Pandemi Covid-19 picu lonjakan kasus percerian. Beberapa hari terakhir jagad maya
dihebohkan antrian mengular di Pengadilan Soreang Kabupaten Bandung, bukan antrean
sembako tapi antrian menunggu proses perceraian. Dari data Pengadilan Soreang diperoleh
informasi mengenai besaran angka perceraian 800 – 900 kasus selama bulan juli. Angka ini
meningkat pada bulan Agustus menjadi 1102 perkara (https://BandungKita.id, 27 Agustus
2020).
Jika dilihat secara nasional ternyata angka perceraian juga meningkat di masa pandemi
ini. Pada awal penerapan PSBB bulan April dan Mei 2020, perceraian di Indonesia di bawah
20ribu kasus. Namun pada bulan Juni dan Juli 2020, jumlah perceraian meningkat menjadi
57ribu kasus (https://republika.co.id, 28 Agustus 2020). Meningkat lebih dari 100 persen!
Diperkirakan jumlah kasus perceraian tersebut akan terus meningkat karena kondisi
ekonomi masyarakat di masa Pandemi yang sedang lesu sehingga mudah memicu pertengkaran
yang berujung perceraian. Fakta ini tentu saja makin membuat kita sadar bahwa dampak
pandemi covid-19 tidak hanya menyentuh ranah kesehatan , ekonomi dan pendidikan namun
juga berbagai sendi kehidupan berkeluarga.
Rata-rata perceraian yang terjadi selama pandemi dipicu persoalan ekonomi. Pandemi
covid-19 membuat ekonomi masyarakat terganggu. Banyak keluarga mengalami kesulitan
ekonomi selama pandemi, akibat kehilangan mata pencaharian. Di saat yang sama mereka
masih harus bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan keluarga. Ini lah yang diduga memicu
terjadinya pertengkaran antara pasangan suami istri hingga berujung pada perceraian. Dengan
adanya pandemi covid-19, ketahanan keluarga mendapatkan ujian yang berat.
Berbagai persoalan yang mengancam ketahanan keluarga, mendorong berbagai pihak,
termasuk penguasa untuk menyelesaikan permasalahan ini. Namun solusi yang diberikan
hanyalah solusi parsial yang tidak menyentuh akar permasalahan. Banyak pihak termasuk
penguasa hanya melihat gejala yang muncul di permukaan kemudian memberi solusi terhadap
gejala tersebut, tapi lalai dengan akar permasalahan yang sesunggunya. Banyak pihak tidak
menyadari bahwa tingginya angka perceraian adalah fenomena gunung es, yang nampak di
permukaan hanya kecil padalah sesungguhnya memiliki akar permasalahan besar yang tidak
banyak disadari.
Sebagai contoh, untuk mengurangi angka perceraian, Pemerintah membuat program
yang mewajibkan bagi pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan memiliki sertifikat siap
nikah. Pemerintah melalui Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir
Effendy membuat program sertifikasi persiapan perkawinan berupa kelas atau bimbingan
pranikah wajib bagi setiap pasangan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menyiapkan pasangan
tersebut mampu menghadapi masalah-masalah yang muncul dalam rumah tangganya. Hal ini
diperjelas Muhadjir dalam pernyataannya: “Setiap siapa pun yang memasuki perkawinan
mestinya mendapatkan semacam upgrading tentang bagaimana menjadi pasangan
berkeluarga, terutama dalam kaitannya dengan reproduksi. Karena mereka, kan, akan
melahirkan anak yang akan menentukan masa depan bangsa ini.“ (merdeka.com).
Faktanya, angka perceraian masih tinggi bahkan mengalami kenaikan di masa pandemi.
Akar permasalahan
Berdasarkan data yang masuk di Pengadilan Agama, sebagian besar perceraian dipicu
oleh persoalan ekonomi. Persoalan ekonomi semakin parah di masa Pandemi covid-19, banyak
orang kehilangan mata pencaharian yang menyebabkan kehidupan ekonomi menjadi semakin
sulit. Kesulitan ekonomi ini pada akhirnya berujung pada ketidakharmonisan rumah tangga
pasangan suami istri sehingga memicu perceraian. Apakah hanya ini?
Jika dicermati lebih jauh dan lebih dalam, biang keladi dari semua malapetaka yang
menimpa keluarga muslim termasuk tingginya angka perceraian, muaranya adalah ketika
hukum-hukum Islam dalam keluarga sudah tidak dijadikan pedoman dalam kehidupan
keluarga-keluarga muslim. Nilai-nilai Islam di tengah keluarga pun sedikit demi sedikit menjadi
luntur. Di sisi lain derasnya arus globalisasi yang dimaknai sebagai kapitalisasi dan liberalisasi
turut menggerus nilai-nilai Islam dalam keluarga. Akibatnya, dengan semakin lemahnya nilai-
nilai Islam dalam keluarga, masalah demi masalah dalam keluarga muslim pun semakin parah.
Akibat dari tidak difahami dan dilaksanakannya nilai-nilai Islam dalam keluarga, hubungan
suami istri menjadi terganggu. Hak dan kewajiban suami istri yang telah diatur dalam Islam
menjadi terabaikan. Inilah yang kemudian menjadi sumber masalah dalam keluarga. Suami
maupun istri saling menggugat hak masing-masing, tanpa memperhatikan pelaksanaan
kewajiban. Ketahanan keluarga pun lama-lama menjadi lemah, masalah sedikit saja akan bisa
memicu hancurnya bangunan keluarga.
Apakah negara juga turut andil terhadap semakin meningkatnya angka perceraian? Tentu
saja. Pemicu terjadinya perceraian terbesar adalah persoalan ekonomi, dan negara lah yang
bertanggung jawab terhadap besarnya angka kemiskinan di negeri ini. Miskin menurut Imam
Syafi’i dan jumhur ulama adalah “memiliki sesuatu (penghasilan/pendapatan) tapi tidak
mencukupi kebutuhan pokok”. Secara sunatullah kemiskinan telah muncul dalam kehidupan.
Allah meninggikan rizki sebagian manusia atas sebagian yang lain. Tetapi, kemiskinan yang
terjadi di Indonesia sebagian besar adalah kemiskinan struktural (structural poverty), dan
bukan kemiskinan kultural (cultural poverty).
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diciptakan oleh sistem, nilai dan perilaku
bejat manusia. Dengan kata lain kemiskinan struktural terjadi karena negara salah dalam
mengelola sumber daya yang mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat mencukupi
kebutuhan hidup mereka. Negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis telah membidani
lahirnya para elit politik dan konglomerat yang menghalalkan segala cara, bergelimang
kemewahan di atas penderitaan mayoritas besar umat manusia. Jadi, persoalan ekonomi yang
memicu tingginya angka perceraian muncul akibat kesalahan negara atau sistem yang
diterapkan.
Itulah yang menjadi akar permasalahan makin meningkatnya angka perceraian di
Indonesia. Oleh karena itu, solusinya juga harus menyentuh akar permasalahan tersebut yakni:
pertama, membina ketakwaan individu yang taat terhadap aturan-aturan Allah, memahami
fungsi keluarga, memahami hak dan kewajiban masing-masing dalam keluarga, memahami visi
dan misi keluarga muslim, dan yang tidak kalah penting adalah kedua, penerapan hukum-
hukum Allah dalam semua aspek kehidupan oleh negara.
Lantas, bagaimana sesungguhnya keluarga dalam sistem islam? Bagaimana membentuk
keluarga muslim ideal yang memiliki ketahanan keluarga yang tangguh? Dan bagaimana peran
negara dalam menjamin ketahanan keluarga? Berikut ini adalah ulasannya.
Referensi:
HTI. 1433 H. Peran Strategis Keluarga, Ancaman dan Tantangan Masa Depan. MHTI
Bundel Buletin Dakwah Al Islam Tahun ke-1. Melanjutkan Kehidupan Islam
MHTI. 2006. Negara Soko Guru Ketahanan Keluarga. MHTI, Bandung.