Anda di halaman 1dari 12

PERTEMUAN-11

Topik:
LINGKUNGAN PENDIDIKAN

A. Pengertian dan Macam Lingkungan Pendidikan


Proses pendidikan pada umumnya akan selalu berhubungan atau
tidak pernah lepas dari pengaruh lingkungan. Lingkungan
pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu yang melingkupi
proses berlangsungnya pendidikan. Lingkungan pendidikan bisa
berupa lingkungan fisik, sosial, budaya, keamanan dan
kenyamanan. Antara proses kegiatan pendidikan dengan
lingkungan merupakan dua hal yang tidak bisa dilepaskan. Ibarat
makhluk hidup dalam ilmu ekologi dinyatakan selalu hidup dalam
habitatnya. Ia akan selalu melakukan hubungan timbal balik antara
dirinya dengan habitatnya. Tokoh dari ilmu ini adalah Charles
Darwin. Menurut Darwin (T. Sulistyono,1994) kaidah yang
pertama kali dipegang dalam ilmu ekologi adalah:

Ada hubungan erat antara makhluk hidup yang


menghuni suatu unit kehidupan dengan lingkungan
yang ada di sekitarnya (habitat).

Dalam penyelenggaraan pendidikan, menurut T.Sulistyono


(1994) prinsip ekologis memberikan bahan pemikiran agar kita
memberikan kesempatan supaya satuan pendidikan dapat hidup
subur secara seimbang meliputi semua komponennya, sehingga
tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dan
optimal. Secara umum, lingkungan yang berpengaruh kuat
terhadap pendidikan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (1)
lingkungan fisik atau alam sekitar, (2) lingkungan sosio-kultural,
(3) lingkungan sosio-ekonomi, dan (4) lingkungan teknologi dan
informasi.
Untuk yang disebut pertama adalah berasal dari alam, sedang
untuk yang disebut kedua dan ketiga berasal dari manusia atau
165
masyarakat, adapun yang disebut terakhir berasal dari teknologi
dan informasi yang dibuat manusia. Sebenarnya ada lagi yaitu
lingkungan lain yang berwujud ideologi, politik, dan hankam;
namun ketiganya ini kurang berpengaruh secara langsung. Baik
ideologi, politik, dan hankam hanyalah faktor pendukung tak
langsung atau sebagai pre kondisi dalam kegiatan proses
pendidikan. Oleh karena itu, keempat hal di atas yaitu lingkungan
fisik, sosio-kultural, sosio-ekonomi, serta teknologi dan informasi
harus diperhatikan dan diperhitungkan oleh pendidik dalam
menjalankan proses pendidikan.
Lingkungan pendidikan juga dapat dibedakan menurut tempat di
mana peserta didik hidup dan menerima pengalaman pendidikan.
Dilihat dari dimensi ini, lingkungan pendidikan dapat dibedakan
menjadi tiga pula, yaitu: (1) lingkungan keluarga, (2) lingkungan
Sekolah, dan (3) lingkungan masyarakat. Ketiga lingkungan
dimana peserta didik mengalami kehidupan ini memiliki corak
yang berbeda. Berbeda dalam hal situasi, sifat, materi pendidikan,
metode yang digunakan, serta subyek yang terlibat. Disamping
memiliki perbedaan juga memiliki kesamaan. Kesamaan yang
nyata adalah kesemuanya merupakan pusat-pusat pendidikan
dimana peserta didik mengalami proses belajar tentang
pengetahuan, ketrampilan, nilai, dan sikap. Sehingga ketiga hal
tersebut oleh Ki Hajar Dewantara disebut sebagai "tri pusat
pendidikan".
Konsep tri pusat pendidikan istilah asal yang dicetuskan dari Ki
Hajar Dewantara adalah ”tri sentra pendidikan” yang mengacu
kepada lingkungan pergaulan yang menjadi pusat pendidikan bagi
anak. Dalam konsep Ki Hajar Dewantara lingkungan pergaulan
yang dimaksud adalah alam keluarga, alam perguruan (sekolah),
dan alam pergerakan pemuda (masyarakat). Konsep tri pusat
pendidikan sangat menekankan akan pentingnya keterpaduan dan
kebersamaan ketiga lingkungan pendidikan sebagai satu kesatuan
sistem pendidikan yang memberikan pengalaman pendidikan
kepada anak atau peserta didik. Upaya pendidikan tidak cukup
hanya disandarkan kepada sikap dan tenaga pendidik, akan tetapi
juga harus disertai suasana atau atmosfir yang sesuai dengan
tujuan pendidikan (Sunaryo Kartadinata dan Nyoman Dantes,
166
1997).

Gambar-1
Bagam Tiga Lingkungan Pendidikan yang Dialami Anak
(Hasil modifikasi dari Umar Tirtarahardja dan La Sulo, 1994)

B. Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah pusat pendidikan yang pertama dan utama
yang dialami oleh anak. Sejak adanya kemanusiaan sampai
sekarang ini kehidupan keluarga selalu mempengaruhi
perkembangan budi pekerti setiap manusia. Pendidikan dalam
lingkungan keluarga muncul karena manusia memiliki naluri asli
untuk memperoleh keturunan demi mempertahankan eksistensinya.
Oleh karenanya manusia akan selalu mendidik keturunannya
dengan sebaik-baiknya menyangkut aspek jasmani maupun rohani.
Setiap manusia mempunyai dasar kecakapan dan keinginan untuk
mendidik anak-anaknya, sehingga hakekat keluarga itu adalah
semata-mata pusat pendidikan, meskipun terkadang berlangsung
secara amat sederhana dan tanpa disadari, tetapi jelas bahwa
keluarga memiliki andil yang terlibat dalam pendidikan anak.
Perasaan cinta, saling mengasihi, ingin selalu menyatu, dan
lain-lain perasaan dan keadaan jiwa adalah sesuatu yang sangat
berfaedah dalam membangun iklim kehidupan keluarga yang
kondusif bagi pendidikan anak, teristimewa pendidikan budi

167
pekerti. Aneka perasaan dan keadaan kejiwaan tersebut tumbuh
dalam sifat yang kuat dan murni, sehingga tidak ada pusat-pusat
pendiikan lain yang menyamainya. Melalui aneka perasaan dan
keadaan kejiwaan selanjutnya menjadi pemicu utama dalam
pendidikan cinta dan kasih sayang bagi anak. Dalam kehidupan
keluarga anak mula-mula belajar bagaimana hidup saling
menyayangi, saling berbagi, saling membutuhkan dengan orang
lain sehingga berkembang menjadi pendidikan kesosialan.
Mulai dari pendidikan kesosialan yang diperoleh di dalam
keluarga, nantinya anak bisa hidup baik di masyarakat.
Kemampuan dan kemauan hidup secara bersama, saling
membantu, tolong menlong, bergotong royong, menjaga saudara
yang sakit, menjaga ketertiban, kesehatan, kedamaian dan
kebersihan, dan segala urusan hidup secara bersama dalam
masyarakat.
Kepentingan keluarga sebagai pusat pendidikan tidak hanya
disebabkan adanya kesempatan yang sebaik-baiknya untuk
menyelenggarakan pendidikan diri dan sosial, akan tetapi juga
karena orang tua (ibu dan ayah) dapat menanamkan segala jenis
kehidupan batiniah di dalam jiwa anak yang sesuai dengan
kehidupan batiniah dirinya. Inilah hak orang tua yang utama dan
tidak boleh digantikan oleh orang lain. Apabila sistem pendidikan
dapat memasukkan alam keluarga ke dalamnya, maka orang tua
terbawa oleh segala keadaan pendidikan sehingga ia akan berperan
sebagai guru, sebagai pengajar, dan sebagai teladan (Sunaryo
Kartadinata dan Nyoman Dantes, 1997).
Melalui pendidikan keluarga anak bukan saja diharapkan
memiliki pribadi yang mantap, mandiri dalam menjalani hidup dan
kehidupannya, namun juga dia diharapkan akan mampu menjadi
warga masyarakat yang baik. Melalui pendidikan keluarga anak
disiapkan menjadi sosok manusia yang nantinya akan bisa hidup di
masyarakat secara baik. Sehingga dalam hal ini pendidikan
keluarga bisa dikatakan sebagai ’kawah candra dimuka’ sebagai
persiapan anak untuk kehidupan di masyarakat.
Oleh karena begitu pentingnya pendidikan keluarga serta
begitu pokoknya kehidupan keluarga bagi anak, maka keluarga
dapat dikatakan memiliki banyak fungsi yang dirasakan oleh anak.
168
Diantaranya adalah fungsi proteksi, rekreasi, inisiasi, sosialisasi,
dan edukasi. Fungsi proteksi dalam arti anak di dalam keluarga
selalu mendapat perlindungan, perawatan, serta selalu dijaga dari
ganguan keamanan yang mengancam keselamatan jiwa dan
raganya. Fungsi rekreasi dalam arti anak di dalam keluarga merasa
damai, tentram, gembira bersama dengan anggota keluarga lainnya
sehngga kehidupan keluarga menjadi sarana hiburan bagi anak.
Fungsi inisiasi dalam arti anak diperkenalkan dengan sejumlah
nama-nama benda, binatang, orang yang ada di sekitarnya.
Diperkenalkan dengan sejumlah famili, para tetangga, dan anggota
masyarakat lain. Fungsi sosialisasi dalam arti anak diwarisi nilai-
nilai, norma, kebiasaan, dan adat istiadat yang dimiliki keluarga
dan masyarakat. Sedangkan fungsi edukasi dalam arti anak diberi
pengalaman belajar untuk bisa berkembang seluruh daya dan
potensinya sehingga nantinya akan menjadi sosok manusia yang
berkerpibadian utuh.

C. Lingkungan Sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan formal yang dibentuk
oleh pemerintah dan masyarakat. Sekolah menjalankan tugas
mendidik anak yang sudah tidak mampu lagi dilakukan oleh
keluarga, mengingat semakin kompleksnya praktek mendidik anak.
Menurut Young Pai (1990), paling tidak ada dua fungsi utama
pendidikan sekolah (primary function of school) yaitu: sebagai
instrumen untuk mentransmisikan nilai-nilai sosial masyarakat (to
transmit societal values) dan sebagai agen untuk transformasi
sosial (to be the agent of social transform).
Dalam kehidupan sekolah dikembangkan pola-pola tingkah
laku dan sikap yang sangat bermanfaat dalam rangka mencukupi
kebutuhan hidup manusia (human needs) dan dalam rangka
merumuskan penyelesaian konflik (resolving conflict). Sehingga
pola-pola tingkah laku dan sikap tersebut diterima sebagai dasar
standar dan kriteria untuk dapat berkembangnya individu
memperoleh prestasi yang diharapkan.
Munculnya sekolah diawali dari permasalahan semakin
padatnya jumlah penduduk (density of society) yang semakin lama

169
semakin padat. Adanya kepadatan jumlah penduduk tersebut
memaksa dilakukan pembagian tugas di dalam masyarakat
(division of Labour). Hal ini dilakukan mengingat tugas-tugas
pekerjaan sudah semakin berkembang, sudah tidak lagi hanya
berburu dan meramu sebagaimana di jaman primitif, akan tetapi
sudah berkembang semakin beragam dan kompleks. Akibatnya
kebutuhan akan teknologi dan tenaga yang menguasa teknologi
juga semakin dibutuhkan. Kebutuhan akan teknologi tidak hanya
pada bidang pertanian saja, tetapi sudah merambah ke dalam
bidang perdagangan, perkantoran, komunikasi, dan bidang-bidang
lain sehingga keberadaan teknologi itu sendiri semakin
berkembang kompleks (complexity of technology). Sementara itu
tenaga yang menguasai teknologi dalam kenyataannya selalu
kurang tersedia. Untuk itulah perlunya intensitas pendidikan yang
dapat melakukan variasi sosialisasi dan pembekalan aneka
kecakapan teknologis kepada anak-anak, sehingga sekolah menjadi
lembaga yang harus dikembangkan.
Menurut Don Adams dan Reagan (Imran Manan, 1989), ada
empat tahap perkembangan pendidikan dari keluarga menuju
kepada intensitas penyelenggaraan sekolah:
a. Tahap Satu:
Pertama-tama pendidikan diselenggarakan dalam masyaakat tanpa
aksara. Pendidikan pada masa itu berlangsung secara informal
dalam keluarga. Peran anak sebagai siswa dan orang tua sebagai
pengajar atas dasar kriteria yang bersifat askriptif.
b. Tahap Dua: :
Pendidikan sudah mulai terdeferensiasi dari keluarga. Pada
tahap ini ada sekelompok orang dewasa yang memiliki
spesialisasi pengetahuan dan ketrampilan namunmasih bersifat
praktis yang mampu mendidik anak.
c. Tahap Tiga: :
Pendidikan berlangsung dalam masyarakat yang semakin
terdiferensiasi. Sileksi sosial semakin rumit dan semakin
menjadi masalah besar. Sementara itu pendidikan hanya terbatas
pada kelompok kecil masyarakat yaitu kelmpok elit.
d. Tahap Empat:
170
Pendidikan berlangsung dalam masyarakat yang sudah maju.
Diferensiasi sosial dalam masyarakat sudah semakin kompleks,
pembagian kerja dan spesialisasi peran menjadi ciri utama
masyarakat maju. Oleh karenanya pendidikan massal dan sileksi
sosial diperlukan dalam mengisi aneka kebutuhan masyarakat.
Lembaga sekolah dengan segenap jenis dan jenjangnya menjadi
semakin penting dan dibutuhkan masyarakat.
Dewasa ini sekolah telah mengalami perkembangan yang
sangat cepat. Seiring dengan perkembangan tersebut, fungsi-fungsi
sekolah juga ikut berkembang. Imran manan (1989) dalam
bukunya menurutkan bahwa sekolah memiliki empat fungsi sosial
utama, yaitu: (a) pemeliharan atau penjagaan (custodial care), (b)
melakukan sileksi peran sosial (social role selection), (c)
penanaman nilai dan ideologi atau indoktrinasi (indoctrination),
dan (d) pendidikan (education).
Dengan pendekatan mikroskopik sekolah adalah sebuah
masyarakat yang didalamnya ada pemimpin, pemerintahan, warga
masyarakat dan atutan-aturan dan norma sosial yang kesemuanya
tak dapat dipisahkan satu sama lain dalam rangka menghasilkan
sosok “manusia utuh”. Sekolah tidak sekedar lembaga pencetak
“tenaga kerja”, tetapi lembaga yang mewujudkan subyek
berkarakter yang menjadi kreator peradaban. Dengan demikian
sekolah juga dituntut menjadi lembaga pendidikan berkarakter.
Azyumardi Azra (2002) memberikan tiga alternatif dalam
proses pendidikan karakter meliputi: pertama, menerapkan
pendekatan modelling, yakni mensosialisasikan dan membiasakan
lingkungan sekolah untuk menghidupkan nilai-nilai akhlak dan
moral yang benar melalui model atau teladan. Kedua, menjelaskan
atau mengklarifiskasikan kepada peserta didik secara terus-
menerus tentang berbagai bilai yang baik dan buruk, Usaha ini
diiiringi dengan langkah-langkah; memberi penghargaan (prizing),
menumbuhsusburkan (cherising) nilai-nilai baik, dan sebaliknya
mengecam dan mencegah berlakunya nila-nilai yang buruk;
menegaskan nilai-nilai yang baik dan buruk secara terbuka dan
kontinue; memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
memilih berbagai alternatif sikap dan tindakan berdasarkan nilai;
171
melakukan pilihan secara bebas setelah menimbang dalam-dalam
berbagai konsekuensi dari setiap pilihan dan tindakan
membiasakan bersikap dan berprasangka baik; membiasaakan
bersikap dan bertindak dengan pola-pola yang baik yang diulangi
secara terus menerus. Ketiga, menerapkan pendidikan berdasarkan
karakter (Character based education) yakni dengan menerapkan
character based approach ke dalam setiap matapelajaran yang ada
di samping untuk pendidikan karakter, seperti pelajaran agama,
sejarah, Pancasila, dengan melakukan reorientasi baik dari segi
muatan dan pendekatan, sehingga tidak hanya menjadi verbalisme
dan sekedar hafalan, tetapi berhasil membantu pembentukan
karakter.

D. Lingkungan Masyarakat
Selain kehidupan keluarga dan sekolah, anak juga mengalami
kehidupan di masyarakat. Kehidupan dalam masyarakat adalah
kehidupan yang berbeda dengan kehidupan keluarga dan sekolah.
Dalam keluarga anak selalu mendapat bimbingan, arahan,
pengawasan, dan kasih sayang; Pada kehidupan sekolah anak
memperoleh pembinaan yang teratur, pendidikan disiplin,
pembentukan watak dan kecerdasan; Tetapi kehidupan di
masyarakat adalah kehidupan yang amat luas cakupannya. Aneka
karakter manusia, aneka situasi sosial, aneka wilayah, aneka
informasi semuanya hampir terbentang luas baik positif atau
negatif, baik atau buruk, saleh atau jahat. Tentu lingkungan
masyarakat yang baik adalah yang dapat mendorong anak untuk
bisa maju menjadi anak yang baik. Masyarakat yang baik adalah
masyarakat yang para warga di dalamnya mau belajar untuk
semakin menjadi lebih baik. Masyarakat yang mau tetap terus
belajar demi menjadi lebih baik adalah masyarakat pembelajar
(learning society).
Learning Society adalah masyarakat yang selalu suka belajar
atau masyarakat pembelajar. Proses menjadikan masyarakat
sebagai masyarakat pembelajar bisa dicapai melalui berbagai cara
termasuk di dalamnya adalah melalui pendidikan formal
(persekolahan) bagi warganya. Beberapa negara berusaha
menjadikan masyarakatnya menjadi masyarakat belajar dengan
172
melakukan upaya alternatif seperti program pendidikan untuk
semua anggota masyarakat (education for all),
mengimplementasikan konsep pendidikan sepanjang hayat (life-
long education), learning society, learning communities.
Masyarakat pembelajar (learning society) menggambarkan
masyarakat yang memiliki budaya baca, menulis dan bertanya serta
bermoral. Budaya yang demikian menunjukkan bahwa masyarakat
itu memiliki karakter bangsa dan terdidik. Masyarakat yang
demikian akan menghasilkan moral and etick (Farida hanum,
2005)
Lingkungan kehidupan masyarakat yang baik dapat mendorong
anak untuk berkembang pribadi kreativitasnya. Menurut Arthur J.
Cropley (2001) bahwa beberapa peneliti seperti Barron (1972),
Cattell and Drevdahl (1955), Eiduson (1958), Goetz and Goetz
(1979), Mac. Kinnon (1983), dan peneliti-peneliti terdahulu pada
umumnya mengakui adanya tipe kepribadian kreatif dan kurang
kreatif. Kepribadian kreatif ditandai dengan ciri-ciri tertentu yang
berbeda dengan ciri-ciri kepribadian yang kurang kreatif.
Bila masyarakat menilai tinggi kreativitas dan membiarkan
anak-anak mengembangkan ekspresi positifnya, maka akan
mendorong tumbuhnya kreativitas Tindakan kreatif adalah
tindakan yang menghasilkan sesuatu yang baru (novelty), efektif
(effectiveness), dan dapat diterima secara etis (ethicality), (Cropley,
2001). Sedangkan Eysenck (1997) menyebutkan bahwa tindakan
kreatif adalah tindaka yang dihasilkan oleh orang yang
berkepribadian kreatif yang bercirikan: mandiri (autonomy), tidak
mudah mengalah (non-conformity), terbuka terhadap lingkungan
(openness to stimulation), bersikap fleksibel (flexibility), toleran
terhadap perbedaan (tolerance to ambigunity), daya gerak dari
dalam diri (inner directedness), dan motivasi yang kuat (ego
strength).
Nilai kreativitas dan perilaku kreatif yang dihargai dan
dijalankan oleh sebagian besar warga masyarakat tersebut pada
gilirannya menjadi iklim yang dapat mempengaruhi nilai-nilai dan
tindakan kreatif individu, yang dalam jangka panjang akan
membentuk kepribadian kreatifnya. Namun demikian, kepribadian
kreatif yang dipengaruhi dan dibentuk oleh iklim masyarakatnya
173
itu sebenarnya tidaklah bersifat given, tetapi melalui proses pelan-
pelan dan interaktif. Proses perkembangan kepribadian kreatif
berjalan melalui interaksi antara kemampuan diri individu dengan
pengaruh dan tantangan eksternal. Masing-masing memiliki irama
dalam mengoptimalkan kemampuan diri dan merespon lingkungan.
Orang yang memiliki kepribadian kreatif umumnya memiliki
latar belakang berupa pengalaman hidup yang ‘menantang’. Situasi
yang menantang merupakan stimuli bagi seseorang untuk
mengeluarkan seoptimal mungkin kemampuan kreatif (creative
capability) yang dimilikinya dalam banyak hal. Bisa dalam hal
kemampuan musik, tari, lukis, acting, olahraga, otomotif, rekayasa
gedung, pidato, lobi politik, mengelola organisasi, maupun
kemampuan-kemampuan lain. Hal ini sesuai dengan teorinya
Arnold Toynbee tentang “challenge and response” ( Lauer, 1993)
atau Edward L. Thorndike tentang “stimulus and response”
(Sukirin, 1984).
Faktor eksternal disamping bersifat menantang juga
memberikan dukungan positif. Beberapa orang mampu sukses
hidup karena adanya faktor pengaruh dukungan sosial (social
support factors). Misalnya sikap positif dan respek dari masyarakat
serta bentuk-bentuk apresiasi terhadap perilaku individu. Bahkan
dari beberapa penyedilikan terhadap orang-orang sukses, pada
akhirnya Csikszentmihalyi (Cropley, 2001) menyusun sebuah
postulat yang menyebutkan bahwa jaringan dukungan sosial
merupakan penentu utama kreativitas bagi kehidupan para kreator
(social support networks are vital determinants of creativity in the
lives of individual creators).
Termasuk dalam jaringan dukungan sosial (social support
networks) tersebut menurut Csikszentmihalyi adalah mereka yang
masuk ke dalam golongan orang tua, guru, tentor, pelatih, dan
kolega. Mereka semua mempunyai andil sangat besar dalam
membangun motivasi dan kepercayaan diri anak atau individu
dewasa dalam menghasilkan suatu kreativitas. Lebih-lebih bila
kesemuanya memiliki keterpaduan langkah dan kerjasama dalam
mewujudkan lingkungan sosial yang dikenal dengan istilah
‘conginial environment’, bukan sebaliknya yaitu terjadi segregasi
antar satu dengan lainnya.
174
Lingkungan sosial yang tergolong sebagai ‘conginial
environment’ adalah lingkungan sosial yang memiliki ciri-ciri:
keterbukaan (openness), sikap positif terhadap hal baru (positive
attitude to novelty), menerima perbedaan personal (acceptance of
personal differentness), dan sudi memberikan perhatian yang
beragam (willingness to reward divergence) (Csikszentmihalyi
dalam cropley, 2001). Ciri-ciri lingkungan sosial yang demikian
menurut banyak ahli terbukti mendorong lahirnya banyak kreator.
Sebaliknya lingkungan sosial yang terlalu membatasi anak yakni
terlalu banyak aturan-aturan kaku dan membelenggu terbukti telah
menghambat lahirnya kreativitas, baik kreativitas ilmiah (scientific
creativity) maupun kreativitas seni (artistic creativity). Hasil
penelitian eksperimen Amabile dan Tighe (Brockman, 1993)
terhadap beberapa subyek yang dipilih secara random untuk
diberikan kondisi yang berbeda ternyata memperoleh keluaran
yang berbeda pula. Dalam penelitian tersebut, kelompok pertama
diberi kondisi sosial yang serba mengekang (constraint conditions),
sedangkan kelompok kedua diberikan kelonggaran (no-constraint
condition). Hasilnya, kelompok pertama kreativitasnya sangat
rendah sedangkan kelompok kedua kreativitasnya berkembang.
Dalam kasus yang berbeda, Amabile dan Tighe (Brockman,
1993) melihat bahwa kondisi sosial yang serba mengekang sifatnya
lebih mengarah kepada upaya pembentukan motivasi ekstrinsik,
sementara kelonggaran kondisi sosial mengarah kepada upaya
menumbuhkan pada diri anak dan individu dewasa berupa motivasi
intrinsik. Pembentukan motivasi intrinsik ternyata telah terbukti
lebih berhasil meningkatkan kreativitas daripada motivasi
ekstrinsik. Sehingga kesimpulan kedua ahli ini adalah bahwa
tingginya derajat kreativitas selalu berkorelasi dengan tingginya
motivasi intrinsik, sedangkan rendahnya derajat kreativitas
berkorelasi dengan tingginya motivasi ekstrinsik.
Motivasi anak baik intrinsik maupun ekstrinsik, akan semakin
berkembang seiring dengan bertambahnya usia, lebih-lebih setelah
memasuki usia remaja dan pemuda. Pada usia remaja dan pemuda
ia mengalami proses interaksi dan memperoleh rangsang sosial
dengan banyak pihak. Rangsang sosial dari keluarga lambat laun
mulai berkurang tetapi rangsang sosial dari sekolah, masyarakat,
175
dan teman sebaya semakin meningkat lebih-lebih dengan adanya
penguatan dari media.

Gambar-2
Remaja dan Pemuda dengan Aneka Lingkungan
Sebagai Rangsang Sosial
(Diolah dari sumber British Council, 2006)

QUIS PERTEMUAN 11
1. Jelaskan apa yang disebut dengan lingkungan pendidikan?
2. Apakah yang membedakan lingkungan pendidikan sekolah
dengan lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat?
3. Bagaimanakah cara membangun sinergitas antara ketiga
lingkungan pendidikan tersebut?

176

Anda mungkin juga menyukai