebut diperlukan waktu, tenaga, dan

biaya. Semakin jauh jarak yang memisahkan kedua lokasi, semakin rendah keinginan orang

untuk berpergian.

Rumus Gravitasi secara umum adalah sebagai berikut (Tarigan, 2004:149) :

T = k PiP
ii J k
d .. b
d
ij

Selanjutnya penggunaan rumus gravitasi tersebut dapat disederhanakan menjadi (Daldjoeni

dalam Ermawati, 2010):

T
j = PlP2 d 2

Keterangan :

T= Besarnya interaksi antara kota/wilayah A dan B pi=

Jumlah penduduk kota/wilayah i (ribuan jiwa) p2= Jumlah

penduduk kota/wilayah j (ribuan jiwa) dij(d)= Jarak antara

kota i dan kota j (km) k = Bilangan konstanta berdasarkan

pengalaman b = Pangkat dari dij yang sering digunakan b

=2

Konsep dasar dari alat analisis gravitasi dalam penelitian ini adalah membahas mengenai

ukuran jarak wilayah antara pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya, sampai seberapa

jauh sebuah daerah yang menjadi pusat pertumbuhan mempengaruhi dan berinteraksi dengan

daerah sekelilingnya. Semakin besar nilai interaksinya menunjukkan semakin eratnya

hubungan interaksi antara pusat pertumbuhan dengan daerah belakangnya (hinterland).

Hubungan interaksi tersebut berupa hubungan ekonomi antar wilayah dan sosial

masyarakatnya. Untuk memudahkan dalam penentuan prioritas wilayah yang mempunyai


44

hubungan interaksi spasial yang kuat antara pusat pertumbuhan dengan daerah sekitarnya,

maka hasil perhitungan gravitasi akan dirangking mengunakan skala ordinal.

5. Alat Analisis Untuk Mengetahui Keterkaitan Spasial (SpatialAutocorrelation)

Keterkaitan spasial adalah taksiran dari korelasi antar nilai amatan yang berkaitan dengan

lokasi spasial pada variabel yang sama. Karekteristik dari autokorelasi spasial (Kosfeld dalam

Suchaini, 2013), yaitu:

a. Jika terdapat pola sistematis pada distribusi spasial dari variabel yang diamati, maka

terdapat autokorelasi spasial.

b. Jika kedekatan atau ketetanggaan antar daerah lebih dekat, maka dapat dikatakan ada

autokorelasi spasial positif.

c. Autokorelasi spasial negatif menggambarkan pola ketetanggaan yang tidak sistematis.

d. Pola acak dari data spasial menunjukkan tidak ada autokorelasi spasial.

Keterkaitan antar daerah mengindikasikan hubungan perekonomian antardaerah di suatu

wilayah tertentu yang menunjukkan adanya aliran atau distribusi barang, bahan baku dan

tenaga kerja. Keterkaitan perekonomian antar wilayah dapat terjadi secara langsung dan tidak

langsung. Keterkaitan langsung berupa aliran faktor- faktor produksi yang meliputi bahan

baku, tenaga kerja, modal dan jasa produksi.

Keterkaitan tidak langsung berupa transaksi pengeluaran para pekerja sektor basis

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Data yang digunakan untuk melihat keterkaitan antar wilayah di Provunsi Banten

adalah data rata-rata PDRB dan data PDRB berdasarkan sektor (sektor primer,

sekunder dan tersier). Alasan penggunaan data PDRB berdasarkan sektor yaitu karena

setiap kabupaten atau kota di Provinsi Banten mempunyai kontribusi sektor yang
45

berbeda satu sama lain. Keterkaitan antar sektor ekonomi dapat berupa keterkaitan

kedepan atau daya mendorong ( f o r w a r d l i n k a g e ) dan keterkaitan kebelakang

atau daya menarik ( b a c k w a r d l i n k a g e ) . Keterkaitan ke depan merupakan

hubungan penjualan barang jadi, sedangkan keterkaitan ke belakang merupakan

hubungan dengan bahan mentah atau bahan baku (Tarigan, 2005:104).

Untuk melihat keterkaitan perekonomian kabupaten/kota di Provinsi Banten,

digunakan Indeks Moran global (Asosiasi Spasial Global) dan L o c a l I n d i c a t o r

of Spasial association (LISA). Teknik-teknik ini dibuat untuk

mendeskripsikan dan memvisualisasikan sebaran spasial, mengidentifikasi lokasi

pemusatan ( c l u s t e r / h o t s p o t ) dan juga lokasi pencilan ( o u t l i e r ) (Suchaini,

2013).

1) Indeks moran global (Asosiasi spasial global) merupakan statistik yang digunakan

untuk mengetahui keterkaitan wilayah secara umum. Perhitungan indeks moran global

dengan matriks penimbang spasial W terstandarisasi diformulasikan dengan rumus

sebagai berikut:

a) Indeks Moran dengan matriks pembobot spasial tidak terstandarisasi W*

I = nZ”=i I”=i W*ij (Xj-x- )(x _ -)


y x
Zn 46
Dengan SO = y
W,

W * i j : Elemen pada pembobot spasial terstandarisasi antara daerah i dan j .

b) Indeks Moran dengan matriks pembobot spasial terstandarisasi W

x
j n^i=i^j=iwijixj—x- ')( j-x~>)
Yi'jl=i(xj-x- )2

dengan:
I : Indeks Moran n : banyaknya lokasi
kejadian x { . nilai pada lokasi i x f . nilai
pada lokasi j
x : rata-ratadari jumlah variabel atau nilai
W * j : elemen pada pembobot tak terstandarisasi antara daerah i dan j
W j : elemen pada pembobot terstandarisasi antara daerah i dan j

Rentang nilai dari Indeks Moran dalam kasus matriks pembobot spasial terstandarisasi

adalah -1 < I < 1. Nilai -1 < I < 0 menunjukkan adanya autokorelasi spasial negatif,

sedangkan nilai 0 < I < 1 menunjukkan adanya autokorelasi spasial positif, nilaiIndeks

Moran bernilai nol mengindikasikan tidak berkelompok. Nilai indeks moran tidak

menjamin ketepatan pengukuran jika matriks pembobot yang digunakan adalah

pembobot tak terstandarisasi. Rumus tersebut akan menghasilkan satu nilai indeks,

signifikansi dari nilai Indeks Moran dapat diketahui menggunakan pendekatan uji

normalitas dengan Z (Lee dan Wong, 2001).

Hipotesis yang diajukan adalah:

Ho : Tidak terdapat keterkaitan spasial Ha :


Terdapat keterkaitan spasial
47

Rumusan untuk pengujian signifikansi adalah sebagai berikut :

ZI = 1—^L~N(0,1)
Var (I)

Dimana:

1
EI =-
n- 1

Var I =

50

=1U1]=1 Wij

51 = \Tl=iT}=i(Wij + W i j ) 2

S 2= z u a ^ w i j + r j ^ w j i v

Jika Z(I) > Z1-a maka H0 ditolak (terdapat autokorelasi spasial positif).

2) Local Indicator of Spasial association (LISA)

L o c a l I n d i c a t o r o f S p a s i a l a s s o c i a t i o n (LISA) merupakan statistik

yang digunakan untuk mengetahui keterkaitan wilayah secara khusus. Anselin (1995)

menyarankan LISA sebaiknya memenuhi dua persyaratan yaitu:

a) LISA untuk setiap pengamatan mengindikasikan adanya pengelompokan spasial

yang signifikan di sekitar pengamatan.

b) Penjumlahan LISA disetiap ukuran lokal untuk semua pengamatan proporsional

terhadap ukuran global.

Tujuan dari LISA adalah mengidentifikasi pengelompokan lokal y a n g o u t l i e r

spasial. Rumusan dari Indeks Moran Lokal sebagai berikut :


48

( Yi-Y)Y?j= 1 Wi j (Y j - y )
' = Yf [ = 1( Y j - Y) 2 j N
49

Jika nilai Ii positif dan signifikan maka pengelompokan wilayah yang terjadi di sekitar

wilayah I merupakan pengelompokan wilayah yang memiliki karakteristik sama dengan

wilayah i. Sebaliknya, nilai Ii negatif dan signifikan maka pengelompokan wilayah yang

terjadi di sekitar wilayah I merupakan pengelompokan wilayah yang memiliki

karakteristik berbeda dengan wilayah i.

3) Moran’s Scaterplot

Pola pengelompokan dan penyebaran antar lokasi dapat disajikan dengan M o r a n ’ s

S c a t t e r p l o t y a n g menunjukkan hubungan antara nilai amatan pada suatu lokasi

(distandarisasi dengan rata-rata nilai amatan dari lokasi-lokasi yang bertetanggaan

dengan lokasi yang bersangkutan (Lee dan Wong, 2001).

S c a t t e r p l o t tersebut terdiri atas empat kuadran (Perobelli dan Haddad, 2003),

yaitu: Kuadran I ( H i g h - H i g h ) , menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan

tinggi dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi.

Kuadran II ( L o w - H i g h ) , menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan

rendah dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan tinggi.

Kuadran III (Low-Low), menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah

dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah dan termasuk kedalam

wilayah c o l d - s p o t .

Kuadran IV ( H i g h - L o w ) , menunjukkan lokasi yang mempunyai nilai amatan

tinggi dikelilingi oleh lokasi yang mempunyai nilai amatan rendah.

Kuadaran 2 (LH) Kuadran 1 (HH)

Kuadrab 3 (LL) Kuadran 4 (LL)


Gambar 3.1 Moran’s Scatterplot
50

4) Penentuan Penimbang Spasial W (Lokasi)

Penimbang spasial dilambangkan dengan W ditentukan berdasarkan pada dua

pendekatan yaitu persinggungan batas wilayah dan jarak. Penulis akan menggunakan

penimbang spasial yang didasari pendekatan wilayah tetangga karena berbatasan

wilayah dengan kriteria tetangga Q u e e n c o n t i q u i t y .

Wilayah
Wilayah yang
Bersinggungan
Batas
A C
B C
C A,B,D
D E,F
E D
F D
G H,C
H G,H

Gambar 3.2. Representasi Grafis Dari Lokasi Kabupaten/kota Di Provinsi Banten.

Keterangan angka :
A : Kota Cilegon
E : Kota Tangerang F : Kota
B : Kota Serang
Tangerang Selatan G : Kab.
C : Kab. Serang

D : Kab. Tangerang H : Kab. Pandeglang


51

Lebak
52

Gambar 3.2 disajikan untuk menghitung koefisien Moran yang berasaldari wilayah

Provinsi Banten. Penataan ruang pada Gambar 3.2 ditarik kesimpulan bahwa wilayah B

dan C bersinggungan batas satu sama lain, itulah sebabnya mengapa dalam matriks

bobot W* menambahkan 1 untuk elemen (B,C) dan (C,B) melanjutkan sesuai yang

dihadapi dengan wilayah lain.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan perumusan masalah yang telah ditetapkan dalam penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka pada

bab ini akan disajikan kesimpulan dan saran sebagai berikut ini :

A. Kesimpulan

1. Kota Tangerang Selatan, Kota Serang dan Kabupaten Lebak menjadi wilayah pusat pertumbuhan di Provinsi Banten

dan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam RPJMD Provinsi Banten. Namun ada satu wilayah yang berdasarkan

RPJMD yang tidak sesuai dengan hasil penelitian yaitu Kota Cilegon. Akan tetapi, pemerintah Provinsi Banten

mempunyai pertimbangan dan beberapa alasan terhadap penetapan Kota Cilegon sebagai wilayah pusat pertumbuhan

diantaranya Kota Cilegon mempunyai letak wilayah yang sangat strategis yaitu sebagai pintu gerbang antara Pulau

Sumatera dan Pulau Jawa, Kota Cilegon mempunyai akses jalan yang baik dan di Kota Cilegon juga terdapat pelabuhan

Merak.

2. Hasil analisis Interaksi/Gravitasi, Kota Tangerang Selatan memiliki nilai interaksi spasial tertinggi dengan Kota

Tangerang. Kota Serang memiliki nilai interaksi tertinggi dengan Kabupaten Serang. Sedangkan Kabupaten Lebak

memiliki nilai interaksi spasial tertinggi dengan Kabupaten Pandeglang.

3. Secara global maupun secara lokal, hasil perhitungan indeks moran’s memberikan hasil tidak terjadi keterkaitan spasial

berdasarkan rata-rata PDRB


91

4. antar kabupaten atau kota di Provinsi Banten. Namun berdasarkan sektoral

(sektor tersier), menunjukan hasil bahwa di kabupaten atau kota di Provinsi

Banten terdapat wilayah yang signifikan yaitu wilayah Kabupaten Tangerang

dan Kota Tangerang yang signifikan pada a = 5%. Hal ini membuktikan bahwa

wilayah tersebut mempunyai kesamaan karakteristik satu sama lain dan saling

terkait secara sektoral.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat dihasilkan beberapa saran sebagai


berikut:

1. Wilayah pusat pertumbuhan di Provinsi Banten berdasarkan RPJMD terdapat di

empat wilayah dan dari hasil analis penelitian ini ada satu wilayah yang tidak

termasuk yaitu wilayah Kota Cilegon. Untuk itu pemerintah Provinsi Banten

perlu meningkatkan kembali perekonomian di Kota Cilegon melalui peningkatan

PAD, penanaman modal atau investasi, perbaikan infrastruktur dan

pembentukan industri baru. Sehingga pemerintah Provinsi Banten tidak salah

menjadikan Kota Cilegon sebagai pusat pertumbuhan dalam RPJMD.

2. Kabupaten atau kota yang menjadi daerah h i n t e r l a n d dari pusat

pertumbuhan perlu diprioritaskan peningkatan sarana dan prasarana serta

infrastrukturnya melalui penambahan jalur rel Kereta Api (KA) dan

penambahan ruas jalan yang memadai terutama di wilayah Kabupaten Serang,

Raskabitung dan Kabupaten Pandeglang untuk menunjang interaksi dan

memperlancar kerjasama antara wilayah pusat pertumbuhan dengan daerah

h i n t e r l a n d masing-masing.
92

3. Pemerintah Provinsi Banten perlu memperhatikan keterkaitan antarwilayah

secara serius, terutama dalam menentukan arah kebijakan pembangunan. Aspek

kewilayahan (spasial) perlu menjadi pertimbangan dan perlu dikoordinasikan

secara bersama terutama wilayah-wilayah yang secara statistik mempunyai

keterkaitan spasial untuk menghindari ketimpangan dan tidak meratanya

pembangunan yang dilakukan. Untuk menunjang pemerataan tersebut,

pemerintah Provinsi Banten perlu melakukan kerjasama yang dapat mendorong

masuknya kegiatan investasi, melakukan sinergi program pembangunan secara

bersama dan melakukan peningkatan dan perbaikan fasilitas infrastrukur yang

diperlukan untuk menarik para investor.


DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, Rahardjo. 2005. D a s a r - d a s a r E k o n o m i W i l a y a h . Graha Ilmu. Jakarta.

Adisasmita, Rahardjo. 2013. T e o r i - T e o r i P e m b a n g u n a n E k o n o m i . Graha Ilmu.Yogyakarta.


Anselin, L. 1996. “The Moran Scatterplot as an ESDA Tool to Assess Local Instability in Spatial Association”. S p a t i a l
A n a l y t i c a l P e r s p e c t i v e s o n G/S.London. pp.111-125.
BPS. 2017. PDRB Tanggerang Selatan. B e r i t a R e s m i S t a t i s t i k . Banten. Indonesia.

BPS. 2017. PDRB Kabupaten Lebak. B e r i t a R e s m i S t a t i s t i k . Banten. Indonesia.

BPS. 2017. PDRB Serang. B e r i t a R e s m i S t a t i s t i k . Banten. Indonesia.

BPS. 2017. PDRB Kabupaten Serang. B e r i t a R e s m i S t a t i s t i k . Banten. Indonesia.


BPS. 2017. PDRB Kabupaten Tanggerang. B e r i t a R e s m i S t a t i s t i k . Banten. Indonesia.

BPS. 2017. PDRB Kabupaten Pandeglang. B e r i t a R e s m i S t a t i s t i k . Banten. Indonesia.

BPS. 2017. PDRB Cilegon. B e r i t a R e s m i S t a t i s t i k . Banten. Indonesia.

BPS. 2017. PDRB Tanggerang . B e r i t a R e s m i S t a t i s t i k . Banten. Indonesia.

BPS. 2016. Publikasi. Provinsi Banten. B a n t e n D a l a m A n g k a . 2 0 1 6 . Banten. Indonesia.

BPS. 2017. Publikasi. Provinsi Banten. B a n t e n D a l a m A n g k a . 2 0 1 7 . Banten. Imdonesia.


Christina, Maria. 2016. Analisis Pusat Pertumbuhan dan Autokorelasi Spasial di Kalimantan: Studi Empiris di 55
Kabupaten/Kota, 2000-2012. Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas, Gadjah Mada.
Daldjoeni, N. 1992. Geografi Baru: Organisasi Keruangan dalam Teori dan Praktek. Penerbit Alumni: Bandung.
Emalia, Zulfa dan Ratih, Arivina. 2015.T e o r i L o k a s i : K o n s e p d a n A p l i k a s i . Bandar Lampung: AURA.
Ermawati, 2010. Analisis Pusat Pertumbuhan Ekonomi Pada Tingkat Kecamatan Di Kabupaten Karanganyar Provinsi
Jawa Tengah. Skripsi, Fakultas Ekonomi. Universitas Sebelas Maret Surakarta : Surakarta.

Farida, Isti . 2017. Identifikasi Dan Interaksi Pusat Pertumbuhan Dengan Daerah Hinterland Di Provinsi Banten.
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas Lampung.

Perroux, F. (1950). Note Sur La Motion de Pole la Groisance. E c o n o m i c A p p l i o q - u c e . V o l . 8 pp 307-320.

Gulo, Yarman. 2015. Identifikasi Pusat-pusat Pertumbuhan dan Wilayah Pendukungnya Dalam Pengembangan Wilayah
Kabupaten Nias. Dinas Tata Ruang, Perumahan, dan Kebersihan Kabupaten Nias.

Hua, Liang. Yong, Zhao dan Wei, Yuan. 2016. T h e P r o b l e m s a n d M e a s u r e s o f N e w G r o w t h P o l e i n


T h e N o r t h w e s t R e g i o n o f C h i n a . Institute of Urban and Environmental Studies, CASS, Beijing, China.
Hestuadiputri, Dita. 2007. P e r a n Dan Fungsi Ibu Kota Kecamatan Lasem Sebagai Pusat
P e r t u m b u h a n D i K a b u p a t e n R e m b a n g . Tesis, Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan
Wilayah Dan Kota. Universitas Diponegoro Semarang.

Lee, J. dan Wong, D. W. S. (2001). S t a t i s t i c a l A n a l y s i s w i t h A r c v i e w G I S . New York: John Wiley and Sons.

Mulyadi. 2003. E k o n o m i S u m b e r D a y a M a n u s i a . PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Muta’ali, Lutfi. 1999. Penerapan Konsep Pusat Pertumbuhan Dalam Kebijaksanaan


P e n g e m b a n g a n W i l a y a h . Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Nainggolan, Pandapotan T.P. 2011. “A n a l i s i s P e n e n t u a n P u s a t - P u s a t


Pertumbuhan Ekonomi Di Kabupaten Simalungun”. Fakultas Ekonomi. Universitas Semarang.

Perobelli, F. S., dan Haddad, E. (2003). Brazilian Interregional Trade (1985-1996): An Exploratory Spatial Data Analysis.
Pratama, Ade. 2016. Analisis Penentuan Pusat-pusat Pertumbuhan Ekonomi dan Interaksi antar Kecamatan di
Kabupaten Pringsewu. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, Lampung.

Richardson, Harry W. 2001. D a s a r - d a s a r I l m u R e g i o n a l . Diterjemahkan oleh Paul Sitohang. Lembaga Penerbit


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Riyadi dan Bratakusumah, Deddy Supriyady. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah Strategi Menggali Potensi Dalam
Mewujudkan Otonomi Daerah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rodinelli, A Dennis. 1985. Applied Methods of Regional Analysis: The Spatial Dimensions of Development Policy. Bolder
and London: Westview Press.
Romzi, Kurniasari, Yuniarti. 2011. Analisis Dampak Spasial pada Peramalan Perekonomian dan Ketengakerjaan. Badan
Pusat Statistika. Jakarta.

Rustiadi Ernan, Sunsun Saefulhakim, Dyah R. Panuju. 2011. P e r e n c a n a a n d a n p e n g e m b a n g a n w i l a y a h .


Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sjafrizal. 2014. Perencanaan Pembangunan Dearah Dalam Era Otonomi. Rajawali Pers, Jakarta.

Suchaini, Udin. 2013. Industrial District Fenomena Aglomerasi dan Karakteristik Lokasi Industri. Dapur Buku. Jakarta.
Sugiyanto dan Sukesi. 2010. P e n e l i t i a n P e n g e m b a n g a n P u s a t - P u s a t P e r t u m b u h a n E k o n o m i d i
K a b u p a t e n L a m a n d a u . Fakultas Ekonomi Universitas Dr. Soetomo, Surabaya.
Suharyadi & Purwanto. 2008. Statistika untuk Ekonomi dan Keuangan Modern. Jakarta: Salemba Empat.

Todaro, Michael.P. dan Stephen C. Smith. 2008. P e m b a n g u n a n E k o n o m i E d i s i K e S e m b i l a n . Jakarta :


Erlangga

Tarigan, Robinson. 2005. E k o n o m i R e g i o n a l : T e o r i d a n A p l i k a s i . Jakarta : PT. Bumi Aksara.


Yudistri Pebrina, Intan. 2005. Analisis Pusat Pertumbuhan Ekonomi Pada Tingkat Kecamatan Di Kabupaten
Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Kajian Ekonomi Vol.4, No.1, 2005, 81-1.
Yuriantari, Nurmalia. 2017. Analisis Autokorelasi Spasialtitik Panas Di Kalimantan Timur Menggunakan Indeks Moran
dan Local Indicator Of Spatial Autocorrelation (LISA). FMIPA, Universitas Mulawarman.
http://silviatofanie.blogspot.co.id/2015/01/potensiekonomi-kotacilegon.html
https://banten.bps.go.id/publication/2017/08/11/provinsi-banten-dalam-angka-

2017.html

http://rtrw.bappeda.bantenprov.go.id/

www.bantenprov.go.id/upload/PPID_RPJMD_2012_2017.pdf

www.bantenprov.go.id/upload/buku_analisa_SHLD_2014.pdf

Anda mungkin juga menyukai