Anda di halaman 1dari 36

JAWABAN UJIAN AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH PENDIDIKAN AKHLAK/KARAKTER


PRODI PENDIDIKAN ISLAM S3
Dosen Pengampu Prof. DR.Uus Ruswandi, M.Pd

Nama : Budie Agung


Prodi : S3 Pendidikan Islam Kelas A
NIM : 3170210005

Bagian I

Banyak kejadian yang menimpa beberapa anak sekolahan yang memerlukan


perhatian dan pemikiran serius dari semua pihak keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Dan ketiga lembaga ini sepatutnya mengambil peran dan fungsi
masing-masing, sehingga beberapa kejadian tersebut tidak terulang kembali.
Beberapa kasus yang dapat dicermati antara lain : Anak SD yang memukul
temannya hingga meninggal hanya karena tersenggol, anak SD yang saling
berpelukan dan disaksikan oleh teman sebayanya, anak SD yang melakukan
hubungan intim dengan siswi SMP hingga hamil, narkoba dan lain
sebagainya. Coba Saudara jelaskan beberapa pertanyaan berikut :

1. Mengapa kasus tersebut terjadi pada mereka ?


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini menyisakan
beberapa persoalan yang perlu perhatian. Tidak dipungkiri masyarakat
modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahun dan teknologi untuk
menjadi alternatif penyelesaian masalah kehidupan sehari-hari (Iptek sebagai
produk budaya), namun pada kondisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi
canggih tersebut kurang mampu menumbuhkan moralitas (akhlak) yang
mulia (Iptek sebagai faktor conditioning) (Mulkhan, 1998).
Di antara akibat negatif dari era global ini, ialah nilai-nilai spiritualitas
agama menjadi momok dalam kehidupan, agama hanya untuk akhirat,
sementara urusan dunia tidak berkaitan dengan agama. Sebagian masyarakat
menjauh dari nilai-nilai agama, nilai-nilai sosial budaya dan nilai-nilai
falsafah bangsa. Menurut Mudji Sutrisno sisi negatif dari globalisasi ialah:
(1) kecenderungan untuk massifikasi, penyeragaman manusia dalam
kerangka teknis, sistem industri yang menempatkan semua orang sebagai
mesin atau sekrup dari sebuah sistem teknis rasional; (2) sekularisme, yang
berarti tidak diakuinya lagi adanya ruang nafas buat yang Ilahi, atau dimensi
religious dalam hidup kita; (3) orientasi nilainya yang menomorsatukan
instant solution, resep jawaban tepat, cepat, langsung (Mudji, 1994).
Menurut Zakiah Daradjat kejadian sebagaimana dipaparkan di atas
disebabkan oleh beberapa faktor yang memengaruhi cara berpikir manusia
modern. Faktor-faktor penyebab kejadian tersebut antara lain kebutuhan
hidup yang semakin meningkat, rasa individualistis dan egois, persaingan
dalam hidup, keadaan yang tidak stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari
nilai-nilai agama (Dradjat, 1979).
Sedangkan menurut Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf
berpendapat bahwa saat ini masyarakat tengah mengalami krisis moral dan
kejiwaan sebagai akibat dari gelombang krisis materialisme. Tradisi hidup
materialistik tidak menjadikan moralitas sebagai anutan, akan tetapi kekayaan
yang dijadikan ukuran kemuliaan dan kehormatan (Husain, 2000).
Sementara itu menurut Lickona (Lickona, 2012) faktor penyebab
menurunnya moral remaja disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang
terbentuk di sekitarnya (Eksternal) antara lain : 1) Keluarga bermasalah yang
diakibatkan bisa dari kurang perhatian dan broken home. 2) Media massa
yang berasal dari tayangan-tayangan yang muncul dari media elektronik (efek
negatif dari tayangan televisi) atau media cetak (majalah dewasa). 3) Sikap
egoisme dan materialisme.
Berkaitan dengan penyebab di lingkungan keluarga, menurut Willis
(Willis, 2010) penyebab menurunnya moral remaja sebagai berikut; 1) Orang
tua otoriter. 2) Orang tua yang over affection (terlalu sayang atau lunak). 3)
Kurang kasih sayang. Milley (1992) mengemukakan beberapa bentuk
keluarga yang tidak mampu melaksanakan fungsinya, yaitu:
1) Peran orang tua yang tidak lengkap yaitu sutau keluarga yang salah satu
orang tuanya tidak ada, baik sementara maupun untuk selamanya,
sehingga peran orang tua menjadi tidak lengkap, karena tidak ada salah
satu figur yang bisa dijadikan panutan.
2) Menolak Peran; yaitu keluarga yang menolak peran sebagai orang tua.
Orang tua tersebut merasa terbebani dengan tugas pengasuhan anak,
sehingga anak-anaknya menjadi terlantar dan atau bahkan mengalami
kekerasan.
3) Sumber-sumber kemasyarakatan yang terbatas; adalah suatu keluarga
yang hidup dan tinggal dalam lingkungan yang sumber
kemasyarakatannya terbatas, seperti perumahan yang tidak layak,
pengangguran, kemiskinan, diskriminasi, dan tidak dapat menjangkau
pelayanan kesehatan dan pelayanan kemanusiaan lainnya.
4) Orang tua yang mengalami hambatan kemampuan; adalah orang tua yang
tidak bisa maksimal dalam melakukan pengasuhan yang disebabkan
karena kecatatan atau sakit yang menahun, ketergantuangan obat,
pemabuk, dsb.
5) Konflik peran dalam pengasuhan; Terjadi ketidakcocokan dalam proses
pengasuhan antara ibu dan bapak. Mereka memiliki harapan yang
berbeda terhadap anak, sehingga berdampak pada konflik model
pengasuhan antara ibu dan bapak.
6) Konflik peran orang tua; sering kali orang tua mengalami konflik peran
antara peran orang tua yang bertanggung jawab dalam memberikan
pengasuhan secara optimal kepada anak dengan perannya dalam
melaksanakan tugas pekerjaannya dan peran sosial lainnya.
7) Anak yang mengalami hambatan aktivitas/ cacat; Milley kemudian
menambahkan apabila suatu keluarga atau orang tua tidak mampu
melaksanakan perannya yang disebabkan karena sesuatu hal, maka
masyarakat seharusnya berperan sebagai parent patriae, yaitu peran yang
mengambil alih peran orang tua yang tidak mampu memberikan
pengasuhan/perlindungan pada anaknya.

2. Bagaimana peran dan fungsi keluarga dalam tinjauan Islam untuk


mengantisipasi kasus-kasus tersebut dewasa ini ?
Kelahiran lembaga pendidikan modern, seperti sekolah atau lembaga
pendidikan lainnya, secara historis merupakan akibat dari keterbatasan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan belajar yang terus berkembang pada
setiap individu anak sesuai dengan perkembangannya. Dalam awal siklus
perkembangan kehidupan seorang individu, secara nyata keluarga merupakan
lembaga pertama yang dikenalinya. Melalui keluarga inilah seorang individu
mulai mengenal dunia. Oleh karena itu keluarga seringkali dianggap sebagai
lembaga pendidikan yang pertama (Sudiapermana, tt). Lebih jauh Kihajar
Dewantoro menyebutkan bahwa keluarga itulah tempat pendidikan yang
lebih sempurna sifat dan wujudnya daripada pusat-pusat lainnya, untuk
melangsungkan pendidikan ke arah kecerdasan budi pekerti (pembentukan
watak individu) dan sebagai persediaan hidup kemasyarakatan (Dewantara,
1977). Dengan demikian maka keluarga adalah tempat dimana anak
mendapatkan perlakukan yang pertama dari orangtua dan sebagai tempat
untuk menanamkan kecerdasan budi pekerti dan juga tahap persiapan
sebelum hidup di masyarakat.
Berkaitan dan peran dan fungsi sosial dalam lingkup keluarga, ada
lima macam, antara lain:
1) Replace of population (pembaharu populasi) yaitu setiap masyarakat
memiliki system tersendiri untuk menambah jumlah anggota
masyarakatnya, dan keluarga dianggap sebagai unit sosial yang
menghadirkan anak-anak sebagai anggota masyarakat.
2) Care of The young (perawatan anak) adalah anak-anak yang dilahirkan
memerlukan perawatan dan perlindungan yang dilakukan oleh keluarga.
3) Socialization of new members (Sosialisasi) adalah keluarga menyediakan
anggota-anggota masyarakat yang produktif, dimana keluarga menjadi
tempat untuk mensosialisasikan nilai dan norma yang ada di masyarakat.
4) Regulation of sexual behavior (regulasi perilaku seks) adalah keluarga
menyediakan tempat untuk mengatur pelaksanaan hubungan seksual.
5) Source of affection (sumber kasih sayang) adalah keluarga memberikan
pemuasan kebutuhan yang manusiawi, dukungan emosional dan aturan-
aturan yang positif yang dapat membantu terwujudnya keteraturan
kehidupan sosial (Zastrow, 2004).
Berdasarkan pendapat di atas, peran dan fungsi keluarga nampaknya
hanya berorientasi pada kepentingan duniawi saja, padahal keluarga
merupakan ladang terbaik dalam penyemaian nilai-nilai agama. Pendidikan
dan penanaman nilai-nilai agama harus diberikan kepada anak sedini
mungkin, salah satunya melalui keluarga sebagai tempat pendidikan pertama
yang dikenal oleh anak.
Upaya dalam mengatasi persoalan degradasi moral anak di zaman
sekarang ini tentu saja hanyalah pendidikan agama yang harus diajarkan
dalam lingkungan keluarga. Pendidikan agama dalam keluarga telah
disyariatkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran dan diinterpretasikan melalui
Hadits Nabi Muhammad SAW. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Al-Quran Surat At-Tahrim ayat 6, artinya; “Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.”
2) Al-Quran Surat Al-Kahfi ayat 46, artinya; “Harta dan anak-anak adalah
perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh
adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.”
3) Al-Quran Surat Al-Furqon ayat 74-75, artinya; “Dan orang-orang yang
berkata: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami
imam bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka itulah orang yang
dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran
mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat
di dalamnya.”
4) Rasulullah SAW bersabda;
“Semua anak dilahirkan membawa fitrah (bakat keagamaan), maka
terserah kepada kedua orang tuanya untuk menjadikannya beragama
Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi” (HR. Muslim).
5) Rasulullah SAW bersabda, yang artinya; “Kewajiban orang tua kepada
anaknya ialah memberi nama yang baik, mendidik sopan santun dan
mengajari tulis menulis, renang, memanah, memberi makan dengan
makanan yang baik serta mengawinkannya apabila ia telah mencapai
dewasa” (HR. Muslim).
6) Rasulullah SAW bersabda;
“Suruhlah anak-anakmu Shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukulah
mereka (jika tidak mau) Shalat ketika sepuluh tahun, dan pisahkanlah
tempat tidur mereka” (HR. Abu Dawud).
Dari beberapa keterangan di atas, baik al-Quran maupun alHadits
mengisyaratkan bahwa pendidikan dalam keluarga itu sangat penting
terutama dalam pendidikan agama. Pendidikan yang ditanamkan orang tua
pada anak merupakan landasan dasar berpijak anak dalam berpikir dan
berkembang secara jasmani, ruhani dan mental anak. Dalam pandangan
Islam, pendidikan dimulai dalam keluarga jauh sebelum anak lahir, yaitu
dengan terlebih dahulu memilih pasangan hidup. Calon ayah harus memilih
calon ibu yang baik, begitupun sebaliknya. Karena ayah dan ibu akan
berpengaruh besar terhadap perkembangan anak-anaknya. Ayah dan ibu yang
tidak baik, tidak akan mampu mendidik anaknya untuk menjadi baik. Dalam
hal ini, Rasulullah SAW memberikan kriteria sebagai berikut: “Wanita
dinikahi karena empat kriteria: Karena hartanya banyak, karena turunannya
baik, karena rupanya baik, karena agamanya baik. Beruntunglah kamu yang
memilih wanita karena agamanya, dengan demikian kamu akan berbahagia”
(HR. Bukhori Muslim).
Kriteria penting menurut hadits di atas ialah beragama. Harta dan
kecantikan suatu saat akan hilang, begitu pula dengan keturunan baik, tidak
akan menjamin kebahagiaan. Bahkan dengan harta, kecantikan, dan
keturunan baik mungkin akan membuat seseorang tinggi hati dan sombong.
Dan yang menjamin kebahagiaan seseorang ialah apabila orang itu beragama,
dan berpegang teguh pada ajaran agamanya. Itulah yang akan
menyelamatkannya di dunia dan akhirat.

3. Bagaimana konsep pendidikan akhlak yang sejatinya dilaksanakan


oleh keluarga ?
Konsep pendidikan akhlak yang dapat dilakukan oleh orang tua dalam
lingkungan keluarga setidaknya harus integral dan komprehensif,
menyangkut seluruh pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik anak
agar mendapatkan hasil pendidikan akhlak yang dapat tertanam secara
maksimal pada anak-anak. Nasihul Ulwan menjelaskan bahwa pendidikan
akhlak dalam kaitannya dilingkungan keluarga harus memperhatikan dua
pedoman dasar dalam mendidik anak yaitu :1) pedoman mengikat dan 2)
pedoman kewaspadaan.

1. Pedoman mengikat

Suatu hal yang meyakinkan bahwa jika usia tamyiz anak diikat dengan
ikatan keyakinan, spiritual, pemikiran, sejarah, social kemasyarakatan, olah
raga dan lain sebagainya. Berikut ini adalah ikatan-ikatan terpenting yang
dapat mewujudkan semua kebaikan bagi anak. Ikatan- ikatan tersebut adalah
:

a. Ikatan Akidah
Untuk membina hal ini seorang pendidik harus menanamkan kepada
anak kepercayaan terhadap Tuhan, para malaikat, kitab-kitab, para rasul
qadha dan qadar, pertanyaan malaikat mungkar dan nakir, siksa kubur,
kejadian-kejadian di akhirat seperti kebangkitan, hisab, surga, neraka, dan
mempercayai hal-hal yang gaib lainnya. Jika pendidik mengajari anak
didiknya akan hakikat iman kepada Allah, memantapkan hatinya dengan
tanda-tanda keimanan, dan selalu mengusahakan sekuat tenaga, mengikatnya
dengan akidah ketuhanan, maka anak tersebut akan tumbuh di atas keyakinan
akan pengawasan Allah, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya. Bahkan dia akan memiliki benteng iman yang kukuh yang dapat
membendung arus kerusakan masyarakat, jiwa dan moral (Ulwan, 1992).

b. Ikatan Spiritual

Ikatan spiritual ialah bahwa jiwa anak harus diisi dengan hal-hal yang
suci agar hatinya memancarkan iman dan keikhlasan. Keterikatan yang
menjamin kesucian yang berkesinambungan ini ialah ikatan yang sesuai
dengan sistem Islam yaitu :

1) Mengikat anak dengan ibadah

Diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Abu Dawud dari Ibnu Amr Al-Ash
r.a. dari Rasulullah saw., bahwa beliau bersabda :

‫اجع‬
ِ ‫ض‬َ ‫سبْعِ ِس ِنیْنَ َواض ِْربُو ُھ ْم َعلَ ْی َھا أ َ ْبنَا ُء َع ْش ٍر َوفَ َّرقُوابَیْنَ ُھ ْم فِي ْال َم‬
َ ‫صالَةِ َو ُھ ْم أ َ ْبنَا ُء‬
َّ ‫ُم ُروا أ َ ْو ََلدَ ُك ْم بِال‬
52

Artinya: Perintahkanlah anak-anakmu salat pada usia 7 tahun. Pukullah


pada usia 10 tahun jika dia enggan melakukannya. Dan pisahkanlah tempat
tidur anak lakilaki dari tempat tidur anak perempuan (Al-Sijistani, 1990).
Analog dengan salat ialah mengikat anak dengan ibadah puasa jika
dia mampu, dengan ibadah haji jika orang tuanya mampu, dan dengan zakat
jika ayahnya dapat menjaminnya. Kewajiban pendidik ialah memberi
peringatan kepada anaknya bahwa ibadah di dalam Islam tidak hanya terbatas
pada rukun-rukun ibadah yang empat di atas. Ibadah mencakup tiap amal
saleh yang dilakukan seorang muslim sesuai dengan aturan Allah seraya
mencari keridhaan-Nya (Ulwan, 1992).

Atas dasar inilah setiap pendidik harus sejak dini mengajarkan kepada
anak tentang prinsip-prinsip kebaikan dan kejahatan, persoalan hal dan
haram, haq dan batil, sehingga seorang anak akan mengarjakan yang halal
dan menjauhi yang haram. Bimbingan kepada anak seperti itu merupakan
bagian dari petunjuk pelaksanaan dari nabi bagi para pendidik seperti meurut
hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jabir dan Ibnu Mundzir, berikut ini:

ِ ‫امتِثَا ِل اَْلَ َو ِام ِر َواجْ تِنَا‬


‫ب النَّ َواھِى فَذلِكَ ِوقَایَةَ لَ ُھ ْم‬ ْ ‫ي هللِ َو ُم ُر ْوا ا َ ْوَلَدَ ُك ْم ِب‬ ِ ‫طا َع ِة هللِ َواتَّقُ ْوا َم َع‬
َ ‫اص‬ َ ‫اِ ْع َملُ ْوا ِب‬
.‫ار‬ ِ َّ‫َو َل ُك ْم ِمنَ الن‬

Artinya: Taatilah Allah dan jauhilah maksiat kepada-Nya. Perintahkanlah


anak-anakmu mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-
Nya, karena semua ini akan menjadi perisai bagi mereka dan bagimu dari
api neraka.
2) Mengikat anak dengan Al- Qur’an

Ibnu khaldun menyarankan, pendidikan hendaknya diawali dengan


pengajaran Al-Qur’an sebelum dipersiapkan fisik dan akalnya, agar sejak dini
dia mengecap bahasa Arab asli dan meresap pada dirinya nilai-nilai iman
(Ulwan, 1992). Al-Ghazali mewasiatkan: hendaknya anak diajari Al-Qur’an,
hadis-hadis rasul, kisah orang-orang yang bijak dan baik, dan sebagaian
hukum agama (Ulwan, 1992). Para pendidik hendaknya menyadari bahwa
akhir umat ini tidak akan baik kecuali jika awalnya baik. Oleh karena itu, para
pendidik hendaknya menyediakan guru dan pembimbing untuk
mengajarakana al-Qur’an putra-putrinya, baik di mesjid, rumah, ataupun di
majelis-majelis taklim.

3) Mengikat Anak dengan Tempat-tempat Ibadah

Masjid dalam Islam merupakan salah satu faktor terpenting dalam


upaya membentuk individu muslim dan membina masyarakat Islam di
sepanjang sejarah. Masjid tetap menjadi bagian dari sendi-sendi asasi
pembinaan individu dan masyarakat Islam di masa kini dan mendatang. Di
antara pentingnya fungsi masjid adalah menentramkan hati karena mengingat
Allah swt (Ulwan, 1992). Jadi, sebaiknya anak diperkenalkan dengan tempat-
tempat ibadah sedini mungkin agar anak terbiasa ke tempat tersebut untuk
melaksanakan kegiatan ibadah, seperti shalat, mangaji, dan lain sebagainya.

4) Mengikat Anak dengan Zikir kepada Allah

Zikir artinya menghadirkan di hati keagungan Allah dalam segala hal


yang harus ada pada seorang mukmin, baik penghadiran itu dalam akal, hati,
jiwa atau lisan atau perbuatan, atau dalam keadaan berdiri, duduk, berbaring,
berlari-lari di muka bumi, merenungi ayat-ayat al-Qur’an, dengar nasihat atau
berhukum dengan syariat Allah, atau dengan mencari keridhaan-Nya (Ulwan,
1992). Jadi, dalam mendidik anak hendaknya selalu dibiasakan untuk
mengingat Allah dengan melakukan zikir, sekurang-kurangnya anak
dibiasakan untuk membaca basmalah apabila hendak mulai melakukan
sesuatu dan membaca hamdalah apabila selesai melaksanakannya.

5) Mengikat Anak dengan Shalat Sunah

Salat sunah ialah salat tambahan yang bukan wajib. Berikut beberapa
macam salat dan puasa sunah yang sangat penting untuk diterapkan dan
dibiasakan di tengah-tengah keluarga dan anak-anak seperti Salat dhuha,
Salat lail (Tarwih, Tahajjud dan Witir), salat istikharah, Salat hajat, Puasa hari
asyurah (10 muharrram), Puasa syawal (puasa 6 hari di bulan syawal), Puasa
tiga hari putih (puasa 3 hari setiap bulan pada tanggal 13,14,15 ), Puasa Senin-
Kamis.

Itulah jenis sunah-sunah terpenting yang disyariatkan oleh sunah Nabi


Muhammad saw. Semua ini merupakan bagian dari amal saleh yang agung
yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah, sehingga meresap
pada dirinya perasaan takwa, tenteramnya keyakinan, dan manisnya iman.
Oleh karena itu, untuk memberi teladan yang baik kepada keluarga dan anak-
anak dalam melaksanakan sunah shalat dan puasa, agar mereka dapat
mengikutimu dan meneladanimu.

Kemudian iringilah keteladananmu ini dengan kata-kata dan nasihat


yang baik. Inilah yang dimaksud mengikat anak dengan ibadah sunah. Hal ini
merupakan faktor yang paling berpengaruh di dalam membentuk iman,
menyiapkan moral dan dan jiwa anak. Bahkan hal ini akan dapat
membiasakan seorang anak untuk ikhlas, bertakwa dan merasa diawasi Allah,
dan dapat menghadirkan keagungan ilahi dalam setiap keadaan (Ulwan,
1992).

6) Mengikat Anak dengan Muraqabatullah (merasa selalu diawasi oleh


Allah)

Di saat pendidik menapaki jalan dengan cara ini beserta anaknya, dan
dikedalaman hatinya ditanamkan benih-benihnya muraqabatullah
(pengawasan), muhasabah (menghitung-hitung diri) dan ketakwaan serta
diamalkan dan direnungkan, maka ketika itulah ia akan terdidik dengan ikhlas
kepada Allah dalam setiap perkataan, perbuatan dan tingkah laku. Semuanya
diniatkan untuk mencari keridhaan Allah.

Begitu juga ia akan terdidik dengan perasaan yang suci, yang


menyelamatkannya dari bencana-bencana kejiwaan: iri, dengki, adu domba,
dan bangga akan dosa. Jika ia dihinggapi bisikan setan atau nafsu jahat,
perasaan dan jiwa suci itu akan segera mengingatkan dia bahwa Allah selalu
bersamanya, selalu mendengar dan melihatnya. Ketika itulah ia akan menjadi
orang yang arif dan dan terbuka hatinya. Sebagaimana firman Allah dalam
QS al A’raf/7: 201.

ِ ‫ان تَذَ َّك ُروا فَإِذَا ُھ ْم ُمب‬


)201( َ‫ْص ُرون‬ ِ ‫ط‬َ ‫ش ْی‬
َّ ‫ف ِمنَ ال‬
ٌ ِ‫طائ‬ َّ ‫إِ َّن الَّذِینَ اتَّقَ ْوا إِذَا َم‬
َ ‫س ُھ ْم‬
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabil1a mereka
dibayang-bayangi pikiran jahat(berbuat dosa) dari syaitan, merekapun
segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-
kesalahannya).

7) Ikatan Pemikiran

Ikatan pemikiran ialah mengikat seorang muslim sejak dini hingga


dewasa, dengan aturan Islam yang tidak memisahkan agama dan Negara,
dengan ajaran-ajaran al-Qur’an sebagai undang-undang dan tasyri’ dengan
ilmu-ilmu syariat sebagai metode dan hukum dengan sejarah Islam sebagai
semangat dan teladan, dengan kebudayaan Islam sebagai tolak ukur kemajuan
dan modernisasi, dan dengan metode dakwah Islam sebagai titik tolak
(Ulwan, 1992).

8) Ikatan sosial

Mengikat anak secara sosial, yaitu seorang pendidik berusaha keras


mengikat anaknya sejak dini, sejak ia mengerti hakikat sesuatu dengan
lingkungan masyarakat yang bersih lagi saleh. Diharapkan dengan
lingkungan kondusif ini, ia dapat memperoleh kebersihan diri, kesucian hati,
kemantapan iman, ilmu yang bermanfaat, akhlak mulia, sehat dan kuat
fisiknya, berpikir Islami, siap berjihad dalam kebenaran yang mampu
melahirkan sifat-sifat mulia bagi anak dan yang dapat menjadikannya sebagai
insan teladan (Ulwan, 1992).

9) Ikatan Keolahragaan

Di antara sarana-sarana positif yang dicanangkan Islam dalam upaya


mendidik anggota masyarakat dalam hal fisik dan kesehatan adalah megisi
waktu luangnya dengan pekerjaan yang bisa mengeluarkan keringat, dengan
latihan kemiliteran, dan latihan olah raga, baik untuk mengisi waktu kosong

1
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatu’l Auladfi’l Islam. Penerjemah: Khalilullah Ahmas Masjkur
Hakim,Pendidikan Anak Menurut Islam “Kaidah-kaidah Dasar”, h. 234.
maupun untuk tujuan profesionalisme. Sebab Islam dengan prinsip-
prinsipnya yang luwes dan ajaranajarannya yang lurus, telah menggabungkan
tuntunan rohani dan jasmani ke dalam satu wadah, satu kesatuan antara
pendidikan jasmani dan perbaikan jiwa (Ulwan, 1992).

2. Sikap waspada

Sikap waspada bukanlah ciptaan para pendidik, bukan datang dari


filosof dan sosiolog, tapi semata-mata merupakan metode al-Qur’an di dalam
upaya membentuk individu dan sistem sunnah Nabi dalam mendidik
masyarakat (Ulwan, 1992).

Sebagaimana firman Allah dalam QS Al Isra/17: 9

ً ‫ت أ َ َّن لَ ُھ ْم أَجْ ًرا َك ِب‬


)9( ‫یرا‬ َّ ‫ِي أ َ ْق َو ُم َویُ َبش ُِر ْال ُمؤْ ِمنِینَ الَّذِینَ َی ْع َملُونَ ال‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫ِإ َّن َھذَا ْالقُ ْرآنَ َی ْھدِي ِللَّ ِتي ھ‬

Artinya : Sesungguhnya, al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang


paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang
mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.

Kewaspadaan itulah yang harus dipahami oleh para pendidik dalam


usaha menjaga anak, membina otaknya, memantapkan akidahnya,
meluruskan tingkah laku dan moralnya. Berikut adalah sejumlah bahaya yang
harus diwaspadai sedini mungkin, yaitu :

1. Waspada terhadap kemurtadan dan prosesnya. Yang dimaksud dengan


murtad ialah apabila seorang muslim meninggalkan agamanya yang
diridhai Allah swt., lalu memeluk agama lain atau kepercayaan lain yang
bertentangan dengan syariat Islam (Ulwan, 1992).
2. Waspada terhadap ateisme. Ateisme ialah mengingkari dzat Allah,
menolak syariat samawi yang dibawa oleh para rasul, dan bersikap
mencemooh terhadap keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai yang
dinisbatkan kepada wahyu samawi (Ulwan, 1992).
3. Waspada terhadap permainan yang dilarang. Islam dengan tasyriknya yang
lurus dan prinsip-prinsipnya yang bijaksana melarang umat akan beberapa
jenis permainan yang dampaknya merusak moral individu, ekonomi
masyarakat, kehormatan Negara, umat serta keluarga (Ulwan, 1992).
4. Waspada terhadap taqlid buta. Diantara masalah-masalah penting yang
harus diperhatikan oleh para pendidik ialah mewaspadai anak terhadap
taqlid buta, mengikuti suatu pendapat tanpa pemikiran dan pertimbangan
(Ulwan, 1992). Waspada terhadap pergaulan orang-orang jahat. Suatu hal
yang sulit dibantah bahwa pergaulan yang rusak merupakan salah satu
faktor terbesar penyimpangan jiwa dan moral anak. Lebih-lebih jika anak
itu bodoh, lemah akidahnya, dan bermoral buruk sehingga akan cepat
terpengaruh oleh teman-temannya yang jahat. Bahkan bersama mereka
kebinalannya akan semakin menjadi-jadi sehingga kriminalitas dan
penyimpangan menjadi salah satu wataknya.
5. Waspada terhadap kerusakan moral. Mengenai tanggung jawab
Pendidikan moral, hal yang harus diatasi yaitu gejala dusta, mencuri,
mengumpat dan mencela, penyimpangan dan penyelewengan. Dalam hal
tanggung jawab pendidikan jasmani hal yang harus diatasi yaitu gejala
merokok, kebiasaan meniru, mabuk-mabukan, perzinaan dan
homoseksual. Gejala tersebut merupakan faktor terbesar pengrusakan
moral dan tingkah laku penyimpangan anak.
6. Waspada terhadap barang haram. Haram ialah sesuatu yang dituntut untuk
ditinggalkan dan bagi yang tidak meninggalkan akan mendapatkan sanksi
Allah di akhirat atau sanksi dunia, seperti membunuh, berzina minum arak,
berjudi, makan harta anak yatim, mengurangi ukuran timbangan dan lain
sebagainya (Ulwan, 1992).
4. Jelaskan ragam pola asuh keluarga ? Kemukakan kelebihan dan
kekurangan pola asuh tersebut serta bagaimana impelementasinya
dewasa ini ?
Perkembangan anak hingga menuju dewasa merupakan rentang
kehidupan yang terkait satu dengan lainya. Anak merupakan masa yang
paling mendasar dan penting dalam membentuk masa selanjutnya. Anak
adalah masa yang dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh
ketergantungan, kira-kira usia 2 tahun sampai saat anak matang secara
seksual, kira-kira 13 tahun untuk wanita dan 14 tahun untuk pria (Hurlock,
1992).
Pengertian tersebut menyatakan bahwa anak menjadi tanggung jawab
orang tua, baik yang masih dalam kandungan, masa bayi hingga anak
mencapai usia dewasa dan mandiri. Beberapa hal yang mempengaruhi
perkembangan anak antara lain teori psychoanalytic, cognitive, behavioral
and social kognitive, ethological dan ecological (Santrock J. , 2009).
Berbeda dengan pendekatan perkembangan transaksional bahwa
”Development is The outcome of transactions between The child and her
environment” (Davies, 2011). Transaksional memperkenalkan transaksi
antara individu anak dan banyak relasionship dan konteks yang
mempengaruhi perkembangan. Dampak dari kasih sayang, perkembangan
pemikiran, faktor resiko dan perlindungan merupakan konteks transaksional
dari perkembangan. Perkembangan anak tidak selamanya baik, sehingga anak
terpaksa mengalami permasalahan yang disebut delinkuen. Seorang anak
digolongkan anak delinkuen apabila tampak padanya kecenderungan-
kecenderungan antisosial yang demikian memuncaknya sehingga yang
berwajib terpaksa mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya
dan mengasingkannya (Gerungan, 1988).
Ada beberapa gaya/model pengasuhan terhadap anak menurut
beberapa ahli. Gaya pengasuhan menurut Baumrid (1971) mengemukakan
empat gaya pengasuhan keluarga terhadap anak antara lain otoritarian,
otoritatif, mengabaikan, dan menuruti (Santrock, 2007). Adapun
penjelasannya adalah sebagi berikut :
1. Pengasuhan ototitarian, adalah gaya yang membatasi dan menghukum
dimana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan
menghormati pekerjaan dan upaya mereka. Orang tua yang otoriter
menerapkan batas dan kendali yang tegas pada anak dan meminimalisir
perdebatan verbal. Orang tua yang otoriter akan berkata ”lakukan dengan
caraku atau tak usah”. Orang tua yang otoriter mungkin juga memukul
anak, memaksakan aturan secara kakutanpa menjelaskannya. Dan
menunjukkan amarahnya pada anak. Anak dari orang tua yang otoriter
sering kali tidak bahagia, ketakutan, minder ketika membandingkan diri
dengan orang lain, tidak mampu memulai aktivitas dan memiliki
kemampuan komunikasi yang lemah. Anak dari orang tua yang otoriter
mungkin berperilaku agresif.
2. Pengasuhan otoritatif, mendorong anak untuk mandiri namun masih
menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Tindakan verbal
member dan menerima dimungkinkan, orang tua bersifat hangat dan
penyayang terhadap anak. orang tua yang otoritatif mungkin merangkul
anak dengan mesra dan berkata, ”Kamu tahu, kamu tak seharusnya
melakukan hal itu. Mari kita bicarakan bagaimana kita bisa menangani
situasi tersebut lebih baik lain kali”. Orang tua yang otoritatif
menunjukkan kesenanganan dan dukungan sebagai respon terhadap
perilaku konstruktif anak. mereka juga mengharapkan perilaku anak
yang dewasa, mandiri dan sesuai dengan usianya. Anak yang memiliki
orang tua yang otoritatif sering kali ceria, bisa mengendalikan diri dan
mandiri, dan berorientasi pada prestasi. Mereka cenderung untuk
mempertahankan hubungan yang ramah dengan teman sebaya, bekerja
sama dengan orang dewasa, dan bisa mengatasi stress dengan baik.
3. Pengasuhan yang mengabaikan, adalah gaya dimana orang tua sangat
tidak terlibat dalam kehidupan anak. anak yang memiliki orang tua yang
mengabaikan merasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting
dari pada diri mereka. Anak-anak ini cenderung tidak memiliki
kemampuan sosial. Banyak diantaranya mereka pengendalian yang
buruk dan tidak mandiri. Mereka seringkali memiliki harga diri yang
rendah, tidak dewasa, dan mungkin terasing dari keluarga, dalam masa
remaja, mereka mungkin menunjukkan sikap suka membolos dan nakal.
4. Pengasuhan yang menuruti, adalah gaya pengasuhan dimana orang tua
sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau
mengontrol mereka. Orang tua macam ini membiarkan anak melakukan
apa yang ia inginkan. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendalikan
perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan keinginannya.
Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini
karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat
dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya
diri. Namun anak yang memiliki orang tua yang selalu menuruti jarang
belajar menghormati orang lain dan dan mengalami kesulitan untuk
mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris,
tidak menuruti aturan dan kesulitan dalam hubungan dengan teman
sebaya. Keempat klasifikasi pengasuhan ini melibatkan kombinasi antara
penerimaan dan sikap responsif di satu sisi serta tuntutan dan kendali di
sisi lain (Maccoby & Martin, 1983) digambarkan dalam tabel berikut:

Gambar di atas memperlihatkan bahwa pengasuhan otoritatif


cenderung merupakan Gaya yang paling efektif, dengan alasan (Hart,
Newell, & Olsen, 2003; Steinberg & Silk, 2002) sebagai berikut:
Pertama, menurut Reuter & Conger (1995) Orang tua yang otoritatif
menerapkan keseimbangan yang tepat antara kendali dan otonomi, sehingga
memberi anak kesempatan untuk membentuk kemandirian sembari memberi
standar, batas dan panduan yang dibutuhkan anak.
Kedua, menurut Kuczynski & Lollis (2002). Orang tua yang otoritatif lebih
cenderung melibatkan anak dalam kegiatan member dan menerima secara
verbal dan memperbolehkan anak mengutarakan pandangan mereka. Jenis
diskusi keluarga ini membantu anak memahami memahami hubungan sosial
dan apa yang dibutuhkan untuk menjadi orang yang kompeten secara sosial.
Ketiga, Menurut Sim (2000) Kehangatan dan keterlibatan orang tua yang
diberikan oleh orang tua yang otoritatif membuat anak lebih bisa menerima
pengaruh orang tua. (Santrock, 2007, p. 168)

5. Jelaskan pengaruh sekolah terhadap pembentukan kepribadian


seseorang anak. Kemukakan pula faktor-faktor di sekolah yang
dipandang berkontribusi terhadap pembentukan kepribadian anak!
Sekolah, pada hakikatnya bukanlah sekedar tempat “transfer of
knowled ge” belaka. Seperti dikemukakan Fraenkel (Fraenkel, 1977), sekolah
tidaklah semata-mata tempat di mana guru menyampaikan pengetahuan
melalui berbagai mata pelajaran. Sekolah juga adalah lembaga yang
mengusahakan usaha dan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai
(value-oriented enterprise). Pembentukan karakter merupakan bagian dari
pendidikan nilai (values education) melalui sekolah merupakan usaha mulia
yang mendesak untuk dilakukan. Bahkan, kalau kita berbicara tentang masa
depan, sekolah bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik
yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati
diri, karakter dan kepribadian.

Usaha pembentukan watak melalui sekolah, secara berbarengan dapat


pula dilakukan melalui pendidikan nilai dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1) menerapkan pendekatan “modelling” atau “exemplary” atau “uswah
hasanah”. Yakni mensosialisasikan dan membiasakan lingkungan
sekolah untuk menghidupkan dan menegakkan nilai-nilai akhlak dan
moral yang benar melalui model atau teladan. Setiap guru dan tenaga
kependidikan lain di lingkungan sekolah hendaklah mampu menjadi
“uswah hasanah” yang hidup (living exemplary) bagi setiap peserta
didik. Mereka juga harus terbuka dan siap untuk mendiskusikan dengan
peserta didik tentang berbagai nilai-nilai yang baik tersebut.
2) menjelaskan atau mengklarifikasikan kepada peserta didik secara terus
menerus tentang berbagai nilai yang baik dan yang buruk. Usaha ini bisa
dibarengi pula dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing)
dan menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya
mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang
buruk; menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan
kontinu; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memilih
berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai; melakukan
pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam berbagai
konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan; membiasakan bersikap dan
bertindak atas niat dan prasangka baik (husn al-zhan) dan tujuan-tujuan
ideal; membiasakan bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik
yang diulangi secara terus menerus dan konsisten.
3) menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character-based
education). Hal ini bisa dilakukan dengan menerapkan character-based
approach ke dalam setiap mata pelajaran nilai yang ada di samping
matapelajaran-mata pelajaran khusus untuk pendidikan karakter, seperti
pelajaran agama, pendidikan kewarganegaraan (PKn), sejarah, Pancasila
dan sebagainya. Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui
sekolah, dengan demikian, tidak bisa dilakukan semata-mata melalui
pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui penanaman atau
pendidikan nilai-nilai.
Suatu alternatif yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan sekolah
dalam perannya sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan situasi dan
kondisi sekolah, antara lain:

a. Pengajaran yang mendidik Yaitu pengajaran yang serentak memberi


peluang pencapaian tujuan intruksional bidang studi dan tujuan-tujuan
umum pendidikan lainnya. Dalam upaya mewujudkan pengajaran yang
mendidik, perlu dikemukakan bahwa setiap keputusan dan tindakan guru
dalam rangka kegiatan belajar mengajar akan membawa berbagai
dampak atau efek kepada siswa, Pemilihan kegiatan belajar yang etpat,
akan memberikan pengalaman belajar siswa yang efisien dan efektif
untuk mewujudkan pembangunan manusia seutuhya. Hal ini dapat
dilaksanakan dengan konsisten apabila guru memiliki wawasan
kependidikan yang tepat serta menguasai berbagai strategi belajar
mengajar sehingga mampu dan mau merancang dan melaksanakan
berbagai kegiatan belajar mengajar yang kaya dan bermakna bagi peserta
didik. Selain itu, pemberian prakarsa dan tanggung jawab sedini mungkin
kepada anak dalam kegiatan belajar mengajar akan memupuk kebiasaan
dan kemampuan belajar mandiri yang terus menerus. Dengan demikian
diharapkan peran sekolah dapat mewujudkan suatu masyarakat yang
cerdas.
b. Peningkatan dan pemantapan program bimbingan dan penyuluhan (BP)
di sekolah Seperti diketahui, bidang garapan program BP adalah
perkembangan pribadi peserta didik, khususnya aspek sikap dan perilaku
atau kawasan afektif. Dalam pedoman kurikulum disebutkan bahwa,
Pelaksanaan kegiatan BP di sekolah menitikberatkan kepada bimbingan
terhadap perkembangan pribadi melalui pendekatan perseorangan dan
kelompok. Siswa yang menghadapi masalah mendapat bantuan khusus
agar mampu mengatasi masalahnya. Semua siswa tetap mendapatkan
bimbingan karier. Pendidikan afektif dapat diawali dengan kajian tentang
nilai dan sikap yang seharusnya dikejar lebih jauh dalam perwujudannya
melalui perilaku sehari-hari.
c. Pengembangan perpustakaan sekolah Perpustakaan sekolah merupakan
salah satu pusat sumber belajar, yang mengelola bukan hanya bahan
pustaka tetapi juga berbagai sumber belajar lainnya. Perpustakan
diharapkan peranannya bisa lebih aktif dalam mendukung program
pendidikan. Dengan penyediaan berbagai perangkat lunak yang
didukung perangkat keras yang memadai maka perpustakaan dapat
menjadi “mitra kelas” dalam proses belajar mengajar dan tempat
pengkajian berbagai pengembangan sistem instruksional. Suatu
perpustakaan sekolah yang memadai akan dapat mendorong siswa atau
anak untuk belajar mandiri.
d. Peningkatan Program pengelolaan sekolah Khususnya yang terkait
dengan peserta didik, pengelola sekolah sebagai pusat pendidikan dan
kebudayaan seharusnya merupakan refleksi dari suatu masyarakat yang
beradab yang dicitacitakan oleh tujuan nasional. Gaya kerja pengelola
umumnya, akan berpengaruh bukan hanya melalui kebijakannya tetapi
juga aspek keteladanannya. Selain diperlukan sosok guru ideal yang
mampu membuat ramuan perencanaan pembelajaran berbasis
pendidikan karakter, dukungan iklim dan budaya sekolah/madrasah pun
akan sangat menentukan hasil dari proses internalisasi. Demikian halnya
dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung. Peran
kepemimpinan dari seorang kepala madrasah akan sangat menentukan
hal tersebut dapat terwujud. Disamping peran serta yang optimal dari
seluruh perangkat sekolah/madrasah.

Selain melalui upaya di atas, apa yang diungkapkan oleh Bagir (Bagir,
2005) dapat menjadi referensi para praktisi pendidikan di lingkungan
persekolahan dalam mengembangkan strategi pendidikan karakter di
lingkungan madrasah. Menurutnya bahwa terdapat empat tataran
implementasi, yaitu tataran konseptual, institusional, operasional, dan
arsitektural. Dalam tataran konseptual, internalisasi pendidikan karakter
dapat diwujudkan melalui perumusan visi, misi, tujuan dan program
madrasah (rencana strategis madrasah), adapun secara institusional, integrasi
dapat diwujudkan melalui pembentukan institution culture yang
mencerminkan adanya misi pendidikan karakter, sedangkan dalam tataran
operasional, rancangan kurikulum dan esktrakulikuler (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan/KTSP) harus diramu sedemikian rupa sehingga nilai-nilai
fundamental agama prihal akhlak mulia dan kajian ilmu/ilmiah prihal akhlak
mulia terpadu secara koheren. Sementara secara arsitektural, internalisasi
dapat diwujudkan melalui pembentukan lingkungan fisik yang berbasis
pendidikan akhlak, seperti sarana ibadah yang lengkap, sarana laboratorium
yang memadai, serta perpustakaan yang menyediakan buku-buku prihal
akhlak mulia.

6. Jelaskan secara komprehensif implementasi pendidikan karakter pada


satuan pendidikan melalui Integrasi ke dalam KBM pada setiap Mapel,
pembiasaan dalam kehidupan keseharian, integrasi ke dalam kegiatan
Ektrakurikuler, dan penerapan pembiasaan kehidupan keseharian di
rumah yang sama dengan di satuan pendidikan disertai contoh
konkritnya!

Implementasi pendidikan karakter pada satuan pendidikan dapat


dilakukan dengan tiga cara : 1) Diintegrasikan kedalam Kegiatan belajar
mengajar, 2) Diintegrasikan kedalam kegiatan ekstrakurikuler. 3) Penerapan
pembiasaan kehidupan keseharian di rumah. Berkaitan dengan hal tersebut
penulis tertarik dengan hasil penelitian yang dilakukan di Sekolah Islam
Terpadu Salman Al-Farisi di Yogyakarta (Susiwi, 2013). Dimana Sekolah
berusaha menciptakan suasana, iklim, dan lingkungan pendidikan yang
kondusif sehingga terselenggara pembelajaran yang efisien.

Adapun budaya sekolah yang dikembangkan dalam rangka


penanaman karakter meliputi: (1) integratif; (2) produktif, kreatif dan
inovatif; (3) qudwah hasanah; (4) kooperatif; (5) ukhuwah; (6) rawat, resik,
rapi dan sehat; dan (7) berorientasi mutu (Muhab, 2010).
Integratif. Seluruh bidang ajar dalam bangunan kurikulum
dikembangkan melalui perpaduan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Al
Quran dan As Sunnah dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan umum yang
diajarkan. Ketika guru hendak mengajarkan ilmu pengetahuan umum,
semestinya ilmu pengetahuan tersebut sudah dikemas dengan perspektif
bagaimana Al Quran atau As Sunnah membahasnya. Tidak ada ambivalensi
atau dikotomi ilmu. Islam sebagai landasan, bingkai dan aspirasi bagi seluruh
proses berfikir dan belajar. Setiap warga sekolah wajib mengintegrasikan
nilai-nilai Islam setiap kegiatan dalam semua bidang, serta
meniadakan/membersihkan dari unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-
nilai Islam.

Produktif, Kreatif dan Inovatif. Warga sekolah dapat menjadi


pribadi-pribadi yang produktif, kreatif dan inovatif. Sekolah mampu memicu
dan memacu peserta didik menjadi pembelajar yang produktif, kreatif dan
inovatif. Model pembelajaran didekati dengan cara-cara yang bervariasi,
menggunakan berbagai sumber pendekatan dan media belajar.

Qudwah hasanah (suri teladan). Seluruh civitas akademika sekolah


mesti menjadi figure contoh bagi peserta didik. Kualitas hasil belajar sangat
dipengaruhi kualitas keteladanan yang ditunjukkan oleh tenaga kependidikan.
Adapun qudwah hasanah bisa diuraikan dalam hal amanah dan berkomitmen
tinggi, disiplin (tertib dan teratur), antusias dan bermotivasi tinggi, belajar
sepanjang hayat, peduli dan menghargai orang lain serta menghidupkan
sunnah.

Siswa diharapkan mempunyai amanah dan berkomitmen tinggi.


Setiap warga sekolah menjadikan bekerja/mendidik anak-anak di sekolah
adalah sebuah amanah dari Allah SWT untuk mendidik dan menyiapkan
generasi Islam sehingga kelak menjadi generasi yang berkarakter khalifah,
memimpin peradaban, dan memakmurkan bumi. Amanah ini dapat
ditunaikan dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi, karena
semua itu ada pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT. Disiplin
dalam menaati semua peraturan-peraturan yang berlaku di sekolah, misalnya
peraturan kepegawaian, dan tata tertib-tata tertib lainnya. Antusias dalam
mengikuti perkembangan-perkembangan baru tentang pendidikan, keahlian
dan bermotivasi tinggi untuk menerapkan halhal yang baik dari
perkembangan pendidikan itu. Selalu menimba ilmu sepanjang hayat,
mengikuti pembinaan rutin, gemar mengembangkan wawasan dengan
membaca, mengikuti seminar-seminar, pelatihan, diskusi, membaca dan studi
banding, mengembangkan diri dengan mengikuti lomba-lomba yang bisa
mengasah profesionalisme warga sekolah.

Setiap warga sekolah diharapkan menjadi pribadi yang peduli dan


menghargai orang lain, tidak saling meremehkan. Lingkungan sekolah marak
dan ramai dengan segala kegiatan dan perilaku terpuji seperti terbiasa
menghidupkan ibadah dan sunnah, menebar salam, saling menghormati,
menyayangi. Lingkungan sekolah dapat terbebas dari segala perilaku yang
terela seperti umpatan, caci maki, kata-kata kotor, kasar, iri, hasad, dengki,
egois, ghibah, dan konflik berkepanjangan.

Kooperatif. Kerjasama sistematis dan efektif antara guru dan orang


tua dalam mengembangkan dan memperkaya kegiatan pendidikan dalam
berbagai aneka program. Guru dan orang tua bahu-membahu dalam
memajukan kualitas sekolah. Orang tua dapat ikut secara aktif memberikan
dorongan dan bantuan baik secara individual kepada putra-putrinya meupun
kesertaan mereka terlibat di dalam sekolah dalam serangkaian program yang
sistematis. Keterlibatan orang tua memberikan pengaruh yang sangat
signifikan dalam meningkatkan performance sekolah. Program kerjasama
dengan orang tua yang dapat dikembangkan antara lain dalam hal
pengembangan kurikulum, pengayaan program kelas, peningkatan sumber
daya pendanaan, pemantauan bersama kinerja peserta didik, proyek ekshibisi,
perayaan, peningkatan kesejahteraan guru, pengembangan organisasi dan
manajemen.
Ukhuwah. Persaudaraan di antara para guru dan karyawan sekolah
dibangun atas prinsip-prinsip universalitas. Saling mengenal satu sama lain
(ta’aruf), saling memahami (tafahum) segala karakter, gaya dan tabiat,
persoalan dan kebutuhan, kekurangan dan kelebihan dan saling membantu
(ta’awun) adalah pilar-pilar ukhuwwah yang mesti ditegakkan. Husnuzhan
menunaikan kewajiban hak-hak ukhuwwah dan membantu segala kesulitan
sesame guru/karyawan.

Rawat, resik, rapi dan sehat. Kebersihan bagian dari iman.


Kebiasaan merawat, resik, rapi, tertib, teratur mengantarkan seluruh civitas
akademika pada lingkungan yang sehat dan asri. Seluruh lingkungan sekolah
baik itu ruang kelas, koridor, dinding, lantai, pintu, jendela, kamar mandi,
halaman sekolah bersih, tidak kotor dan berdebu.

Berorientasi mutu. Program sekolah memiliki perencanaan strategis


yang jelas, berdasarkan visi dan misinya yang luhur mengarah pada
pembentukan karakter dan pencapaian kompetensi peserta didik. Sistem
dibangun berdasarkan standar mutu yang dikenal, diterima dan diakui oleh
masyarakat.

Implementasi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Melalui Budaya


Lingkungan Sekolah

1) Budaya Lingkungan Sekolah Integratif.


Tujuan adanya budaya integratif adalah terciptanya pembelajaran di
sekolah yang integratif dengan nilai-nilai keislaman sehingga tidak ada
lagi dikotomi ilmu. Adapun lingkup budaya integratif pada bidang
kurikulum sekolah. Pelaksanaanya merupakan tanggung jawab wakil
kepala sekolah bidang kurikulum.
Prosedur pelaksanaannya meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
- Setiap guru wajib mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dalam
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran/RPP untuk SD atau RKH untuk
TK.
- RPP/RKH wajib dikonsultasikan atau diteliti oleh wakasek
kurikulum.
- Wakasek kurikulum meneliti RPP/RKH dengan sebaik-baiknya,
terutama aspek integratif dengan nilai-nilai keIslaman, RPP/RKH
sesuai dengan tahap perkembangan anak, tidak mengandung
nilainilai yang bertentangan dengan Islam.
- Wakasek kurikulum memberi pengarahan/bimbingan/saran jika ada
yang belum lengkap / belum sesuai.
- Guru memperbaiki RPP/RKH sesuai dengan saran dari wakasek.
- Guru mengajukan revisi RPP/RKH ke wakasek kurikulum lagi.
- Wakasek kurikulum meneliti lagi.
- Jika RPP/RKH sudah bagus, wakasek meng-acc RPP/RKH tersebut
(dengan paraf).
- Guru meminta tanda tangan ke kepala sekolah.
- Kepala sekolah menandatangani RPP/ RKH tersebut.
2) Budaya Produktif, Kreatif dan Inovatif

Tujuannya adalah agar warga sekolah (guru, karyawan, peserta didik,


orang tua) menjadi pembelajar yang produktif, kreatif dan inovatif.
Adapun lingkupnya pada pengembangan karakter. Dalam pelaksanaanya
merupakan tanggung jawab wakil kepala sekolah bidang personalia.

Adapun prosedur pelaksanaannya meliputi aspek-aspek sebagai berikut.

- Setiap guru wajib membuat rencana pembelajaran/kegiatan yang


produktif, kreatif dan inovatif dengan cara berbagai strategi
pembelajaran, pendekatan, sumber belajar, dan variasi media
pembelajaran, sehingga peserta didik terstimulus menjadi pembelajar
yang produktif, kreatif dan inovatif.
- Setiap guru mendokumentasikan produk/hasil karya tiap
pembelajaran, misalnya lembar kerja siswa/lembar kegiatan anak,
dokumentasi APE + petunjuk penggunaan APE. Hasil ini bisa
digunakan untuk mengikuti lomba tahunan.
- Setiap guru wajib membuat rencana pembelajaran/kegiatan yang
produktif, kreatif dan inovatif dengan cara berbagai strategi
pembelajaran, pendekatan, sumber belajar, dan variasi media
pembelajaran, sehingga peserta didik terstimulus menjadi pembelajar
yang produktif, kreatif dan inovatif.
- Mengadakan lomba intern untuk peserta didik (misalnya kreatifitas
seni rupa islami, suara/nasyid, drama shiroh, bercerita), untuk guru
dan karyawan, (misal, lomba karya ilmiah guru, produk
pembelajaran, produk penelitian, membuat APE, kreatifitas seni rupa
islami, membuat nasyid, membuat naskah drama shiroh, menulis
artikel/nonfiksi, menulis fiksi, dan lain-lain).
- Guru dan peserta didik berpartisipasi aktif mengikuti lomba-lomba
yang diadakan oleh pihak eksternal baik itu skala daerah sampai skala
nasional.
- Sekolah mendorong komite untuk mengadakan kegiatan yang
memacu orang tua sehingga produktif, kreatif dan inovatif. Misalnya,
sekolah menulis untuk orang tua, seminar dan lainnya.
3) Qudwah Hasanah (Suri Teladan)

Tujuan budaya suri tauladan adalah agar warga sekolah (guru, karyawan,
peserta didik, orang tua) menjadi pembelajar yang produktif, kreatif dan
inovatif. Pelaksanaannya merupakan tanggung jawab wakil kepala
sekolah bidang personalia. Qudwah hasanah yang dimaksud terdiri atas
amanah dan berkomitmen tinggi, disiplin (tertib dan teratur), antusias dan
bermotivasi tinggi, belajar sepanjang hayat, peduli dan menghargai orang
lain serta menghidupkan sunnah.
- Prosedur pelaksanaan budaya amanah dan berkomitmen tinggi
meliputi, (1) Setiap warga sekolah menerima setiap tugas dengan
senang hati/ridho, menjadikan tugas sebagai amanah dari Allah yang
akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT; (2) setiap tugas
tersebut dilakukan dengan sebaik-baiknya (ahsanu ‘amala). (3)
menyelesaikan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, dan (4)
tugas-tugas yang dilaksanakan dengan komitmen tinggi.
- Prosedur pelaksanaan budaya disiplin di sekolah meliputi hal-hal
sebagai berikut. (1) Datang ke sekolah tepat waktu. (2) Masuk kelas
tepat waktu setelah istirahat. (3) Datang dan pulang sekolah melalui
pintu gerbang. (4) Terbiasa antri. (5) Bermain di tempat yang sesuai
dengan aturan dan peruntukannya. (5) Selalu memakai alas kaki
sesuai aturan selama di sekolah. (6) Tidak membawa mainan dan
barang yang berbahaya dari rumah. (7) Tidak membawa uang saku.
- Budaya disipilin di kelas saat siswa bertanya meliputi hal-hal seperti
berikut. (1) Anak didik mengacungkan jari tanpa suara. (2) Guru
menunjuk anak didik dan mempersilahkan bertanya. (3) Anak didik
menyampaikan pertanyaan dengan jelas. (4) Guru menjawab
pertanyaan dengan jelas, bila kesulitan jawaban ditunda/sebagai PR
yang dapat diselesaikan guru (Tim, 2008).
- Secara bersamaan budaya yang dibangun saat siswa menjawab
pertanyaan meliputi hal-hal berikut. (1) Guru mengajukan
pertanyaan. (2) Anak didik berfikir untuk menjawab pertanyaan. (3)
Anak didik mengacungkan jari tanpa suara. (4) Guru menunjuk anak
didik dan mempersilahkan menjawab pertanyaan. (5) Anak didik
menjawab pertanyaaan guru. (6) Guru memberi kesempatan pada
anak didik yang lain.
- Budaya yang dibangun saat siswa akan izin keluar kelas untuk ke
kamar mandi (WC) meliputi hal-hal berikut. (1) Anak didik menuju
ke guru pengajar di kelas itu. (2) Anak didik menyampaikan
maksudnya. (3) Guru memberikan izin. (4) Bila banyak anak yang
izin keluar maka diizinkan satu per satu. Begitu pula saat siswa di
kelas dan mengingingkan pulang maka pihak sekolah akan
memastikan anak didik sudah diperiksa oleh petugas UKS, petugas
UKS menelpon orang tua untuk menjemput anak didik, orang
tua/penjemput izin ke kantor (administrasi) dan mengisi format izin
keluar, dan orang tua /penjemput menyerahkan format izin keluar
pada wali kelas sambil menjemput anak didik.
- Budaya tentang kedisiplinan, ketertiban, dan keteraturan berkaitan
dengan hal tertib makan dan minum, saat berada di tempat wudhu,
tempat sholat, di kamar mandi (WC) dan saat menemukan barang
orang lain.
- Budaya yang dikembangkan saat makan dan minum meliputi hal-hal
berikut. (1) Anak didik berjalan tenang menuju tempat cuci tangan.
(2) Mencuci tangan hingga bersih. (3) Menuju tempat makan dengan
tenang/tertib, (4) Mengambil makanan dengan teratur dan bergilir.
(5) Berdoa sebelum makan. (6) Makan dan minum dengan duduk dan
menggunakan tangan kanan. (7) Makan dan minum tidak berlebihan
dan tidak mubadzir. (8) Mengkonsumsi makanan dan minuman yang
halal dan sehat, (9) Makan dengan tenang dan teratur. (10) Berdoa
selesai makan dan minum. (11) Membuang sampah ke tempat
sampah. (12) Membawa perlengkapan makan ke dapur/tempat cuci
piring dengan tenang. (13) Tertib makan dan disiplin waktunya. (14)
Mencuci tangan, mulut hingga bersih.
- Budaya saat berada di tempat wudhu meliputi hal-hal berikut. (1)
Memakai alas kaki/sandal. (2) Berjalan tertib/tenang menuju tempat
wudhu. (3) Antri wudhu membentuk barisan. (4) Melipat celana dan
lengan baju. (5) Baca “bismillah” sebelum berwudhu, (6) Wudhu
dengan sempurna, semua bagian wudhu kena air. (7) Menggunakan
air secukupnya, (8) Doa sesudah wudhu. (9) Bila terakhir antri, kran
ditinggal dalam posisi tertutup. (10) Bercermin, dan merapikan
rambut sesuai kebutuhan. (11) Merapikan baju dan celana, dan (12)
Berjalan tertib menuju masjid.
- Selanjutnya, membangun budaya saat berada di tempat solat. Adapun
budaya ini meliputi hal-hal sebagai berikut. (1) Mengisi shof terdepan
mulai dari sebelah kiri. (2) Menjaga ketenangan selama sholat. (3)
Segera berdiri dengan tenang jika iqomah terdengar. (4) Menata shof
lurus dan rapat, (5) Mengisi shof kosong di depannya. (6) Sholat
dengan sungguh-sungguh. (7) Dzikir dan doa sesudah sholat dengan
sungguh-sungguh.
- Selain itu juga dikembangkan karakter anak saat berada di kamar
mandi (WC) yang terdiri atas (1) keluar kelas, ambil alas kaki/sandal;
(2) menuju KM/WC dengan berjalan tenang; (3) melipat lengan baju
panjang; (4) melepas celana/rok dengan benar; (5) berdoa ketika mau
masuk KM/ WC; (6) mendahulukan kaki kiri; (7) BAK/ BAB dengan
jongkok; (8) hati-hati dengan cipratan air kencing (najis); (9)
menyiram sampai bersih (dengan bantuan guru); (10) bersuci/cebok
sampai bersih (dengan bantuan guru); (11) mencuci tangan dengan
sabun, (11) kran ditinggal dalam posisi tertutup, (12) keluar KM/WC
mendahulukan kaki kanan; (13) Berdoa keluar KM/WC; (14)
memakai celana/rok dengan baik.
- Adapun budaya keteraturan yang dikembangkan adalah saat
menemukan barang orang lain, maka siswa dan guru sebaiknya
melakukan hal berikut. (1) Jika menemukan barang yang bukan
miliknya maka segera memberikan barang itu kepada wali
kelas/pemiliknya jika ada identitas jelas. (2) Hari itu juga wali kelas
mengumumkan barang itu di kelasnya. (3) Jika tidak ada pemiliknya
di kelas itu maka diberikan ke wali kelas lain untuk diumumkan di
kelas lain. (4) Jika belum ada pemiliknya, diserahkan pada bagian
TPA, ditaruh di kotak barang hilang, diletakkan di gerbang
penjemputan anak (TIM, 2008).
- Budaya tentang qudwah hasanah pada sisi antusias dan bermotivasi
tinggi dikembangkan dengan prosedur pelaksanaan adalah sebagai
berikut : (1) Guru/karyawan antusias menerima tugas-tugas baru
yang diberikan dan bermotivasi tinggi menyelesaikan dengan baik.
(2) Guru membuat pembelajaran yang membuat anak didik antusias
dan bermotivasi tinggi mengikutinya dengan menerapkan quantum
teaching (prinsip TANDUR), yaitu sebagai berikut. Tumbuhkan
minat dengan memuaskan “Apakah Manfaatnya BagiKu”
(AMBAK), dan manfaatkan kehidupan anak didik, alami Ciptakan
atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti oleh semua
anak didik. Namai Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus,
strategi, sebuah “masukan”. Demonstrasikan, sediakan kesempatan
bagi anak didik untuk menunjukan bahwa mereka tahu. Ulangi,
tunjukan pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan, “ Aku
tahu bahwa aku memang tahu ini”. Rayakan pengakuan untuk
penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu
pengetahuan. (3) Setiap warga sekolah antusias dan bermotivasi
tinggi mengikuti perkembangan-perkembangan baru tentang
pendidikan, keahlian. (4) Guru/karyawan menerapkan hal-hal yang
baik dari perkembangan baru itu. (5) Warga sekolah mengikuti
pelatihan/ seminar/kunjungan yang membangun rasa antusias dan
bermotivasi tinggi.
- Budaya qudwah hasanah pada aspek belajar sepanjang hayat
dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut. (1) Anak didik selalu
dimotivasi untuk menimba ilmu sepanjang hayat dengan kisah-kisah
teladan pencari ilmu. (2) Menasehatkan anak didik untuk
memanfaatkan waktu luang dengan sebaik-baiknya untuk belajar. (3)
Membiasakan anak didik ke perpustakaan. (4) Guru membuat
pembelajaran yang membuat anak didik untuk aktif belajar mandiri.
(5) Sekolah mengadakan program baca buku/kunjungan ke
perpustakaan setiap pekan. (6) Anak didik dilatih menceritakan/
mengupas buku yang telah dibacakan. (7) Guru/karyawan mengikuti
pembinaan rutin, gemar mengembangkan wawasan dengan
membaca, mengikuti seminar-seminar, pelatihan, diskusi, membaca
dan studi banding. (8) Guru/karyawan mengembangkan diri dengan
mengikuti lomba-lomba yang bisa mengasah profesionalisme.
- Budaya tentang qudwah hasanah pada hal peduli dan menghargai
orang lain di antaranya seperti berikut. (1) Melatih berempati kepada
sesama dengan berinfaq dan gemar menolong. (2) Menghormati dan
menyayangi orang tua, guru, teman. (3) Membiasakan berjabat
tangan. (4) Menghargai orang lain, tidak saling meremehkan.
Qudwah hasanah pada area menghidupkan sunah dilakukan dengan
beberapa hal mendasar seperti berikut. (1) Terbiasa menghidupkan
ibadah (sholat, dzikir, dll.). (2) Membiasakan senyum, salam, sapa,
sopan, santun. (3) Menghindari berkata koto dan menyakitkan hati,
kasar, iri, hasad, dengki, egois, ghibah, dan konflik berkepanjangan.
(4) Ikhlas menerima dan memberi nasihat. (5) Memegang kejujuran
dalam segala hal. (6) Meminta izin bila meminjam barang milik
orang lain. (7) Membiasakan mengucapkan jazakumullah
khairan/terima kasih dan minta tolong. (8) Senang berkawan dan
menghindari perselisihan. (9) Tidak segan meminta maaf dan
bertanggung jawab atas kesalahan dan (10) Berusaha lebih mandiri.
4) Budaya kooperatif.
Tujuan dibangun budaya kooperatif adalah agar warga sekolah (guru,
karyawan, peserta didik, orang tua) selalu menjaga sikap saling
kerjasama dengan yang lain. Dalam realisasinya merupakan tanggung
jawab wakil kepala sekolah bidang personalia. Budaya kooperatif ini
dikembangkan dengan tahapan seperti berikut. (1) Melaksanakan rapat-
rapat koordinasi berkesinambungan dengan berbagai pihak terkait
(Yayasan, Komite Sekolah, Wakasek, Guru/ Karyawan). (2) Saling
berkerjasama melaksanakan kegiatan dan program sekolah baik eksternal
(baksos, pelatihan dan seminar, workshop, pameran) dan internal
(kunjungan edukatif, outbond, pentas tutup tahun, manasik haji, dll). (3)
Saling membantu dalam keberlangsungan KBM harian, jika ada guru
yang berhalangan hadir. (4) Kooperatif antara wali kelas dan guru
pendamping dalam mengelola kegiatan harian. (5) Kooperatif antara
guru dan karyawan terutama dalam hal komunikasi positif. (6)
Kooperatif antara guru dan wali siswa dalam mendampingi
perkembangan anak didik. (7) Koordinasi antar lembaga dalam satu
yayasan.
5) Budaya ukhuwah
bertujuan dikembangkan dengan tujuan agar warga sekolah (guru,
karyawan, peserta didik, orang tua) selalu menjaga sikap saling
bersaudara/ukhuwah dengan yang lain. Budaya ukhuwah dilaksanakan
dengan tahapan seperti berikut. (1) Mengadakan silaturahim rutin antar
guru, karyawan dan yayasan. (2) Mengadakan outbond bersama/rihlah
keluarga. (3) Menjenguk guru atau keluarga guru yang sakit, melahirkan,
menikah dan meninggal dunia. (4) Mengadakan forum sambung
rasa/sharing. (5) Mengadakan pengajian bersama.
6) Budaya rawat, resik, rapi dan sehat
Dikembangkan dengan tujuan agar warga sekolah (guru, karyawan,
peserta didik, orang tua) selalu merawat, menjaga kebersihan, kerapian
keindahan dan kesehatan. Prosedur pelaksanaan budaya ini meliputi hal-
hal seperti berikut. (1) Selalu berpakaian menutup aurat dan
berpenampilan bersih dan rapi. (2) Seragam sesuai dengan aturan
sekolah. (3) Meletakkan alas kaki pada rak yang telah disediakan. (4)
Memberi identitas pada barang milik pribadi dan merawat dengan baik.
(5) Membuang sampah pada tempatnya dan mau memungut sampah
yang tercecer. (6) Merawat barang-barang sekolah dengan baik. (7)
Menjaga lingkungan sekolah senantiasa bersih, rapi, dan sehat. (8)
Mengagendakan kerja bakti bersama di sekolah yang melibatkan semua
warga sekolah.
7) budaya berorientasi mutu
Budaya ini bertujuan untuk membangun sistem berdasarkan standar
mutu yang dikenal, diterima dan diakui oleh masyarakat. Sebagai
manajer dalam pengembangan budaya ini adalah wakil kepala sekolah
bidang kurikulum. Tahapan dalam pengembangan budaya ini meliputi
hal-hal sebagai berikut. (1) Wakasek kurikulum selalu mengadakan
perbaikan peningkatan mutu pembelajaran. (2) Mengevaluasi mutu
pembelajaran setiap akhir semester. (3) Selalu mencari informasi-
informasi terbaru dalam pengembangan kurikulum. (4) Mengolah
informasi terbaru untuk dikembangkan dan diterapkan di dalam
kurikulum sekolah. (5) Melacak data alumni yang melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Sharing dengan bagian
kurikulum sekolah yang lain. (7) Mengikuti penilaian dan lomba sekolah
berprestasi (akreditasi, lomba guru dan kepala sekolah berprestasi,
lembaga inovatif, lomba gugus).
Daftar Pustaka

Al-Sijistani, A. D. (1990). Sunan Abu Daud. Beirut: Darul Fikr.


Bagir, Z. A. (2005). Integrasi Ilmu dan Agama, Interpretasi dan Aksi.
Bandung: Mizan Pustaka.
Birgden, T. W. (2007). Human Rights and Correctional Clinical Practice.
Elsevier: Aggresion and Violent Behaviour.
Davies, D. (2011). Child Development A Practitioner's Guide (Third
Edition ed.). New York: The Guilford Press.
Dewantara, K. (1977). Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa.
Dradjat, Z. (1979). Peranan Agama dalam Kesehanan Mental. Jakarta:
Gunung Agung.
Fraenkel, J. R. (1977). How To Teach About Values : An Analytical
Approach. Englewood: NJ: Prentice Hall.
Gerungan, W. (1988). Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco.
Hurlock, E. B. (1992). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Husain, S. (2000). Krisis Pendidikan dalam Islam. Jakarta: Al-Mawardi
Prima.
Lickona, T. (2012). Mendidik untuk Membentuk Karakter . Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Mudji, S. (1994). Dialog Kritis dan Identitas Agama. Bandung: Mizan.
Muhab, S. (2010). Standar Mutu Sekolah Islam Terpadu. Jakarta: JSIT.
Mulkhan, A. M. (1998). Rekontruksi Pendidikan dan Tradisi Pesantren,
Religiusitas IPTEK. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Santrock. (2007). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J. (2009). Child Development (Twelfth Edition). New York: Mc
Graw Hill.
Sudiapermana, E. (tt). Pendidikan Keluarga Sumber Daya Pendidikan
Sepanjang Hayat. Bandung: Edukasia Press.
Susiwi, M. K. (2013). Pendidikan Karakter Melalui Pengembangan Budaya
Sekolah di Sekolah Islam Terpadu Salman Al-Farisi Yogyakarta.
Jurnal Pendidikan Karakter.
TIM. (2008). Budaya Sekolah Dasar Islam Al-HIkmah. Surabaya.
Ulwan, A. N. (1992). Tarbiyatul Aulad Fil Islam. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Willis, S. (2010). Remaja dan Masalahnya : Mengupas Berbagai Bentuk
Kenakalan Remaja. Bandung: Alfabeta.
Zastrow, C. (2004). Introduction to Social Welfare (Eight Edition ed.).
USA: Thomson Brooks/Cole.

Anda mungkin juga menyukai