Anda di halaman 1dari 2

SEBUAH KRITIK: UNTUK KAKEK, GIBRAN DAN HIMPUNAN.

Keadilan seharusnya menjadi tuan rumah, meskipun kenyataannya kedamaian telah ditendang
dan kejujuran diinjak-injak sang penyelenggara yang berpura-pura. Kita disuguhkan dengan
pemandangan ketidaknetralan yang mencolok, membuat pemilih seperti boneka di tangan para
politisi.
“Apakah ini benar-benar tentang meningkatkan demokrasi atau lebih kepada memenuhi
kepentingan politik pihak tertentu?”
Perlu dipahami bahwa perubahan syarat calon wakil presiden bukanlah sesuatu yang bisa
dianggap sepele. Hal ini berkaitan dengan mekanisme dasar sistem politik dan proses demokrasi
di Indonesia. Perubahan semacam ini seharusnya dilakukan dengan cermat dan hati-hati, dengan
mempertimbangkan implikasi jangka panjang terhadap stabilitas politik dan kesejahteraan
masyarakat. Penting untuk diingat, bahwa setiap perubahan terdapat potensi penyalahgunaan
kekuasaan dan manipulasi politik. Masyarakat perlu terus mewaspadai langkah-langkah yang
diambil pemangku kekuasaan.
Gibran yang dimajukan sebagai wakil presiden dengan cara yang tidak wajar, menjadi bukti
betapa mudahnya kekuasaan dapat dimanipulasi oleh para pemain yang tidak bermoral.
Mengorbankan keadilan demi memenuhi ambisi pribadi dan memperkuat posisi. Ini seutuhnya
bukan tentang seluruh membuka kesempatan kepada pemuda Indonesia, ini semata-mata tentang
si anak. Dia tidak pernah merepresentasikan suara generasi muda.
Sampai hari ini; paling tidak saat tulisan ini dibuat, semua terasa seperti sandiwara politik yang
penuh dengan nepotisme dan sensasionalisme. Masyarakat terlena kampanye dengan tawaran
hiburan murahan dan goyangan, tanpa melihat substansi dan kualitas calon pemimpin.
Pertanyaan serius tertinggal dibelakang keputusan Gibran menjadi wakil presiden. Tentang
prinsip-prinsip demokrasi dan meritokrasi dalam sistem politik Indonesia. Sungguh refleksi dari
kebobrokan yang melanda negri ini.
Kita harus menggali lebih dalam, menilai kualifikasi dan integritas calon pemimpin, bukan
terpancing gaya dan sensasi.
Pencalonan Gibran Rakabuming ini adalah pesan yang dikirimkan kepada generasi penerus
bahwa, jalan menuju kekuasaan bukanlah melalui usaha yang keras dan kompetensi, melainkan
melalui hubungan dan kedekatan dengan elite politik.
Praktik nepotisme ini pantas mendapat kritik tajam. Masyarakat tidak boleh membiarkan politik
Indonesia terus menjadi panggung bagi mereka yang hanya ingin mempertahankan kekuasaan
dalam keluarga atau lingkaran tertentu. Demokrasi sejati memerlukan kebebasan, keadilan, dan
kesempatan yang sama bagi semua warga negara; tanpa terkecuali.
Masyarakat Indonesia menjadi korban dari kebodohan politik yang mematikan. Terlena dalam
kampanye-kampanye omong kosong tanpa substansi. Terbuai janji-janji tanpa sepatah kata pun
memahami isu-isu esensial yang mempengaruhi. Mereka mudah dirayu politik dangkal. Mereka
lebih peduli dengan tren dan gaya. Anehnya, kenapa ini masih terjadi bahkan di tengah-tengah
zaman informasi yang melimpah ruah. Membiarkan diri diperbudak, dimanipulasi, dan termakan
propaganda media dengan sengaja tanpa berusaha untuk mencari fakta.
Bangunlah! Ambil tanggungjawab untuk memilih pemimpin yang layak.
Sikap militan menciptakan ketegangan sosial, memecah belah masyarakat menjadi kubu-kubu
yang saling bertentangan. Cenderung memilih kekerasan verbal atau bahkan fisik sebagai cara
untuk menyuarakan pendapat, tanpa menghargai dialog konstruktif atau kebebasan berekspresi
yang bertanggungjawab. Hal ini pun turut menghalangi kemajuan intelektual dan pendidikan.
Masyarakat menolak untuk mempertimbangkan sudut pandang lain atau informasi yang objektif.
Memilih untuk terperangkap dalam lingkaran pemikiran sempit yang penuh prasangka dan
stereotip.
Kubu-kubu pemilu terlebih pemegang mayoritas, telah menciptakan suasana yang penuh dengan
permusuhan dan kebencian, di mana individu tidak lagi melihat satu sama lain sebagai sesama
warga negara, memiliki hak yang sama; anak Ibu Pertiwi. Semua berubah menjadi musuh yang
harus dilawan dan ditakuti-bahkan dalam lingkungan sehari-hari, perbedaan politik telah menjadi
alasan untuk saling mengucilkan satu dengan yang lain. Mereka bersedia menerima segala
bentuk propaganda dan retorika yang membenarkan kebencian terhadap pihak lawan, tanpa
mempertimbangkan akibat yang lebih luas lagi dari perpecahan ini.
Ingat sekali lagi, demokrasi seharusnya menjadi ruang untuk berdiskusi dan bertukar pendapat
secara damai, bukan ajang untuk saling menyakiti dan merendahkan satu sama lain.
Keberadaan pendukung yang fanatik ini mengancam fondasi demokrasi yang sehat. Mereka
rentan terhadap penipuan. Tetapi, cenderung menjadi alat untuk dimanfaatkan pihak tertentu
untuk kepentingan pribadi. Menjadi militan dengan dasar pengetahuan yang tidak cukup
memanglah berbahaya. Fanatisme yang tidak di dasarkan pada fakta atau logika hanya akan
merugikan masyasrakat secara menyeluruh, menghalangi upaya untuk mencapai kesepakatan
yang adil dalam proses membangun masa depan.
Lebih ironis lagi, masyarakat tidak paham bahwa, slogan “Gemoy” adalah simbol dari
manipulasi politik yang mencoba menutupi kelemahan dan kegagalan. Itu digunakan untuk
mengalihkan perhatian dari masalah-masalah yang lebih mendesak. Politisi menggunakan kata-
kata yang menggoda untuk sekedar menarik perhatian masyarakat dari kegagalan pemerintah
dalam mengatasi masalah nyata yang dihadapi oleh rakyat. Slogan semacam ini hanya
memperkuat sikap skeptis dan keengganan untuk mempercayai politisi yang hanya pandai
berbicara.
Silahkan kutuklah dengan keras segala bentuk intoleran.

Anda mungkin juga menyukai