Anda di halaman 1dari 4

Remaja dalam Sketsa Sosiologis Persoalan remaja terkait dengan masalah kependudukan, ekonomi, ekologi, pendidikan dan aspek-aspek

lain termasuk dengan agama. Daerah-daerah permukiman yang transisional, kepadatan populasi dengan berbagai kelas sosial, kesenjangan ekonomi, keterbelakangan pendidikan, rendah mental, minimnya pengetahuan agama, pengertian mengenai nilai-nilai etis dan social dan ragam situasi lainnya membawa implikasi dan konsekuensi yang serius bagi sikap dan perilaku remaja. Perkembangan kota yang telah merangsek ke wilayah-wilayah pinggiran bahkan ke daerah perdesaan seolah menjadi pemandangan sehari-hari, fenomena kompetisi dan ambisi materi yang tinggi turut memicu adrenalin kecenderungan dan interes baru yang bersifat

materislistik. Bahkan diduga kuat memaksa dan menuntut terpenuhinya keinginankeinginan yang aneh-aneh. Jika tidak didukung oleh daya, maka yang terjadi ketidaknormalan (abnormal) dan irasional. Dari sinilah kemudian muncul dorongandorongan impulsif untuk menjadi agresif, tak terkontrol bahkan destruktif. Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini, mayoritas melibatkan remaja mulai dari membohongi orangtua, menipu, mencuri, menodong, menjambret, merampok, maling, berjudi, alkoholisme, kejahatan narkoba, kejahatan dan eksploitasi seksual hingga pembunuhan seolah menjadi aktivitas rutin. Kita bisa lihat secara sadar dalam mass media cetak maupun elektronika, yang setiap hari menghiasi halaman-halaman koran, majalah dan layar kaca televisi. Barangkalai ada benarnya hipotesis yang menyatakan bahwa variasi ekologis yang menyatakan bahwa jumlah kejahatan remaja dalam satu kelompok rasial tertentu merupakan fungsi dari posisi sosial-ekonomis mereka (Kartini Kartono, 1992:71). Menurut Kartini Kartono, studi mengenai banyak kasus remaja jahat menunjukkan adanya banyak unsur, antar lain: 1. Kekecewaan luar biasa karena tidak diterima oleh lingkungan sosialnya 2. Mengalami frustasi karena tidak mampu meraih obyek yang diinginkan 3. Diliputi oleh perasaan tidak ama.

Menurut Muhammad Yusuf, ada sejumlah persoalan kompleks yang terkait dengan kejahatan remaja dan orang muda, antara lain disebabkan: 1. Munculnya krisis berbagai dimensi dalam negara, terutama munculnya sistem ekonomi global 2. Populasi penduduk yang padat menuntut hidup kompetisi dan menekan kebutuhan hidup sehingga melahirkan faham individualisme 3. Ketersediaan lapangan pekerjaan yang sangat terbatas 4. Minimnya penghasilan di tengah kemewahan masyarakat kota 5. Disorganisasi familial dan sosial, yang berakibat pada sikap tak acuh, tak peduli dan masa bodoh 6. Rendahnya pengetahuan dan pemahaman nilai-nilai etis, moral, sosial dan agama sehingga hilang kesadaran tentang nilai-nilai kebaikan 7. Sistem kontrol yang masih lemah dan fungsi hukum yang belum berjalan sebagaimana mestinya, yang mengakibatkan hilangnya kewibawaan di mata masyarakat 8. Hilangnya figur keteladanan pemimpin negara dan masyarakat termasuk tokohtokoh agama (ulama), sehingga melahirkan rasa ketidakpercayaan kepada mereka Semua itu jika kita cermati satu persatu, masing-masing faktor memberikan kontribusi munculnya berbagai kejahatan dan tindakan-tindakan pelanggaran normanorma yang ada. Hanya saja, pasti ada faktor mana yang paling berpengaruh dan dominant. Tingkah laku abnormal (deliquen) pada remaja diakibatkan oleh pengaruh sosial dan kultural secara signifikan. Dalam arti, bahwa lingkungan yang buruk, kurangnya kontrol diri dan kontrol sosial dapat memicu percepatan pertumbuhan situasi menyimpang di kalangan remaja. Sebenarnya, ketidaktahuan, kebodohan, keterbelakangan dan keterasingan sosial tidak dikehendaki oleh siapapun dan tidak terjadi begitu saja tanpa sebab. Bila dilihat secara sosiologis barangkali kita sepakat, semua itu sebagai akibat dari produk pergolakan sosial yang luar biasa dahsyatnya. Kemudian muncul kekhawatiran, ketidakmampuan diri ketika harus beradaptasi dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan perubahan sosial, baik itu dalam skala mikro maupun makro. Sepanjang era ilmiah sekarang ini, pemahaman manusia tentang nilai-nilai moral dan spiritual pun berjalan pincang di belakang ilmu pengetahuan

material, ketika ia melangkah mantap jauh ke depan yang selalu mendorong pada penalaran logika rasionalistik (J. Donald Walters, 2003:112). Sebagaimana yang masyarakat indonesia alami, pada 10 tahun terakhir ini mengalami masa-masa yang kompleks: transisi, transformasi, adaptasi atas nama sebuah Reformasi yang tak terprediksi (unpredictable) ternyata mendatangkan banyak persoalan yang rumit dan berkepanjangan. Masyarakat Indonesia yang umumnya masih massif cenderung melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat egoistik, individualistik dan agresif. Fakta menunjukkan, pada masa ini semakin bertambahnya tingkat kejahatan, secara kuantitas maupun kualitas dan meningkatnya konflik sosial di level vertikal maupun horisontal pada skala lokal sampai aras nasional. Apalagi dipicu dan dipacu oleh merosotnya tingkat ekonomi, yang berimbas pada banyaknya pengangguran dan hilangnya hak-hak tertentu, sehingga mengakibatkan pemiskinan yang menurunkan tingkat kesejahteraan dan kemiskinan yang menimbulkan sock, stress, depresi dan frustasi sosial. Diduga kuat adanya relasi yang kuat antara kemiskinan dan tingginya kejahatan. Dalam kondisi ini, seolah agama tidak dianggap menjadi bagian penting dalam proses reformasi ini. Dengan satu asumsi, bahwa agama hanya berurusan dengan halhal yang bersifat normatif-teologis dan keakhiratan, sehingga wilayah agama jarang untuk tidak mengatakan-sama sekali diajak dan dirangkul untuk berperan membantu dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang terkait dengan bidang ekonomi, hukum, sosial, politik dan sebagainya. Sedangkan kalangan agamawan, nampaknya juga merasa kurang care, tidak percaya diri (confidence) dan seolah tidak berkepentingan langsung dengan problema tersebut. Akibatnya, agama dalam konteks negara (state), tidak dipandang cukup signifikan dan kompeten dalam memberikan membantu mencari alternatif solusi dan problem solving. Pandangan sepihak semacam ini, barangkali didasarkan atas pemahaman sekuler, agama hanya berkewajiban mengurus umat masing-masing dalam hal sistem kepercayaan (iman) dan ibadah (ritual). Dalam arti, hanya mengatur hubungan intim antara Sang Maha dengan hamba-Nya, yang tidak perlu memikirkan orientasi duniawi dan tidak bertanggung jawab atas semua ini. Persepsi ini sesungguhnya tidak meletakkan agama sebagaimana mestinya, padahal sebenarnya dalam agama kebanyakan memiliki kesamaan pandangan terhadap hubungan antara Tuhan, Manusia dan Alam, yang oleh Ali

Syariati diumpamakan bagaikan hubungan antara cahaya dan pelita yang memancarkannya Dengan demikian, totalitas agama harus dipandang sebagai sebuah sistem yang paling tepat dalam struktur maupun tatanan sosial apapun situasi dan kondisinya, dalam menghadapi perubahan social.

Daftar Pustaka

Kartono, Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta: Grafiti Pers, 1992, Cet. II. Syariati, Ali, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, Yogyakarta: Ananda, 1982, Cet. I. Walters, J. Donald, Crises in Modern Thought Menyelami Kemajuan Ilmu Pengetahuan dalam Lingkup Filsafat dan Hukum Kodrat, terj. B. Widhi Nugraha, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003. http://ushuluddin.uin-suka.ac.id/id/article.php?a=YS9v=&l=disfungsi-agamadi-kalangan-remaja-dan-hegemoni-materialistik

Anda mungkin juga menyukai