Anda di halaman 1dari 3

Polarisasi dalam Identitas: Ad Hominem

Analisis Materi 5: SGI


“Polarisasi Politik dan Gerakan Politik Islam Indonesia”
Oleh: Arjuna Satria Dewa Bagaskara
Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Malang

Polarisasi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pembagian atas


dua bagian atau lebih pihak yang berlawanan. Sedangkan Politik menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti cara bertindak dalam menangani suatu
permasalahan. Jadi Polarisasi Politik dapat diartikan sebagai istilah yang merujuk
pada pembagian masyarakat terhadap pandangan politik yang dimiliki. Polarisasi
dapat terjadi karena perbedaan pendapat, pandangan, atau bahkan keyakinan
terhadap isu politik.
Dalam prosesnya, polarisasi umumnya akan mengarah kepada disintegrasi
atau perpecahan. Adanya perbedaan kutub tak hanya sebatas menjadi pikiran dan
pandangan, diperumit pula menjadi bentuk disintegrasi konvensional hingga
tindak pelecehan nama baik suatu individu atau golongan. Di sisi lain, polarisasi
justru sebuah bentuk nyata akan adanya keseimbangan akan golongan pada
masyarakat. Bisa diartikan bahwa polarisasi pula sebagai bentuk mapping dalam
kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, adanya polarisasi supporter Arema FC
dan Persebaya menjadi bukti adanya potensi kuat rivalitas keduanya yang
dituangkan pada kehidupan.
Menilik kembali pada kontestasi pemilu 2019, banyak anggapan bahwa
Pemilu 2019 menggambarkan bagaimana demokrasi berjalan dengan baik, namun
muncul anggapan lain bahwa pada akhirnya hanya tersisa dua kandidat yang
memunculkan implikasi akan munculnya perpecahan atau perbedaan kubu yang
sangat mencolok. Dalam banyak hal, dampak positif yang dihasilkan terkait
sistem-pun dapat dinyatakan berhasil. Namun, apabila tidak dipersiapkan secara
matang tentu menimbulkan pembelahan tipologi masyarakat hingga yang paling
bawah bahkan mampu menyebabkan disintegrasi bangsa.
Politik identitas menjadi narasi terkuat dalam polarisasi politik. yang
terjadi pada 2019, keterbelahan masyarakat yang namak nyata disinyalir
menyebabkan disintegrasi pada golonagan masyarakat kecil. Setiap kandidat
kerap membenturkan isu-isu identitas unntuk menyerang rekomendasi kebijakan
atau bahkan menyerang personal calon lawan. Isu-isu identitas dikapitalisasi
untuk kemudian dijadikan komoditas utama dalam upaya penguatan basis pada
segmen masing-masing. Penggirngan isu agama menjadi top pick dalam
penguatan basis dan peningkatan probabilitas pemilih sekaligus sebagai bahan
serangan untuk kubu lawan.
Pola tersebut yang kemudian terjadi menjelang kontestasi Pemilu 2024.
Masa kampanye yang seyogyanya menjadi sarana bagi masyarakat untuk
memperoleh informasi mengenai gagasan yang ditawarkan oleh kandidat paslon.
Publik menanti munculnya beragam narasi programatik yang akan dijadikan dasar
dalam menentukan pilihan. Sayangnya, masa kampanye didominasi oleh
kampanye yang mengkapitalisasi isu-isu SARA, politik identitas, konten berita
palsu dan ujaran kebencian, isu-isu yang tidak substantif yang pada akhirnya
menyudutkan personal salah seorang kandidat paslon.
Alih-alih mendorong proses pemilu yang berkualitas, fenomena ini justru
semakin menambah polarisasi di masyarakat, bahkan disinyalir semakin
mendorong apatisme terhadap pemilu dan menguatnya gerakan mendorong
golput. Apakah ini berjalan secara alamiah, atau didesain, diproduksi secara
sengaja oleh kelompok yang menang dengan cara transaksional dan pragmatis,
meskipun merusak segala aspek persatuan kebangsaan dan keindonesiaan.
Pembelahan sosial yang semakin tajam di masyarakat tentu sangat tidak
produktif jika dibiarkan berlanjut dan berlarut-larut. Pangkal perkara dari situasi
ini adalah dangkal dalam narasi, literasi, dan imajinasi pada setiap kandidat.
Namun, lagi-lagi, aturan pemilu terkait presidential threshold menjadi “kebuntuan
politik” yang menghambat putra-putri terbaik bangsa untuk tampil ke panggung
politik yang lebih tinggi. Imbasnya, fakir narasi dalam kontestasi.
Aktor politisi harus mampu memberikan contoh “ketauladanan” yang
baik, politik yang berbasiskan akhlak dan etika (fatsun politik kelas tinggi) tidak
menyudutkan dan membuat polemik di setiap pernyataan pendapat politiknya.
Sepatutnyalah mereka hanya mengeluarkan dan menyusun kata-kata yang
meneduhkan, menyematkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam bertarung.
Jangan justru membuat gesekan, memantik polemik dan blunder politik sehingga
ujungnya bunuh diri politik. Perlu diingat pula oleh pasangan capres-cawapres
dan tim pemenangannya bahwa mereka mempunyai beban moral untuk menjaga
“keutuhan bangsa” dengan tidak mempertajam “pembelahan” dan konflik sosial.

Anda mungkin juga menyukai