Kutipan pertama saya yaitu tentang Kurang Garam, sebuah tulisan yang dimuat
oleh www.eramuslim.com dalam rubrik Jendela, edisi 16 Juni 2009. Dari tulisan ini dapat
diambil beberapa hikmah, diantaranya :
1.
Mengelola
rumah
tangga
tak
ubahnya
seperti
mengolah
masakan.
Perlu
kesungguhan,
kesabaran,
serta
cukup
bumbu
dan
garam.
Satu
lagi
yang
tak
boleh
ketinggalan
yaitu
ketelitian.Sebab
garam saja, masakan jadi tak punya rasa. Atau sebaliknya, kelewat terasa. Dan dua-duanya
sangat mengurangi selera.
2.
Bahwa
pasangan
hidup
kita
adalah
manusia,
yaitu
makhluk
yang
tidak
sempurna,
karena
di
samping
memiliki
kelebihan
sekaligus
juga terdapat kekurangan. Ibarat kata, no body perfect.
3.
Terkadang
permasalahan
keluarga
itu
muncul
dari
diri
kita
sendiri. Ini dikarenakan kita belum cukup dewasa dalam menghadapi permasalahan tersebut.
Kutipan kedua saya yaitu tentang Keluarga Asmara Keluarga dakwah, keluarga
barokah. Tulisan ini berumber dari : Majalah Saksi No.23/Th.III, 21 Agustus 2001.
Di sini digambarkan bagaimana keluarga Abu Bakar Ash Shidik, semoga Alloh meridhoi mereka
semua, adalah keluarga dakwah dan jihad.Seluruh anggota keluarga itu, termasuk pembantu
rumah tangga (khadim) terlibat dalam kegiatan dakwah dan proyek jihad. Itu tampak jelas pada
peristiwa besar hijrahnya Rasulullah saw ke Madinah. Abu Bakar Ash-Shiddiq bertugas
menyertai Rasulullah saw dalam perjalanan. Abdullah putera Abu Bakar bertugas sebagai
mediator informasi yang berkembang di kalangan orang-orang Quraisy untuk disampaikan
kepada Rasulullah saw dan ayahnya yang bersembunyi di Goa Tsur sebelum melanjutkan
perjalanan ke Madinah. Tugas itu dibantu oleh Asma Binti Abu Bakar, yang saat itu tengah hamil
tua. Perempuan mulia ini juga mempunyai tugas lain yakni menyuplai makanan. Untuk
menghapus jejak-jejak kaki itu maka Amir bin Fuhairah, khadim Abu Bakar yang ditugasi
menanganinya. Ia setiap hari mengembalakan kambing-kambing ke arah goa tempat keduanya
bersembunyi. Meskipun sosok isteri Abu Bakar tidak tampil dalam kisah ini, namun dapat
dipastikan keluarga dengan kualitas seperti itu merupakan produk kerjasama yang baik antara
suami dan isteri.Ini potret dari sebuah keluarga Muslim.Tidak seorang pun dari anggotanya yang
berpangku tangan dari dakwah dan harokah (pergerakan).Semuanya memberikan kontribusi
untuk dakwah dengan kemampuan yang dimilikinya. Insya Allah keluarga seperti itu akan
mendapatkan barokah. Barokah adalah kebaikan yang tiada putus-putusnya.Namun, barokah
ukurannya bukanlah materi.Barokah jauh lebih tinggi dari kenikmatan materi.Barokah membuat
orang dapat mencapai kebahagiaan hakiki.
Sementara kutipan ketiga saya adalah sebuah tulisan tentangMewaspadai Ancaman
Disintegrasi Keluarga Muslim Indonesia.Tulisan ini dikutip dari www.hidayatullah.com , edisi
31 Januari 2012, dan ditulis oleh Ahmad Arif Ginting. Tulisan ini untuk mengomentari sebuah
berita dari Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) yang mencatat
selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan angka perceraian nasional hingga 70
persen. (Republika, 24/01/2012). Dari data tersebut, ada beberapa hal penting yang layak
direnungkan terkait idealita & realita rumah tangga Islam yang ada. Beberapa hal tersebut adalah
:
Idealita Konsepsional
Tema keluarga dalam al-Quran disebutkan dalam rangkaian sub tema pokok sistem sosial
(nizham ijtimaiy). Ada dua puluh satu isu yang dibahas dalam al-Quran berkaitan dengan
keluarga;
(1) manusia yang berpasang-pasangan (laki
dan perempuan) dengan segala hak,
kewajiban dan tanggung jawabnya,
(2) keharusan menajga kehormatan sebagai
manusia,
(15) wasiat,
(4) pernikahan,
(5) talak,
(6) nusyuz,
(7) zina,
(8) keharusan melindungi kehormatan
wanita muhsanat,
(9) hidup melajang,
(10) hak anak-anak,
(17) kerabat,
(18) perlakuan kepada budak wanita yang
berasal dari pihak kalah perang,
(19) perlindungan hak-hak anak gadis,
(20) hak-hak waris dan
(21) tuntunan hidup dalam internal keluarga.
(Abu Ridha, 2007: xii).
Keluarga yang diawali dengan pernikahan, bernilai ibadah dalam syariat karena
tujuannya adalah memelihara hidup dan memohon keberlanjutannya hingga hari akhirat nanti.
Pernikahan bukan hanya pertemuan untuk meningkatkan produktivitas hewani, ia merupakan
kelanjutan secara simultan dari keimanan untuk mencetak generasi yang dapat merealisasikan
risalah eksistensi kemanusian. Ayah dan ibu bekerjasama dalam melaksanakan tugas ini
(Muhammad Al Ghazali, 2001: 135-42). Sebuah penelitian menegaskan bahwa
(1) ketiadaan ayah dalam keluarga dalam arti ayah tidak menjalankan fungsinya sebagai seorang
pendidik atau ketidakmengertiannya tentang kekhasan pada masa kanak-kanak akan
menghambat perkembangan anak baik jasmani, perilaku maupun intelektualitasnya,
(2) dasar utama pendidikan anak adalah keteladanan, cinta, kasih saying dan kelembutan,
(3) pengaruh seksual, acara TV yang menyimpang, nyanyian yang tidak mendidik, perselisihan
orang tua, waktu luang yang banyak dan ketergantungan kepada pembantu merupakan kendala
yang paling rawan yang mengakibatkan penyimpangan perilaku anak, (Adnan Hasan, 1991).
Realita Faktual
Mengapa realitas faktual berbanding terbalik dengan idealita konseptual itu?Dalam buku Tegak
di Tengah Badai, (Abu Ridha, 2007) telah diidentifikasi tujuh faktor penyebab disintegrasi
lembaga keluarga. Pertama, globalisasi budaya yang berimplikasi pada pertemuan antar budaya
sekaligus melahirkan proses saling mempengaruhi. Ringkas kata, pertemuan antar budaya bisa
wujud dalam bentuk dominasi (penjajahan) terhadap yang lain. Kedua, limbah budaya
permisivisme (serba boleh) yang berakar dari filsafat hedonisme atau libertianisme yang
bertujuan mencapai segala kenikmatan fisik setinggi mungkin, sesering mungkin dan dengan
cara apapun. Para sosiolog menegaskan bahwa permisivisme merupakan anak kandung dari
nihilisme yang menyerukan pembebasan manusia dari segala bentuk otoritas termasuk agama
dan relativisme yang menyatakan kebenaran atau moralitas adalah relatif, (Dr. A Zaki Badawi;
1978).Ketiga, perubahan-perubahan dramatik/liar sebagai konsekwensi dari budaya
permisivisme tersebut.Baru-baru ini OPSI (Organisasi Pekerja Seks Indonesia) mendapat
legalitas dari pemerintah pusat.Kini, mereka menargetkan legalitas dari nanggroe meutuah
ini.Ada pun tentang penyimpangan perilaku seksual, penulis punya saksi hidup seorang
mahasiswa- yang nyaris menjadi korban pelaku homoseksual (gay) dua tahun lalu.Menurut
pengakuannya, di kampusnya ternyata sudah eksis sebuah komunitas gay, sedangkan komunitas
lesbi ada di Fakultas Ekonomi kampus lainnya. Masalah ini seksualitas dan reproduksi- bisa
bersifat positif yaitu membangun kepribadian, akan tetapi juga bisa menghancurkan sfat-sifat
kemanusiaan (Kartini Kartono, Jilid 1, 1992: 220-21).Keempat, rasa malu yang hilang dan
manusia yang tragis.Lihatlah tingkah polah mayoritas remaja yang telah kehilangan syaraf malu;
mojok di warung gelap di pinggiran trotoar, mejeng di atas kendaraan di sepanjang tempattempat rekreasi dan sebagainya. Sedangkan manusia tragis adalah mereka yang tidak berdaya,
kepribadian terpecah (split personality),dan terasing dalam keramaian. Kelima, media massa
yang destruktif. Keenam, badai pornograpi dan pornoaksi.Ketujuh, andil gerakan feminisme
ekstrem yang menegasikan lembaga keluarga.