Anda di halaman 1dari 14

SULAWESI TENGAH

1.1 Letak Astronomi dan Keadaan Geografi

Provinsi Sulawesi Barat adalah daerah yang terletak pada sisi barat Pulau Sulawesi yang
merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi ini terbentuk pada tanggal 5
Oktober tahun 2004 berdasarkan UU No 26 Tahun 2004 yang menetapkan Mamuju sebagai
ibukota provinsi. Secara geografis provinsi ini terletak pada 00 12'-30 38'LS dan 1180 43'15”-1190
54'3”BT .
Sulawesi Barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah di sebelah utara dan Selat
Makassar di sebelah barat. Sedangkan sebelah selatan dan timur dibatasai oleh Provinsi Sulawesi
Selatan. Secara topografi sulawesi barat merupakan daerah pegunungan sehingga memiliki
banyak aliran sungai yang cukup besar dan berpotensi untuk dikembangkan. Jumlah sungai yang
tergolong besar mengaliri wilayah sulawesi barat sebanyak delapan sungai.
Diantara sungai-sungai tersebut terdapat dua aliran sungai terpanjang yakni Sungai Saddang
yang mengaliri Tanah Toraja, Enrekang, Pinrang dan Polewali Mandar serta Sungai Karama
yang berada di wilayah kabupaten Mamuju. Panjang kedua sungai tersebut masing-masing
sekitar 150km. selain itu sulawesi barat terdapat 139 buah gunung. Gunung tertinggi adalah
Gunung Ganda Dewata dengan ketinggian 3.0—37 meter diatas permukaan laut yang menjulang
tegak di kabupaten Mamasa.
Luas wilayah Provinsi Sulawesi Barat tercatat 16.937,16 kilometer persegi yang meliputi 5
kabupaten. Kabupaten Mamuju merupakan kabupaten terluas dengan luas 8.014,06 kilometer
persegi atau meliputi 47,32 persen dari seluruh wilayah Sulawesi Barat. Sedangkan Kabupaten
Majene merupakan kabupaten terkecil dengan luas sekitar 5,59 persen atau sekitar 947,84. Jarak
ibukota provinsi ke ibukota Kabupaten cukup beragam Kabupaten Mamasa merupakan daerah
terjauh dari Mamuju sebagai ibukota provinsi yaitu sekitar 292 KM dan Pasangkayu (Mamuju
Utara) sekitar 276 KM.

Iklim

Berdasarkan laporan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang diwakili oleh
Stasiun Meteorologi Majene pada tahun 2018 suhu udara di Kabupaten Majene berkisar antara
22°C hingga 35°C dengan rata-rata suhu udara sekitar 27,90°C, Sedangkan kelembapan udara
dalam setahun berkisar antara 33 persen sampai dengan 100 persen.Pada tahun 2018, Sulawesi
Barat memiliki jumlah hari hujan tertinggi terjadi di bulan April yaitu 22 hari hujan dan terendah
pada bulan Agustus yaitu 3 hari hujan.

1.2 Budaya
Beberapa kebudayaan di Provinsi baru di Indonesia yang ke-33, yaitu Provinsi Sulawesi
Barat. Provinsi ini merupakan provinsi baru di Indonesia yang terbentuk dari pemekaran Provinsi
Sulawesi Selatan, dan kini telah menjadi Provinsi ke-33 yang diresmikan sejak 5 Oktober 2004
berdasarkan UU No. 26 Tahun 2004. Ibukota provinsi Sulawesi Barat ini adalah Mamuju. Luas
wilayahnya sekitar 16,796.19 km². Secara geografis, provinsi ini terletak di posisi silang dari
Segitiga emas Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah, serta langsung
menghadap rute berlayar nasional dan internasional selat Makassar.

Saat ini Sulawesi Barat terkenal dengan kakaonya, kopi (robusta dan arabika), cengkeh, dan
kelapa. Emas, batu bara, dan minyak telah menjadikan provinsi makmur. Lebih lengkapnya
kebudayaan yang ada di Provinsi Sulawesi Barat ini akan kami sajikan dibawah ini.

a. Rumah adat
Rumah adat Mandar, yakni rumah panggung yang memiliki bentuk yang hampir sama
dengan rumah adat suku Bugis dan Makassar. Perbedaanya pada bagian teras (lego) lebih
besar dan atapnya seperti ember miring ke depan. Bentuk rumah panggung yang berdiri
diatas tiang-tiangnya dimaksudkan untuk menghindari banjir dan binatang buas. Dan
apabila semakin tinggi tingkat kolong rumah menandakan semakin tinggi pula tingkat
status sosial pemiliknya.  Atap rumah umumnya terbuat dari sirap kayu besi, bambu,
daun nipah, rumbia, ijuk atau ilalang. Tangga terbuat dari kayu (odeneng) atau bambu
(sapana) dengan jumlah anak tangganya ganjil. Tingkat dinding berbentuk segitiga yang
bersusun sebagai atap juga menunjukan kedudukan sosial pemilik rumah.

 
2. Pakaian Tradisional
Di Sulawesi Barat mempunyai keragaman baju tradisionalnya. Pakaian tradisional
Sulawesi Barat biasanya dikenakan dalam pertunjukan tari, acara pernikahan dll yang
memiliki keragaman dalam busananya.
Pakaian adat pada pria mengenakan jas yang tertutup dan berlengan panjang, dipadukan
celana panjang sebagai pakaian bawahnya. Terdapat kain sarung yang dililitkan pada
pinggangnya sampai kelutut. Sedangkan pakaian adat pada wanita Sulawesi Barat
mengenakan baju Bodo dengan dihiasi kalung, gelang serta giwang. pada bagian kepala
dikenakan sanggul dan beberapa hiasannya. Pakaian bawah dikenakan sarung yang
dikenakan seperti rok.

3. Tari Daerah
– Tari Bamba Manurung, ditujukan sewaktu acara pesta Adat Mamuju yang dihadiri oleh
para penghulu adat beserta para tokok adat. Pakaian tari ini disebut baju Badu, dan di
hiasi oleh bunga melati beserta kipas sebagai perlengkapan tarinya.

– Tari Bulu Londong, ditujukan pada acara Rambutuka sebagai rasa syukur
penduduknya.Pakaian tari ini mengenakan baju adat Mamasa yang berbahan bulu burung.
Perlengkapan tari yang dipakai adalah terompet, pedang atau tombak, sengo, kepala
manusia dll.

– Tari patuddu ditujukan dalam acara untuk menyambut para tetamu dari luar maupun
dalam negeri. Tarian ini merupakan tarian suku Mandar yang tinggal di Sulawesi Barat.

Tari patudu

4. Senjata Tradisional: Badik

Badik atau badek bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar.

badik
5. Suku-suku Sulawesi Barat: ada terdiri dari Makassar (1,59%),Toraja (13,95%), Bugis
(10,79%), Jawa (5,38%), Suku Mandar (49,15%), dan suku lainnya (19,15%).

6. Lagu Daerah: Bulu Londong, Malluya, Io-Io, Ma’pararuk.

7. Bahasa Daerah: Bahasa Mandar, Bahasa Bugis, Bahasa Toraja, Bahasa Makasar

8. Alat Musik Tradisional: Kecapi, cara memainkannya dengan  dipetik pada bagian


senarnya.**

1.3 Flora dan Fauna


Flora dan Fauna Khas Provinsi Sulawesi Tengah adalah Pohon Eboni/ Pohon Kayu
Hitam (Diospyros celebica Bakh) sebagai Flora Khas Sulawesi Tengah dan Burung Maleo
atau (Macrocephalon maleo) sebagai Fauna Khas Sulawesi Tengah.
Pohon Ebony (Kayu Hitam) Flora Identitas Sulawesi Tengah

Eboni (Diospyros celebica Bakh) atau dikenal juga dengan nama kayu hitam, merupakan  jenis
kayu yang tergolong kuat dan awet, sehingga kayu ini bernilai ekonomi tinggi dan permintaan
konsumen semakin bertambah dari waktu ke waktu. Ebony mempunyai kayu teras berwarna
hitam atau coklat kehitaman dengan tingkat dekoratif yang tinggi, sehingga sangat cocok untuk
digunakan sebagai meubel dan bahan dekoratif lainnya. Ebony memiliki karakteristik
pertumbuhan yang lambat. Tiap pertumbuhan sekitar 0,5 cm/tahun. Pohon ebony dapat mencapai
tinggi 40 meter dengan diameter 100 cm. Tajuk pohon ini berbentuk selindris sampai kerucut,
dengan percabangannya agak lateral dan sangat kokoh. Sistem perakaran sangat dalam, luas dan
intensif. Kulit luar bewarna hitam dan mengelupas kecil-keci sejalan dengan bertambahnya umur
pohon. Bunga berukuran kecil dengan buah berdaging. Ebony dapat tumbuh pada berbagai type
tanah, dengan ketinggian 25 – 350  dari permukaan laut.
Walaupun populasi tumbuhan jenis ini semakin berkurang, namun ebony sampai saat ini
belum terdaftar dalam daftar Appendix CITES dan tidak termasuk dalam daftar 
tumbuhan yang dilindungi sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
1999. Dengan demikian, perdagangan kayu ini ke luar negeri belum dibatasi. Upaya
pelestarian eboni dipengaruhi oleh berbagai faktor, sehingga pelestariannya haruslah merupakan
kegiatan terpadu dalam suatau pengelolaan, mulai dari penanaman bibit sampai kepada
pemanfaatannya menjadi produk jadi, sehingga dapat memberikan nilai optimal, baik secara
ekonomi maupun secara ekologis dan sosial budaya.
Burung Maleo Fauna Identitas Sulawesi Tengah

Maleo atau (Macrocephalon maleo), sejak tahun 1990 berdasarkan SK. No. Kep.
188.44/1067/RO/BKLH tanggal 24 Pebruari 1990 “Maleo” ditetapkan sebagai “Satwa Maskot”
daerah Sulawesi Tengah. Ini merupakan kebanggaan bagi masyarakat Sulawesi Tengah dan
Indonesia pada umumnya. Maleo termasuk jenis burung endemik Sulawesi dan penyebaran di
Sulawesi Tengah relatif luas. Tergolong satwa liar yang langka dan dilindungi Menteri
Pertanian R.I. No. 42/Kpts/Um/8/1970. Pernyataan dilindungi dimaksudkan yakni
perlindungan terhadap satwa hidup atau mati (opsetan) serta bagian-bagiannya, seperti telur dan
lain-lain. Pemanfaatan satwa tersebut dapat digunakan sepanjang untuk tujuan penelitian.
Pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan maupun usaha penangkaran yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga yang bergerak dibidang konservasi sumber daya alam hayati dan perlu
mendapat ijin dari Departemen Kehutanan Cq. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA).
Burung ini memiliki keunikan dalam hal perkembangbiakannya. Tidak seperti burung lain yang
membuat sarang dan mengerami telurnya, maleo meletakan telurnya dalam lubang pasir di dekat
pantai, lalu telur dibiarkan menetas dengan sendirinya.  Meskipun memiliki sayap dengan bulu
yang cukup panjang, namun lebih senang jalan kaki dari pada terbang. Biasanya yang dewasa
sering diketemukan berpasangan ditempat terbuka dan berpasir panas. Ketika menggali lubang
untuk bertelur, penggalian dilakukan secara bergantian antara maleo jantan dan maleo betina.
Saat maleo betina menggali lubang, maleo jantan mengawasi sekelilingnya, demikian
sebaliknya.

Telur maleo sangat besar dengan panjang rata-rata 11 cm dan beratnya sekitar 260 gram per butir
atau sebanding dengan 5 butir telur ayam. Untuk mengelabui pemangsa yang mungkin sedang
mengincar telur-telur mereka, maleo seringkali membuat lubang-lubang lain. Setelah menetas
anak maleo akan berusaha sendiri keluar dari tanah atau pasir dan langsung berjuang hidup
sendiri di alam tanpa asuhan sang induk. Beberapa lokasi kawasan konservasi tempat hidup
maleo, diantaranya adalah Suaka Margasatwa Bakiriang di Kabupaten Banggai, SM
Pinjan/Tanjung Matop di Kabupaten Buol, Cagar Alam (CA) Morowali di Kabupaten Morowali,
dan Taman Nasional Lore Lindu yang terletak di lintas Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso.
Penyebaran di luar kawasan konservasi yang termonitor antara lain di daerah Tanjung Santigi
Kecamatan Moutong. Tanjung Desa Rerang Kabupaten Donggala, daerah Bungku, dan Sausu
Kabupateng Perigi Moutong.

Pengetahuan tradisional yang melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat berupa kebiasaan
dan tatacara beraktifitas yang merupakan hasil arahan sistem nilai budaya lokal menghasilkan
pola perilaku yang betumpu pada orientasi kognotif dari masyarakat baik ecara individual
maupun secara sosial. Pengetahuan tradisional demikian akan menjadi kearifan tradisional atau
lebih dikenal dengan kearifan lokal.
 Tradisi nelajan panjala denan lingkungan laut majene
Motangnga adalah masterpiece kegiatan perikanan di kalangan nelayan mandar.
Motangnga secara harfiah berarti menengah yaitu kegiatan menangkap/mencari telur ikan
terbang diatas palung selat makassar dan sekitarnya, disebut metalangnga karena pada
kegiatan terseut nelayan harus berhanyut-hanyut ditengah lautan selama 10 – 15 hari atau
lebih /kurang sambil menunggu alat tangkapannya yang ada didalam perahu di datangi ikan
terbang untuk memasuki buaro dan melekatkan telurnya di alat tangkapan
Ada beberapa hal yang membedakan antara motangnga dengan cara menangkap ikan
lainnya yaitu persiapan yang lebih kompleks, trip, pantangan-pantangan atau pamali yang
lebh banyak, keterlibatan keluarga secara khusus dan komunitas disekitar nelayansecara
umum yang lebih tinggi pendapatan ekonomi yang lebih besar dan menguntungkan lebih
banyak pihak, pengolahan hasil penangkapan yang unik, dan memiliki unsur-unsur sosial
budaya yang mungkin khas mandar. Adapun yang mengatakan motangnga sebeb musim
penangkapan ikan terbang dilakukan antara akhir musim barat dengan awal musim april –
agustus atau pertengahan antara dua musim. Nelayan melakukan motangnga disebut
potangnga secara umum lokasi untuk motangnga disebut oleh nelayan mandar adalah di atas
palung selat makassar dikedalaman 2.000 – 3.000m dengan penentuan titik tidak secara
langsung tetapi dilakuka secara turun-temurun.

 Kearifan tradisi tau pagbuttu dalam mengelola perladangan didataran tinggi tutallu
polewali mandar
Sistem perladangan didaratan tinggi tutallu masih berlangsung seperti dulu, sobbag
sebagai figur yang memiliki pengetahuan plus/lebih tentang perladangan masih tetap
penting, kegiatan ini terutama pada perintisan. Penebasan, penanaman dan panen.
Pengetahuan plus yang dimaksud adalah pengetahan tentang astronomi lokal polaqi yang
dengan pengetahuan itu situasi dan kondisi iklim pada satu usim perladangan dpat
diketahui.
Dengan pengetahuan tersebut Tau pogbuttu dapat menyesuaikan kegiatannya dengan
situasi dan kondisi iklim pada saat itu. Selain pengetahuan astronomi lokal, seorang
sobbaq diyakini pula memiliki pengetahan religio-magis yang berbubungan dengan
kekuatan supranatural yang berbentuk roh-roh halus, mahluk-mahluk gaib dan
semacamnya yang diyakini sebagai penjaga hutan, tetutama hutan-hutan primer
peqqambi pangale.
Tau pagbutu di dataran tutallu, mengenal tiga warna tanah yaitu tanah berwarna hitam
dan cokelat gelap litaq malotong yang menunjukkan bahwa tanah tersebut subur dan
dapat ditanami jenis apasaja, tanah berwana kuning pucat litaq mariri yang menunjukkan
tanah tersebut kurang subur sehingga hanya beberpa tanaman saja yang dapt tumbuh
dengan baik pada tanah seperti itu, tanah berwarna kuning mengindikasikan bahwa
tanaman apapun sulit tumbuh dengan subur pada jenis tanah tersebut . tanda-tanda lain
yang ikut diperhatikan adalah suara – suara burung atau hewan lainnya dalam
menentukan lokasi perladangan.

1.4 Ekonomi dan Politik


Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dipilih melalui pemilihan umum
(pemilu) dan dilantik dalam masa jabatan lima tahun. Provinsi Sulawesi Barat dipimpin oleh
gubernur dan wakil gubernur. Dalam menjalankan pemerintahan, gubernur dibantu oleh
sekretaris daerah, staf ahli, asisten bidang, biro sekretaris daerah, dinas, badan, inspektorat,
satuan polisi pamong praja, sekretariat, rumah sakit umum, dan kantor. Statistik Keuangan
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik
melalui masing-masing kantor gubernur dan bupati/walikota. Sejak tahun 2000 sektor
keuangan negara dihitung berdasarkan tahun kalender yang berakhir pada bulan Desember.
Wilayah Administrasi

Provinsi Sulawesi Barat sebelumnya merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan.
Kemudian, melalui Undang-undang Nomor 26 Tahun 2004, Sulawesi Barat dimekarkan
menjadi sebuah provinsi yang otonom. Sejak berdirinya, Provinsi Sulawesi Barat telah terjadi
perkembangan yang cukup signifikan dalam bidang pemerintahan, dimana pada awalnya
terdiri dari 3 (tiga) kabupaten. Pada tahun 2004 dimekarkan menjadi 5 kabupaten selanjutnya
pada tahun 2013 dimekarkan kembali menjadi 6 kabupaten.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Jumlah wakil rakyat yang duduk pada lembaga legislatif, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi sebanyak 45 orang, dengan 37 orang laki-laki dan 8 orang
perempuan. Sebagian besar wakil rakyat pada lembaga ini memiliki pendidikan tertinggi S1.
Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Pada tahun 2018, ada 5.400 PNS yang bekerja di lingkup pemerintahan provinsi Sulawesi
Barat. 2.956 orang diantaranya adalah laki-laki dan 2.444 orang perempuan.

Mayoritas PNS di pemerintah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2018 merupakan
lulusan universitas sebanyak 78,74 % dari jumlah keseluruhan PNS.

Penduduk Sulawesi Barat memiliki pola konsumsi yang relatif beragam. Pada tahun 2018,
menurut golongan pengeluaran tertinggi, terdapat 29,33 persen penduduk Sulawesi Barat
dengan golongan pengeluaran antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 499.999,00 per kapita
sebulan. Sedangkan persentase terendah pada golongan pengeluaran kurang dari Rp.
150.000,00, sebesar 0,05 persen Pada tahun 2018, pengeluaran rata-rata perkapita sebulan
menurut kelompok bahan makanan di Provinsi Sulawesi Barat paling tinggi adalah kelompok
makanan dan minuman jadi yaitu 24,46 persen. Dan yang paling rendah adalah pengeluaran
umbi-umbian sekitar 0,72 persen. Pengeluaran untuk padi-padian berada di posisi kedua
sebesar 19,12 persen. Pengeluaran rata-rata perka ita sebulan menurut kelompok bukan
makanan yang paling tinggi adalah pengeluaran perumahan, bahan bakar, penerangan dan air,
sekitar 51,18 persen dan paling rendah adalah pengeluaran untuk pesta dan upacara sekitar
3,17 persen.

Aspek Kerawanan Bencana Alam

1. Kegempaan

Dari aspek kegempaan, sistem patahan di bagian tengah Sulawesi dimana Kota Palu
terdapat terdiri dari kompleks zona patahan yang yang berletak dalam pertemuan lempeng
Pasifik, Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Dari perhitungan terhadap pergerakan patahan
Palu-Koro ini (Bellier, O. et.al, 2001), diperoleh data
kisaran pergerakan lempeng, yaitu 35 ± 8 mm per tahun. Sejarah gempabumi di bagian
tengah Sulawesi telah tercatat sejak abad ke-19, dimana beberapa diantaranya mempunyai
magnitude yang besar, diantaranya tahun 1968 (6,7 SR), 1993 (5,8 SR) dan 2005 (6,2 SR).

Gempa bumi yang terjadi di laut dapat mengakibatkan terjadinya tsunami


(gelombang laut), terutama pada gempa yang terjadi di laut dalam yang diikuti deformasi
bawah laut seperti yang pernah terjadi di pantai barat Sumatera dan di pantai utara Papua.
Sementara itu letusan gunung berapi juga dapat menimbulkan gelombang pasang seperti
yang terjadi pada letusan Gunung Krakatau.

Kegempaan di Sulawesi ini juga ditandai dengan frekuensi yang tinggi tsunami di
bagian Selat Makassar, sebagaimana yang terjadi pada tahun 1927 di Teluk Palu dengan
ketinggian gelombang mencapai 15m, tahun 1968 di Mapaga (10m) dan tahun 1996 di
Simuntu-Pangalaseang (1 - 3,4 m). Pada gambar 2 diperlihatkan jalur patahan yang melalui
bagian tengah P. Sulawesi, tepat berada di bagian tengah yang membelah Kota Palu bagian
timur dan barat.

Bencana alam bersifat geologi yang terjadi di Sulawesi Tengah sangat terkait dengan
kondisi dan proses-proses geologi yang telah, sedang dan akan terus berlangsung. Termasuk
diantaranya adalah patahan aktif Palu-Koro, patahan Matano dan patahan Sorong yang
mendorong bagian timur Sulawesi. Bentuk topografi dan kerawanan longsor pada banyak
kawasan serta ruas-ruas jalan strategis di wilayah ini sangat terkait dengan struktur material
yang rapuh serta serta dapat dipicu oleh kegempaan.
Gambar 2. KF: Palu Koro Fault (Patahan Palu-Koro)
MF : Matano Fault (Patahan Matano)
(Bellier, O. et.al, 2001)

3.2. Topografi dan Bahaya Longsoran Tanah

Topografi Sulawesi Tengah didominasi oleh topografi perbukitan dan pegunungan,


dengan elevasi tertinggi sekitar 2.850 m diatas permukaan laut. Prosentase ketinggian
terbesar adalah pada ketinggian 101 – 1000 m, yaitu sebesar 53,9%. Wilayah dataran pada
kisaran 0 – 100 m hanya pada kisaran 20,2%. Nilai-nilai diatas menyiratkan bahwa
pembangunan dan pengembangan wilayah akan berhadapan kondisi alam yang dominan
perbukitan dan pegunungan. Hal tersebut pula merupakan indikasi bahwa potensi bencana
alam berupa longsoran tanah sangat mungkin terjadi sebagai hasil interaksi pembangunan
dengan perubahan keseimbangan bentang alam.
Hampir sebagian besar tanah di daerah tropis bersifat mudah longsor karena tingkat
pelapukan batuan di daerah ini sangat tinggi dan komposisi tanah secara fisik didominasi
oleh material lepas dan berlapis serta potensial longsor. Kestabilan tanah ini sangat
dipengaruhi oleh kerusakan hutan penyangga yang ada di Indonesia. Karena banyaknya
penebangan di hutan penyangga, wilayah rawan bencana longsor di Indonesia semakin
bertambah.

Kondisi ini akan dipercepat oleh perubahan tata guna lahan yang di dalamnya
termasuk hilangnya perkuatan lereng akibat terganggunya media perakaran serta
kecenderungan perubahan infiltrasi air tanah menjadi aliran air permukaan.
Ekstensifikasi wilayah hunian, pembukaan kawasan perkebunan dan diterbitkannya
ijin eksploitasi kawasan
untuk pertambangan tanpa memperhitungkan secara cermat aspek lingkungan fisik
semuanya merupakan agen pencetus bahaya longsoran. Anomali curah hujan yang diluar
perkiraan disertai struktur batuan dan tanah yang rapuh serta bentuk topografi yang relatif
datar akan menjadi pencetus utama bencana alam dahsyat seperti yang terjadi di wilayah
Bungku Utara tahun 2007.

Salah satu hasil pembangunan yang kerap terancam akibat faktor topografi dan
kelongsoran ini adalah prasarana transportasi jalan raya. Sebagai contoh adalah ruas jalan
Tawaeli-Kebun kopi. Ruas jalan ini sudah untuk kesekian kalinya direhabilitasi ataupun
dengan pembuatan trase baru tambahan. Dana puluhan milyar sudah digelontorkan untuk
perbaikan ruas jalan ini namun hingga kini pun problem yang sama tetap berulang. Lalu,
dimana letak kekeliruannya? Jawaban untuk ini sebenarnya sangat sederhana :
perlakukanlah alam secara bijak. Artinya bahwa kestabilan lahan memiliki batas yang jika
terlampaui maka akan mencari keseimbangan baru, dengan cara alamiah merobah
geometrinya mencapai keadaan seimbang. Hal inilah yang berulang terjadi di kawasan
Kebun Kopi. Pertanyaan berikut adalah

mengapa keseimbangannya terlampaui? Jawaban ini inipun dapat ditelusuri dengan cara
mengamati penggunaan lahan di dan di kawasan hulu lereng. Metode penggalian pun perlu
dicermati. Sepatutnya kegiatan penggalian ini dilakukan dengan diawali survey lengkap
dampak akibat penggunaan lahan sekitarnya. Jika tidak maka perulangan akan terjadi dan
sekian milyar anggaran barupun harus digelontorkan.
Fenomena diatas tidak saja berlaku untuk kawasan Kebun Kopi namun juga
beberapa kawasan lain di Sulawesi Tengah seperti ruas Salua-Kulawi, Tambu- Kasimbar,
Mepanga-Basi, Tentena-Gintu, Podi-Ampana dan beberapa ruas kritis lainnya di Sulawesi
Tengah. Rekayasa sipil tentu saja dapat diterapkan pada kasus- kasus diatas dengan
diawali faktor penyebab sehingga alternatif desain dapat dibuat dengan mengakomodir
faktor-faktor lain.

3.3. Perlunya dirumuskan strategi mitigasi dan upaya pengurangan akibat bencana

Sebagai langkah awal dalam upaya penanggulangan bencana adalah identifikasi


karakteristik bencana. Karakteristik bencana ini perlu dipahami oleh aparatur pemerintah
dan masyarakat terutama yang tinggal di wilayah yang rawan bencana. Upaya mengenal
karakteristik bencana yang sering terjadi di Indonesia merupakan suatu upaya
mitigasi,sehingga diharapkan dampak dari bencana dapat dikurangi. Salah satu penyebab
timbulnya bencana di Indonesia adalah kurangnya pemahaman terhadap karakteristik
ancaman bencana. Sering kali seolah-olah bencana terjadi secara tiba-tiba sehingga
masyarakat kurang siap menghadapinya, akibatnya timbul banyak kerugian bahkan korban
jiwa. Padahal sebagian besar bencana dapat diprediksi waktu kejadiannya dengan tingkat
ketepatan peramalan sangat tergantung dari ketersediaan dan kesiapan alat serta sumber
daya manusia. Pada dasarnya mitigasi (mitigation) merupakan upaya yang dilakukan
untuk menekan timbulnya dampak bencana, baik secara fisik struktural maupun melalui
pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun nonfisik-struktural melalui perundang-
undangan.

3.4. Pengurangan Resiko Bencana

Pelaksanaan pengurangan risiko bencana di Indonesia merupakan bagian dari upaya


pengurangan risiko bencana di tingkat global dan regional. Beberapa forum internasional
telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang melandasi upaya pengurangan risiko
bencana di tingkat nasional. Agar dapat terlaksana dengan efektif dan efisien, upaya
pengurangan risiko bencana di Indonesia perlu didukung dengan landasan yang kuat dengan
mengacu pada kesepakatan-kesepakatan internasional tersebut dan peraturan perundang-
undangan di Indonesia. Dasar atau landasan penanggulangan resiko bencana diuraikan
dibawah ini :

 Landasan Global

Kesadaran untuk melakukan upaya pengurangan risiko bencana pada lingkup internasional
merupakan tonggak awal sekaligus landasan bagi pelaksanaan upaya sejenis pada lingkup
yang lebih kecil. Di tingkat internasional upaya pengurangan risiko bencana dipelopori oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui beberapa Resolusi yang menyerukan kepada dunia
untuk lebih memprioritaskan upaya pengurangan risiko bencana sebagai bagian yang tak
terpisahkan dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam resolusi ini Dewan Ekonomi dan
Sosial mengharapkan agar PBB memfokuskan tindakan kepada pelaksanaan Strategi
Internasional untuk Pengurangan Risiko Bencana (International Strategy for Disaster
Reduction/ISDR). Strategi ini merupakan landasan dari kegiatan-kegiatan PBB dalam
pengurangan risiko bencana yang sekaligus memberikan arahan kelembagaan melalui
pembentukan kelompok kerja lintas instansi-lembaga-organisasi.

Strategi pengurangan risiko bencana mencakup kegiatan-kegiatan jangka menengah sampai


jangka panjang yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sasaran utama ISDR
adalah untuk: (1) mewujudkan ketahanan masyarakat terhadap dampak bencana alam,
teknologi dan lingkungan; (2) mengubah pola perlindungan terhadap bencana menjadi
manajemen risiko bencana dengan melakukan penggabungan strategi pencegahan risiko ke
dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan.
Reverensi
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi
Tengah, 2007, Sulawesi Tengah
dalam Angka 2006/2007
BELLIER, O., et.al., 2001, High Slip Rate for
Low Seismicity along the Palu-
Koro Active Fault in Central
Sulawesi (Indonesia), Terra
Nona, Vol. 13 No. 6.
http://www.kebudayaanindonesia.com
Jurnal SMARTek, Vol. 8, No. 1, Pebruari 2010: 50 – 62
Potensi Bahan Gaalian dan Potensi Bencana Alam
di Wilayah Sulawesi Tengah (Irianto Uno)

Kementerian Negara Perencanaan


Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan
Nasional dan Badan Koordinasi
Nasional Penanganan Bencana,
2006, Rencana Aksi Nasional
Pengurangan Resiko Bencana
2006-2009, Perum Percetakan
Negara RI.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (LPEM-UI),
2004, Tinjauan dan Manfaat
Ekonomi Industri Tambang di
Indonesia, Seminar Sehari Kamar
Dagang dan Industri Indonesia.
SNI 19-6728.4-2002, Penyusunan Neraca
Sumberdaya, Sumber Daya
Mineral Spasial, Badan
Standarisasi Nasional.

Provinsi Sulawesi Barat Dalam Angka 2019

Anda mungkin juga menyukai