Anda di halaman 1dari 1

Toxic Masculinity

Toxic Masculinity merupakan tekanan budaya patriarki yang tidak jarang menghasilkan
gangguan mental pada laki-laki. Salah satu bentuk tekanan Toxic mascuinity adalah
keharusan pria untuk menekan emosi mereka agar tidak terlihat lemah.
Toxic Mascunility mengacu pada ekspektasi masyarakat terhadap laki-laki. Di
masyarakat, laki-laki diharapkan untuk menjadi kuat, aktif, agresif, tangguh, berani,
heteroseksual, tidak ekspresif secara emosional, dan dominan. Hal ini dipaksakan oleh
sosialisasi, media, teman sebaya, dan sejumlah pengaruh lainnya.
Pada dasarnya, maskulin merupakan sebuah karakteristik yang baik. Namun, hal ini
menjadi toxic atau salah arah ketika pria dituntut harus memiliki dan menunjukkan
maskulinitas demi menghindari stigma “laki-laki lemah”. Padahal, seorang pria juga bisa
saja memiliki sifat yang lembut atau gentle, ramah, atau sensitif, dan hal ini bukanlah hal
yang salah pada pria.
toxic masculinity berdampak buruk bagi laki-laki dewasa dan anak laki-laki itu sendiri.
Norma-norma stereotip yang sempit membatasi kesehatan fisik dan emosional laki-laki
serta hubungan mereka dengan perempuan, laki-laki lain, dan anak-anak.
Perlu diketahui bahwa menangis dan berkeluh kesah adalah berlaku bagi tiap gender
untuk meluapkan emosi dan tekanan dalam diri. Jika tekanan itu tetap tersimpan tanpa
dapat diekspresikan dengan tepat, penderitanya tidak jarang akan mengalami gangguan
mental.
Bahkan, Toxic masculinity juga berperan besar dalam menciptakan kasus bunuh diri pria
yang semakin tinggi.

Anda mungkin juga menyukai