Anda di halaman 1dari 32

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya sehingga kami dapat
merampungkan penyusunan makalah pendidikan agama islam dengan judul "PERNIKAHAN DAN
KEWARISAN" tepat pada waktunya.

Penyusunan makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam merampungkan makalah ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan baik
dari segi penyusunan bahasa dan aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka
selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki
makalah ini.

Akhirnya penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil manfaatnya
dan besar keinginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk mengangkat permasalahan lain yang
relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah telah menetapkan aturan main bagi kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan ini dituangkan
dalam bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
manusia. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia secara sederhana adalah syariah atau hukum syara’
yang sekarang ini disebut hukum Islam.

Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di dunia, baik untuk mewujudkan kebahagiaan
di atas dunia maupun di akhirat kelak.

Dalam hukum perdata Islam banyak sekali aturan yang mengatur beberapa hal, diantaranya yaitu
tentang pernikahan dan kewarisan. Adanya hukum yang mengatur hukum pernikahan dan kewarisan
ialah untuk mendapatkan hukum yang relavansi dengan kehidupan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas penulis memandang perlu adanya rumusan masalah, yaitu
diantaranya sebagai berikut.

1. Apa pengertian dari pernikahan beserta bagian-bagian dari pernikahan?

2. Apa pengertian dari waris beserta bagian-bagian dari hukum waris?

C. Tujuan

Dalam penyusunan makalah ini, penulis memiliki bebarapa tujuan yang hendak dicapai yakni sebagai
berikut.

1. Untuk mengetahui pengertian pernikahan dan mengetahui bagian-bagian dari pernikahan.

2. Untuk mengetahui pengertian waris dan mengetahui bagian-bagian dari waris.


BAB II

PEMBAHASAN

A. PERNIKAHAN

1. Pengertian Pernikahan

Pernikahan adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari bahasa Arab yaitu
kata nikkah (bahasa Arab: ‫ ) النكاح‬yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari
kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: ‫ )نك اح‬yang berarti persetubuhan
(http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan).

Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram (Beni Ahmad Saebani,
2009:9).

Para fuqaha dan madzhab empat sepakat bahwa makna nikah atau zawaj adalah suatu akad atau suatu
perjanjian yang mengandung arti tentang sahnya hubungan kelamin. Perkawinan adalah suatu
perjanjian untuk melegalkan hubungan kelamin dan untuk melanjutkan keturunan.

Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-
laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Definisi itu memperjelas pengertian
bahwa perkawinan adalah perjanjian. Sebagai perjanjian, ia mengandung pengertian adanya kemauan
bebas antara dua pihak yang saling berjanji, berdasarkan prinsip suka sama suka. Jadi, ia jauh sekali dari
segala yang diartikan sebagai paksaan. Oleh karena itu, baik pihak laki-laki maupun pihak wanita yang
mau mengikat janji dalam perkawinan mempunyai kebebasan penuh untuk menyatakan, apakah
mereka bersedia atau tidak untuk melakukan pernikahan (Beni Ahmad Saebani, 2009:14).

Subtansi yang terkandung dalam syariat perkawinan adalah menaati perintah Allah serta sunnah Rasul-
Nya, yaitu menciptakan suatu kehidupan rumah tangga yang mendatangkan kemaslahatan, baik bagi
pelaku perkawinan itu sendiri, anak turunan, kerabat maupun masyarakat.
Menurut UU No 1 Tahun 1974 pasal 1 tentang Perkawinan, yang berisi sebagai berikut, “Perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Pengertian tersebut lebih dipertegas oleh KHI Pasal 2 bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan, untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.

2. Tujuan pernikahan

Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah
dari kebinasaan. Perkawinan adalah pranata yang menyebabkan seorang perempuan mendapatkan
perlindungan dari suaminya. Keperluan hidupnya wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga
berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, anak
yang dilahirkan tidak diketahui siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung jawab
menjaga dan mendidiknya. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab kalau tidak ada
pernikahan, manusia akan mengikuti hawa nafsunya sebagaimana layaknya binatang, dan dengan sifat
itu akan timbul perselisihan, bencana, dan permusuhan antara manusia, yang mungkin juga dapat
menimbulkan pembunuhan yang mendahsyat (Beni Ahmad Saebani, 2009:19).

Tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan akhlak manusia dan memanusiakan
manusia sehingga hubungan yang terjadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun
kehidupan baru secara sosial dan kultural. Hubungan dalam bangunan tersebut adalah kehidupan
rumah tangga dan terbentuknya generasi keturunan manusia yang memberikan kemaslahatan bagi
masa depan masyarakat dan Negara.

3. Rukun Pernikahan

Perkawinan dianggap sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun nikah menurut Mahmud Yunus
merupakan bagian dari segala hal yang terdapat dalam perkawinan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak
terpenuhi pada saat berlangsung, perkawinan tersebut dianggap batal (Beni Ahmad Saebani, 2009:107).

Dalam Komplikasi Hukum Islam (Pasal 14), rukun nikah terdiri atas lima macam, yaitu adanya:

a. Calon suami;
b. Calon istri

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi;

e. Ijab dan qobul;

4. Syarat-Syarat Pernikahan

Syarat-syarat sahnya nikah adalah:

a. Masing-masing kedua mempelai telah ditentukan, baik dengan isyarat, nama atau sifat atau
semacamnya.

b. Kerelaan kedua mempelai.

c. Yang melakukan akad bagi pihak wanita adalah walinya. Karena dalam masalah nikah Allah
mengarahkan perintahnya kepada para wali.

d. Ada saksi dalam akad nikah.

Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak kecuali saksi dari
orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut:

a. Islam

b. Baligh

c. Berakal

d. Merdeka

e. Laki-laki

f. Adil
5. Akad Pernikahan

Dalam hukum Islam, syarat sahnya pernikahan adalah akad. Akad nikah adalah dua istilah yang terdiri
dari lafazh akad dan nikah. Secara bahasa akad berarti ikatan, perjanjian atau kontrak.

Menurut istilah syara, pengertian akad adalah sebagai berikut:

a. Menurut Al-Zurjani, akad menurut syara adalah:

“Suatu ikatan yang membolehkan untuk melakukan sessuatu dengan adanya ijab dan kabul.”

b. Menurut Ibn Abidin yang yang dikutip Rachmat Syafe’i, akad adalah:

“perikatan yang ditetapkan dengan ijab-kabul berdasarkan ketentuan syara, yang berdampak pada
objeknya.”

Akad adalah suatu ikatan yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak yang terbentuk (wujud)
perkataan ijab dan Kabul.

6. Dasar Hukum Akad Nikah

Pernikahan adalah suatu perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Rasullah SAW. dan akadnya merupakan
suatu perjanjian dan ikatan yang tidak boleh dianggap main-main. Oleh karena itu, akad nikah harus
didasarkan pada landasan dan pondasi yang kuat, ibarat suatu bangunan yang kokoh dan kuat karena
pndasinya.

Secara umum, landasan akad nikah harus didasarkan pada tiga hal, berikut:

a. Keyakinan atau keimanan

b. Al-Islam

c. Al-Ihsan

Adapun dasar hukum secara khusus, dan lebih spesifik dalam pelaksanaan akad nikah adalah Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah SAW. sebagai dasar hukum akad nikah, antara lain sebagai berikut:

a. Surat An-Nisa ayat 21:

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur)
dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat.”

b. Surat Al-Maidah ayat 1:


“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…”

c. Suart Al-Baqarah ayat 221:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.”

7. Hikmah Pernikahan

Pernikahan dapat dikatakan sebagai perjanjian pertalian antara manusia laki-laki dan perempuan yang
berisi persetujuan secara bersama-sama menyelenggarakan kehidupan yang lebih akrab menurut
syarat-syarat dan hukum susila yang dibenarkan Tuhan Pencipta Alam (Beni Ahmad Saebani, 2009:127).

Pernikahan menjadikan proses keberlangsungan hidup manusia didunia ini berlanjut, dari generasi ke
generasi. Selain juga menjadi penyalur nafsu birahi, melalui hubungan suami istri serta menghindari
godaan syetan yang menjerumuskan. Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan laki-laki dan
perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan penghormatan
muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas didalam rumah tangganya seperti mengatur rumah,
mendidik anak, dan menciptakan suasana yang menyenangkan. Supaya suami dapat mengerjakan
kewajibannya dengan baik untuk kepentingan dunia dan akhirat
(http://islammakalah.blogspot.com/p/blog-page_27.html).

Rahmat Hakim memaparkan bahwa hikmah nikah adalah sebagai berikut:

a. Menyambung silaturahmi
b. Mengendalikan nafsu syahwat yang liar

c. Menghindari diri dari penzinaan

d. Estafeta amal manusia

e. Estetika kehidupankehidupano

Adapun hikmah yang lain dalam pernikahan yaitu:

a. Pernikahan dapat menciptakan kasih sayang dan ketentraman

b. Pernikahan dapat melahirkan keturunan yang baik

c. Dengan pernikahan, agama dapat terpelihara

d. Pernikahan dapat memelihara ketinggian martabat seorang wanita

e. Pernikahan dapat menjauhkan perzinahan

B. HUKUM WARIS

1. Pengertian waris

Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-
miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain',
atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan
itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

2. Tujuan Mempelajari Hukum Kewarisan

Para ulama menetapkan bahwa mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah, artinya kalau dalam
suatu masyarakat atau perkampungan tidak ada yang mempelajari ilmu faraidh maka berdosalah orang-
orang di kampung itu. Akan tetapi, jika ada yang mempelajari, walau hanya satu atau dua orang saja,
maka terlepaslah semuanya dari dosa.

Adapun tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris ialah agar kita dapat menyelesaikan maslah
harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan sampai ada yang dirugikan dan termakan
bagiannya oleh ahli waris yang lain (Moh. Muhibbin dan Abdul wahid, 2009:10).

Di samping itu, apabila hukum waris dipelajari dengan benar akan bermanfaat baik bagi dirinya maupun
untuk masyarakat, yang jelas akan dapat dimanfaatkan dalam kasus penyelesaian pembagian harta
waris di lingkungan keluarga, lebih lanjut dapat membantu kasus pembagian waris dimasyarakat.

Tidak jarang terjadi problem keluarga karena persoalan membagi waris, karena salah satu di antara
keluarga itu tidak mengerti tentang pembagian waris dalam agama, sehingga kadangkala sampai
terangkat ke sidang Pengadilan. Oleh karena itu, jika di antara anggota keluarga ada yang memahami
tentang hukum waris, kasus-kasus tersebut kiranya tidak sampai terangkat ke pengadilan. Dengan
demikian, tepatlah bila para ulama berpendapat bahwa mempelajari hukum waris adalah fardhu kifayah
(Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:11).

3. Dasar dan Sumber Hukum Kewarisan

Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama (Islam) adalah nash atau teks yang
terdapat di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi yang secara
langgung mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid,
2009:12).
a. Ayat-Ayat Al-Qur’an

”Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisaa’ ayat 7)

Ketentuan dalam ayat di atas, merupakan landasan utama yang menunjukkan, bahwa dalam Islam baik
laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan pengakuan
Islam, bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban.

Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui wanita sebagai subjek hukum, dalam
keadaan tertentu mempunyai hak waris, sedikit ataupun banyak yang telah dijelaskan dalam beberapa
ayat Al-Qur’an (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:13).

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat (kerabat yang tidak mempunyai hak warisan dari
harta benda pusaka), anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (pemberian
sekadarnya itu tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan atau sekadarnya) dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik.” (QS. An-Nisaa’ ayat 8)

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
(QS. An-Nisaa’ ayat 9)

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
(QS. An-Nisaa’ ayat 10)

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang
anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempua; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih
dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalka; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisaa’ ayat 11)

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli
waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. AN-Nisaa’ ayat 12)

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-
saudara laki dan perempuan maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisaa’ ayat 176)
b. Al-Hadis

Hadis Nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang kewarisa adalah sebagai berikut (Moh.
Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:17).

a. Hadis nabi dari Abdullah ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

Berikanlah faraidh (bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah kepada
laki-laki deri keturunan laki-laki yang terdekat.

b. Hadis Nabi yang diriwayatkan dari ‘Imron bin Husein menurut riwayat Imam Abu Daud:

Dari ‘Umron bin Husain bahwa seorang laki-laki mendatangi Nabi saw. sambil berkata: “Bahwa anak laki-
laki dari anak laki-laki saya meninggal dunia, apa yang saya dapat dari harta warisanya”. Nabi berkata:
“Kamu mendapat seperenam.”

c. Hadis Nabi dari Abu Hurairah menurut riwayat Imam ibnu Majah:

Dari Abu Hurairah dari nabi saw. Bersabda: “orang yang membunuh tidak bisa menjadi ahli waris.

d. Hadis Nabi dari Ibnu ‘Amr Al-Huseini menurut riwayat At-Tirmidzi:

Dari ‘Amr bin Muslim dari Thawus, dari Aisyah yang berkata: “Bersabda Rasulullah saw.: “Saudara laki-
laki ibu menjadi ahli waris bagi yang tidak ada ahli warisnya.”

c. Ijtihad Para ulama

Meskipun Al-Qur’an dan Al-Hadis sudah memberikan ketentuan terperinci mengenai pembagian harta
warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak
ditentukan dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis. Misalnya mengenai warisan banci (waria), diberikan
kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu apabila hanya bersama-sama dengan
ayah dan suami atau istri dan sebagainya (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:22).
4. Hak-Hak yang Dapat Dikeluarkan Sebelum Harta Waris Dibagikan Kepada Ahli Waris

Ada beberapa hak yang berkaitan dengan pembagian waris yang harus dipenuhi secara tertib, sehingga
apabila hak yang pertama atau yang kedua menghabiskan semua harta waris maka tidak lagi pindah
kepada hak-hak yang lain (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:51).

Sebelum harta peninggalan dibagi-bagikan, terlebih dahulu sebagai yang utama dari harta peninggalan
itu harus diambil hak-hak yang segera dikeluarkan untuk kepentingan-kepentingan berikut.

a. Tajhid atau Biaya Penyelenggaraan Jenazah

Tajhid ialah segala yang diperlukan oleh seseorang yang meninggal dunia mulai dari wafatnya sampai
kepada penguburannya. Di antara kebutuhan tersebut antara lain biaya memandikan, mengkafankan,
menguburkan, dan segala yang diperlukan sampai diletakkannya ke tempat yang terakhir.

Dalam mengeluarkan belanja-belanja itu, harus dituruti apa yang dipandang ma’ruf (baik) oleh agama,
yakni tanpa berlebih-lebihan dan tanpa terlalu menyedikitkan (menurut ukuran yang wajar). Sebab jika
berlebihan akan mengurangi hak ahli waris dan jika sangat kurang akan mengurangi hak si mayit.

Kewajaran dalam membelanjakan harta benda dianjurkan oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya
dalam Surah Al-Furqaan ayat 67:

ِ ‫ َوالَّ ِذينَ إِ َذا أَنفَقُوا لَ ْم يُس‬.٦٧


َ ِ‫ْرفُوا َولَ ْم يَ ْقتُرُوا َو َكانَ بَ ْينَ َذل‬
ً ‫ك قَ َواما‬

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”

b. Melunasi Hutang

Utang merupakan sesuatu yang harus dibayar oleh orang yang meninggal, apabila si mayit mempunyai
utang atau tanggungan belum dibayar ketika masih hidup di dunianya, baik yang berkaitan dengan
sesama manusia maupun kapada Allah yang wajib diambilkan dari harta peninggalannya setelah diambil
keperluan tajhid (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:52).

Utang ialah suatu tanggungan yang wajib dilunasi sebagai imbalan dari prestasi yang pernah diterima
oleh seseorang.

Adapun kewajiban-kewajiban terhadap Allah yang belum sempat ditunaikan seperti mengeluarkan
zakat, pergi haji, pembayaran kafarah, dan sebagainya, juga disebut hutang, secara secara majasy bukan
haqiqi, sebab kewajiban untuk menunaikan hak-hak tersebut bukan sebagai imbalan dari suatu prestasi
yang pernah diterimanya, tetapi sebagai pemulihan kewajiban yang dituntut sewaktu masih hidup.
Utang-utang itu dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Utang kapada Allah

2. Utang kepada sesama

Utang-utang tersebut harus dilunasi dari harta peninggalan si mati setelah dikeluarkan untuk membiayai
perawatannya. Melunasi utang adalah termasuk kewajiban yang utama, demi untuk membebaskan
pertanggungjawabannya dengan seeorang di akhirat nanti dan untuk menyingkap tabir yang membatasi
dia dengan surga.

c. Melaksanakan atau Membayar Wasiat

Wasiat ialah pesan seseorang untu memberikan sesuatu kapada orang lain setelah ia meninggal dunia.

Dasar ketentuan pengeluaran wasiat ialah firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 180:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Jika sebelum meninggal dunia seseorang telah berwasiat, maka dipenuhilah wasiat itu dari harta
peninggalannya dengan tidak boleh lebih dari 1/3 harta bila dia mempunyai ahli waris dan jika dia akan
berwasiat lebih dari 1/3 harus mendapat persetujuan ahli warisnya.

5. Rukun Mewarisi

Ada tiga unsur yang perlu diperhatikan dalam waris mewarisi, tiap-tiap unsure tersebut harus memenuhi
berbagai persyaratan. Unsur-unsur ini dalam kitab fiqh dinamakan rukun, dan persyaratan itu
dinamakan syarat untuk tiap-tiap rukun (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:56).

Rukun merupakan bagian dari permasalahan yang menjadi pembahasan. Pembahasan ini tidak
sempurna, jika salah satu rukun tidak ada misalnya wali dalam salah satu rukun perkawinan. Apabila
perkawinan dilangsungkan tanpa wali, perkawinan menjadi kurang sempurna, bahkan menurut
pendapat Imam Maliki dan Iman Syafi’i perkawinan itu tidak sah. Sehubungan dengan pembahasan
hukum waris, yang menjadi rukun waris-mewarisi ada tiga (tiga), yaitu sebagi berikut.

1. Harta peninggalan (mauruts)

2. Pewaris atau orang yang meninggalkan harta waris (muwarrits)

3. Ahli waris (waarist)


6. Syarat-Syarat Mewarisi

Waris-mewarisi berfungsi sebagai pergantian kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang
telah meninggal dunia dengan orang yang masih hidup yang ditinggalkannya (ahli waris). Oleh karena
itu, waris-mewarisi memerlukan syarat-syarat tertentu, yakni meninggalnya muwarrits (orang yang
mewariskan).

Kematian seseorang muwarrist itu menurut ulama dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai
berikut.

a. Mati haqiqi (mati sejati), yaitu hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu sudah berujud
padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh pancaindra dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian.

b. Mati hukmy (mati menurut putusan hakim), yaitu suatu kematian disebabkan adanya putusan
hakim, baik pada hakikatnya orang yang bersangkutan masih hidup maupun dalam dua kemungkinan
antara hidup dan mati.

c. Mati taqdiry (mati menurut dugaan), yaitu suatu kematian yang bukan haqiqi dan bukan hukmy,
tetapi semata-mata berdasarkan dugaan yang kuat.

7. Penggolongan Ahli Waris

Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga ) bagian, yakni (1) Ashabul furudh atau Dzawil furudh,
(2) Ashabah, dan (3) Dzawil arham.

a. Ashabul Furudh

Ashabul furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta peninggalan yang sudah ditentukan oleh Al-
Qur’an, As-Sunnah dan Ijmak. Adapun bagian yang sudah ditentukan adalah 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan
1/6.

Orang-orang yang dapat mewarisi harta peninggalan dari yang sudah meninggal dunia berjumlah 25
orang yang terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan.

Ahli waris dari laki-laki adalah sebagai berikut.

1. Anak laki-laki.

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki.

3. Ayah.

4. Kakek (ayah dari ayah).


5. Saudara laki-laki sekandung.

6. Saudara laki-laki seayah.

7. Saudara laki-laki seibu.

8. Keponakan laki-laki (anak laki-laki dari no.5).

9. Keponakan laki-laki ( anak laki-laki dari no.6).

10. Saudara seayah ( paman) yang seibu seayah.

11. Saudara seayah (paman) yang seayah.

12. Anak paman yang seibu seayah.

13. Anak paman yang seayah.

14. Suami.

15. Orang laki-laki yang memerdekakannya.

Apabila ahli waris di atas ada semuanya maka hanya 3 (tiga) ahli waris yang mendapatkan warisan, yaitu
sebagai berikut.

1. Suami

2. Ayah

3. Anak

Adapun ahli waris dari pihak perempuan ada 10 (sepuluh) orang, yaitusebagai berikut.

1. Anak perempuan.

2. Cucu perempuan dari anak laki-laki.

3. Ibu.

4. Nenek perempuan (ibunya ibu).

5. Nenek perempuan (ibunya ayah).

6. Saudara perempuan yang seibu seayah.

7. Saudara perempuan yang seayah.


8. Saudara perempuan yang seibu.

9. Istri.

10. Orang perempuan yang memerdekakannya.

Apabila ahli waris di atas ada semuanya, maka yang mendapatkan harta waris hanya 5 orang, yaitu:

1. Anak perempuan.

2. Cucu perempuan dari anak laki-laki.

3. Ibu.

4. Saudara perempuan seayah dan seibu.

5. Istri.

Andaikan ahli waris yang jumlahnya 25 orang itu ada semuanya maka yang berhak mendapatkan harta
warisan, adalah sebagai berikut.

1. Ayah.

2. Ibu.

3. Anak laki-laki.

4. Anak perempuan.

5. Suami/istri.

b. Ashabah

Kata ashabah secara bahasa (etimologi) adalah pembela, penolong, pelindung, atau kerabat dari jurusan
ayah. Menurut istilah faradhiyun adalah ahli waris yang dalam penerimaanya tidak ada ketentuan
bagian yang pasti, bisa menerima seluruhnya atau menerima sisa atau tidak mendapat sama sekali.
Denga kata lain, ahli waris ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak ditetapkan, tetapi bisa
mendapat semua harta atau sisa harta setelah dibagi kepada ahli waris (Moh. Muhibbin dan Abdul
Wahid, 2009:64).
Ahli waris ashobah akan mendapatkan bagian harta peninggalan, tetapi tidak ada ketentuan bagian yang
pasti. Baginya berlaku:

1. Jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta waris untuk ahli waris ashabah;

2. Jika da ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabah menerima sisa dari ashabul furudh
tersebut;

3. Jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabah tidak
mendapat apa-apa.

Ahli waris ashabah ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari garis keturunan
laki-laki, seperti anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki, kakek. Dalam keadaan tertentu anak perempuan
juga mendapat ashabah apabila ia didampingi atau bersama saudaranya laki-laki. Kelompok ashabah ini
menerima pembagian harta waris setelah selesai pembagian untuk ashabul furudh.

Yang termasuk ahli waris ashabah, yakni sebagai berikut.

1. Anak laki-laki.

2. Cucu laki-laki walaupun sampai ke bawah.

3. Bapak.

4. Kakek.

5. Saudara laki-laki kandung.

6. Saudara laki-laki seayah.

7. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung (keponakan).

8. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (keponakan).

9. Paman kandung.

10. Paman sebapak.

11. Anak laki-laki paman sekandung.


12. Anak laki-laki paman sebapak.

Ahli waris ashabah dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan sebagai berikut.

1. Ashabah Binnafsihi (dengan sendirinya).

2. Ashabah Bilghairi (bersama orang lain).

3. Ashabah Ma’al ghairi (kerena orang lain).

c. Dzawil Arham

Dzawil arham adalah setiap kerabat yang bukan dzawil furudh dan bukan pula ashabah. Atau atau dzawil
arham, ahli waris yang tidak termasuk ashabul furudh dan tidak pula ashabah. Mereka dianggap kerabat
yang jauh pertalian nasabnya, yaitu sebagi berikut.

1. Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan.

2. Anak laki-laki dan anka perempuan dari cucu perempuan.

3. Kakek pihak ibu (bapak dari ibu).

4. Nenek dari pihak kakek (ibu kakek0.

5. Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung sebapak maupun seibu).

6. Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu.

7. Anak (laki-laki dan perempuan) saudara perempuan (sekandung sebapak atau seibu).

8. Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara permpuan dari kakek.

9. Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu dengan kakek.
10. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu.

11. Anak perempuan dari paman.

12. Bibi pihak ibu (saudara peremuan dari ibu).

Di dalam Al-Qur’an tidak ada keterangan yang tegas tentang kedudukan dzawil arham sebagi ahli waris.
Oleh karena itu, ada sebagian fuqaha yang tidak menjadikan dzawil arham sebagai ahli waris, meskipun
dalam keadaan tidak ada orang lain yang akan mewarisi harta peninggalan si mayit. Sebagian ulama
yang lain menyatakan bahwa dzawil arham juga ahli waris yang berhak menerima bagian harta warisan
sekalipun ada dzawil furudh atau ashabah.

8. Sebab-Sebab Timbulnya Kewarisan Dalam Islam

Menurut Sayid Sabiq, seseorang dapat mewarisi harta peninggalan karena 3 (tiga) hal, yaitu sebab
hubungan kerabat/nasab, perkawinan dan wala’ (pemerdekaan budak). Adapun pada literatur hukum
islam lainnya disebutkan ada 4 (empat) sebab hubungan seseorang dapat menerima harta wrisan dari
seseorang yang telah meninggal dunia, yaitu:

a. Perkawinan,

b. Kekerabatan/nasab,

c. Wala’ (pemerdekaan budak), dan

d. Hubungan sesama islam.

9. Halangan Mewarisi/Hilanganya Hak Waris-Mewarisi

Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat menggugurkan hak seseorang untuk
mewarisi karena adanya sebab atau syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat
menerima hak waris (Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, 2009:75).
Hal-hal yang menyebabkan ahli waris kehilangan hak mewarisi atau terhalang mewarisi adalah sebagai
berikut.

a. Perbudakan

b. Pembunuhan

c. Berlainan agama

d. Berlainan Negara

10. Macam-Macam Furudhul Muqaddarah

Syariat Islam menetapkan jumlah furudhul muqaddarah (bagian-bagian yang sudah ditentukan) ada 6
(enam) macam, yaitu sebagai berikut:

a. Dua pertiga (2/3)

b. Sepertiga (1/3)

c. Seperenam (1/6)

d. Seperdua (1/2)

e. Seperempat (1/4)

f. Seperdelapan (1/8)

Disamping furudhul muqaddarah di atas, masih terdapat satu furudhul muqaddarah hasil ijtihad para
jumhur fuqaha, yaitu sepertiga sisa harta peninggalan.

Ahli waris yang Memiliki Furudhul Muqaddarah Bredasarkan Surah An-Nisaa’ ayat 11, 12, dan 176
sebagai berikut.

Para ahli waris yang memperoleh fard 2/3 (du pertiga) ada 4 (empat) orang, yaitu:

1. Dua anak perempuan atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan anak laki-
laki. Atau dengan kata lain mereka tidak bersama-sama dengan mu’ashshib-nya (orang yang menjadikan
ashabah).

2. Dua cucu perempuan pancar laki-laki atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit tidak
meningglkan:
a. Anak, dan

b. Cucu laki-laki

3. Dua orang saudari sekandung atau lebih, dengan dengan ketentuan apabila si mayit tidak
meninggalkan:

a. Anak,

b. Cucu,

c. Bapak,

d. Kakek,

e. Saudara laki-laki sekandung.

4. Dua orang saudari seayah atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:

a. Anak perempuan kandung,

b. Cucu perempuan pancar laki-laki,

c. Saudari kandung,

d. Bapak,

e. Kakek, dan

f. Saudara seayah.

Adapun saudara-saudari tunggal ibu tidak termasuk ahli waris yang memiliki bagian dua pertiga,
andaikata ia seorang diri ia tidak menerima 1/2 (seperdua) fardh (bagian).

Para ahli waris yang memiliki fardh 1/3 (sepertiga) ada 2 (dua) orang:

1. Ibu, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:

a. Anak,

b. Cucu, dan
c. Saudara-saudari lebih dari seorang, sekandung atau seayah atau seibu saja.

2. Anak-anak ibu (saudara seibu/saudara tiri bagi si mayit) laki-laki, maupun perempuan, dua orang
atau lebih, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:

a. Anak,

b. Cucu,

c. Bapak, dan

d. Kakek.

Para ahli waris yang mendapat fardh 1/6 (seperenam) ada 7 (tujuh) orang

1. Ayah, dengan ketentuan apabila si mayit meninggalkan:

a. Anak, dan

b. Cucu.

2. Ibu, dengan ketentuan apabila si mayit meninggalkan:

a. Anak,

b. Cucu, dan

c. Saudara lebih dari seorang.

3. Kakek shahih, apabila si mayit meninggalkan:

a. Anak, dan

b. Cucu.

4. Nenek shahihah, apabila si mayit tidak meninggalkan (tidak bersama-sama) dengan ibu.

5. Seorang saudara seibu, laki-laki maupun perempuan apabila si mayit tidak meninggalkan:

a. Anak,

b. Cucu,
c. Bapak, dan

d. Kakek.

6. Cucu perempuan pancar laki-laki seorang atau lebih, apabila si mayit meninggalkan (bersama-sama)
dengan seorang anak perempuan kandung.

7. Seorang saudari seayah atau lebih, apabila si mayit meninggalkan seorang saudara perempuan
sekandung, tidak lebih, dan tidak mennggalkan:

a. Anak laki-laki,

b. Cucu laki-laki,

c. Bapak,

d. Saudara laki-laki sekandung, dan

e. Saudara laki-laki seayah.

Para ahli waris yang menerima 1/2 (seperdua) ada 5 (lima) orang, yaitu:

1. Seorang anak perempuan, dengan ketentuan apabila ia tidak bersama dengan anak laki-laki yang
mu’ashshib-nya (tidak ada anak laki-laki).
2. Seorang cucu perempuan pancar laki-laki, dengan ketentuan apabila ia tidak bersama-sama dengan
anak permpuan atau cucu laki-laki yang menjadi mu’ashshib-nya.

3. Suami, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:

a. Anak dan

b. Cucu

4. Seorang saudari sekandung, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:

a. Anak laki-laki,

b. Cucu laki-laki,

c. Anak perempuan lebih dari seorang,

d. Cucu perempuan lebih dari seoarang,

e. Saudara laki-laki sekandung,

f. Bapak, dan

g. Kakek.

5. Seorang saudari seayah, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:

a. Anak laki-laki,

b. Cucu laki-laki,

c. Anak perempuan, lebih dari seorang,

d. Cucu perempuan, lebih dari seorang,

e. Bapak,

f. Kakek,

g. Saudara laki-laki sekandung,

h. Saudara perempuan sekandung, dan

i. Saudara laki-laki sebapak.


Para ahli waris yang mendapat 1/4 (seperempat) ada 2 (dua) orang, yaitu:

1. Suami, dengan ketentuan apabila si mayit meninggalkan:

a. Anak dan

b. Cucu.

2. Istri, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:

a. Anak dan

b. Cucu

Ahli waris yang mendapat fardh 1/8 (seperdelapan) 1 (satu) orang, yaitu:

1. Istri, seorang atau lebih dengan ketentuan apabila si mayit meninggalkan:

a. Anak dan

b. Cucu

Adapun fardh 1/3 (sepertiga) ada 2 (dua) orang, yaitu:

1. Ibu, dengan ketentuan apabila si mayit tidak meninggalkan:

a. Anak,

b. Cucu, dan

c. Saudara lebih dari seorang.

2. Saudara seibu (saudara tiri) lebih dari seorang, dengan ketentuan apabila si mayit tidak
meninggalkan:

a. Anak,

b. Cucu,

c. Bapak, dan

d. Kakek
11. Aul

Aul menurut bahasa (etimologi) berarti irtifa’: mengangkat. Dikatakan ‘alal miizaan bila timbangan itu
naik, terangkat. Kata aul ini terkadang berarti cenderung kepada perbuatan aniaya (curang). Arti ini
ditunjukkan di dalam firman Allah Surah An-Nisaa’ ayat 3:

“yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”

Secara terminologi (istilah) Aul adalah bertambahnya saham dzawil furudh dan berkurangnya kadar
penerimaan warisan mereka. Atau bertambahnya jumlah bagian yang ditentukan dan berkurangnya
bagian masing-masing ahli waris.

Pada masa rasulullah saw. dan kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq peristiwa aul belum pernah terjadi.
Aul pertama kali terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.

Contoh Aul:

Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri atas suami, du orang saudara perempuan sekandung.
Harta yang ditinggalkan setelah dipotong untuk biaya pemakaman dan keperluan yang lain, masih sisa
42 juta. Maka proses penyelesaiannya sebagai berikut:

Cara penyelesaiannya:

Ahli Waris

Bagian

Asal Masalah 6

Bagian yang diterima Suami :

1/2 3

3 x 6 juta = 18 juta

2 saudara perempuan sekandung

2/3 4

4x 6 juta = 24 juta

Jumlah 7

42 juta
Keterangan:

Jumlah asal masalah yang semula 6, kemudian di-‘aul-kan menjadi 7, sehingga uang 42 juta dibagi 7 = 6
juta.

12. Radd

Kata radd secara bahasa (etimologi) berarti I’aadah: menembalikan. Kata radd juga berarti sharf:
memulangkan kembali.

Radd menurut istilah (terminologi) adalah mengembalikan apa yang tersisa dari bagian dzawul furudh
nasabiyah kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka apabila tidak ada orang lain yang
berhak untuk menerimanya. Dengan demikian, radd merupakan kebalikan dari Aul. Apabila hata
peninggalan masih mempunyai kelebihan setelah dibagikan kepada seluruh ahli waris sesuai dengan
ketentuannya masing-masing dan tidak ada ahli waris yang mendapatkan ashabah, kelebihan harta
tersebut dikembalikan kepada ahli waris yang ada menurut pembagiannya masing-masing.

Rukun Radd

Radd tidak akan terjadi kecuali, bila ada tiga rukun:

a. Adanya pemilik fardh (shahibul fardh)

b. Adanya sisa peninggalan

c. Tidak adanya ahli waris ashabah


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pernikahan

Pernikahan atau perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan
kewajiban antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Perkawinan dianggap
sah bila terpenuhi syarat dan rukunnya.

Tujuan pernikahan yang sejati dalam Islam adalah pembinaan akhlak manusia dan memanusiakan
manusia sehingga hubungan yang terjadi antara dua gender yang berbeda dapat membangun
kehidupan baru secara sosial dan cultural. Hubungan dalam bangunan tersebut adalah kehidupan rumah
tangga dan terbentuknya generasi keturunan manusia yang memberikan kemaslahatan bagi masa depan
masyarakat dan negara.

Adapun hikmah dari pernikahan yaitu:

a. Pernikahan dapat menciptakan kasih sayang dan ketentraman

b. Pernikahan dapat melahirkan keturunan yang baik

c. Dengan pernikahan, agama dapat terpelihara


d. Pernikahan dapat memelihara ketinggian martabat seorang wanita

e. Pernikahan dapat menjauhkan perzinahan

2. Hukum Waris

Waris adalah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih
hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal
secara yar'i.

Harta yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang siapa yang
berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara mendapatkannya.

Aturan tentang waris tersebut ditetapkan oleh Allah melalui firman-Nya yang terdapat dalam Al-Qur’an,
terutama Surah An-Nisaa’ ayat 7, 8, 11, 12, dan 176, pada dasarnya ketentuan Allah yang berkenaan
dengan warisan telah jelas maksud, arah dan tujuannya. Hal-hal yang memerlukan penjelasan, baik yang
sifatnya menegaskan ataupun merinci, telah disampaikan oleh Rasulullah saw. melalui hadisnya. Namun
demikian penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasan di kalangan para
pakar hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam ajaran yang bersifat normatif. Aturan tersebut
yang kemudian diabadikan dalam lembaran kitab fiqh serta menjadi pedoman bagi umat muslim dalam
menyelesaikan permasalahan tentang kewarisan.

B. Saran

Semoga dengan adanya pembahasan ini bisa bermanfaat untuk semua orang. Penulis menyadari bahwa
penulis hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu penulis sadar bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis sangat harapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat
membuat yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Saebani, Beni Ahmad. 2009. Fiqh Munakahat. Bandung: CV Pustaka Setia

Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaharuan Hukum Positif di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika

Sumber Internet

http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan diakses pada tanggal 03 Desember 2014

http://islammakalah.blogspot.com/p/blog-page_27.html diakses pada tanggal 30 November 2014

Anda mungkin juga menyukai