Disusun oleh :
1. Adewiyah (2119058)
2. Dani (2119069)
Kelas G
2020
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah menerima wahyu kedua, Rasulullah menyadari tugas yang
dibebankan pada dirinya. Maka mulailah secara diam-diam ajakan orang
Islam., Mulailah dengan keluarga kemudian para sahabat dekat. Sejarah
suatu rujukan yang sangat penting untuk mewujudkan masa depan yang
lebih baik. Berkaitan dengan itu kita bisa melihat kejadian-kejadian yang
terjadi pada masa lalu, terutama bagi umat Islam. Perkembangan Islam
pada masa Nabi Muhammad Saw .. melalui berbagai macam cobaan dan
tantangan yang dihadap untuk menanamnya. Islam berkembang dengan
pesat hampir semua lapisan masyarakat dipegang dan dikendalikan oleh
Islam. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak
perubahan peradaban Islam kearah yang lebih maju.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Bentuk Peradaban Islam pada Masa Rasulullah Periode
Mekkah?
2. Bagaimana Bentuk Peradaban Islam pada Masa Rasulullah Periode
Madinah?
3. Bagaimana Partai-partai Politik pada Masa Rasulullah?
4. Bagaimana Tradisi Keilmuan di Mekkah dan Madinah?
C. Tujuan
1. Mengetahui Bentuk Peradaban Islam pada Masa Rasulullah Periode
Mekkah.
2. Mengetahui Bentuk Peradaban Islam pada Masa Rasulullah Periode
Madinah.
3. Mengetahui Partai-partai Politik pada Masa Rasulullah.
4. Mengetahui Tradisi Keilmuan di Mekkah dan Madinah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Periode Mekkah
Pada periode ini, tiga tahun pertama, dakwah islam dilakukan
secara sembunyi-sembunyi, nabi Muhammad mulai melaksanakan dakwah
islam di lingkungan keluarga, mula-mula istri beliau sendiri, yaitu
Khadijah, yang menerima dakwah beliau, kemudian Ali Bin Abi Thalib,
Abu Bakar sahabat beliau, lalu Zaid, bekas budak beliau. Di samping itu,
juga banyak orang yang masuk islam dengan perantaran Abu Bakar yang
terkenal dengan julukan Assabiqunal Awwalun (orang-orang yang lebih
dahulu masuk Islam), mereka adalah Utsman Bin Affan, Zubair bin
Awwan, Sa’ad bin Abi Waqqah, Abdur Rahman bin Auf, Thalhah bin
‘Ubaidillah, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, dan Al-Arqam bin abil Arqam yang
rumahnya dijadikan markas untuk berdakwah (rumah arqam)
1
Drs.Samsul Munir Amin,M.A. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2010, Hlm 65-68
1. Hijrahnya Nabi
Setelah mendapat perintah hijrah dari Allah Swt. Rasulullah
menemui sahabatnya Abu Bakar agar mempersiapkan segala sesuatu yang
diperlukan dalam perjalanan. Nabi juga menemui Ali dan meminta
kepadanya agar tidur di kamarnya guna mengelabuhi musuh yang
berencana membunuhnya. Senin malam Selasa itu, Nabi ditemani Abu
Bakar dalam perjalanan menuju Yatsrib. Keduanya singgah di Gua Tsur,
arah selatan Makkah untuk menghindar dari pengejaran orang kafir
Quraisy.
Mereka bersembunyi di situ selama tiga malam dan putera puteri
Abu Bakar, Abdullah, Aisyah, dan Asma’ serta sahayanya Amir bin
Fuhairah mengirim makanan setiap malam kepada mereka dan
menyampaikan kabar pergunjingan orang Makkah tentang Rasulullah.
Pada malam ketiga mereka keluar dari persembunyiannya dan melanjutkan
perjalanan menuju Yatsrib bergerak ke arah barat menuju laut merah
melawati jalan yang tidak biasa dilewati qabilah dagang ketika itu. Setelah
tujuh hari dalam perjalanan Nabi Muhammad s.a.w, dan Abu Bakar
sampai di Quba. Ketika tiba di Quba, sebuah desa yang jaraknya sekitar
10 Km dari Yatsrib, Nabi istirahat beberapa hari lamanya. Ia menginap di
rumah Kalsum bin Hindun.
Di halaman rumah tersebut Nabi membangun sebuah mesjid yang
pertama kali dibangunnya yang dikenal dengan masjid Quba. Tak lama
kemudian Ali menggabungkan diri dengan Nabi setelah menyelesaikan
segala urusannya di Makkah, sementara itu penduduk Yatsrib menunggu-
nunggu kedatangan mereka, akhirnya yang mereka tunggu itu datang
mereka sambut dengan penuh sukacita.
Pada hari Jum’at 12 Rabiulawwal tahun ke-13 Kenabian / 24
September 622 M, Nabi meninggalkan Quba, di tengah perjalanan di
perkampungan Bani Salim, Nabi melaksanakan shalat Jum’at pertama di
dalam sejarah Islam. Setelah itu, nabi melanjutkan perjalanannya menuju
Yastrib.
Sementara itu, penduduk Yatsrib telah lama menunggu-nunggu
kedatangan Nabi. Begitu Rasulullah tiba di kota Yatsrib ini beliau
melepaskan tali kekang untanya dan membiarkannya berjalan
sekehendaknya. Unta itu berhenti di sebidang kebun korma milik dua anak
yatim bernama Sahl dan Suhail yang diasuh oleh Abu Ayyub. Kebun itu
dijual dan di atasnya dibangun masjid atas perintah Rasulullah. Sejak itu
nama kota Yatsrib diubah menjadi “Madinatun Nabi”, tetapi dalam
kehidupan sehari-hari biasa disebut “Madinah” saja.
Berbeda dengan periode Makkah di mana umat Islam merupakan
kelompok minoritas, pada periode Madinah mereka menjadi kelompok
mayoritas. Di Makkah Rasulullah hanya berfungsi sebagai seorang Rasul,
tetapi di Madinah beliau selain sebagai seorang Rasul dia juga sebagai
Kepala Negara.2
2. Pembentukan Masyarakat Madani
Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan negara baru umat
islam di Madinah, Nabi Muhammad SAW segera meletakkan dasar-dasar
kehidupan bermasyarakat. Ada empat pondasi dasar kehidupan yang
dilakukan oleh beliau, sebagaimana berikut:
• Pembangunan Masjid
Selain untuk tempat ibadah, pembangunan masjid juga sebagai
sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin sekaligus
mempererat tali jiwa mereka.
• Pembangunan masjid Quba
Masjid Quba adalah masjid pertama yang dibangun setelah masa
kenabian. Masjid Quba dibangun diatas sebidang tanah milik keluarga
Kalsum dari kabilah Amir bin Auf yang diwakafkannya kepada Nabi
Muhammad SAW setibanya di Quba. Nabi sendiri yang mendesain masjid
tersebut. Bahkan beliau ikut bekerja membangun masjid tersebut.
• Pembangunan masjid Nabawi
2
Syamruddin Nasution, Sejarah Peradaban Islam,(Pekanbaru, Yayasan Pusaka Riau,
2013)hlm 43.
Masjid ini dibagun pada bulan Rabi’ul awal tahun pertama Hijriyah
atau bertepatan pada bulan September 662 M. Area yang hendak dibangun
Masjid Nabawi saat itu terdapat bangunan yang dimiliki oleh Bani Najjar.
Namun, Bani Najjar dengan suka rela mewakafkan bangunan dan tanah
mereka untuk pembangunan Masjid Nabawi, dan mereka hanya berharap
pahala dari sisi Allah Swt. atas amalan mereka tersebut. Sejak awal
berdirinya, Masjid Nabawi bukan hanya untuk tempat beribadah,
melainkan juga merupakan tempat belajar bagi kaum muslimin (Kaum
Anshar dan Muhajirin) untuk memperoleh pengajaran Islam dan
bimbingan dari Nabi Muhammad Saw.
Selain itu, masjid ini juga sebagai tempat pertemuan dan untuk
mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh
perselisihan semasa jahiliah. Tidak hanya itu, Masjid Nabawi juga sebagai
tempat mengatur segala urusan sekaligus sebagai gedung parlemen untuk
bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan yang dipimpin Nabi
Muhammad Saw. Selain itu semua, Masjid Nabawi juga dijadikan tempat
tinggal dan bermukim orang-orang Muhajirin yang miskin, yang datang ke
Madinah tanpa memiliki harta, tidak memiliki kerabat, atau yang masih
belum berkeluarga.
Banyak keistimewaan yang dimiliki oleh Masjid Nabawi. Selain
sebagai salah satu masjid tertua dan dibangun Iangsung oleh Nabi
Muhammad Saw., serta menjadi saksi sejarah perjuangan beliau dalam
mengembangkan syiar Islam, masjid ini juga tempat peristirahatan
Baginda Rasul. Beliau dimakamkan di tengah-tengah bagian Masjid
Nabawi. Makam nabi tidaklah sama dengan makam-makam lainnya yang
ada di dunia. Makamnya ditutup dan dibatasi oleh pagar yang tinggi serta
berhiaskan kaligrafi-kaligrafi.3
3. Ukhuwah islamiyah, persaudaraan sesama muslim
Dalam meletakkan dasar kehidupan umatnya, Nabi Muhammad
Saw. mempersaudarakan antara orang-orang yang hijrah dari Makkah ke
3
Abdul Syukur. Kitab Sejarah Peradaban Islam Terlengkap,(Jogjakarta:Saufa,2014)hlm.39.
Madinah (Muhajirin), dengan penduduk Madinah yang sudah masuk Islam
dan ikut membantu kaum Muhajirin tersebut (Anshar). Dengan demikian
diharapkan, setiap muslim merasa terikat dalam satu persaudaraan dan
kekeluargaan. Beliau melakukan ini bertujuan untuk menciptakan suatu
bentuk persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama,
menggantikan persaudaraan berdasarkan darah atau kabilah.
Pada saat itu, kaum Anshar membagikan rumah yang mereka
miliki, bahkan harta mereka. Persaudaraan ini terjadi lebih kuat daripada
hanya persaudaraan yang berdasarkan keturunan. Kondisi kaum Muhajirin
ketika itu memang cukup memprihatinkan karena mereka hijrah tanpa
membawa harta benda, barang berharga ditinggalkan di Makkah. Pada
perjanjian awal, kaum Muhajirin harus membantu bercocok tanam, namun
mereka tidak berpengalaman dalam hal itu, sehingga mereka harus bekerja
sebagai buruh kasar di kebun milik orang Yahudi dan Anshar. Misalnya,
menebang pohon, menyiram pohon, dan lain-lain. tulah sebabnya, Nabi
Muhammad Saw. memberikan solusi kepada kaum Muhajirin untuk
dipersaudarakan dengan kaum Anshar. Mereka harus saling membantu dan
bekerja sama.4
4. Persahabatan dengan orang diluar islam
Penduduk Madinah di awal kedatangan Rasulullah terdiri dari tiga
kelompok, yaitu bangsa Arab muslim, bangsa Arab non-muslim dan orang
Yahudi. Untuk menyelaraskan hubungan antara tiga kelompok itu, Nabi
mengadakan perjanjian dalam piagam yang disebut “Konstitusi Madinah”,
yang isinya antara lain:
1) Pertama, Semua kelompok yang menandatangani piagam merupakan
suatu bangsa.
2) Kedua, Bila salah satu kelompok diserang musuh, maka kelompok
lain wajib untuk membelanya.
3) Ketiga, Masing-masing kelompok tidak dibenarkan membuat
perjanjian dalam bentuk apapun dengan orang Quraisy.
4
Ibid.,42.
4) Keempat, Masing-masing kelompok bebas menjalankan ajaran
agamanya tanpa campur tangan kelompok lain.
5) Kelima, Kewajiban penduduk Madinah, baik kaum Muslimin, non-
Muslim, ataupun bangsa Yahudi, saling bantu membantu moril dan
materiil.
6) Keenam, Nabi Muhammad adalah pemimpin seluruh penduduk
Madinah dan dia menyelesaikan masalah yang timbul antar kelompok.
Berdasarkan konstitusi di atas, dapat diketahui bahwa Nabi telah
membentuk negara Islam di Madinah dan Rasulullah menjadi kepala
pemerintahannya yang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan segala
masalah yang timbul berdasarkan konsitusi.
Oleh karena itu di Madinah Nabi Muhammad mempunyai
kedudukan bukan saja sebagai Rasul agama, tetapi juga sebagai kepala
negara. Dengan kata lain, dalam diri Nabi terkumpul dua kekuasaan,
kekuasaan spiritual dan kekuasaan duniawi.5
5. Meletakkan dasar-dasar politik, ekonomi, dan sosial
Dengan segala usaha kegigihannya, Nabi Muhammad Saw. telah
membentuk kota Madinah menjadi sebuah kehidupan yang mulia dan
penuh dengan nilai-nilai utama. Sejak beliau hijrah ke kota ini, terjadi
sebuah persaudaraan yang jujur dan kokoh, ada solidaritas yang erat di
antara anggota masyarakatnya. Demi mencapai kesejahteraan dan
kedamaian masyarakat saat itu, Nabi Muhammad Saw. meletakkan dasar-
dasar politik, ekonomi, dan sosial.6
a) Peperangan dalam islam
b) Perang Badar (17 Ramadhan 2 H)
c) Perang Uhud (Sya'ban 3 H)
d) Perang Khandaq (Syawal 5 H)
e) Perang Mu’tah (8H)
f) Perang Hunain (8 Safar 8 H)
5
Syamruddin Nasution, Op .Cit 45.
6
Abdul Syukur, Op.Cit.,46.
g) Perang Tha’if (8 H)
h) Perang Tabuk (9 H)
i) Perang Widan (12 Rabiul awal 2 H)
1) Perjanjian Hudaibiyah
Pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, Nabi
Muhammad dengan sekitar seribu kaum muslimin berangkat ke Mekkah
bukan untuk berperang, tetapi untuk melaksanakan ibadah umrah, namun
penduduk Mekah tidak mengizinkan mereka masuk. Akibatnya, diadakan
perjanjian Hudaibiyah yang isinya antara lain sebagai berikut:
a) Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah tahun
itu, tetapi ditangguhkan sampai tahun depan.
b) Lama kunjungan dibatasi hanya sampai tiga hari.
c) Kaum muslimin wajib mengembalikan orang-orang Mekah
yang melarikan diri ke Madinah, namun sebaliknya, pihak
Quraisy tidak harus menolak orang-orang Madinah yang
kembali ke Mekah.
d) Selama sepuluh tahun diberlakukan gencatan senjata antara
masyarakat Madinah dan Mekah.
e) Tiap kabilah yang ingin masuk ke dalam persekutuan kaum
Quraisy atau kaum muslimin, bebas melakukannya tanpa
mendapat rintangan.
• Fathu Mekkah
Setelah dua tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, dakwah
Islam sudah menjangkau seluruh jazirah Arab, hingga hampir ke pelosok
jazirah Arab. Hal tersebut membuat orang-orang kafir Mekah khawatir dan
merasa terpojok, oleh karena itu, orang-orang kafir Quraisy secara sepihak
melanggar perjanjian Hudaibiyah. Melihat hal ini, nabi kemudian bersama
dengan sepuluh tentara bertolak ke Mekah untuk menghadapi kaum kafir.
Meski demikian masih ada dua suku Arab yang masih menentang,
yaitu Bani Tsaqif dan Bani awazin. Kedua suku ini kemudian bersatu
untuk memerangi Islam. Mereka ingin menuntut atas penghancuran
berhala-berhala yang dihancurkan Nabi dan umat islam pada waktu
penyerbuan Mekah. Akan tetapi, merka dapat dngan mudah ditaklukkan.7
• Haji Wada
Pada tahun 10 H Nabi menunaikan ibadah Haji yang dikenal
dengan Haji Wada’. Didepan kurang lebih 100.000 orang kaum muslimin
Nabi berkhutbah yang isinya antara lain:
a. Pertama, jangan menumpahkan darah kecuali dengan hak.
b. Kedua, jangan mengambil harta orang lain dengan bathil.
c. Ketiga, jangan riba dan menganiaya.
d. Keempat, jangan balas dendam dengan tebusan dosa.
e. Kelima, memperlalukuan para istri dengan baik dan lemah
Lembut.
f. Keenam, perintah menjauhi dosa.
g. Ketujuh, perintah saling memaafkan atas semua
pertengkaran antara mereka di zaman jahiliyah.
h. Kedelapan, tegakkan persaudaraan dan persamaan antara
manusia.
i. Kesembilan, perintah memperlakukan hamba sahaya
dengan baik.
7
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, cet 2 (Jakarta: Amzah, 2010)hlm.71.
j. Kesepuluh, perintah harus berpegang teguh kepada dua
sumber yang ditinggalkan Nabi, yaitu al-Qur’an dan
Sunnah.
• Nabi Wafat
Tiga bulan setelah Nabi kembali ke Madinah, beliau menderita
sakit. Abu Bakar disuruh Nabi mengimami kaum muslimin dalam sholat
sebanyak tiga kali, bila beliau tidak sanggup melakukannya. Sakit Nabi itu
berlangsung selama 14 hari. Akhirnya beliau menghembuskan nafas
terakhir pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal 11 H, dalam usia 63 tahun di
rumah istrinya ‘Aisyah.
Kaum muslimin yang diberitahukan atas wafatnya Nabi itu
dicekam kebingungan, tetapi Abu Bakar tampil membacakan ayat al-
Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 144, dan berpidato: “wahai manusia, barang
siapa memuja Nabi Muhammad, maka Nabi Muhammad telah wafat.
Tetapi barang siapa memuja Allah Swt. maka Allah Swt. hidup selama-
lamanya.8
8
Syamruddin Nasution, Op.Cit.,60.
9
Ridwan H.R., Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007),
hlm. 111.
meminta kepada beliau untuk menghentikan dakwah dengan kompensasi
harta dan jabatan, beliau tetap teguh dalam menyebarkan ajaran Islam.
Dakwah Rasulullah dalam menyebarkan ajaran Islam pada awalnya
dilaksanakan di Mekah, kemudian dilanjutkan di Yatsrib (Madinah).
Menurut Haikal, pada periode Mekah umat Islam belum memulai
kehidupan bernegara dan Nabi sendiri ketika itu tidak bermaksud
mendirikan suatu Negara.
Misi Nabi selama di Mekah terfokus pada tiga hal utama sebagai
berikut. Pertama, mengajak manusia agar meyakini bahwa tidak ada Tuhan
yang patut disembah selain Allah swt., percaya kepada malaikat, rasul, hari
kemudian, dan hal-hal yang berkaitan dengan rukun iman. Kedua,
mengajarkan kepada manusia nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi agar
mereka tidak tertipu oleh godaan hidup duniawi yang menyilaukan.
Ketiga, mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.10
10
Muhammad Husein Haikal, al-Hukumah al-Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Ma‘arif, t.t.), hlm. 180
dengan harapan yang diletakkan pada masyarakat Mekah, bahkan beliau
mendapatkan perlakuan yang sangat kejam dan tidak manusiawi.
Adanya penolakan, penganiayaan, dan pengusiran penduduk Mekah dan
masyarakat Thaif, tampaknya dakwah Islam mengalami stagnasi.
Fenomena ini mendorong Nabi untuk mengarahkan dakwah beliau kepada
penduduk Yatsrib. Kebetulan saat itu kondisi Yatsrib sedang kacau balau
akibat perang Bu’ats, perang besar yang nyaris menamatkan riwayat suku
Aus dan Khazraj selaku aktor utama peperangan ini. Dakwah tersebut
melahirkan perjanjian antara Nabi dengan kaum Muslim Yatsrib, yang
kemudian dikenal dengan Bay’ah ‘Aqabah dan terjadi dua kali. Bay’ah
‘Aqabah inilah yang dipandang sebagai “pakta persekutuan” antara
Nabi dan kaum muslim Yatsrib. Di dalam perjanjian tersebut
disepakati oleh kedua belah pihak untuk saling membantu, melindungi,
dan membela keselamatan, serta kepentingan masing-masing.
11
Abdurrahman Kasdi, “Genealogi dan Sejarah Perkembangan Politik Islam”, Jurnal Politik, Vol 9,
No. 2, 2015, (Kudus: STAIN Kudus), hlm. 282-283.
Rasulullah sangat paham bagaimana mengatasi kondisi sosial
heterogen Madinah yang menyimpan latenitas konflik akut. Atas dasar itu,
setelah membangun masjid sebagai sentra aktivitas, langkah selanjutnya
adalah memperkokoh persatuan di kalangan Muhajirin dan Anshar dengan
cara mempersaudarakan mereka, sampai dapat dikatakan bahwa tidak
seorang pun dari kaum Muhajirin yang tidak mempunyai saudara dari
kaum Anshar. Beliau melakukan konsolidasi kehidupan masyarakat
Madinah yang heterogen tersebut, dengan melakukan penataan dan
pengendalian sosial masyarakat secara bijaksana untuk mengatur
hubungan antara golongan dalam berbagai bidang kehidupan.
12
Muhammad Husein Haikal, Hayah Muhammad (Kairo: Dar al Ma‘arif, 1993), cet ke-19, hlm.
189-191.
Sayid Ahmad Faraj mengategorikan Piagam Madinah sebagai
undang-undang suatu negara yang baru muncul, yang di dalamnya
mengatur kekuasaan politik, hak-hak manusia, dan pengelolaan urusan
masyarakat. Ia merupakan peraturan asasi mengenai sistem politik dan
sosial bagi komunitas Islam dan mengatur hubungan dengan komunitas
lainnya. Perjanjian ini tidak hanya menghadirkan sebuah aturan
masyarakat, namun juga merupakan dokumen yang mendasari
terbentuknya sebuah negara. Menurut Munawir Sjadzali, fondasi yang
telah diletakkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan
bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah adalah:
Berangkat dari fakta historis di atas, para pemikir politik Islam lain
seperti Dliya’ ar-Rais juga menyimpulkan bahwa posisi Nabi di Madinah
bukan hanya sebagai pemimpin agama, melainkan juga pemimpin politik.
Hal ini juga dikemukakan oleh Muhammad Jalal Syaraf dan Ali Abdul
Mu’thi, yang menegaskan bahwa dalam waktu yang bersamaan Rasulullah
mampu menampilkan dirinya sebagai rasul dan sebagai kepala negara.
Nabi bukan hanya Pemimpin spiritual umat Islam, melainkan juga
pemimpin politik yang ulung.
14
Suyuthi Palungan, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Hamzah), hlm. 65.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami ambil kesimpulan bahwasannya
peradaban Islam pada masa nabi Muhammad Saw terbagi menjadi dua fase
(periode) yaitu Fase Mekah dan Madinah.
Setelah hijrah, pada fase Madinah ini ada beberapa bidang yang
dikembangkan sebagai wujud dari upaya Nabi untuk membentuk Negara
Islam diantaranya yaitu pembentukan sisitem sosial kemasyarakatan,
militer, politik, dakwah, ekonomi, dan sumber pendapatan Negara. Pada
fase ini Islam menjadi agama yang dipeluk oleh seluruh Jazirah Arab,
sebagai tanda keberhasilan dakwah Nabi Muhammad Saw.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Maka penulis sangat mengharapkan kritikan yang dapat mendukung untuk
lebih baiknya di masa yang akan datang. Penulis juga menyarankan
kepada pembaca, agar membaca buku-buku yang berkaitan dengan Sejarah
Peradaban Islam terutama periode Rasulullah Saw. dan buku-buku yang
telah banyak ditulis oleh para ulama dan peneliti sejarah berkaitan dengan
sejarah kenabiannya. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan
perlindungan, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca
sekalian.
DAFTAR PUSTAKA
Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam, cet 2 (Jakarta: Amzah, 2010),
hlm.71.