Anda di halaman 1dari 2

Politik Menjijikkan

Media Indonesia • 26 January 2024 06:04

TEMAN saya belakangan ini uring-uringan. Dia geregetan, marah, geram, di tengah kian
memanasnya hiruk pikuk perpolitikan. Dari dulu dia tidak terlalu suka dan sekarang bilang
semakin tidak suka dengan politik. Apa pasal?

Teman saya itu rupanya penganut paham bahwa politik itu kotor. Dia punya prinsip politik itu
kejam karena begitu berkuasanya naluri dan nafsu untuk berebut kekuasaan.

Teman saya itu pun semakin yakin, haqqul yaqin, politik tak punya sopan santun, niradab,
tunaetika. Sejumlah fakta di pilpres kali ini dia sodorkan sebagai pembenaran. Yang paling
dia soal ialah proses Gibran menjadi cawapres. Proses instan, akal-akalan, yang kental
dengan campur tangan ordal, orang dalam. Proses yang mewakili model penggunaan segala
cara.

Yang dia gugat ialah tabiat Gibran. Di atas panggung debat cawapres, Gibran memang
mendapat sorotan. Dia beberapa kali berlaku yang di mata banyak orang tak pantas, tak patut,
tak sopan, tak beretika, kemlinthi, kementhus, songong. Sebagai cawapres muda, dia tidak
mencerminkan anak muda yang semestinya.

Yang juga diusik teman saya ialah perilaku banyak politikus yang bertekuk lutut di kaki
syahwat pengabaian etika. Dia tak habis pikir dengan politikus yang begitu mudah, teramat
gampang, berubah sikap dan pikiran. Dulu berseberangan, mengkritik habis-habisan Jokowi,
sekarang menjelma sebagai pemuja luar biasa bapaknya Gibran.

Mereka begitu sigap berganti posisi karena partai mereka berubah dukungan. Mereka seperti
ucapan tokoh Britania Raya Winston Churchill, “Beberapa orang mengubah partai mereka
demi prinsip mereka; yang lain, mengubah prinsip mereka demi partai mereka.”

Teman saya itu secara khusus menyoal duo F, Fahri Hamzah dan Fadli Zon. Utamanya Fahri.
Dia mempertanyakan kenapa Fahri yang dulu idealis dan amat kritis kini gigih membela,
menjadi die hard-nya, penguasa. Seolah tidak peduli meski yang dibela itu gemar menabrak
aturan untuk terus menggenggam kekuasaan.

Teman saya tidak sendirian. Banyak, termasuk saya, yang punya persepsi serupa. Bahkan ada
yang menyandingkan, memirip-miripkan, Fahri dengan Ali Mochtar Ngabalin. Fahri next
Ngabalin. Ngabalin ialah eks oposan garis keras Jokowi yang kemudian menjadi pembela
paling gigih ayah Gibran itu. Malah, tak sedikit yang mengecapnya sebagai penjilat.

Teman saya juga mempermasalahkan dua politikus muda perempuan dari partai yang katanya
milik anak muda. Dia kagum betul dengan keduanya, tapi itu dulu. Sekarang, dia cupet nalar,
pendek akal, untuk memahami kenapa keduanya tiba-tiba seperti minus nalar, defisit akal.
Keduanya yang tadinya anti kepada salah satu capres karena alasan idealisme kini malah
menjadi pendukung garis keras capres itu.
Teman saya geleng-geleng kepala, tepok jidat berulang-ulang, ketika menyaksikan
penampilan keduanya dalam talk show di televisi. Saya juga. Keduanya membela mati-
matian paslon yang sebelumnya mereka cerca setengah mati. Tempo hari bilang tidak
mungkin bersama paslon itu, eh, belakangan berdiri di belakangnya. Menjadi tim suksesnya.

Teramat telanjang inkonsistensi, plin-plan, yang dipertontonkan. Jejak digital yang


disodorkan narasumber lain tidak terbantahkan betapa keduanya lain dulu beda sekarang.
Karena kekuasaan atau uang yang akhirnya bicara? Entahlah. Yang pasti wajah keduanya
sudah bersulih.

Usia muda, sekali lagi, bukan jaminan keteguhan pada idealisme dan penghormatan pada
etika. Pas kiranya narasi komedian Inggris Maureen Murphy bahwa, “Alasan mengapa ada
begitu sedikit politikus wanita adalah karena terlalu merepotkan untuk merias wajah di dua
wajah.

“Sudah sedemikian burukkah dunia politik kita? Teman saya bilang, manuver-manuver kotor
yang tanpa malu-malu lagi dipamerkan sebagian politikus ialah penegasan yang muskil
disangkal. Situasi saat ini rasanya selaras dengan petikan lirik lagu Sumbang karya Iwan Fals.

‘...Setan-setan politik yang datang mencekik

Walau di masa paceklik tetap mencekik

Apakah selamanya politik itu kejam?

Apakah selamanya dia datang ‘tuk menghantam?

Ataukah memang itu yang sudah digariskan?

Menjilat, menghasut, menindas

Memperkosa hak-hak sewajarnya...’.

Saya memahami kegelisahan, kemarahan, kegeraman, teman saya. Saya pun terkadang
bertanya-tanya sebegitu parahkah watak dan tabiat politikus kita? Atau bahkan, jangan-
jangan betul kata Prof Ikrar Nusa Bhakti bahwa politik di negeri ini sudah masuk kategori
disgusting (menjijikkan), bukan lagi politics is interesting (menarik), bukan pula politics is
amusing (menghibur).

Mencemaskan, memang. Namun, kiranya tidak semua politikus jelek. Tidak semua calon
pemimpin buruk. Masih ada yang baik. Tinggal bagaimana kita cerdas mendukung, memilih
yang baik-baik, agar politik dan kehidupan bangsa ini membaik. Tak lagi menjijikkan.
(Dewan Redaksi Media Grup/Jaka Budi Santosa)

Sumber: https://www.metrotvnews.com/read/bD2C1g88-politik-menjijikkan

Anda mungkin juga menyukai