Anda di halaman 1dari 3

Tujuh Tahun Jokowi: New Kleptocracy

Ubedilah Badrun

Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta

Selasa, 19 Oktober 2021 10:12 WIB

Tidak mudah menilai sebuah rezim pemerintahan, sebab menilai memerlukan data dan
argumen teoritik agar tidak terjebak dalam ruang subyektif. Pergumulan dengan ilmu
pengetahuan, kebenaran ilmiah, membuat akademisi seringkali sangat hati-hati dalam menilai,
agar tidak terjebak dalam subyektifitas.

Artikel ini ditulis untuk menilai rezim pemerintahan Jokowi yang berkuasa sejak 20 Oktober
2014 dengan menggunakan perspektif ilmu politik dalam ranah kekuasaan dan demokrasi.
Tentang bagaimana teori kekuasaan dan demokrasi membaca negeri ini saat ini?

Ada banyak ilmuwan sosial politik yang mencoba menilai Indonesia era pemerintahan Jokowi ini
dengan basis indikator demokrasi melalui sejumlah riset. Hasilnya cukup membuat kita malu
sebagai bagian dari negara yang memilih jalan republik, jalan dimana seharusnya rakyat
berdaulat, dihargai kebebasannya dan dijunjung tinggi kemanusiaanya.

Diantara ilmuwan yang melakukan riset tentang Indonesia era Jokowi dalam perspektif
kekuasaan dan demokrasi adalah Profesor Edward Aspinall dan Profesor Marcus Mietzner dari
Australia National University (ANU). Kedua ilmuwan ini menyebut bahwa saat ini demokrasi
Indonesia sedang berada di titik terendahnya. Kepemimpinan Presiden Jokowi disebut-sebut
sebagai salah satu penyebab dari kemunduran terbesar demokrasi di Indonesia saat ini.

Diantara penyebab regresi demokrasi tersebut adalah korupsi yang tinggi dan nasionalisme
gaya baru. Demi kepentingan korupsi dan atas nama nasionalisme, kemerdekaan rakyat
dibelenggu dengan berbagai cara.

Saya mencermati penilaian Aspinall dan Mietzner memiliki kebenaran akademisnya. Apalagi
kemudian data tentang indeks demokrasi Indonesia yang skornya anjlok 6,30 terburuk
sepanjang 14 tahun terakhir dengan kebebasan sipil yang skornya hanya 5,59 (The Economist,
2021). Di saat yang sama data indeks persepsi korupsi Indonesia juga anjlok merah, yang hanya
mendapat skor 37 (Transparency International, 2021). Ada semacam persinggungan antara
buruknya demokrasi dan koruptifnya kekuasaan.

New Kleptocracy

Jika dicermati secara lebih rinci argumen Aspinall soal korupsi yang tinggi sebagai salah satu
penyebab yang menjadi faktor Indonesia saat ini berada pada titik terendah demokrasi,
diantaranya ia ungkapkan dalam sebuah diskusi di Yogyakarta yang bertema Democracy in The
Contemporary Indonesia: The Dangers of Regression (2019).

Faktanya secara empirik tingginya perilaku korupsi di Indonesia telah dicatat oleh KPK angkanya
ditemukan bahwa 60 % pelakunya adalah politisi (2015). Maknanya kritik publik pada isu
korupsi arahnya memang banyak tertuju pada politisi. Pada titik itu politisi seringkali merasa
terganggu dengan kritik.

Bahwa memang korupsi yang tinggi menjadi faktor mundurnya demokrasi. Logika
sederhananya demi menutupi korupsi upaya kritik seringkali dibelenggu dengan berbagai cara.
Meminjam perspektif John Keane dalam bukunya New-despotism (2021), ada semacam
dominasi dari negara untuk membatasi aktivitas warga negara di tengah tatanan politik yang
mengklaim demokrasi. Pembelengguan kebebasan berpendapat oleh elit kekuasaan tentu
mengurangi skor indeks demokrasi.

Jika 60 % korupsi dilakukan politisi yang angka korupsinya bisa mencapai ratusan triliun rupiah,
bahkan tega mengkorupsi uang bansos yang seharusnya untuk rakyat miskin, dan politisi adalah
aktor utama kekuasaan maka ada benarnya jika disimpulkan bahwa rezim ini adalah rezim
kleptokrasi (kekuasaan para maling).

Secara etimologis, istilah kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yakni klepto dan kratein yang
berarti kekuasaan yang diperintah oleh para pencuri, para maling yang bertopeng penguasa
yang dipilih secara elektoral.

Gungun Heryanto (2015) mengemukakan bahwa kleptokrasi adalah praktik korupsi, nepotisme,
dan persekongkolan jahat yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan atau
wewenang untuk mempengaruhi kebijakan. Pada titik mempengaruhi kebijakan tersebut
penulis mencermati kleptokrasi pada era Jokowi ini sedang mengalami pola baru atau bentuk
baru kleptokrasi (New Kleptocracy).

Bagaimana bentuk baru kleptokrasi itu terjadi ? Istilah kleptokrasi dipopulerkan oleh Stanislav
Andreski dalam karya klasiknya, Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968),
yang menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya adalah
menumpuk kekayaan pribadi. Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh kekayaan pribadi
tersebut sambil memegang jabatan publik. Rizal Ramli pernah menyebut fenomena itu sebagai
Pengpeng atau penguasa sekaligus pengusaha (20216).

Pengpeng adalah wajah empirik yang paling berpotensi menjadi kleptokrat, celakanya di
Indonesia Pengpeng ini masuk ke eksekutif dan legislatif. Lebih celaka lagi pola kekuasaan saat
ini ada semacam persekongkolan antara oligarki politik, Pengpeng, dan oligarki ekonomi yang
berwatak predatoris. Bahkan oligarki predator ini bisa membeli semua perhelatan elektoral,
juga membiayai pendengung (buzzer) untuk melindungi persekongkolan. New kleptocracy ini
gemar memproduksi undang-undang untuk memudahkan para kleptokrat menumpuk
kekayaan. Sebut saja misalnya Undang-Undang Minerba (2020) dan Undang-Undang Omnibus
Cipta Kerja (2020). Dengan cara itu pada akhirnya dengan mudah membancak (bancakan) APBN
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), membancak kekayaan alam dan mengeksploitasi
buruh. Pola persekongkolan seperti ini adalah ciri utama new kleptocracy atau kleptokrasi baru.

Ketika kekuasaan era Jokowi kini makin empirik melemahkan institusi KPK (2019 - 2021), di
mana KPK mestinya berfungsi untuk memberantas para kleptokrat itu, dengan cara itu negeri
ini justru semakin terjerumus dalam jurang new kleptocracy. Nah pelemahan institusi
pemberantas korupsi adalah ciri paling sempurna dari new kleptocracy itu!

Sumber : https://kolom.tempo.co/read/1518871/tujuh-tahun-jokowi-new-kleptocracy

Anda mungkin juga menyukai