Anda di halaman 1dari 7

PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA

MELALUI INTEGRITAS NASIONAL


(Persatuan dan Kegembiraan, Konsekuensi Logis dari Iman)

MAKALAH

Diajukan oleh:

Lintang Tinelo To’u Botiya


NIM 22505244044

Kepada Dosen Pengampu:


Arum Dwi Hastutiningsih M. Pd.
NIP 198910282018032002

Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Teknik Sipil dan Perencanaan


Universitas Negeri Yogyakarta
2022
LATAR BELAKANG
Urgensi pertanyaan ini akan terasa bila kita coba zoom-out sedikit
pandangan kita. Bagaimana kondisi dunia pada saat ini? Bermasalah? Ya
kapan tidak? Memang begitulah dunia tercipta. Cuma tepat atau tidak kita
menjuruskan pandang untuk melihat permasalahan, itulah sungguh
pertanyaannya. Kita dapat mulai membahas pertanyaan workshop ini,
dengan melihat situasi global-lokal yang saling berkelindan. Era ini kita
akan melangkah pada konsep pribumi bersama di atas satu bumi.
Pembagian ras dan etnis menjadi semakin tidak relevan di hadapan
permasalahan dunia saat ini. Konsep dunia milik bersama adalah konsep
yang menyenangkan untuk dibayangkan secara pergaulan sosial, tapi
menemukan tantangan ketika terbentur pada kuasa industri berkapital
raksasa.
Komunitas manusia yang masih berkeras hati dengan eksklusivisme
tampaknya akan sirna dilahap evolusi zaman. Kenapa? Karena ekosistem
dunia sedang menuntut kerja sama dari banyak pihak. Survival of the
fittest adalah hukum yang masih akan berlaku. Bukan survival of the
strongest atau smartest. Kekuatan dan kepintaran tidak pernah jadi
penentu keberhasilan kebertahanan bentuk kehidupan, tapi tingkat
adaptasi pada lingkungan. Dan tampaknya eksklusivisme semakin akan
tidak menemukan tempat pada ekosistem zaman sekarang.
Semua manusia adalah lemah, maka perlu agama sebagai imunitas
melaui beberapa kerjasama. Kompleksitas persoalan dunia sekarang
menuntut agar orang mau membuka batok kepalanya dengan ide yang
berbeda, dengan konsep yang saling melengkapi satu sama lain. Perlu
adanya pedoman melalui suatu bentuk komunikasi antarindividu, namun
juga antar satu budaya dengan budaya lainnya. Di sini kita perlu presisi,
kita perlu tetap punya kepercayaan diri dengan bekal budaya kita namun
juga menghindari rasa tinggi budaya murni yang keterlaluan, sebab dua
titik ekstrem itu akan menghambat persauan dan kesatuan. Karena dua hal
inilah yang seringnya melahirkan ekslusivisme.
Apa pula budaya murni dan sejak kapan juga budaya adalah
identitas? Budaya perlu dimaknai sebagai ide pikir yang coba kita ajukan
untuk menyelesaikan persoalan. Sebab semua konsep harus teruji
efektivitasnya dalam menghadapi masalah. Kalau tidak, ya sekadar konsep
mengambang di ruang hampa dan kadaluwarsa. Makhluk hidup berevolusi,
pun juga cara pikir, selera, daya tangkap yang kemudian juga akan jadi
sistem, tatanan, hukum dan lain sebagainya. Sunnatullah evolusi tidak
bisa dicegah, hanya bisa dipahami polanya bagi yang berkenan untuk
berpikir.
Jadi apa yang disemuakan? Apakah karena kita menghadapi era
masyarakat dunia bersama-sama lantas setiap yang asing adalah
pendatang yang boleh mengeksploitasi apapun di dalam kandungan ibu
bumi? Atau kita akan memilih menjadi masyarakat eksklusif yang anti
asing, meyakini delusi adiluhung ketinggian budayanya dan membabi-buta
mendaku pribumi lokal? Masih akan menganut nativisme? Kita akan jadi
yang mana? Pertanyaan ini sangat relevan, kita akan mensemuakan hal
apa dari diri kita? Diri sebagai indvidu maupun diri sebagai masyarakat.
Sekali lagi, akan mensemuakan yang mana?
URAIAN
Desa merupakan satuan di mana kesatuan atau persuami-istrian
kondusif diwujudkan. Nilai budaya dan mata pencaharian mayoritas yang
berbasis pertanian menjadi perwujudan dari kesatuan itu. Kesatuan dan
persamaan manusia ini telah membuka peluang kepada semua orang
berbakat dari semua bangsa untuk mengambil peran di dalam peradaban.
Sejarah mencatat bahwa para genius yang berperan serta dalam
membangun peradaban Arab dan Islam pada masa keemasannya berasal
dari berbagai bangsa. Tokoh besar semisal Al-Khalil bin Ahmad, Sibawaih,
Al-Kindi, Al-Ghazali, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad bin Hanbal, Al-Bukhari dan lainnya, bukan hanya berkebangsaan
Arab, tapi ada yang berdarah Persi, Romawi, Andalusia, Asia Tengah,
Sudah banyak anjuran, nasihat, ceramah, dawuh atau bahkan
instruksi mengenai persatuan tapi rasanya masih jarang persatuan
disimulasikan agar manusia bisa mencicipi bagaimana rasa indahnya
persatuan. Begitupun juga banyak sekali ceramah mengenai kelezatan
iman, tapi “konsekuensi iman”. Bahwa iman kepada Allah memiliki
konsekuensinya, salah satunya adalah juga mengimani dan mensyukuri
tanah, air dan budaya tempat kita dilahirkan. Walau kata nasionalisme
belakangan agak terpolusi, tapi kita mungkin bisa sedikti berdamai dengan
kata itu “Nasionalisme dan persatuan itulah konsekuensi imanmu kepada
Allah.” Tentu di sini nasionalisme yang bukan sempit, tapi benar-benar
nasionalisme yang murni. Kita memulakan dari konsep “konsekuensi iman”
dan apa yang kita sebut konsekuensi hanya bisa dipahami dengan struktur
logika. Selama ini, seringnya orang berbicara iman dengan janji manis,
bahwa iman itu lezat, iman itu indah dan lain sebagainya. Tapi bagaimana
indahnya? Bagaimana lezatnya? Ternyata justru ketika kita mengalami
sendiri, kita bisa memahami dengan logis bahwa iman punya konsekuensi
logis berbuah persatuan, kekompakan dan kegembiraan.

Gambar. Simbol gaya pedesaan sebagai persatuan dan keadilan


(Lintangbotiya 2022)

Bila kita ubah sudut pandangnya, bila iman konsekuensinya adalah


persatuan, maka apakah yang sesungguhnya terjadi pada sebuah negeri
yang dilandan perpecahan, fitnah dan pertengkaran tanpa henti? Mungkin
dari sudut pandang logika ini, yang terjadi adalah krisis iman itu sendiri.
Karena orang tidak merasa aman, tidak saling percaya dan cenderung
merasa perlu memapankan posisi sosial diri dan golongannya. tak ada
kegembiraan melihat yang berbeda darinya.
Yang paling parah menurut adalah para pemegang amanat itu
diinfiltrasi pikirannya untuk mengubah aturan, yang tujuan mendasarnya
adalah mengaburkan batas pengertian antara Negara dengan Pemerintah.
Ketidakjelasan batas antara Negara dengan Pemerintah, konstitusi dan
hukum menjadi salah tingkah. Pasal-pasal yang seharusnya bersifat padat
dan memiliki kepastian yang tinggi, menjadi cair, relatif, rentan terhadap
penafsiran, terutama penafsiran berdasarkan kepentingan-kepentingan
yang merugikan amanah dasar kebangsaan.
Tujuan puncaknya adalah penguasaan, perampokan dan
pengambilan hak-hak milik Bangsa oleh bangsa lain, di mana para
pemimpin bangsa justru menjadi makelarnya. Bahkan Indonesia
mengalami evolusi, sampai penyempurnaan dibanding era Fir’aun. Raja
Mesir ini hanya memerintahkan pembunuhan dan pemusnahan atas bayi-
bayi lelaki, Indonesia menyebarkan kekuatan yang mengebiri kejantanan,
memusnahkan keksatriaan, melecehken sportivitas, melecehkan
objektivitas dan mengubur harga diri bangsanya sendiri. Padahal Islam
mengenal ragam kejiwaan, mental, sikap dan perilaku manusia dalam term
Mu`min, Muslim, Musyrik, Kafir, Munafiq, dengan variabel-variabel
misalnya Fasiq, Ghafil, dan Mufsid. Tetapi untuk kasus Indonesia harus
dicari sampai lipatan dan siklus-siklusnya untuk memahami manusianya
secara lebih tuntas dan benderang.
Ada posisi manusia perusak dan penyelenggara perbaikan. Kalau ada
manusia jujur, kita semua memastikan itu bagian dari jenis pelaku
perbaikan. Kalimat “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan
perbaikan” diucapkan oleh manusia Indonesia tidak dalam posisi bohong.
Pemerintah, kaum cendekiawan, pengusaha, pekerja pendidikan dan
kebudayaan hingga rakyat kecil, mengatakan selama sekian dekade
pemerintahan bahwa mereka sedang membangun atau memproses
penyelenggaraan kebaikan. Mereka sama sekali tidak bohong, sebab setahu
mereka yang mereka lakukan sungguh-sungguh pembangunan kebaikan.
Benar-benar pembangunan. Mamayu hayuning bawana. Bahkan mengutip
Qur`an “baldatun thayyibatun wa Rabbon Ghafur”. Atau minimal meneguh-
neguhkan Sila Kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Bahasa Qur`annya, semua lapisan dan segmen bangsa Indonesia mantap
menyatakan “innama nahnu mushlihun”.

KESIMPULAN
Setiap ilmu ada pintunya sendiri-sendiri, tak perlu merendahkan satu
dengan lainnya itu. Msks perlu langkah memulai untuk meningkatkan
kapasitas menjadi khalifah Indonesia. Dan salah satu cirinya bahwa kita
telah meningkat kapasitas adalah bahwa apa yang semu dan temporer
nafas pendek belakangan ini, tidak menyeret kita, tidak mengganggu
kesadaran dan kedaulatan kita.
Menegakkan logika, iman dan kegembiraan perlu dilakuakn. Sebab
bila krisis iman, maka yang terjadi adalah pertengkaran seperti yang kita
lihat belakangan. Para generasi muda, generasi baru al-mutahabbina fillah,
mulai menyiapkan diri dengan konsentrasi bidang masing-masing. Menjadi
pakar, ulama pada ekspertasinya, dan bekerja sama membangun. Nyicil
membangun zaman dan peradaban yang lebih menggembirakan dari yang
ada sekarang.
Generasi muda perlu belajar jenis penjajahan. Kita harus melawan
penjajahan tapi tidak perlu benci pada penjajahnya. Dan kita harus punya
tekad itiqad yang kuat bahwa kita tidak akan pernah menjajah siapapun.
Untuk itulah kita perlu bersatu, agar tidak langgeng penjajahan. Jangan
bicara revolusi hanya karena tidak tahan lapar.
Bersatu tidak dapat diajarkan, dia hanya dapt dibiasakan. Maka hal
yang urgen dilakukan adalah bersatu bermodalkan iman. Melalui perasaan
gembira dan konsekuensinya adalah mari bersatu dapat mengalami
bersama.
Kemerdekaan manusia, masyarakat dan bangsa, adalah kemerdekaan
untuk menemukan batas. Ketepatan batas itu berpedoman pada titik
akurat dari kesejahteraannya, kesehatan dan keselamatannya. “Terlalu
membatasi” atau “tidak terbatas” sama-sama mengandung ranjau atas
kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan. Kemerdekaan adalah punya
pilihan baju sebanyak-banyaknya tetapi membeli hanya beberapa helai.
Berdirinya NKRI menapaki “kemerdekaan” nya dengan mempersyaratkan
perdamaian abadi, menuju keadilan sosial. Punya pakaian sebanyak-
banyaknya atau tidak punya pakaian sama sekali: sama-sama tidak adil.
Terlalu kenyang itu tidak adil, sebagaimana tidak makan juga tidak adil.

DAFTAR PUSTAKA

Adiatmono. Fendi, Rivai. Arif. 2018. Pradakon. Yogyakarta: Deepublish.


Adiatmono. Fendi, Rivai. Arif. 2018. Setra. Yogyakarta: Deepublish.
Sunyoto, Agus. 2020. Atlas Walisongo. Tangerang Selatan: Pustaka IMaN
dan LESBUMI PBNU.

Anda mungkin juga menyukai