Anda di halaman 1dari 3

Toxic Masculinity: Laki-laki Tidak Boleh Menangis?

Sumber: Alban Huber

Seberapa sering ketika melihat anak laki-laki menangis, kita mendengar “anak laki-laki ga boleh
nangis!”

Banyak orang-orang di sekitar kita menyebutkan bahwa laki-laki harus kuat, tahan banting, dan tidak
boleh nangis. Hal ini disebut dengan toxic masculinity atau maskulinitas toksik.

Toxic masculinity merupakan tekanan budaya patriarki yang tidak jarang menghasilkan gangguan
mental pada laki-laki. Salah satu bentuk tekanan toxic masculinity adalah keharusan pria untuk
menekan emosi mereka agar tidak terlihat lemah. Toxic masculinity mengacu pada ekspektasi
masyarakat terhadap laki-laki. Di masyarakat, laki-laki diharapkan untuk menjadi kuat, aktif, agresif,
tangguh, berani, tidak ekspresif secara emosional, dan dominan. Hal ini dipaksakan oleh lingkungan
sosial, pertemanan, bahkan dunia sosial media.

American Psychological American atau disingkat APA menerbitkan APA Guidance for Psychological
Practice with boys and man yang berisi sepuluh masalah yang dihadapi anak laki-laki dan pria
dewasa. Salah satunya adalah bagaimana maskulinitas mempengaruhi pola pikir dan cara bertindak
laki-laki. Pakar psikologis, Shepherd Bliss (as cited in Sculos, 2017) menggunakan istilah toxic
masculinity untuk membedakan nilai positif dan negatif dari maskulinitas itu sendiri. Maskulinitas
tidak selalu buruk, tetapi jelas beberapa penerapannya dapat membawa dampak yang tidak baik.
Misalnya, studi tentang pria di Amerika Utara dan Eropa yang menjelaskan bahwa pria yang
mengonsumsi minuman beralkohol seringkali bertujuan untuk memenuhi harapan sosial tertentu
mengenai kejantanan atau maskulinitas hingga kemudian menimbulkan dampak negatif pada
kesehatan (Lemle & Mishkind, 1989).

Lalu, bagaimana konsep toxic masculinity ini memengaruhi kesehatan mental pria?

Konsep maskulinitas ini terus ada karena kebudayaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat.
Hal ini membuat laki-laki lebih banyak menyimpan perasaanya daripada meluapkannya kedalam
bentuk-bentuk yang telah diberikan label “sangat perempuan”, seperti menangis.
Labeling seperti itu memang sudah terjadi lama sekali, tetapi bukan berarti hal tersebut benar dan
baik-baik saja. Seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan cenderung akan
berlaku seperti label yang diberikan kepadanya (Sujono, 1994). Pemahaman dari
hasil labeling tersebut secara turun-temurun terus dibawa dan dianggap sebagai hal yang benar dan
tanpa disadari mengakibatkan dampak buruk terhadap beberapa hal.

Salah satu dampak dari labeling adalah laki-laki cenderung kesulitan mengekspresikan emosi dan
merasa khawatir akan dinilai ini itu oleh orang lain atau dirinya sendiri. Menyadari bahwa diri sendiri
tidak sekuat itu bisa saja sedikit menyakiti harga diri laki-laki. Laki-laki juga bisa merasa khawatir
ketika memperlihatkan emosi nya di depan orang lain maka hilang sudah gambaran real men yang
selama ini dibangun.

Toxic Masculinity merujuk pada konstruksi laki-laki untuk berperilaku dengan cara yang “tepat”
menurut, dan dapat diterima oleh masyarakat. Tekanan yang dirasakan terus menerus akan
memasuki bawah sadar dan menjadi perasaan yang biasa dirasakan oleh laki-laki yang mana dapat
membahayakan keseimbangan emosional, psikososial, kesejahteraan, dan kesehatannya.

Perlu diketahui bahwa menangis dan berkeluh kesah berlaku bagi tiap gender untuk meluapkan
emosi dan tekanan dalam diri. Ada banyak alasan mengapa menangis seharusnya menjadi hal yang
wajar dilakukan semua orang, laki-laki ataupun perempuan. Sedih adalah perasaan yang normal dan
mengekspresikannya dengan menangis lebih baik daripada hal lain terutama melampiaskannya pada
kekerasan. Menangis justru baik sekali untuk meregulasi emosi. Menangis memiliki efek langsung
dalam menenangkan diri seseorang, dan meluapkan perasaan emosi dengan air mata dapat
melepaskan oksitosin dan endorfin. Zat kimia ini membuat orang merasa lebih baik juga dapat
meringankan rasa sakit fisik dan emosional. Dengan cara ini, menangis dapat membantu mengurangi
rasa sakit juga meningkatkan well being (Gračanin, Bylsma & Vingerhoets, 2014)

Sayangnya, yang sering ditemukan, menangis justru merupakan hal yang tidak ingin laki-laki lakukan
karena “idealnya” ketika menghadapi masalah mereka harus terlihat gagah dan tenang. Akibatnya,
mereka memilih mengabaikan perasaan mereka dan menganggap bahwa itu adalah hal yang laki-laki
memang harus lakukan. Padahal, menerima bahwa sebenarnya kita memiliki perasaan, sedih, dan
membutuhkan bantuan adalah keberanian yang sesungguhnya.

Bahkan, toxic masculinity juga berperan besar dalam menciptakan kasus bunuh diri pria yang
semakin tinggi. Angka bunuh diri ditemukan lebih tinggi secara konsisten pada laki-laki dewasa
dibandingkan dengan perempuan. Penelitian Brown, Ourighli, dan Sullivan (2020) melaporkan angka
bunuh diri laki-laki mendominasi sebesar 78% pada semua kasus bunuh diri di Inggris. Hal ini
menjadi pertanda bahwa kesehatan mental laki-laki menghadapi suatu masalah.

Ketika laki-laki menghadapi masalah mereka harus terlihat gagah dan tenang. Akibatnya, mereka
memilih mengabaikan perasaan mereka dan menganggap bahwa itu adalah hal yang laki-laki
memang harus lakukan. Padahal, menerima bahwa sebenarnya kita memiliki perasaan, sedih, dan
membutuhkan bantuan adalah keberanian yang sesungguhnya.

Bagaimana kita menghadapi kesedihan dan menerima diri kita ketika memiliki emosi sedih atau
marah memang tidak mudah, baik laki-laki ataupun perempuan. Namun, ada beberapa hal yang bisa
kita lakukan untuk mengatasinya. Kita bisa berbicara dengan teman, keluarga, atau mungkin ahli
yang lebih mengerti dan memahami. Cara yang paling mudah yang bisa kita lakukan untuk
mengatasi kesedihan, tentu saja dengan menangis. Karena sadar atau tidak, menangis merupakan
bahasa pertama yang digunakan manusia untuk menyampaikan sesuatu didirinya.
Referensi :

Sculos, Bryant W. (2017) “Who’s Afraid of ‘Toxic Masculinity’?,” Class, Race and Corporate Power:
Vol. 5 : Iss. 3 , Article 6. DOI: 10.25148/CRCP.5.3.0065

Lemle, R.Mishkind, Marc E. (1989). “Alcohol and masculinity”. Journal of Substance Abuse
Treatment. 6 (4): 213–22. doi:10.1016/0740-5472(89)90045-7. PMID 26874

American Psychological Association, Boys and Men Guidelines Group. (2018). APA guidelines for
psychological practice with boys and men. Retrieved
from http://www.apa.org/about/policy/psychological-practice-boys-men-guidelines.pdf

Gračanin, A., Bylsma, L. M., & Vingerhoets, A. J. (2014). Is crying a self-soothing behavior?. Frontiers
in psychology, 5, 502. doi:10.3389/fpsyg.2014.00502

Pengertian Labeling. (2018) Retrieved May 13, 2019,


from http://digilib.unimus.ac.id/files//disk1/111/jtptunimus-gdl-srimulyati-5525-3-babii.pdf

Nabila Zuhra, Mahasiswi Fakultas kedokteran, Prodi Psikologi, Universitas Syiah Kuala

Anda mungkin juga menyukai