Anda di halaman 1dari 7

2.

Pranata Sosial Islam


2.1 Masjid dan Fungsinya bagi Masyarakat
Masjid dalam sejarah peradaban Islam merupakan sarana yang diperuntukkan bagi
umat Islam untuk melakukan ibadah, dakwah, dan pengembangan atau pemberdayaan sumber
daya ekonomi umat Islam. Secara etimologis kata masjid merupakan isim makan dari kata
“sajada” – “yasjudu” – “sujudan”, yang artinya tempat sujud, dalam rangka beribadah
kepada Allah, atau tempat untuk mengerjakan sholat (Mujilan dkk, 2016). Masjid memiliki
kaitan yang erat dengan umat Islam. Masjid merupakan sarana yang didirikan berdasarkan
iman dan menjadi pusat kegiatan umat Islam.
Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah mahdah. Masjid juga berfungsi
sebagai pusat dakwah dan peradaban Islam serta berbagai aktivitas seperti pendidikan, pusat
studi, pusat informasi Islam, pusat kegiatan ekonomi sosial dan kegiatan kemasyarakatan
lainnya (Kaelany, 2010). Masjid memiliki fungsi sebagai pusat pendidikan, yaitu sarana
berlangsungnya pendidikan dan pengajaran agama Islam kepada manusia sehingga manusia
dapat menemukan jati dirinya dan dapat meningkatkan kualitas beribadah kepada Allah.
Selain itu, masjid memiliki fungsi sebagai pusat informasi Islam yaitu sarana untuk mencari
solusi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dialami umat Islam seperti
menyelesaikan suatu perselisihan didalam musyawarah dan lain-lain.
Namun pada saat ini, masjid dan fungsinya tidak berperan dengan baik didalam
masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan adanya penyalahgunaan agama pimpinan padepokan
yang dilakukan DKTP dan GB. Pada kasus DKTP dan GB terlihat bahwa fungsi masjid
sebagai pusat pendidikan dan pusat informasi tidak berperan dengan baik. Umat Islam akan
memiliki keimanan yang kuat dan pengetahuan yang luas mengenai Islam dan hukum-
hukumnya jika fungsi masjid berperan dengan baik. Sehingga umat Islam akan berpikir kritis
mengenai kasus penggandaan uang yang dilakukan DKTP dan kasus narkoba serta pelecehan
seksual yang dilakukan GB.

2.1 Lembaga Ekonomi Islam


Salah satu pilar kemajuan peradaban Islam adalah amwāl (wealth) atau ekonomi. Ibn
Khaldun dalam Dalmeri (2014), mengatakan bahwa ekonomi adalah tiang dan pilar paling
penting untuk membangun peradaban Islam (imarah). Ekonomi penting untuk membangun
negara dan menciptakan kesejahteraan umat, untuk itu dibutuhkan lembaga ekonomi Islam
untuk mengatur perekonomian umat Islam. Ekonomi islam didasari pada prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Al-Qur’an, As Sunnah, ijma dan qiyas (Fikri, 1997). Lembaga ekonomi
Islam memiliki bentuk bermacam-macam seperti ziswaf, Bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPR), Bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah dan Baitul Mal wa Tamwil
(BMT).
Ziswaf merupakan singkatan dari, infak, shadaqah dan wakaf. BPR adalah lembaga
keuangan yang menerima simpanan uang hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan
(Mujilan dkk, 2016). Bank syariah menggunakan mekanisme berdasarkan prinsip mitra usaha
dan bebas bunga atau sistem bagi hasil. Asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan
tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau
tabarru (Mujilan dkk, 2016). Pegadaian syariah, terbagi menajadi dua akad transaksi yaitu
Akad Rahn dan Akad Ijarah. Baitul Mal wa Tamwil (BMT) memiliki dua istilah yaitu baitul
mal dan baitul tamwil.
Lembaga ekonomi Islam di Indonesia memiliki fungsi umum yaitu mendorong dan
mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melakukan kegiatan finansial,
komersial dan investasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam (Hakim, 2012). Fungsi khusus
suatu lembaga yaitu sebagai sistem norma yang didasarkan pada ajaran Islam untuk
memenuhi kebutuhan umat Islam dengan memberikan pedoman pada anggota masyarakat
(muslim) bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi berbagai
masalah yang timbul dan berkembang dalam masyarakat, memberikan pegangan kepada
masyarakat bersangkutan dalam melakukan pengendalian sosial menurut sistem pengawasan
tingkah laku para anggotanya dan menjaga keutuhan masyarakat. (Mujilan dkk, 2016).
Penyalahgunaan agama pimpinan pedepokan mencerminkan bahwa fungsi lembaga
ekonomi Islam didalam masyarakat belum berjalan dengan sebagaimana mestinya. Fungsi
lembaga ekonomi Islam yang seharusnya mempercepat dan mendorong kemajuan ekonomi
suatu masyarakat dengan memberikan suatu pegangan bagaimana harus bertindak dalam
menyelesaikan masalah dibidang sosial dan ekonomi tidak berperan dengan baik. Kasus
penggandaan uang yang dilakukan oleh DKTP merupakan salah satu contoh kurangnya
peranan lembaga ekonomi Islam. Kasus ini terjadi karena adanya kesenjangan ekonomi
dikalangan umat Islam dan kurang adanya lembaga ekonomi Islam yang dapat
mensejahterakan umat Islam sehingga umat Islam terperdaya dengan penggandaan uang.
Selain itu, kurangnya peran lembaga ekonomi Islam seperti ziswaf dan BPR yang
menyebabkan umat Islam kurang dapat menggunakan uangnya dengan bijak dan kurang
memberikan manfaat bagi banyak orang serta lebih mementingkan kesenangan dunia seperti
kasus narkoba yang dilakukan GB.
2.3 Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai
keberhasilan dalam proses pendidikan. Lembaga pendidikan berfungsi sebagai mediator
dalam mengatur jalannya pendidikan sehingga proses pendidikan berjalan dengan lancar.
Lembaga pendidikan akan mencapai keberhasilan dalam proses pendidikan serta
menghasilkan generasi muda berakhlak mulia jika dikaitkan dengan konsep islam. Lembaga
pendidikan islam merupakan suatu wadah dimana pendidikan dalam ruang lingkup keislaman
melaksanakan tugasnya demi tercapainya cita-cita umat islam.
Keluarga, masjid, pondok pesantren dan madrasah merupakan lembaga pendidikan islam
mutlak yang diperlukan di suatu negara secara umum atau disebuah kota secara khususnya,
karena lembaga-lembaga tersebut ibarat mesin pencetak uang yang akan menghasilkan
sesuatu yang sangat berharga, yang mana lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri akan
mencetak sumber daya manusia yang berkualitas secara intelektual dan mantap dalam aqidah
keislaman.
Kasus penyalahgunaan agama pimpinan pedepokan yang terlihat dalam kasus DKTP dan
kasus GB secara tersirat memperlihatkan bahwa fungsi lembaga pendidikan islam seperti
keluarga, masjid, pondok pesantren dan madrasah belum berperan dengan baik di
masyarakat. Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama dalam kehidupan seseorang.
Keluarga merupakan tempat bagi seseorang untuk membentuk akhlak dan budi pekerti baik
yang disusul dengan peran masjid, pondok pesantren dan madrasah untuk memantapkan
akhlak dan budi pekerti manusia.

3. Kerukunan Umat Beragama

3.1 Ukhuwah Islamiyah

Kata ukhuwah berasal dari bahasa arab yang kata dasarnya adalah akh yang berarti
saudara, sementara kata ukhuwah berarti persaudaraan. Adapun secara istilah ukhuwah
islamiyah adalah kekuatan iman dan spiritual yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya
yang beriman dan bertakwa yang menumbuhkan perasaan kasih sayang, persaudaraan,
kemuliaan, dan rasa saling percaya terhadap saudara seakidah. Dengan berukhuwah akan
timbul sikap saling menolong, saling pengertian dan tidak menzhalimi harta maupun
kehormatan orang lain yang semua itu muncul karena Allah semata.
Ada beberapa hikmah yang harus kita ambil pelajaran untuk menjalin ukhuwah
islamiyah dalam kehidupan kita sehari-hari sehingga Allah SWT senantiasa menurunkan
Berkah di didunia ini, antara lain:
1. Terciptanya solidaritas yang kuat antara sesama muslim
Dengan adanya saling tepa selira, merasakan kebahagiaan ketika orang lain bahagia
dan meresakan kesedihan ketika orang lain ditimpa musibah, akan membuahkan sikap
solidaritas yang kuat diantara sesama muslim. Seorang muslim akan lebih peduli dan
memberikan perhatian yang lebih kepada saudaranya sesama muslim. Dari sikap inilah Islam
dan kaum muslimin akan makin kuat dalam berbagai hal, termasuk secara ekonomi sehingga
terhindar dari jurang kemiskinan.
2. Terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa
Apabila seorang muslim mampu memberikan kasih sayang terhadap muslim lainnya,
dan kasih sayang itu diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, kita akan merasakan
betapa nikmatnya kebersamaan sebagai umat Islam dan bangsa yang kuat dan kukuh dan
tidak muda di adu domba yang sarat akan perpecahan. Apalagi dengan sikap ikhlas karena
mengharap ridha Allah.
Kasus DKTP dan kasus GB memperlihatkan bahwa pengaplikasian ukhuwah
islamiyah dikalangan umat Islam belum dilaksanakan secara menyeluruh. Ukhuwah
islamiyah yang mengandung makna sikap saling menyayangi antara persaudaraan sesama
umat Islam belum terlihat di kaum muslim sehingga muncul kasus tersebut. Ukhuwah
islamiyah harus diaplikasikan didalam kehidupan, sehingga hidup menjadi penuh
kebermanfaatan dan tidak merugikan orang lain.
3.2 Ukhuwah Wathoniyah

Ukhuwah wathoniyah adalah persaudaraan yang didasari oleh persamaan suku dan
bangsa. Mujilan et al (2016) menyatakan bahwa ukhuwah ini merupakan salah satu tanda-
tanda kebesaran Allah swt. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Al-Quran yang
artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan
berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-
benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS Al-Rum/30:22).

Chirzin (2007), menyatakan ketika seorang Muslim melaksanakan ajaran agamanya,


maka pada waktu yang sama ia juga mendukung nilai-nilai baik yang menguntungkan
bangsanya. Untuk itulah, umat muslim di Indonesia harus menjunjung tinggi ukhuwah
wathoniyah demi menghindarkan bangsanya dari kebinasaan. Hal tersebut sebagaimana
tercantum dalam Al-Quran yang artinya: “Jika kamu tidak berangkat maju berjuang, Allah
akan menghukum kamu dengan adzab yang berat dan menggantikan kamu dengan orang lain,
dan sedikit pun kamu tidak akan merugikan-Nya. Allah Mahakuasa atas segalanya” (QS At-
Taubah/9:39).

Kebinasaan yang disebut dalam ayat diatas dapat dikaitkan dengan perpecahan yang
diakibatkan oleh berbagai konflik berlatar SARA di Indonesia. Untuk itulah, ukhuwah
wathoniyah memiliki peranan penting dalam keutuhan Indonesia sebagai negara yang kaya
akan perbedaan. Pada kasus penyalahgunaan agama, ukhuwah ini berperan sebagai sarana
masyarakat sebagai warga Indonesia untuk saling peduli, mengingatkan, mengawasi, dan
melindungi tanpa memandang perbedaan agama. Dengan begitu, kasus penyalahgunaan
agama yang marak terjadi di Indonesia dapat dicegah dan dihambat perkembangannya.

3.3 Ukhuwah Insaniyah

Ukhuwah insaniyah mengandung arti bahwa seluruh manusia adalah bersaudara. Hal
ini tercantum dalam Al-Quran yang artinya: “Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari satu
pasang laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu beberapa bangsa dan suku bangsa,
supaya kamu saling mengenal bukan supaya saling membenci (bermusuhan). Sungguh, yang
paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Maha
Tahu, Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat/49:13).

Dari ayat tersebut, dapat dilihat bahwa Al-Quran memandang ukhuwah insaniyah
sebagai persaudaraan yang umum dan luas (Chirzin, 2007). Hal ini dikarenakan ukhuwah
insaniyah tercipta dengan dasar persamaan dalam diri setiap manusia sebagai makhluk sosial.
Dasar persamaan manusia tersebut juga membawa ukhuwah ini memiliki peranan yang
penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini sebagaimana ukhuwah insaniyah
menganjurkan manusia untuk saling menyayangi dan tidak menyakiti. Ukhuwah insaniyah
memiliki peran yang besar sebagai pencegah perkembangan kasus penyalahgunaan agama
melalui dasar sesama manusia untuk berbuat baik, menyayangi dan tidak menyakiti,
melindungi, mengawasi, serta mengingatkan tanpa memandang perbedaan agama, suku,
maupun faktor-faktor pembeda lainnya.
Daftar Pustaka

Chirzin, M. (2007). Ukhuwah dan kerukunan dalam perspektif Islam. Jurnal aplikasi ilmu
ilmu agama, 8(1), 1-13. Retrieved from: http://digilib.uin
suka.ac.id/8321/1/MUHAMMAD%20CHIRZIN%20UKHUWAH%20DAN%20KE
UKUNAN%20DALAM%20PERSPEKTIF%20ISLAM.pdf
Dalmeri. (2014). REVITALISASI FUNGSI MASJID SEBAGAI PUSAT EKONOMI DAN
DAKWAH MULTIKULTURAL vol. 22 no. 2. Diterima dari
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/download/269/250
Fikri, A. (1997). Wawasan Islam dan Ekonomi: sebuah bunga rampai. Jakarta: Universitas
Indonesia Press
Hakim, L. (2012). Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Bandung: Erlangga

Kaelany. (2010). Islam Agama Universal. Jakarta: Midada Rahma Press

Mujilan, Kaelany, Nurwahidin, Afroni, S., Rozaq, A., Apendi, P., & Ahmad (2016). Modul
matakuliah pengembangan kepribadian agama islam. Depok: Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai