Anda di halaman 1dari 6

MASYARAKAT SAKIT, SEBUAH FENOMENA

Oleh: Hadi Tanuji1

Fenomena kekerasan sudah bukan hal baru lagi bagi masyarakat kita, baik
kekerasan itu ditujukan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Beberapa waktu lalu di
Jawa Timur, kita pernah dikejutkan kasus bunuh diri seorang ibu dengan ’mengajak’
keempat anaknya. Ada lagi seorang suami membunuh istri dan beberapa orang lainnya
hingga kemudian membunuh dirinya sendiri. Di tempat lain lagi, hanya karena tidak
suka dipindah tugas, atasan menjadi sasaran pembunuhan, lagi-lagi diakhiri dengan
drama bunuh diri. Belum lama berselang, seorang ibu membunuh anaknya karena tidak
tega melihat masa depan sang anak suram.
Pemerkosaan juga makin mudah ditemui, pun terhadap keluarga sendiri. Kakak
terhadap adik, paman terhadap keponakan, bahkan bapak terhadap anak. Fenomena
kekerasan ini ternyata juga dilakukan secara kolektif. Peristiwa pencurian, pencopetan,
perampokan atau aksi pencoleng yang tertangkap massa, terus digebuki dan dibantai
kemudian dibakar hingga mati bukan sekali dua kali saja terjadi. Terkadang, amuk
massa itupun salah sasaran. Hanya karena seseorang diteriaki sebagai copet, diapun
harus menjadi korban. Anarkhisme massal juga menjangkiti daerah-daerah pemukiman.
Tawuran antar desa atau antar warga kampung marak terjadi di mana-mana, seolah
melengkapi tawuran yang sudah kerap terjadi di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Demonstrasi atau unjuk rasa yang kerap terjadi di mana-mana, akhir-akhir ini juga
banyak diwarnai atau diakhiri dengan tindak kekerasan. Massa yang melakukan demo
tidak cukup puas sekadar berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan poster saja, tapi
juga melakukan perusakan bahkan pembakaran.
Ada apa ini? Kok orang-orang makin beringas saja. Emosi mudah terpancing
hanya karena persoalan sepele hingga berujung pada pembunuhan. Rasa
kemanusiaan bahkan kasih sayang dengan mudah dikalahkan oleh nafsu manusia.
Apa yang terjadi? Tak perlu menjadi orang pintar untuk menyimpulkan bahwa
masyarakat kita sedang sakit. Fenomena bunuh diri, maraknya kriminalitas dan
anarkhisme atau kekerasan massal merupakan salah satu ciri dari sebuah masyarakat
yang sedang sakit. Dalam masyarakat yang sehat tindakan-tindakan tersebut tidak akan

Founder Prisma Cendekia Bina Prestasi


1

1
muncul, karena masyarakat paham bagaimana cara menyelesaikan setiap persoalan
secara baik dan rasional.
Penulis memandang fenomena ini sebagai akibat banyaknya tekanan hidup yang
dihadapi masyarakat kita hingga menimbulkan stress dan depresi. Secara umum,
depresi sosial disebabkan oleh dua faktor utama, yakni: adanya tekanan yang demikian
kuat dan tidak adanya daya untuk menangkis tekanan tersebut. Tekanan yang sifatnya
individual hanya akan menimbulkan depresi perorangan. Tekanan yang bersifat kolektif
menyebabkan munculnya depresi secara kolektif pula.
Penyebab stress dan depresi kadangkala memang mudah untuk dideteksi, tetapi
sering sulit untuk diketahui. Ada yang mudah untuk dihilangkan, ada yang sulit atau
bahkan tidak bisa dihindari. Secara umum, dua sumber utama penyebab depresi yang
mengakibatkan sakitnya masyarakat adalah faktor individu dan lingkungan (keluarga
dan masyarakat serta negara sebagai sumber tekanan).
Individu yang memiliki pandangan hidup keliru, cenderung materialis dan sekular,
jauh dari tuntunan agama, serta menjadikan harta dan hal-hal yang sifatnya duniawi
sebagai tujuan hidupnya akan cenderung mudah mengalami depresi. Depresi terjadi
biasanya ketika ia gagal mencapai apa yang diinginkannya, sementara pada saat yang
sama, dia tidak memiliki daya tangkal individu yang kuat, seperti ketabahan dan
kesabaran.
Pandangan hidup seseorang memang sangat berpengaruh pada bagaimana orang
tersebut menjalani kehidupannya. Pandangan hidup yang materialistis tentu akan
mempengaruhi cara berpikir dan perilaku seseorang, sehingga tolok ukur kebahagiaan
pun akhirnya disandarkan pada materi. Tolok ukur keberhasilan dan kesuksesan hidup
jadinya bersifat material. Akibatnya, jika kebutuhan akan materi itu tidak terpenuhi, akan
timbul kegelisahan yang luar biasa. Ketika orang kehilangan status sosial, uang,
kekuatan fisik, intelektual, cinta, perhatian, dan lain-lain yang bersifat lahiriah, maka ia
bisa merasa tak berguna lagi, akhirnya mengalami stres dan depresi.
Di sinilah pentingnya memahami apa sesungguhnya hakikat manusia diciptakan.
Pemahaman ini akan mengubah cara pandang terhadap peristiwa apapun yang
dihadapi dalam hidup sehingga memunculkan keberanian dan optimisme.
Lingkungan juga menjadi faktor penyebab depresi. Lingkungan selalu membuat kita
harus memenuhi tuntutan dan tantangan, yang karenanya merupakan sumber stress
yang potensial; misalnya ketika orang mengalami musibah akibat terjadinya bencana
2
alam (banjir, gempa bumi dan sebagainya) atau cuaca buruk, kemacetan lalu-lintas,
beban pekerjaan, kelaparan, kemiskinan, problema rumah tangga, dan hubungan
antarmanusia; atau ketika orang dituntut untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan
kondisi keuangan, pindah kerja, atau kehilangan orang yang dicintai.
Lingkungan paling dekat yang sangat mudah mempengaruhi kondisi kejiwaan
seseorang adalah keluarga. Fenomena masyarakat sakit tentunya tidak muncul dengan
tiba-tiba. Prosesnya bisa jadi teramat panjang, dan ada kemungkinan berawal dari
lingkungan keluarga. Dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan, peran
orangtua dalam mendidik anak akan terganggu. Akibatnya, besar kemungkinan selama
pertumbuhannya, anak akan mengalami deprivasi. Anak mungkin tidak kehilangan
ibunya secara fisik. Namun, jika peran ibu yang amat penting dalam proses imitasi dan
identifikasi dirinya tidak ada, maka perkembangannya akan terganggu. Hal yang sama
bakal terjadi pada anak jika figur dan peran ayahnya tidak ada.
Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami disfungsi perkawinan
dan mengalami deprivasi maternal (juga paternal dan atau parental), mempunyai risiko
tinggi menderita gangguan kepribadiannya; yaitu gangguan dalam perkembangan
mental-intelektual, perkembangan mental-emosional, bahkan perkembangan psikososial
dan spiritualnya. Tidak jarang dari mereka, jika kelak dewasa, akan memperlihatkan
berbagai perilaku yang menyimpang, anti sosial, bahkan sampai melakukan tindak
kriminal. Apalagi ditambah tontonan TV yang akhirnya menjadi tuntunan, karena
ketiadaan tuntunan dari orang tuanya.
Anak-anak sebagaimana digambarkan di atas pada umumnya dibesarkan dalam
keluarga yang tidak sehat dan tidak bahagia. Hal ini disebabkan karena
ketidakberadaan orangtua atau karena tidak berfungsinya orangtua sebagaimana
mestinya. Dalam 20 tahun terakhir ini, para ahli telah melakukan berbagai penyelidikan
perihal pola perkawinan/keluarga yang ternyata tidak sehat dan tidak membawa
kebahagian rumahtangga, yang dampaknya amat tidak baik bagi perkembangan mental
emosional anak. Inilah yang pada akhirnya ikut memberikan sumbangan bagi terjadinya
masyarakat sakit.
Lingkungan kedua yang memasok faktor munculnya stress tentu saja adalah
masyarakat. Masyarakat yang berpaham materialis cenderung individualis. Masyarakat
yang cenderung cuek, individualis, dan apatis terhadap lingkungan sosial adalah
konsekuensi logis dari paham individualisme. Bahkan, dari internal masyarakat muncul
3
berbagai kelompok atau media massa yang justru menanamkan bibit-bibit depresi.
Rangsangan-rangsangan untuk menjadi kaya, kehidupan yang serba enak tanpa kerja
keras, kebahagiaan yang seakan hanya di dunia ini, dan kehidupan serba instan yang
terus dihidupkan di masyarakat merupakan bibit lain munculnya depresi sosial.
Kepekaan terhadap lingkungan sosialnya menjadi rendah. Orang akan bersaing untuk
dirinya sendiri dengan berbagai cara tanpa mempedulikan kepentingan orang lain.
Hubungan interpersonal cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan seperti
keramahan, perhatian, toleransi, dan tenggang rasa. Akibatnya, tekanan isolasi dan
keterasingan kian kuat; orang makin mudah kesepian di tengah keramaian. Inilah yang
disebut lonely crowded, gejala mencolok dari masyarakat kapitalis di mana-mana.
Dalam suasana seperti ini, sangat mudah orang kehilangan daya kontrol terhadap
emosinya.
Lingkungan ketiga yang ikut mempengaruhi masyarakat sehingga mudah terkena
depresi adalah negara. Banyak sebab terjadinya kasus bunuh diri dan depressi di
tengah masyarakat tidak lepas dari faktor kesulitan ekonomi, rendahnya pendidikan,
buruknya tingkat kesehatan, dan beban hidup yang semakin tinggi. Kasus bunuh diri
terbanyak di berbagai daerah di Indonesia, termasuk Jakarta, terutama diakibatkan oleh
tekanan ekonomi di tengah situasi sosial politik yang carut-marut. Relasi sosial yang
sehat hanya dapat terbentuk jika kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi—pangan,
sandang, dan papan, kesehatan, pendidikan dasar, dan ruang-ruang publik yang
memungkinkan orang berinteraksi secara normal.
Keadaan seperti ini menyebabkan orang frustasi dan putus harapan karena merasa
tidak memiliki masa depan. Seseorang cenderung kecil hati dan cepat menyerah
menghadapi realitas hidup. Ditambah lagi dengan berkembangnya perasaan
masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil yang terjadi di berbagai bidang
(ekonomi, hukum, politik, dan sebagainya). Kebijakan negara yang terkadang
membebani rakyat seperti biaya sekolah makin mahal, kenaikan harga BBM dan listrik,
dan penggusuran merupakan faktor pemicu lain depresi sosial. Tidak aneh jika stress
dan depresi meningkat. Masyarakat menjadi sakit.
Televisi sebagai media yang banyak menayangkan adegan kekerasan disinyalir
juga memiliki andil dalam mengajari bagaimana orang menyelesaikan masalah,
terutama pada anak-anak. Maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh anak sedikit

4
banyak dipengaruhi oleh tayangan itu. Dalam hal ini, negara (pemerintah) memang
harus mengatur tayangan tivi agar tidak berdampak buruk pada perilaku anak-anak.
Itulah empat pemicu depresi sosial di tengah-tengah masyarakat secara kolektif, baik
satu saja maupun kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Semua faktor penyebab lahirnya
depresi tersebut haruslah diminimalkan, bahkan diusahakan agar lenyap. Individu dan
lingkungan yang terdiri dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara yang
berkarakteristik seperti itu membutuhkan perubahan segera.
Semua komponen masyarakat saat ini perlu sadar bahwa masyarakat tengah sakit.
Masyarakat yang sedang sakit tentu butuh obat, sebagai solusi. Ada kecenderungan,
orang yang mengalami stress mencari solusi yang bersifat sesaat dan justru
menimbulkan kerusakan. Ini ditunjukkan oleh semakin maraknya dunia hiburan,
penyaluran hobi, seks bebas, dan sebagainya. Alkohol, obat-obatan, merokok, dan
makan berlebihan juga sering dijadikan alat untuk membantu menghadapi stres.
Padahal, efeknya hanya berlangsung sementara, dan dalam jangka panjang akan
merusak badan dan pikiran atau jiwa. Perilaku lainnya yang terlihat adalah sikap
menunda-nunda, perencanaan yang buruk, tidur berlebihan dan menghindari tanggung
jawab. Taktik ini malah merugikan karena menimbulkan masalah baru bagi individu
tersebut.
Solusi untuk menghilangkan depresi sosial haruslah berpijak pada dua pilar
penyebab utamanya tersebut, individu dan lingkungan (keluarga, masyarakat dan
negara). Untuk itu, strateginya ada dua. Pertama, mengurangi bahkan menghilangkan
tekanan. Kedua, memperkuat daya tahan.
Solusi untuk mengatasi depresi sosial harus ditempuh dengan mengubah
penyebab-penyebab tersebut. Jalurnya dapat dilakukan melalui empat pendekatan
secara menyeluruh dan terpadu, yaitu individu, lingkungan keluarga, masyarakat dan
negara.
Pertama, solusi individu. Setiap individu harus memiliki pandangan hidup yang
benar. Terkadang pandangan hidup yang salah dapat menyebabkan orang menjadi
depresi sehingga mudah lepas kendali.
Kedua, solusi keluarga. Betul, depresi tidak selalu terjadi pada keluarga yang
berantakan. Ada juga orang yang berasal dari keluarga baik mengalami depresi.
Namun, secara umum keluarga yang tak tertata berpeluang lebih besar melahirkan
masyarakat yang depresi. Dalam konteks keluarga ini, hubungan suami-istri dalam
5
rumahtangga bukanlah hubungan antara tuan dan pekerjanya, tetapi hubungan yang
saling bersahabat dan saling menolong satu sama lain. Kemunculan depresi di tengah
keluarga merupakan isyarat adanya kekurangberesan dalam keluarga tersebut,
khususnya suami dan istri, di samping anggota keluarga lainnya.
Jelaslah, keluarga harus dijadikan sebagai wadah untuk menjaga diri bahkan
sebagai sarana mengurangi depresi. Rumah dan keluarga haruslah dijadikan sebagai
‘sekolah’ yang memberikan pelajaran bagi penghuninya mengenai sikap mental yang
baik.
Ketiga, solusi masyarakat. Kehidupan masyarakat seperti sekelompok orang yang
mengarungi lautan dengan kapal. Jika ada seseorang yang hendak mengambil air
dengan melobangi kapal dan tidak ada orang lain yang mencegahnya, niscaya yang
tenggelam adalah seluruh penumpang kapal. Hal ini menunjukkan betapa besarnya
pengaruh anggota masyarakat terhadap kehidupan masyarakat secara umum.
Masyarakat yang para anggotanya mengembangkan bibit-bibit depresi, jika dibiarkan,
akan melahirkan masyarakat yang depresi. Sebaliknya, warga masyarakat yang
menumbuhsuburkan kebaikan akan mewujudkan masyarakat yang juga baik. Oleh
sebab itu, agar masyarakat memiliki daya tahan dalam menghadapi depresi/stress sosial
harus ada upaya untuk menumbuhkan solidaritas dan kepedulian sosial; menciptakan
atmosfir persahabatan; serta mengembangkan kontrol sosial antar anggotanya.
Keempat, solusi negara/pemerintah. Negara wajib membina masyarakat dengan
pendidikan yang baik sehingga menghasilkan seseorang yang berkepribadian baik;
mengatur media massa hingga tidak menyebarkan budaya hedonistic dan materialistik
yang bersumber dari ideologi kapitalisme atau sosialisme. Hanya dengan sikap tegas
dari negara untuk melakukan hal tersebut depresi sosial dapat dicegah.
Saat ini secara praktis, negara perlu menginventarisir masalah-masalah kerawanan
sosial, membangun sentra-sentra penanganan sosial, pemberian sanksi berat kepada
pelaku kriminal, menambah jam kurikulum agama di semua jenjang pendidikan untuk
memberikan bekal bagi ketahanan diri anggota masyarakat, menumbuhkan rasa cinta
dan memiliki pada bangsa ini, serta yang tak kalah penting adalah menghilangkan faktor
penyebabnya. Semoga masyarakat yang sedang sakit dapat segera ditemukan obat
mujarabnya.

Indralaya, 3 April 2008


6

Anda mungkin juga menyukai