Anda di halaman 1dari 8

Ilustrasi "Bunuh Diri" Jurnalisme Harian Kompas

Beranda / Artikel
Artikel

“Bunuh Diri” Jurnalisme Harian Kompas


1 hari lalu

 7.168 dibaca dalam 4 menit

Oleh : Hersubeno Arief

“Tugas pers bukanlah untuk menjilat penguasa, tapi mengkritik


orang yang sedang berkuasa.”
—P.K. Ojong—
Kutipan statement tegas dan gagah dari pendiri Harian Umum Kompas itu dalam
beberapa hari ini menyebar cepat di media sosial (medsos). Setelah ditelusuri
pernyataan lengkapnya berbunyi: 
“Secara intituitif setiap orang merasakan bahwa tugas utama pers adalah
mengontrol dan kalau perlu mengecam pemerintah. Wartawan jangan sekali-sekali
meminta dan menerima fasilitas dari pejabat. Sekali hal itu terjadi, ia tidak bebas lagi
menghadapi pejabat itu dalam profesinya. Tugas pers bukanlah untuk menjilat
penguasa tapi untuk mengkritik yang sedang berkuasa.” 

Pesan dari P.K. Ojong itu sungguh dahsyat. Sebuah kredo yang harus dijunjung
tinggi tidak hanya oleh wartawan Kompas, namun semua wartawan di seluruh dunia.
Independensi, sikap kritis, fungsi kontrol, menjaga jarak dari kepentingan bisnis dan
kekuasaan, membela keadilan, menyuarakan kebenaran adalah “ayat suci” yang
harus dijunjung tinggi media, maupun seorang wartawan.

Apa boleh buat dengan kredo semacam itu pilihan hidup menjadi seorang wartawan
mirip laku asketisme. Suatu gaya hidup bercirikan laku-tirakat atau berpantang
kenikmatan-kenikmatan duniawi, yang seringkali dilakukan untuk mencapai maksud-
maksud rohani. Jadilah profesi wartawan itu mirip-mirip dengan ulama, pendeta,
atau tokoh agama lainnya.
Semua prinsip-prinsip ideal itu saat ini ramai dipertanyakan. Apakah Kompas sudah
bergeser idealismenya? Apakah petuah pendiri Kompas itu telah berubah menjadi
slogan kosong yang tidak lagi berarti? 

Pilihan Kompas tidak untuk menampilkan Reuni 212 di halaman muka menimbulkan


pertanyaan, bahkan gugatan. Di medsos bergema seruan untuk memboikot
Kompas, bahkan ada yang menyatakan langsung berhenti berlangganan.
Apakah Kompas menganggap peristiwa luar biasa itu bukan sebuah peristiwa
penting? Tidak ada nilai beritanya? Atau Kompas sengaja “meniadakan” peristiwa itu
karena adanya perbedaan kepentingan ideologi dan politik?
Halaman muka adalah etalase sekaligus kebijakan politik redaksi (Editorial policy).
Apa yang dinilai penting dan tidak penting, bagaimana sikap dan penyikapan, serta
pilihan politik redaksi, dapat terlihat dari halaman muka. 
Secara bisnis (jualan) halaman muka diperuntukkan untuk berita yang diperkirakan
akan dapat mengangkat tiras sebuah media. Di tengah terus menurunnya tiras
media cetak, peristiwa di Monas tentu tak boleh dilewatkan begitu saja. Jutaan orang
berkumpul di Monas rasanya terlalu naif, atau bodoh malahan, untuk diabaikan
sebagai pasar yang bisa dibidik. Kecuali, Kompas memang sudah punya pilihan dan
penyikapan politik yang berseberangan dengan Reuni 212. 

Kompas edisi Senin (3/12) ternyata memilih menurunkan berita utama tentang
ancaman polusi sampah plastik. Berita Reuni 212 hanya ditempatkan di halaman 15
dengan porsi pemberitaan yang kecil. Halaman 15 atau halaman umum, adalah
halaman sambungan dan berita lain yang tidak terlalu penting. Cukup asal ada saja.
Redaksi Kompas bisa berkilah bahwa setiap Senin mereka menyiapkan agenda
setting. Sebuah pilihan atas topik-topik penting yang agendanya perlu didesakkan
kepada publik. Topik semacam ini biasanya disiapkan jauh-jauh hari untuk
menyiasati kekosongan berita pada akhir pekan. Sifatnya timeless, tidak
mementingkan aktualitas. Bisa ditayangkan kapan saja.
Rasanya terlalu naif bila redaksi Kompas tidak mengetahui bahwa pada tanggal 2
Desember akan ada agenda tahunan Reuni 212. Secara jurnalistik peristiwa itu jelas
merupakan peristiwa penting. Ada sekelompok, ribuan, bahkan jutaan orang
berkumpul di Monas memperingati sebuah peristiwa bersejarah, Aksi 212. Sebuah
peristiwa terbesar dalam sejarah protes massa yang pernah terjadi di Indonesia.

Ketika muncul gugatan terhadap Kompas, banyak yang membela dengan dalih
kebebasan redaksi. Mereka bebas menentukan apa yang dimuat, dan apa yang
tidak dimuat. Pertanyaannya? Kebebasan macam apa bila bertentangan dengan
akal sehat dan prinsip-prinsip jurnalisme universal? 

Ulama berpengaruh Abdullah Gymnastiar dalam program ILC menyatakan lepas dari
afiliasi politik maupun agamanya, massa ini berkumpul menyuarakan ketidakadilan
(perceive unjustice). Umat Islam menurut Aa Gym merasa sakit hatinya disebut
radikal, intoleran, ingin memisahkan diri, anti NKRI dan berbagai stigma negatif
lainnya.
Perasaan yang sama itulah yang membuat orang datang berduyun-duyun ke Monas.
Banyak diantaranya yang berasal daerah dan luar negeri sudah sejak lama
menabung, menyiapkan bekal untuk hadir.  

Dalam perspektif politik Jawa, apa yang dilakukan oleh massa Reuni 212 itu sama
seperti laku “topo pepe.” Sebuah protes terhadap raja yang dilakukan dengan cara
berjemur dan berdiam diri di alun-alun depan Istana. Bedanya seorang Raja Jawa
akan menemui para pemrotes, dan menampung aspirasinya. Sementara Jokowi
memilih meninggalkan Istana atau dalam bahasa Jawa disebut nglungani, dan
melakukan “blusukan” di Bogor, Jabar.
Filosof dan aktivis demokrasi Rocky Gerung (Roger) menyatakan peristiwa itu
settingnya sama dengan ketika pejuang hak-hak sipil AS Marthin Luther King
memimpin ratusan ribu orang melakukan protes menuntut persamaan hak di
Washington DC pada tanggal 28 Agustus 1963. Jika peristiwa Aksi 212 pada 2
Desember 2016 merupakan sebuah momen, maka Reuni 212 yang terjadi Ahad lalu
telah menjadi monumen.

Sikap sejumlah media termasuk Kompas yang mencoba “menenggelamkan”


peristiwa sangat dikecam oleh Roger. Secara keras dia menyebutnya sebagai
Penggelapan sejarah!
 

Sebagai sebuah peristiwa, Reuni 212 jelas merupakan peristiwa istimewa. Stasiun
berita TV One bahkan sampai membuat siaran langsung. TV One bahkan
mengangkat topik itu dalam program talk show Indonesia Lawyer Club (ILC). TV
One banjir pujian karena keberaniannya menentang arus.

Namun Pemimpin Redaksi TV One Karni Ilyas menanggapinya dengan biasa-biasa


saja. “Dear Pemirsa TV One; Terima kasih atas semua atensi dan apresiasi.
Sesungguhnya kami hanya menjalankan tugas jurnalistik: memberitakan peristiwa
yg terjadi di ruang publik. Tidak lebih,” tulis Karni di akun twitternya.

 
Karni ilyas@karniilyas

Dear Pemirsa TV One; Terima kasih atas semua atensi dan apresiasi.
Sesungguhnya kami hanya menjalankan tugas jurnalistik: memberitakan peristiwa
yg terjadi di ruang publik. Tidak lebih.

19,1 rb
13.10 - 3 Des 2018
Info dan privasi Iklan Twitter

8.389 orang memperbincangkan tentang ini

Info dan privasi Iklan Twitter

Bukan untuk pertamakali


Bila kita membuka-buka kembali arsip lama, ternyata bukan hanya kali ini saja
Kompas mengabaikan Reuni 212. Pada tahun 2017 Kompas juga tidak memberi
porsi peristiwa tersebut di halaman muka. 
Pada edisi Ahad, 3 Desember 2017, Kompas memilih foto peristiwa peringatan
puncak Hari Guru sebagai foto utama. Dari sisi berita, peristiwa tersebut tidak aktual.
Hari Guru jatuh setiap tanggal 25 November. Pada tahun lalu diperingati pada
tanggal 2 Desember bersamaan dengan Reuni 212.  

Hanya pada Aksi 212 tahun 2016, Kompas memberi porsi berita sangat besar di
halaman utama. Kompas memuat judul besar “Terima Kasih” dilengkapi dengan foto
yang ikonik lautan massa di Monas. Pada foto bawah terlihat Presiden Jokowi
berjalan di bawah guyuran hujan menuju Monas.
Mengapa sikap Kompas yang tidak memberitakan peristiwa Reuni 212 menjadi
sorotan dan perhatian publik? Sebagai media, Kompas adalah media cetak terbesar
dan terpenting di Indonesia. Sikap dan pilihan politiknya akan sangat menentukan.
Kompas juga mempunyai sejarah panjang dalam jatuh bangunnya pergulatan pers
Indonesia.

Mengutip laman wikipedia ide awal penerbitan harian Kompas datang dari Jenderal


Ahmad Yani, yang mengutarakan keinginannya kepada Frans Xaverius Seda untuk
menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen. 
Ahmad Yani menginginkan ada media yang bisa menandingi wacana Partai
Komunis Indonesia. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada dua
teman baiknya, Peter Kanisius Ojong (Auwjong Peng Koen), seorang pimpinan
redaksi mingguan Star Weekly, dan Jakob Oetama, wartawan mingguan Penabur
milik gereja Katolik.

Singkat cerita koran yang semula akan diberi nama Bentara Rakyat itu terbit sebagai
corong Partai Katolik. Nama yang dipilih Kompas, sesuai pemberian Presiden
Soekarno. Pemimpin Redaksi pertamanya adalah Jacob Oetama.

Dengan latar belakang Kompas seperti, dugaan adanya faktor “kesengajaan”


menenggelamkan berita Reuni 212 menjadi sangat sensitif.

Kompas harus bisa menjelaskan kepada publik bahwa kebijakan redaksinya benar-
benar didasarkan pada prinsip-prinsip jurnalistik yang universal. Bukan hanya
karena ingin menjilat penguasa, seperti telah diingatkan oleh P.K. Ojong, apalagi
pilihan ideologis karena berseberangan dengan para pendukung Reuni 212.

Bila benar itu pilihan ideologi dan politik, maka akan menjadi semacam “bunuh diri”
jurnalisme ala Kompas. End

Sumber: https://www.hersubenoarief.com/artikel/bunuh-diri-jurnalisme-harian-kompas/

Anda mungkin juga menyukai