Beranda / Artikel
Artikel
Pesan dari P.K. Ojong itu sungguh dahsyat. Sebuah kredo yang harus dijunjung
tinggi tidak hanya oleh wartawan Kompas, namun semua wartawan di seluruh dunia.
Independensi, sikap kritis, fungsi kontrol, menjaga jarak dari kepentingan bisnis dan
kekuasaan, membela keadilan, menyuarakan kebenaran adalah “ayat suci” yang
harus dijunjung tinggi media, maupun seorang wartawan.
Apa boleh buat dengan kredo semacam itu pilihan hidup menjadi seorang wartawan
mirip laku asketisme. Suatu gaya hidup bercirikan laku-tirakat atau berpantang
kenikmatan-kenikmatan duniawi, yang seringkali dilakukan untuk mencapai maksud-
maksud rohani. Jadilah profesi wartawan itu mirip-mirip dengan ulama, pendeta,
atau tokoh agama lainnya.
Semua prinsip-prinsip ideal itu saat ini ramai dipertanyakan. Apakah Kompas sudah
bergeser idealismenya? Apakah petuah pendiri Kompas itu telah berubah menjadi
slogan kosong yang tidak lagi berarti?
Kompas edisi Senin (3/12) ternyata memilih menurunkan berita utama tentang
ancaman polusi sampah plastik. Berita Reuni 212 hanya ditempatkan di halaman 15
dengan porsi pemberitaan yang kecil. Halaman 15 atau halaman umum, adalah
halaman sambungan dan berita lain yang tidak terlalu penting. Cukup asal ada saja.
Redaksi Kompas bisa berkilah bahwa setiap Senin mereka menyiapkan agenda
setting. Sebuah pilihan atas topik-topik penting yang agendanya perlu didesakkan
kepada publik. Topik semacam ini biasanya disiapkan jauh-jauh hari untuk
menyiasati kekosongan berita pada akhir pekan. Sifatnya timeless, tidak
mementingkan aktualitas. Bisa ditayangkan kapan saja.
Rasanya terlalu naif bila redaksi Kompas tidak mengetahui bahwa pada tanggal 2
Desember akan ada agenda tahunan Reuni 212. Secara jurnalistik peristiwa itu jelas
merupakan peristiwa penting. Ada sekelompok, ribuan, bahkan jutaan orang
berkumpul di Monas memperingati sebuah peristiwa bersejarah, Aksi 212. Sebuah
peristiwa terbesar dalam sejarah protes massa yang pernah terjadi di Indonesia.
Ketika muncul gugatan terhadap Kompas, banyak yang membela dengan dalih
kebebasan redaksi. Mereka bebas menentukan apa yang dimuat, dan apa yang
tidak dimuat. Pertanyaannya? Kebebasan macam apa bila bertentangan dengan
akal sehat dan prinsip-prinsip jurnalisme universal?
Ulama berpengaruh Abdullah Gymnastiar dalam program ILC menyatakan lepas dari
afiliasi politik maupun agamanya, massa ini berkumpul menyuarakan ketidakadilan
(perceive unjustice). Umat Islam menurut Aa Gym merasa sakit hatinya disebut
radikal, intoleran, ingin memisahkan diri, anti NKRI dan berbagai stigma negatif
lainnya.
Perasaan yang sama itulah yang membuat orang datang berduyun-duyun ke Monas.
Banyak diantaranya yang berasal daerah dan luar negeri sudah sejak lama
menabung, menyiapkan bekal untuk hadir.
Dalam perspektif politik Jawa, apa yang dilakukan oleh massa Reuni 212 itu sama
seperti laku “topo pepe.” Sebuah protes terhadap raja yang dilakukan dengan cara
berjemur dan berdiam diri di alun-alun depan Istana. Bedanya seorang Raja Jawa
akan menemui para pemrotes, dan menampung aspirasinya. Sementara Jokowi
memilih meninggalkan Istana atau dalam bahasa Jawa disebut nglungani, dan
melakukan “blusukan” di Bogor, Jabar.
Filosof dan aktivis demokrasi Rocky Gerung (Roger) menyatakan peristiwa itu
settingnya sama dengan ketika pejuang hak-hak sipil AS Marthin Luther King
memimpin ratusan ribu orang melakukan protes menuntut persamaan hak di
Washington DC pada tanggal 28 Agustus 1963. Jika peristiwa Aksi 212 pada 2
Desember 2016 merupakan sebuah momen, maka Reuni 212 yang terjadi Ahad lalu
telah menjadi monumen.
Sebagai sebuah peristiwa, Reuni 212 jelas merupakan peristiwa istimewa. Stasiun
berita TV One bahkan sampai membuat siaran langsung. TV One bahkan
mengangkat topik itu dalam program talk show Indonesia Lawyer Club (ILC). TV
One banjir pujian karena keberaniannya menentang arus.
Karni ilyas@karniilyas
Dear Pemirsa TV One; Terima kasih atas semua atensi dan apresiasi.
Sesungguhnya kami hanya menjalankan tugas jurnalistik: memberitakan peristiwa
yg terjadi di ruang publik. Tidak lebih.
19,1 rb
13.10 - 3 Des 2018
Info dan privasi Iklan Twitter
Hanya pada Aksi 212 tahun 2016, Kompas memberi porsi berita sangat besar di
halaman utama. Kompas memuat judul besar “Terima Kasih” dilengkapi dengan foto
yang ikonik lautan massa di Monas. Pada foto bawah terlihat Presiden Jokowi
berjalan di bawah guyuran hujan menuju Monas.
Mengapa sikap Kompas yang tidak memberitakan peristiwa Reuni 212 menjadi
sorotan dan perhatian publik? Sebagai media, Kompas adalah media cetak terbesar
dan terpenting di Indonesia. Sikap dan pilihan politiknya akan sangat menentukan.
Kompas juga mempunyai sejarah panjang dalam jatuh bangunnya pergulatan pers
Indonesia.
Singkat cerita koran yang semula akan diberi nama Bentara Rakyat itu terbit sebagai
corong Partai Katolik. Nama yang dipilih Kompas, sesuai pemberian Presiden
Soekarno. Pemimpin Redaksi pertamanya adalah Jacob Oetama.
Kompas harus bisa menjelaskan kepada publik bahwa kebijakan redaksinya benar-
benar didasarkan pada prinsip-prinsip jurnalistik yang universal. Bukan hanya
karena ingin menjilat penguasa, seperti telah diingatkan oleh P.K. Ojong, apalagi
pilihan ideologis karena berseberangan dengan para pendukung Reuni 212.
Bila benar itu pilihan ideologi dan politik, maka akan menjadi semacam “bunuh diri”
jurnalisme ala Kompas. End
Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/bunuh-diri-jurnalisme-harian-kompas/