Anda di halaman 1dari 2

Toxic Masculinity dalam Kehidupan Sehari-hari

“Jangan cengeng, anak cowok itu tidak boleh nangis, cowok yang tidak bisa main bola itu
tidak macho, jangan suka nari nanti kaya perempuan”

Tanpa kita sadari kata-kata tersebut sering kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-hari,
dan ternyata hal itu merupakan toxic masculinity. Toxic masculinity lahir dari konstruksi sosial
dari masyarakat patriakis (kuasa berada pada tangan laki-laki yang dapat merugikan kaum
perempuan), toxic masculinity berasal dari seorang psikolog bernama Shepherd Bills pada tahun
1990. Menurut Bills, istilah ini digunakan untuk memisahkan dan membedakan nilai positif dan
negatif dari laki-laki. Dari penelitian yang dilakukan Sheperd, ia mendapatkan bahwa adanya
dampak negatif dari maskulinitas yang bisa merusak hidup seorang lelaki. Ros-Williams juga
berpendapat bahwa Toxic Masculinity merupakan manifestasi konstruksi sosial dari patriaki
dimana laki-laki harus bertindak secara dominan dan agresif agar mendapatkan rasa hormat.

Banyak orang yang mengartikan “kejantanan” itu secara sempit, kejantanan hanya
diartikan sebagai kekerasan dan agresivitas. Sementara emosi merupakan sebuah kelemahan.
Masyarakat berpandangan bahwa yang dimaksud dengan maskulinitas itu ialah pria yang
berpenampilan macho, tidak cengeng, tegas, memiliki jiwa kepemimpinan dan lain-lain. Toxic
masculinity ini mempunyai dampak yang cukup signifikan khususnya untuk seorang pria, yang
tidak memiliki kriteria “kejantanan” menurut versi masyarakat, hal ini dapat memberikan
tekanan sosial atau membuat mereka yang mengalami hal ini menjadi kurang percaya diri.
Contoh kasus toxic masculinity antara lain:
1. Seorang lelaki harus kuat, tidak boleh emosional kecuali ketika ia marah.
2. Boys will be boys dimana laki-laki memang ceroboh.
3. Seorang lelaki harus bisa mengatur hubungan, jika ia kurang dominan dalam hubungannya,
berarti ia lemah.
4. Seorang gagal dikatakan menjadi lelaki ketika ia tidak bisa menjadi seorang yang bisa
menghidupkan keluargannya.
5. Pembulian yang terjadi pada lelaki karena sifat atau bentuk/gestur tubuh yang ‘agak’ feminim.

Apa yang salah dengan memiliki sifat feminim, setiap orang memiliki kepribadian atau
karakter yang berbeda-beda, bukankah itu normal? sebagian masyarakat masih menganggap
bahwa pria yang memiliki sifat tersebut tidak jantan, tidak jarang yang beranggapan bahwa
mereka yang memiliki karakter tersebut dianggap tidak normal, bahkan banyak diantara mereka
menjadi korban bully karena penampilan, gestur tubuh yang feminim atau sifatnya. Hal ini
“mungkin” bisa menyebabkan terjadinya depresi hingga kasus bunuh diri.

Melansir dari situs goodmen.id, Office for National Statistics menyatakan ada 4.383
kasus bunuh diri pada lelaki pada tahun 2017. Artinya, dari 100 ribu lelaki di sekitar kita, 15.5%
di antaranya bunuh diri dan berniat untuk bunuh diri. Angka yang fantastis bukan? Pertanyaan
nya bagaimana isu ini di indonesia ? Apakah dianggap penting atau dianggap tidak terlalu
penting ? Mari kita renungkan bersama.
Setiap pria memiliki karakter yang unik dan berbeda-beda ada yang memiliki sifat yang
lemah lembut dan ada yang tegas. Kita tidak dapat memberikan defenisi khusus terkait definisi
dari masculinity dan kita juga tidak berhak untuk menghakimi mereka . Memang tidak mudah
untuk mengubah prespektif masyarakat tetapi kita dapat mulai dari diri kita terlebih dahulu
dengan mengubah prespektif kita mengenai maskulinitas. Dan yang terpenting kita harus
menghargai hidup orang lain.

Jadi mulai sekarang jangan malu untuk nangis dan mencurahkan isi hati dengan curhat ke
teman, sahabat atau keluarga karena itu normal.

Anda mungkin juga menyukai