“Polarisasi Politik dan Gerakan Politik Islam Indonesia” Oleh: Arjuna Satria Dewa Bagaskara Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Malang
Polarisasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pembagian atas
dua bagian atau lebih pihak yang berlawanan. Sedangkan Politik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti cara bertindak dalam menangani suatu permasalahan. Jadi Polarisasi Politik dapat diartikan sebagai istilah yang merujuk pada pembagian masyarakat terhadap pandangan politik yang dimiliki. Polarisasi dapat terjadi karena perbedaan pendapat, pandangan, atau bahkan keyakinan terhadap isu politik. Dalam prosesnya, polarisasi umumnya akan mengarah kepada disintegrasi atau perpecahan. Adanya perbedaan kutub tak hanya sebatas menjadi pikiran dan pandangan, diperumit pula menjadi bentuk disintegrasi konvensional hingga tindak pelecehan nama baik suatu individu atau golongan. Di sisi lain, polarisasi justru sebuah bentuk nyata akan adanya keseimbangan akan golongan pada masyarakat. Bisa diartikan bahwa polarisasi pula sebagai bentuk mapping dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, adanya polarisasi supporter Arema FC dan Persebaya menjadi bukti adanya potensi kuat rivalitas keduanya yang dituangkan pada kehidupan. Menilik kembali pada kontestasi pemilu 2019, banyak anggapan bahwa Pemilu 2019 menggambarkan bagaimana demokrasi berjalan dengan baik, namun muncul anggapan lain bahwa pada akhirnya hanya tersisa dua kandidat yang memunculkan implikasi akan munculnya perpecahan atau perbedaan kubu yang sangat mencolok. Dalam banyak hal, dampak positif yang dihasilkan terkait sistem-pun dapat dinyatakan berhasil. Namun, apabila tidak dipersiapkan secara matang tentu menimbulkan pembelahan tipologi masyarakat hingga yang paling bawah bahkan mampu menyebabkan disintegrasi bangsa. Politik identitas menjadi narasi terkuat dalam polarisasi politik. yang terjadi pada 2019, keterbelahan masyarakat yang namak nyata disinyalir menyebabkan disintegrasi pada golonagan masyarakat kecil. Setiap kandidat kerap membenturkan isu-isu identitas unntuk menyerang rekomendasi kebijakan atau bahkan menyerang personal calon lawan. Isu-isu identitas dikapitalisasi untuk kemudian dijadikan komoditas utama dalam upaya penguatan basis pada segmen masing-masing. Penggirngan isu agama menjadi top pick dalam penguatan basis dan peningkatan probabilitas pemilih sekaligus sebagai bahan serangan untuk kubu lawan. Pola tersebut yang kemudian terjadi menjelang kontestasi Pemilu 2024. Masa kampanye yang seyogyanya menjadi sarana bagi masyarakat untuk memperoleh informasi mengenai gagasan yang ditawarkan oleh kandidat paslon. Publik menanti munculnya beragam narasi programatik yang akan dijadikan dasar dalam menentukan pilihan. Sayangnya, masa kampanye didominasi oleh kampanye yang mengkapitalisasi isu-isu SARA, politik identitas, konten berita palsu dan ujaran kebencian, isu-isu yang tidak substantif yang pada akhirnya menyudutkan personal salah seorang kandidat paslon. Alih-alih mendorong proses pemilu yang berkualitas, fenomena ini justru semakin menambah polarisasi di masyarakat, bahkan disinyalir semakin mendorong apatisme terhadap pemilu dan menguatnya gerakan mendorong golput. Apakah ini berjalan secara alamiah, atau didesain, diproduksi secara sengaja oleh kelompok yang menang dengan cara transaksional dan pragmatis, meskipun merusak segala aspek persatuan kebangsaan dan keindonesiaan. Pembelahan sosial yang semakin tajam di masyarakat tentu sangat tidak produktif jika dibiarkan berlanjut dan berlarut-larut. Pangkal perkara dari situasi ini adalah dangkal dalam narasi, literasi, dan imajinasi pada setiap kandidat. Namun, lagi-lagi, aturan pemilu terkait presidential threshold menjadi “kebuntuan politik” yang menghambat putra-putri terbaik bangsa untuk tampil ke panggung politik yang lebih tinggi. Imbasnya, fakir narasi dalam kontestasi. Aktor politisi harus mampu memberikan contoh “ketauladanan” yang baik, politik yang berbasiskan akhlak dan etika (fatsun politik kelas tinggi) tidak menyudutkan dan membuat polemik di setiap pernyataan pendapat politiknya. Sepatutnyalah mereka hanya mengeluarkan dan menyusun kata-kata yang meneduhkan, menyematkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam bertarung. Jangan justru membuat gesekan, memantik polemik dan blunder politik sehingga ujungnya bunuh diri politik. Perlu diingat pula oleh pasangan capres-cawapres dan tim pemenangannya bahwa mereka mempunyai beban moral untuk menjaga “keutuhan bangsa” dengan tidak mempertajam “pembelahan” dan konflik sosial.