Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PERADABAN ISLAM PADA MASA NABI MUHAMMAD


Disusun guna memenuhi tugas

Mata Kuliah : Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu : Slamet Untung, Dr., M. Ag

Disusun oleh :

1. Adewiyah (2119058)

2. Dani (2119069)

3. Wahyu Dilla Astika (2119077)

4. Diana Rififah (2119082)

Kelas G

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kita panjatkan kepada Allah Yang Maha


Pengasih dan Maha Penyayang, karena berkat rahmat taufik dan hidayah-Nya,
penulis dapat membuat makalah ini sesuai waktu yang ditentukan. Tidak lupa
shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabiyullah
Muhammad saw., kepada keluarganya, para sahabatnya, serta kepada kita selaku
umatnya.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Slamet Untung, Dr., M.


Ag., selaku dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, yang telah membimbing
penulis dalam pembuatan makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini.

Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat


kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk memperbaiki makalah ini. Akhir kata, penulis berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.

Pekalongan, 30 September 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 4
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 5
C. Tujuan ......................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 6
A. Periode Mekkah....................................................................................................... 6
B. Periode Madinah (622-632 M) ................................................................................ 8
C. Politik Islam pada Masa Rasulullah saw. .............................................................. 16
D. Tradisi Keilmuwan di Mekkah dan Madinah ........................................................ 24
BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 27
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 27
B. Saran...................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 28
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setelah menerima wahyu kedua, Rasulullah menyadari tugas yang
dibebankan pada dirinya. Maka mulailah secara diam-diam ajakan orang
Islam., Mulailah dengan keluarga kemudian para sahabat dekat. Sejarah
suatu rujukan yang sangat penting untuk mewujudkan masa depan yang
lebih baik. Berkaitan dengan itu kita bisa melihat kejadian-kejadian yang
terjadi pada masa lalu, terutama bagi umat Islam. Perkembangan Islam
pada masa Nabi Muhammad Saw .. melalui berbagai macam cobaan dan
tantangan yang dihadap untuk menanamnya. Islam berkembang dengan
pesat hampir semua lapisan masyarakat dipegang dan dikendalikan oleh
Islam. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak
perubahan peradaban Islam kearah yang lebih maju.

Pada awal mula Nabi Muhammad mendapatkan wahyu dari Allah


SWT. yang isinya menyeru manusia untuk menghentikannya, mendapat
tantangan yang besar dari berbagai kalangan Quraisy. Hal ini terjadi
karena pada masa itu kaum Quraisy mempunyai sesembahan lain yang
berhala-berhala yang dibuat oleh mereka sendiri. Karena keadaan yang
demikian, dakwah pertama yang dilakukan di Mekah dilaksanakan secara
sembunyi-sembunyi, terlebih karena jumlah orang yang masuk Islam
sangat sedikit.

Keadaan ini berubah ketika jumlah orang yang menerapkan Islam


semakin hari semakin banyak, Allah pun memerintah Nabi untuk
melakukan dakwah secara terang-terangan. Bertambahnya penganut
agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. membuat
kemapanan spiritual yang sudah lama mengakar di kaum Quraisy menjadi
terancam. Karena hal inilah yang berusaha dengan semaksimal mungkin
mengganggu dan mengawasi dakwah tersebut. Dengan cara diplomasi dan
kekerasan mereka lakukan. Merasa terancan, Allah Swt. Perintah Nabi
Muhammad beserta kaum muslim lainnya untuk berhijrah ke kota
Madinah. Disinilah babak baru kemajuan Islam dimulai.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Bentuk Peradaban Islam pada Masa Rasulullah Periode
Mekkah?
2. Bagaimana Bentuk Peradaban Islam pada Masa Rasulullah Periode
Madinah?
3. Bagaimana Partai-partai Politik pada Masa Rasulullah?
4. Bagaimana Tradisi Keilmuan di Mekkah dan Madinah?

C. Tujuan
1. Mengetahui Bentuk Peradaban Islam pada Masa Rasulullah Periode
Mekkah.
2. Mengetahui Bentuk Peradaban Islam pada Masa Rasulullah Periode
Madinah.
3. Mengetahui Partai-partai Politik pada Masa Rasulullah.
4. Mengetahui Tradisi Keilmuan di Mekkah dan Madinah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Periode Mekkah
Pada periode ini, tiga tahun pertama, dakwah islam dilakukan
secara sembunyi-sembunyi, nabi Muhammad mulai melaksanakan dakwah
islam di lingkungan keluarga, mula-mula istri beliau sendiri, yaitu
Khadijah, yang menerima dakwah beliau, kemudian Ali Bin Abi Thalib,
Abu Bakar sahabat beliau, lalu Zaid, bekas budak beliau. Di samping itu,
juga banyak orang yang masuk islam dengan perantaran Abu Bakar yang
terkenal dengan julukan Assabiqunal Awwalun (orang-orang yang lebih
dahulu masuk Islam), mereka adalah Utsman Bin Affan, Zubair bin
Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqah, Abdur Rahman bin Auf, Thalhah bin
‘Ubaidillah, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, dan Al-Arqam bin abil Arqam yang
rumahnya dijadikan markas untuk berdakwah (rumah arqam)

Kemudian setelah turun ayat 94 surah Al-Hijr, Nabi Muhammad


Saw memulai berdakwah secara terang-terangan.
maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang
diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang
musyrik. (QS. Al-Hijr (94).

Namun dakwah yang dilakukan beliau tidak mudah karena


mendapat tantangan dari kaum kafir Quraisy. Hal tersebut timbul karena
beberapa faktor, yaitu sebagai berikut.

1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan


mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan nabi Muhammad
berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib.
2. Nabi Muhammad menyerukan persamaan hak antara bangsawan
dan hamba sahaya.
3. Para pemimpin quraisy tidak mau percaya ataupun mengakui serta
tidak menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan
di Akhirat.
4. Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang berurat akan
pada bangsa Arab, sehingga sangat berat bagi mereka untuk
meninggalkan agama nenek moyang dan mengikuti agama islam
5. Pemahat dan penjual patung memandang islam sebagai penghalang
rezeki.
Banyak cara dan upaya yang ditempuh para pemimpin Quraisy
untuk mencegah dakwah nabi Muhammad Saw, namun selalu gagal baik
secara diplomatik dan bujuk rayu maupun tindakan-tindakan kekerasan
secara fisik. Puncak dari segala cara itu adalah dengan di perlakukannya
pemboikotan terhadap bani Hasyim yang merupakan tempat nabi
Muhammad berlindung. Pemboikotan ini berlangsung selama tiga tahun,
dan merupakan tindakan yang paling melemahkan umat islam pada saat
itu. Pemboikotan ini baru berhenti setelah kaum Quraisy menyadari bahwa
apa yang mereka lakukan sangat keterlaluan.
Tekanan dari orang-orang kafir semakin keras terhadap gerakan
dakwah Nabi Muhammad Saw, terlebih setelah meninggalnya dua orang
yang selalu melindungi dan menyokong Nabi Muhammad dari orang-
orang kafir, yaitu paman beliau, Abu Thalib, dan istri tercinta beliau,
Khadijah. Peristiwa itu terjadi pada tahun kesepuluh kenabian. Tahun ini
merupakan tahun kesedihan bagi Nabi Muhammad Saw. Sehingga
dinamakan Amul Khuzn.
Karena di Mekah dakwah Nabi Muhammad Saw mendapatkan
rintangan da tekanan, apada akhirnya nabi memutuskan untuk berdakwah
di luar Mekah. Namun, di Thaif Beliau dicaci dan dilempari batu sampai
beliau terluka. Hal ini semua hampir menguatkan hati beliau, Allah Swt
mengutus dan mengisra’ dan memi’rajkan beliau pada tahun kesepuluh
kenabian itu. Berita tentang isra’ dan mi’raj ini menggemparkan
masyarakat Mekah. Bagi orang kafir, peristiwa ini dijadikan bahan
propaganda untuk mendustakan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan bagi
orang yang beriman ini merupakan ujian keimanan.

Setelah peristiwa isra’ dan mi’raj suatu perkembangan besar bagi


kemajuan dakwah islam terjadi, yaitu dengan datangnya sejumlah
penduduk Yatsrib (Madinah) untuk berhaji ke Mekah, Meraka terdiri dari
dua suju yang saling bermusuhan, yaitu suku Aus dan Khazraj yang masuk
islam dalam tiga gelombang. Pada gelombang pertama pada tahun
kesepuluh kenabian, mereka dating untuk memeluk agama islam dan
menerapkan ajarannya sebagai upaya untuk mendamaikan permusuhan
antara kedua suku. Mereka kemudian mendakwahkan islam di yatsrib.
Gelombang kedua, pada tahun ke 12 kenabian mereka datang kembali
menemui nabi dan mengadakan perjanjian yang di kenal dengan perjanjian
“Aqabah pertama”, yang berisi ikrar kesetiaan. Rombongan ini kemudian
kembali ke yatsrib sebagai juru dakwah disertai oleh Mus’ab bin Umair
yang diutus oleh nabi untuk berdakwah bersama mereka. Gelombang
ketiga, pada tahun ke-13 kenabian, mereka datang kembali kepada nabi
untuk hujrah ke yatsrib. Mereka akan membai’at nabi sebagai pemimpin
nabi pun akhirnya menyetujui usul mereka untuk berhijrah. Perjanjian ini
disebut perjanjian “Aqabah kedua” karena terjadi pada tempat yang sama.
Akhirnya Nabi Muhammad bersama kurang lebih 150 kaum
muslimin hijrah ke yatsrib. Dan ketika sampai disana, sebagai
penghormatan terhadap nabi, nama Yatsrib diubah menjadi Madinah.
Demikianlah periode Mekah terjadi dalam periode ini Nabi Muhammad
Saw mengalami hambatan dan kesulitan dalam dakwah Islamiyah. Dalam
periode ini nabi Muhammad belum terpikir untuk menyusun suatu
masyarakat Islam yang Teratur, karena perhatian Nabi Muhammad Saw
lebih terfokus pada penanaman teologi atau keimanan masyarakat.1

B. Periode Madinah (622-632 M)


Hijrahnya Nabi Muhammad Saw. dari Makkah ke Madinah pada
tahun 622 M sekaligus menandai lahirnya tahun Islam. Pada saat Itu,
kondisi kaum muslimin masih lemah, belum mampu menentang kekuasaan
yang dipegang kaum Quraisy Makkah. Akhirnya, nabi bersama sahabat
dan umat Islam lainnya, meninggalkan Makkah, pindah ke Yatsrib, yang
kemudian terkenal dengan nama Madinah.

1
Drs.Samsul Munir Amin,M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010, Hlm 65-68
1. Hijrahnya Nabi
Setelah mendapat perintah hijrah dari Allah Swt. Rasulullah
menemui sahabatnya Abu Bakar agar mempersiapkan segala sesuatu yang
diperlukan dalam perjalanan. Nabi juga menemui Ali dan meminta
kepadanya agar tidur di kamarnya guna mengelabuhi musuh yang
berencana membunuhnya. Senin malam Selasa itu, Nabi ditemani Abu
Bakar dalam perjalanan menuju Yatsrib. Keduanya singgah di Gua Tsur,
arah selatan Makkah untuk menghindar dari pengejaran orang kafir
Quraisy.
Mereka bersembunyi di situ selama tiga malam dan putera puteri
Abu Bakar, Abdullah, Aisyah, dan Asma’ serta sahayanya Amir bin
Fuhairah mengirim makanan setiap malam kepada mereka dan
menyampaikan kabar pergunjingan orang Makkah tentang Rasulullah.
Pada malam ketiga mereka keluar dari persembunyiannya dan melanjutkan
perjalanan menuju Yatsrib bergerak ke arah barat menuju laut merah
melawati jalan yang tidak biasa dilewati qabilah dagang ketika itu. Setelah
tujuh hari dalam perjalanan Nabi Muhammad s.a.w, dan Abu Bakar
sampai di Quba. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar
10 Km dari Yatsrib, Nabi istirahat beberapa hari lamanya. Ia menginap di
rumah Kalsum bin Hindun.
Di halaman rumah tersebut Nabi membangun sebuah mesjid yang
pertama kali dibangunnya yang dikenal dengan masjid Quba. Tak lama
kemudian Ali menggabungkan diri dengan Nabi setelah menyelesaikan
segala urusannya di Makkah, sementara itu penduduk Yatsrib menunggu-
nunggu kedatangan mereka, akhirnya yang mereka tunggu itu datang
mereka sambut dengan penuh sukacita.
Pada hari Jum’at 12 Rabiulawwal tahun ke-13 Kenabian / 24
September 622 M, Nabi meninggalkan Quba, di tengah perjalanan di
perkampungan Bani Salim, Nabi melaksanakan shalat Jum’at pertama di
dalam sejarah Islam. Setelah itu, nabi melanjutkan perjalanannya menuju
Yastrib.
Sementara itu, penduduk Yatsrib telah lama menunggu-nunggu
kedatangan Nabi. Begitu Rasulullah tiba di kota Yatsrib ini beliau
melepaskan tali kekang untanya dan membiarkannya berjalan
sekehendaknya. Unta itu berhenti di sebidang kebun korma milik dua anak
yatim bernama Sahl dan Suhail yang diasuh oleh Abu Ayyub. Kebun itu
dijual dan di atasnya dibangun masjid atas perintah Rasulullah. Sejak itu
nama kota Yatsrib diubah menjadi “Madinatun Nabi”, tetapi dalam
kehidupan sehari-hari biasa disebut “Madinah” saja.
Berbeda dengan periode Makkah di mana umat Islam merupakan
kelompok minoritas, pada periode Madinah mereka menjadi kelompok
mayoritas. Di Makkah Rasulullah hanya berfungsi sebagai seorang Rasul,
tetapi di Madinah beliau selain sebagai seorang Rasul dia juga sebagai
Kepala Negara.2
2. Pembentukan Masyarakat Madani
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru umat
islam di Madinah, Nabi Muhammad SAW segera meletakkan dasar-dasar
kehidupan bermasyarakat. Ada empat pondasi dasar kehidupan yang
dilakukan oleh beliau, sebagaimana berikut:
• Pembangunan Masjid
Selain untuk tempat ibadah, pembangunan masjid juga sebagai
sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin sekaligus
mempererat tali jiwa mereka.
• Pembangunan masjid Quba
Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun setelah masa
kenabian. Masjid Quba dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga
Kalsum dari kabilah Amir bin Auf yang diwakafkannya kepada Nabi
Muhammad SAW setibanya di Quba. Nabi sendiri yang mendesain masjid
tersebut. Bahkan beliau ikut bekerja membangun masjid tersebut.
• Pembangunan masjid Nabawi

2
Syamruddin Nasution, Sejarah Peradaban Islam,(Pekanbaru, Yayasan Pusaka Riau,
2013)hlm 43.
Masjid ini dibagun pada bulan Rabi’ul awal tahun pertama Hijriyah
atau bertepatan pada bulan September 662 M. Area yang hendak dibangun
Masjid Nabawi saat itu terdapat bangunan yang dimiliki oleh Bani Najjar.
Namun, Bani Najjar dengan suka rela mewakafkan bangunan dan tanah
mereka untuk pembangunan Masjid Nabawi, dan mereka hanya berharap
pahala dari sisi Allah Swt. atas amalan mereka tersebut. Sejak awal
berdirinya, Masjid Nabawi bukan hanya untuk tempat beribadah,
melainkan juga merupakan tempat belajar bagi kaum muslimin (Kaum
Anshar dan Muhajirin) untuk memperoleh pengajaran Islam dan
bimbingan dari Nabi Muhammad Saw.
Selain itu, masjid ini juga sebagai tempat pertemuan dan untuk
mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh
perselisihan semasa jahiliah. Tidak hanya itu, Masjid Nabawi juga sebagai
tempat mengatur segala urusan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk
bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan yang dipimpin Nabi
Muhammad Saw. Selain itu semua, Masjid Nabawi juga dijadikan tempat
tinggal dan bermukim orang-orang Muhajirin yang miskin, yang datang ke
Madinah tanpa memiliki harta, tidak memiliki kerabat, atau yang masih
belum berkeluarga.
Banyak keistimewaan yang dimiliki oleh Masjid Nabawi. Selain
sebagai salah satu masjid tertua dan dibangun Iangsung oleh Nabi
Muhammad Saw., serta menjadi saksi sejarah perjuangan beliau dalam
mengembangkan syiar Islam, masjid ini juga tempat peristirahatan
Baginda Rasul. Beliau dimakamkan di tengah-tengah bagian Masjid
Nabawi. Makam nabi tidaklah sama dengan makam-makam lainnya yang
ada di dunia. Makamnya ditutup dan dibatasi oleh pagar yang tinggi serta
berhiaskan kaligrafi-kaligrafi.3
3. Ukhuwah islamiyah, persaudaraan sesama muslim
Dalam meletakkan dasar kehidupan umatnya, Nabi Muhammad
Saw. mempersaudarakan antara orang-orang yang hijrah dari Makkah ke

3
Abdul Syukur. Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap,(Jogjakarta:Saufa,2014)hlm.39.
Madinah (Muhajirin), dengan penduduk Madinah yang sudah masuk Islam
dan ikut membantu kaum Muhajirin tersebut (Anshar). Dengan demikian
diharapkan, setiap muslim merasa terikat dalam satu persaudaraan dan
kekeluargaan. Beliau melakukan ini bertujuan untuk menciptakan suatu
bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama,
menggantikan persaudaraan berdasarkan darah atau kabilah.
Pada saat itu, kaum Anshar membagikan rumah yang mereka
miliki, bahkan harta mereka. Persaudaraan ini terjadi lebih kuat daripada
hanya persaudaraan yang berdasarkan keturunan. Kondisi kaum Muhajirin
ketika itu memang cukup memprihatinkan karena mereka hijrah tanpa
membawa harta benda, barang berharga ditinggalkan di Makkah. Pada
perjanjian awal, kaum Muhajirin harus membantu bercocok tanam, namun
mereka tidak berpengalaman dalam hal itu, sehingga mereka harus bekerja
sebagai buruh kasar di kebun milik orang Yahudi dan Anshar. Misalnya,
menebang pohon, menyiram pohon, dan lain-lain. tulah sebabnya, Nabi
Muhammad Saw. memberikan solusi kepada kaum Muhajirin untuk
dipersaudarakan dengan kaum Anshar. Mereka harus saling membantu dan
bekerja sama.4
4. Persahabatan dengan orang diluar islam
Penduduk Madinah di awal kedatangan Rasulullah terdiri dari tiga
kelompok, yaitu bangsa Arab muslim, bangsa Arab non-muslim dan orang
Yahudi. Untuk menyelaraskan hubungan antara tiga kelompok itu, Nabi
mengadakan perjanjian dalam piagam yang disebut “Konstitusi Madinah”,
yang isinya antara lain:
1) Pertama, Semua kelompok yang menandatangani piagam merupakan
suatu bangsa.
2) Kedua, Bila salah satu kelompok diserang musuh, maka kelompok
lain wajib untuk membelanya.
3) Ketiga, Masing-masing kelompok tidak dibenarkan membuat
perjanjian dalam bentuk apapun dengan orang Quraisy.

4
Ibid.,42.
4) Keempat, Masing-masing kelompok bebas menjalankan ajaran
agamanya tanpa campur tangan kelompok lain.
5) Kelima, Kewajiban penduduk Madinah, baik kaum Muslimin, non-
Muslim, ataupun bangsa Yahudi, saling bantu membantu moril dan
materiil.
6) Keenam, Nabi Muhammad adalah pemimpin seluruh penduduk
Madinah dan dia menyelesaikan masalah yang timbul antar kelompok.
Berdasarkan konstitusi di atas, dapat diketahui bahwa Nabi telah
membentuk negara Islam di Madinah dan Rasulullah menjadi kepala
pemerintahannya yang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan segala
masalah yang timbul berdasarkan konsitusi.
Oleh karena itu di Madinah Nabi Muhammad mempunyai
kedudukan bukan saja sebagai Rasul agama, tetapi juga sebagai kepala
negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan,
kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.5
5. Meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial
Dengan segala usaha kegigihannya, Nabi Muhammad Saw. telah
membentuk kota Madinah menjadi sebuah kehidupan yang mulia dan
penuh dengan nilai-nilai utama. Sejak beliau hijrah ke kota ini, terjadi
sebuah persaudaraan yang jujur dan kokoh, ada solidaritas yang erat di
antara anggota masyarakatnya. Demi mencapai kesejahteraan dan
kedamaian masyarakat saat itu, Nabi Muhammad Saw. meletakkan dasar-
dasar politik, ekonomi, dan sosial.6
a) Peperangan dalam islam
b) Perang Badar (17 Ramadhan 2 H)
c) Perang Uhud (Sya'ban 3 H)
d) Perang Khandaq (Syawal 5 H)
e) Perang Mu’tah (8H)
f) Perang Hunain (8 Safar 8 H)

5
Syamruddin Nasution, Op .Cit 45.
6
Abdul Syukur, Op.Cit.,46.
g) Perang Tha’if (8 H)
h) Perang Tabuk (9 H)
i) Perang Widan (12 Rabiul awal 2 H)
1) Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, Nabi
Muhammad dengan sekitar seribu kaum muslimin berangkat ke Mekkah
bukan untuk berperang, tetapi untuk melaksanakan ibadah umrah, namun
penduduk Mekah tidak mengizinkan mereka masuk. Akibatnya, diadakan
perjanjian Hudaibiyah yang isinya antara lain sebagai berikut:
a) Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah tahun
itu, tetapi ditangguhkan sampai tahun depan.
b) Lama kunjungan dibatasi hanya sampai tiga hari.
c) Kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekah
yang melarikan diri ke Madinah, namun sebaliknya, pihak
Quraisy tidak harus menolak orang-orang Madinah yang
kembali ke Mekah.
d) Selama sepuluh tahun diberlakukan gencatan senjata antara
masyarakat Madinah dan Mekah.
e) Tiap kabilah yang ingin masuk ke dalam persekutuan kaum
Quraisy atau kaum muslimin, bebas melakukannya tanpa
mendapat rintangan.

Dengan perjanjian ini, harapan untuk mengambil alih Ka’bah dan


menguasai Mekah semakin terbuka. Ada dua faktor pokok yang
mcndorong kebijaksanaan ini; Pertama, Mekah adalah pusat keagamaan
bangsa Arab dan melalui konsolidasi bangsa Arab dalam lslam, Islam bisa
tersebar keluar. Kedua, Apabila suku Quraisy dapat diislamkan, Islam
akan memperoleh dukungan yang kuat karena orang-orang Quraisy
mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar.

• Fathu Mekkah
Setelah dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah
Islam sudah menjangkau seluruh jazirah Arab, hingga hampir ke pelosok
jazirah Arab. Hal tersebut membuat orang-orang kafir Mekah khawatir dan
merasa terpojok, oleh karena itu, orang-orang kafir Quraisy secara sepihak
melanggar perjanjian Hudaibiyah. Melihat hal ini, nabi kemudian bersama
dengan sepuluh tentara bertolak ke Mekah untuk menghadapi kaum kafir.
Meski demikian masih ada dua suku Arab yang masih menentang,
yaitu Bani Tsaqif dan Bani awazin. Kedua suku ini kemudian bersatu
untuk memerangi Islam. Mereka ingin menuntut atas penghancuran
berhala-berhala yang dihancurkan Nabi dan umat islam pada waktu
penyerbuan Mekah. Akan tetapi, merka dapat dngan mudah ditaklukkan.7
• Haji Wada
Pada tahun 10 H Nabi menunaikan ibadah Haji yang dikenal
dengan Haji Wada’. Didepan kurang lebih 100.000 orang kaum muslimin
Nabi berkhutbah yang isinya antara lain:
a. Pertama, jangan menumpahkan darah kecuali dengan hak.
b. Kedua, jangan mengambil harta orang lain dengan bathil.
c. Ketiga, jangan riba dan menganiaya.
d. Keempat, jangan balas dendam dengan tebusan dosa.
e. Kelima, memperlalukuan para istri dengan baik dan lemah
Lembut.
f. Keenam, perintah menjauhi dosa.
g. Ketujuh, perintah saling memaafkan atas semua
pertengkaran antara mereka di zaman jahiliyah.
h. Kedelapan, tegakkan persaudaraan dan persamaan antara
manusia.
i. Kesembilan, perintah memperlakukan hamba sahaya
dengan baik.

7
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet 2 (Jakarta: Amzah, 2010)hlm.71.
j. Kesepuluh, perintah harus berpegang teguh kepada dua
sumber yang ditinggalkan Nabi, yaitu al-Qur’an dan
Sunnah.
• Nabi Wafat
Tiga bulan setelah Nabi kembali ke Madinah, beliau menderita
sakit. Abu Bakar disuruh Nabi mengimami kaum muslimin dalam sholat
sebanyak tiga kali, bila beliau tidak sanggup melakukannya. Sakit Nabi itu
berlangsung selama 14 hari. Akhirnya beliau menghembuskan nafas
terakhir pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal 11 H, dalam usia 63 tahun di
rumah istrinya ‘Aisyah.
Kaum muslimin yang diberitahukan atas wafatnya Nabi itu
dicekam kebingungan, tetapi Abu Bakar tampil membacakan ayat al-
Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 144, dan berpidato: “wahai manusia, barang
siapa memuja Nabi Muhammad, maka Nabi Muhammad telah wafat.
Tetapi barang siapa memuja Allah Swt. maka Allah Swt. hidup selama-
lamanya.8

C. Politik Islam pada Masa Rasulullah saw.

Rasulullah lahir, tumbuh, dan menyebarkan ajaran Islam di tengah


badai perpecahan internal suku Quraisy yang sudah akut. Masyarakat Arab
saat itu, meskipun menjunjung tinggi nilai kepahlawanan, namun prestise
seseorang lebih ditentukan unsur kapital, akses sosial, dan banyaknya
pengikut. Beliau hadir di tengah masyarakat yang sangat materialistik yang
bertumpu di atas pilar kapitalisme, ditambah lagi dengan sifat badui yang
sulit diatur, dengan landasan moral paganisme yang sudah berurat
berakar.9

Menghadapi realitas masyarakat seperti itu tidak membuat


Rasulullah patah semangat. Bahkan ketika orang-orang kafir Quraisy

8
Syamruddin Nasution, Op.Cit.,60.
9
Ridwan H.R., Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007),
hlm. 111.
meminta kepada beliau untuk menghentikan dakwah dengan kompensasi
harta dan jabatan, beliau tetap teguh dalam menyebarkan ajaran Islam.
Dakwah Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam pada awalnya
dilaksanakan di Mekah, kemudian dilanjutkan di Yatsrib (Madinah).
Menurut Haikal, pada periode Mekah umat Islam belum memulai
kehidupan bernegara dan Nabi sendiri ketika itu tidak bermaksud
mendirikan suatu Negara.

Misi Nabi selama di Mekah terfokus pada tiga hal utama sebagai
berikut. Pertama, mengajak manusia agar meyakini bahwa tidak ada Tuhan
yang patut disembah selain Allah swt., percaya kepada malaikat, rasul, hari
kemudian, dan hal-hal yang berkaitan dengan rukun iman. Kedua,
mengajarkan kepada manusia nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi agar
mereka tidak tertipu oleh godaan hidup duniawi yang menyilaukan.
Ketiga, mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.10

Dalam konteks berdirinya negara Islam, periode dakwah di Mekah


merupakan tahap pembentukan fondasi melalui pembersihan keyakinan
dan menumbuhkan keimanan kaum muslimin. Perjuangan Nabi belum
sampai pada pembentukan instrumen sebuah negara, karena institusi
politik yang menopang sistem sosial dan ekonomi belum dibentuk.
Selain karena agenda dakwah di Mekah belum mengarah pada
pembentukan institusi politik, kondisi bangsa Quraisy yang masih kuat
dalam mempertahankan status quo juga tidak memungkinkan untuk
berdirinya sistem ketatanegaraan yang bersendi pada ajaran Islam.

Dengan kondisi demikian, Nabi Muhammad harus mengalihkan


pandangan dan harapan baru pada masyarakat lain yang lebih
memungkinkan untuk kemajuan dan kesuksesan dakwah Islam. Namun,
ketika beliau mengalihkan pandangan dan harapan ke masyarakat suku
Tsaqif sebelah timur laut Mekah, yaitu Tha’if, hasilnya setali tiga uang

10
Muhammad Husein Haikal, al-Hukumah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.), hlm. 180
dengan harapan yang diletakkan pada masyarakat Mekah, bahkan beliau
mendapatkan perlakuan yang sangat kejam dan tidak manusiawi.
Adanya penolakan, penganiayaan, dan pengusiran penduduk Mekah dan
masyarakat Thaif, tampaknya dakwah Islam mengalami stagnasi.
Fenomena ini mendorong Nabi untuk mengarahkan dakwah beliau kepada
penduduk Yatsrib. Kebetulan saat itu kondisi Yatsrib sedang kacau balau
akibat perang Bu’ats, perang besar yang nyaris menamatkan riwayat suku
Aus dan Khazraj selaku aktor utama peperangan ini. Dakwah tersebut
melahirkan perjanjian antara Nabi dengan kaum Muslim Yatsrib, yang
kemudian dikenal dengan Bay’ah ‘Aqabah dan terjadi dua kali. Bay’ah
‘Aqabah inilah yang dipandang sebagai “pakta persekutuan” antara
Nabi dan kaum muslim Yatsrib. Di dalam perjanjian tersebut
disepakati oleh kedua belah pihak untuk saling membantu, melindungi,
dan membela keselamatan, serta kepentingan masing-masing.

Bay’ah ‘Aqabah antara Nabi dengan kaum muslim Yatsrib


tersebut memberikan harapan baru kepada Nabi dan para pengikutnya
untuk lebih leluasa menyiarkan dakwah Islam. Genealogi dan Sejarah
Perkembangan Politik Islam. Dalam beberapa bulan setelah Bay’ah
‘Aqabah kedua, Nabi memerintahkan kaum muslim Mekah untuk
berhijrah ke Yatsrib. Dalam sejarah tercatat bahwa Nabi dan Abu Bakar
bersama kaum muslimin tiba di Yatsrib pada tanggal 16 Rabiul Awal
bertepatan dengan 20 September 622.

Peristiwa hijrah Nabi inilah yang kemudian dijadikan awal


dalam perhitungan tahun Hijriyah. Ahli sejarah menyatakan bahwa
dalam berhijrah Nabi mengendarai seekor unta “al-Quswa” yang
dilepas tali kekangnya. Beberapa tokoh berpengaruh Yatsrib berusaha
menghentikan langkah unta dengan memohon kepada Nabi untuk
singgah di rumahnya sambil menawarkan jamuan yang telah
disiapkan, namun beliau selalu menjawab, “Biarkan dia berjalan
sekehendaknya, karena unta ini ada yang menyuruhnya.”11 Banyak rumah
tokoh penting dilewati unta, termasuk kerabat Nabi, dan semua berharap
agar beliau sudi singgah di rumah mereka. Namun, lagi-lagi Nabi
menjawab dengan jawaban yang sama, sampai akhirnya tiba di tempat dua
anak yatim, Sahal dan Suhail, anak Amr bin Ammarah yang berada dalam
pengasuhan Mu’adz bin Afra, dekat rumah Abu Ayyub al-Anshâri. Di
tempat inilah kemudian dibangun Masjid Nabawi, setelah Nabi membeli
tanah tersebut.

Sikap Rasulullah membiarkan unta berjalan tanpa dikendalikan itu


tampaknya sederhana, namun ternyata memiliki dampak politik yang
sangat signifikan. Nabi Muhammad telah menunjukkan bahwa beliau
adalah milik semua orang, bukan hanya milik golongan tertentu atau
kerabatnya saja. Kota Yatsrib, sejak kedatangan Rasulullah berubah nama
menjadi Madinah ar- Rasul, yang selanjutnya dikenal dengan Madinah.
Penduduk Madinah pasca hijrahnya Rasulullah dapat diklasifikasikan ke
dalam empat golongan, yaitu Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari
Mekah menuju Madinah), Anshar (orang-orang Madinah yang menyambut
dan menolong kaum Muhajirin), orang-orang Arab yang masih musyrik,
dan orangorang Yahudi.

Hijrah Rasulullah ke Madinah merupakan langkah politik yang


tepat, terutama dalam rangka mengefektifkan dakwah Islam, karena di
kota itu beliau mendapatkan dukungan yang penuh dari warganya.
Langkah-langkah politik Nabi tersebut berhasil dengan waktu singkat
membentuk suatu komunitas Muslim yang kuat, bebas, dan mandiri, bukan
komunitas yang lemah, teraniaya, dan tertindas seperti ketika masih berada
di Mekah. Dari komunitas tersebut secara berangsur-angsur Nabi
membentuk masyarakat yang teratur yang kelak merupakan cikal bakal
berdirinya negara Islam.

11
Abdurrahman Kasdi, “Genealogi dan Sejarah Perkembangan Politik Islam”, Jurnal Politik, Vol 9,
No. 2, 2015, (Kudus: STAIN Kudus), hlm. 282-283.
Rasulullah sangat paham bagaimana mengatasi kondisi sosial
heterogen Madinah yang menyimpan latenitas konflik akut. Atas dasar itu,
setelah membangun masjid sebagai sentra aktivitas, langkah selanjutnya
adalah memperkokoh persatuan di kalangan Muhajirin dan Anshar dengan
cara mempersaudarakan mereka, sampai dapat dikatakan bahwa tidak
seorang pun dari kaum Muhajirin yang tidak mempunyai saudara dari
kaum Anshar. Beliau melakukan konsolidasi kehidupan masyarakat
Madinah yang heterogen tersebut, dengan melakukan penataan dan
pengendalian sosial masyarakat secara bijaksana untuk mengatur
hubungan antara golongan dalam berbagai bidang kehidupan.

Adapun terhadap golongan non-Muslim, khususnya kaum Yahudi,


Nabi membuat perjanjian tertulis dengan mereka. Isi perjanjian itu
terutama menitikberatkan persatuan kaum muslimin dan Yahudi,
menjamin kebebasan beragama bagi semua golongan, menekankan kerja
sama, persamaan hak dan kewajiban di antara semua golongan dalam
mewujudkan pertahanan dan perdamaian, serta mengikis segala bentuk
perbedaan pendapat yang timbul dalam kehidupan bersama.12
Perjanjian ini dibuat pada tahun pertama Hijriyah, sebelum terjadi
Perang Badar dan dikenal dengan nama Piagam Madinah. Menurut Ashgar
Ali Engineer, piagam tersebut sangat revolusioner dan sangat mendukung
gagasan Nabi bagi terciptanya suatu masyarakat yang tertib dan damai.
Sebelum adanya Piagam Madinah, masyarakat Arab tidak pernah hidup
sebagai satu komunitas antarsuku dengan suatu kesepakatan. Bahkan, yang
menarik dari isi perjanjian adalah pernyataan yang berisi jaminan
kebebasan beragama bagi segenap penduduk Madinah, di samping
kebebasan berpikir dan menyampaikan pendapat. Ia menilai poin-poin
dalam Piagam Madinah sebagai suatu keputusan luhur, yang hanya dapat
dilakukan oleh pemimpin bijaksana.

12
Muhammad Husein Haikal, Hayah Muhammad (Kairo: Dar al Ma‘arif, 1993), cet ke-19, hlm.
189-191.
Sayid Ahmad Faraj mengategorikan Piagam Madinah sebagai
undang-undang suatu negara yang baru muncul, yang di dalamnya
mengatur kekuasaan politik, hak-hak manusia, dan pengelolaan urusan
masyarakat. Ia merupakan peraturan asasi mengenai sistem politik dan
sosial bagi komunitas Islam dan mengatur hubungan dengan komunitas
lainnya. Perjanjian ini tidak hanya menghadirkan sebuah aturan
masyarakat, namun juga merupakan dokumen yang mendasari
terbentuknya sebuah negara. Menurut Munawir Sjadzali, fondasi yang
telah diletakkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan
bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah adalah:

▪ Semua penduduk Islam, meskipun berasal dari banyak


suku, tetapi merupakan satu komunitas.
▪ Hubungan antara sesama anggota komunitas muslim, dan
antara komunitas muslim dengan anggota komunitas-komunitas lain
didasarkan atas prinsip:
1) Bertetangga baik
2) Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama
3) Membela mereka yang teraniaya,
4) Saling menasihati, dan
5) Menghormati kebebasan beragama

Negara mengandung arti yaitu

(a) organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan


tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat;

(b) kelompok sosial yang mempunyai wilayah atau daerah tertentu


yang diorganisasikan di bawah lembaga politik dan pemerintah
yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat, sehingga
berhak menentukan tujuan nasionalnya. Adapun dalam hukum
internasional, negara sebagai kesatuan politik sekurang kurangnya
harus memiliki empat unsur, seperti dirumuskan dalam Konvensi
Montevidio, yaitu:

➢ penduduk yang tetap;


➢ wilayah tertentu;
➢ pemerintah;
➢ kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara
lain. Al-Mawardi juga menyebutkan ada lima unsur pokok dalam
suatu negara, yaitu:
❖ agama sebagai landasan negara dan persatuan rakyat;
❖ wilayah;
❖ Penduduk;
❖ Pemerintah yang berwibawa; dan
❖ Keadilan dan keamanan.

Berangkat dari fakta historis di atas, para pemikir politik Islam lain
seperti Dliya’ ar-Rais juga menyimpulkan bahwa posisi Nabi di Madinah
bukan hanya sebagai pemimpin agama, melainkan juga pemimpin politik.
Hal ini juga dikemukakan oleh Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul
Mu’thi, yang menegaskan bahwa dalam waktu yang bersamaan Rasulullah
mampu menampilkan dirinya sebagai rasul dan sebagai kepala negara.
Nabi bukan hanya Pemimpin spiritual umat Islam, melainkan juga
pemimpin politik yang ulung.

Piagam Madinah memang merupakan suatu dokumen politik yang


patut dikagumi sepanjang sejarah dan sekaligus membuktikan bahwa Nabi
Muhammad bukan hanya seorang rasul, melainkan juga seorang
negarawan. Piagam ini memberikan otonomi yang luas kepada suku-suku
yang ada di Madinah dan mengizinkan warga non-muslim untuk
menjalankan keyakinannya serta hidup berdampingan dengan kaum
muslim. Tidak ada satu bukti sejarah pun yang menunjukkan bahwa Nabi
Muhammad saw. pernah memaksa umat lain untuk menganut Islam.
Persepsi sebagian orang Barat bahwa Muhammad, dengan pedang
terhunus, memaksa orang untuk memeluk Islam, adalah persepsi yang
sama sekali tidak ditemukan buktinya dalam fakta sejarah.

Setelah menjadikan Madinah sebagai pusat kota dan peradaban


Islam, Rasulullah mengirim delegasi ke negara-negara tetangga,
mengadakan perjanjian dengan mereka, dan mengajak umat manusia untuk
menganut agama Allah. Beliau juga melakukan pembebasan kota Mekah
yang dikenal dengan Fathu Makkah, yang terjadi pada tahun 10 Hijriyah
dengan membawa rombongan sebanyak 120.000 orang. Pada saat
pembebasan kota Mekah, kaum mmuslimin berada pada puncak
kemenangan dan Rasulullah berada pada puncak kekuasaan, dan di saat
yang bersamaan beliau juga berada pada puncak ketawaduan dan kasih
sayang.

Di hadapan beliau berdiri dengan cemas dan tak berdaya orang-


orang Quraisy yang dahulu menyakiti, memboikot, menganiaya, mengusir,
dan memerangi Rasulullah dan sahabatnya. Jika beliau mau, saat itu hanya
dengan perintah sepatah kalimat saja, ribuan pasukan beliau akan dengan
mudah membinasakan mereka. Namun, yang dilakukan Rasulullah adalah
memberikan ampunan kepada mereka, dengan sabda beliau, “Pergilah,
sekarang kamu sekalian bebas.” Fakta sejarah menunjukkan bahwa
Rasulullah membentuk suatu pemerintahan berdasarkan visi kenabian
beliau, sehingga pemerintahan yang dibentuk itu kaya dengan dimensi
spiritual dan internasional.

Dalam waktu singkat, kekuatan Islam telah menjelma menjadi


pesaing bukan hanya bagi kaum Quraisy, melainkan juga bagi dua
kekuatan imperium waktu itu, yaitu Bizantium dan Persia. Setelah generasi
beliau, kaum umat Islam berhasil memperluas wilayah kekuasaannya
dengan menaklukkan daerah-daerah sekitarnya melalui peperangan
melawan dua kekuatan adidaya tersebut. Negara Islam yang mulanya
hanya berpusat di Madinah dapat melebarkan sayapnya ke sebagian besar
wilayah Asia Barat dan Afrika Utara. Ada dua faktor dominan yang
mempercepat tegaknya negara Islam di Madinah, yaitu kehadiran
Rasulullah dan ajarannya. Bahkan, Montgomery Watt mengatakan bahwa
kehadiran Muhammad dan ajarannya merupakan jawaban terhadap situasi
sosial, ekonomi, politik, dan kultur masyarakat Madinah saat itu.

Nabi diutus dengan membawa wahyu yang sarat dengan nilai-nilai


persaudaraan, persamaan, dan kebebasan. Dalam waktu yang singkat,
ajaran Islam mampu menggeser kepercayaan paganisme orang-orang Arab
sebelumnya. Selain faktor Nabi dan ajarannya, faktor lain yang juga
mendukung kelestarian dan kestabilan negara Islam adalah adanya
motivasi yang kuat di kalangan umat Islam untuk berjuang
mempertahankan dan mengembangkan negara Islam. Perjuangan mereka
tidaklah didorong oleh kepentingan dan keuntungan material semata
sebagaimana yang diklaim oleh sebagian kalangan Orientalis, melainkan
lebih banyak dimotivasi oleh kepentingan dakwah. Kaum muslim sangat
yakin bahwa ajaran Islam menuntut mereka untuk menyebarkan dakwah
kepada umat manusia di muka bumi ini. Iman yang teguh inilah yang
melandasi berdirinya negara Islam, dan faktor keimanan itu pula yang
memperkuat eksistensi negara ini selama beberapa kurun waktu.13

D. Tradisi Keilmuwan di Mekkah dan Madinah


Islam sebagai agama penyempurna sangat mendorong dan
mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan
merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain Islam
sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu merupakan pengetahuan yang mempunyai karakteristik tertentu,
Pengetahuan dapat diartikan secara luas yang mencakup segenap apa yang
kita tahu tentang suatu objek. Ilmu merupakan sarana untuk
mengembangkan peradaban manusia, dengan ilmu manusia akan terangkat
derajatnya. Akan tetapi dalam perkembangan tradisi keilmuan Islam dari
13
Abdurrahman Kasdi, “Genealogi dan Sejarah Perkembangan Politik Islam”, Jurnal Politik, Vol 9,
No. 2, 2015, (Kudus: STAIN Kudus), hlm. 284-289.
zaman rasulullah sampai sekarang tentu mengalami perubahan yang selalu
berubah.

Secara historis tradisi intelektual dalam Islam dimulai dari


pemahaman terhadap Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhamad
SAW, secara berturut turut dari periode Mekah sampai Madinah.
Munculnya tradisi keilmuan dalam Islam secara umum dapat dibagi
menjadi 3 periode :

➢ Periode pertama dimana pada periode ini lahirlah pandangan hidup


Islam.
➢ Periode kedua dimulai ketika timbul kesadaran bahwa wahyu yang
turun (sudah menjadi pandangan hidup) pada dasarnya
mengandung struktur fundamental dari apa yang disebut dengan
scientific worldview.
➢ Periode ketiga adalah lahirnya tradisi keilmuan dalam Islam,
dimana tradisi keilmuan ini lahir dari konsekuensi logis dari
adanya struktur pengetahuan dalam Islam. Dari proses lahirnya
pandangan Islam yang tergambar dari tiga periode di atas dapat
disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran
yang mendorong timbulnya ilmu pengetahuan. Ajaran tentang ilmu
pengetahuan dalam Islam yang cikal bakalnya adalah konsep
konsep dasar dalam wahyu itu kemudian ditafsirkan kedalam
berbagai bentuk kehidupan dan akhirnya terakumulasi dalam
sebuah bangunan peradaban yang kokoh. Suatu peradaban yang
lahir dan tumbuh atas dukungan tradisi intelektual yang berbasis
pada wahyu.

Di dalam sejarah timbulnya tradisi kelimuan dalam Islam, juga


dikenal adanya medium transformasi dalam bentuk institusi pendidikan
yang disebut alSuffah dan komunitas intelektualnya disebut ashab al
suffah, Ashab al suffah ini adalah gambaran terbaik institusionalisasi
kegiatan belajar mengajar dalam Islam dan merupakan tonggak awal
tradisi intelektual dalam Islam dimana obyek kajiannya berpusat pada
wahyu. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi
spekulatif di Ionia yang menurut orang barat merupakan tonggak lahirnya
tradisi keilmuan Yunani, bahkan kebudayaan barat itu sendiri diklaim lahir
dari aktivitas ini. Dari komunitas inilah lahir para intelektual Islam yang
merupakan pakar pakar dalam hadits Nabi dan di Madinah juga
melahirkan suatu pendidikan yaitu diawali hijrahnya, Nabi ke Madinah
banyaknya persoalan yang di hadapi oleh Nabi ketika Madinah jauh lebih
mudah di banding ketika di Makkah, disini sebagian umat islam sudah
berkembang sangat pesat dan hidup selalu berdampingan dengan agama
lain, oleh karena itu pendidikan diberikan oleh Nabi Muhammadd SAW
menncakup urusan-urusan muamalah atu tentang kehidupan bermasyarakat
ataupun berpolitik.14

14
Suyuthi Palungan, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Hamzah), hlm. 65.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami ambil kesimpulan bahwasannya
peradaban Islam pada masa nabi Muhammad Saw terbagi menjadi dua fase
(periode) yaitu Fase Mekah dan Madinah.

Pada fase Makkah lebih ditekankan hanya pada bidang Dakwah,


karena ini adalah masa-masa awal kelahiran agama Islam. Dakwah yang
dilakukan oleh Nabi pada Fase ini terbagi menjadi dua yaitu secara
sembunyi-sembunyi dean secara terang-terangan. Meskipun dalam
prosesnya Nabi sering mendapat gangguan dan perlakuan kasar dari kaum
kafir Quraisy.

Setelah hijrah, pada fase Madinah ini ada beberapa bidang yang
dikembangkan sebagai wujud dari upaya Nabi untuk membentuk Negara
Islam diantaranya yaitu pembentukan sisitem sosial kemasyarakatan,
militer, politik, dakwah, ekonomi, dan sumber pendapatan Negara. Pada
fase ini Islam menjadi agama yang dipeluk oleh seluruh Jazirah Arab,
sebagai tanda keberhasilan dakwah Nabi Muhammad Saw.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Maka penulis sangat mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk
lebih baiknya di masa yang akan datang. Penulis juga menyarankan
kepada pembaca, agar membaca buku-buku yang berkaitan dengan Sejarah
Peradaban Islam terutama periode Rasulullah Saw. dan buku-buku yang
telah banyak ditulis oleh para ulama dan peneliti sejarah berkaitan dengan
sejarah kenabiannya. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan
perlindungan, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca
sekalian.
DAFTAR PUSTAKA

Haikal, Muhammad Husein. 1993. Hayah Muhammad (Kairo: Dar al Ma‘arif)

Kasadi, Abdurrahman. 2015. “Genealogi dan Sejarah Perkembangan Politik


Islam”. Jurnal Politik. Vol 9, No. 2. (Kudus: STAIN Kudus).

Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam, cet 2 (Jakarta: Amzah, 2010),
hlm.71.

Nasution, Syamrudin. 2013. Sejarah Peradaban Islam, (Pekanbaru, Yayasan


Pusaka Riau.

Palungan, Sututhi Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Hamzah), hlm. 65.

Ridwan H.R., 2007. Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan,


(Yogyakarta: FH UII Press).

Syukur, Abdul. 2014. Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap,


(Jogjakarta:Saufa).

Anda mungkin juga menyukai