Anda di halaman 1dari 6

Kemi Cinta Kebebasan yang Tersesat

Kemi salah satu santri yang menimba ilmu di sebuah pesantren pimpinan Kyai Rois di Madiun. Kemi merupakan santri kesayangan sang Kyai dan dianggap sebagai amunisi handal dalam memperkuat barisan pengajar di pesantren yang bernama Minhajul Abidin ini. Namun, suatu hari karena alasan misterius Kemi meninggalkan pesantren untuk melanjutkan kuliah di Jakarta, kepergian yang tiba-tiba dari seorang santri pasti memiliki latar belakang yang tidak sederhana. Kepergian Kemi sangat disayangkan oleh Kyai Rois karena merasa muridnya tersebut belum memiliki ilmu yang cukup untuk menghadapi dahsayatnya godaan-godaan yang ada di luar pesantren. Lalu kemi memulai aktivitas barunya di salah satu kampus perdamaian di Jakarta yang menerima mahasiswa dari agama apapun, dan rahmat tergerak untuk menelisik dan hasrat mengembalikan sahabatnya kembali ke pesantren lalu menyusul Kemi ke Jakarta. Dari pertemuan mereka, Rahmat mendapati Kemi sudah tidak seperti dulu lagi. Pemikirannya berubah. Diskusi yang dilakukan membuat Rahmat sadar bahwa Kemi telah terjangkit virus liberalisme. Setiap agama itu memiliki kedudukan yang sama. Agamanya hanyalah simbolisasi dan esensinya mengarah pada Tuhan yang sama. Itulah pemahaman agama yang Kemi yakini sekarang. Dan Kemi beserta Siti mahasiswa sekampus seorang aktivis gender yang di balik aktivitas kampus perdamaian dan kawanannya aktif menyebarkan pemikiran ini melalui pelatihan di pesantren, kampus, dan tempat-tempat lainnya. Selanjutnya Rahmat memberanikan diri menjawab tantangan Kemi dengan bergabung dengannya di Jakarta dengan azzam meluruskan pemikiran Kemi agar tidak berdampak luas, termasuk untuk pesantrennya. Berbekal ilmu dari dan komunikasi intens dengan Kyai Rois, Rahmat memulai investigasinya kepada Kemi. Mulai dari pertemuannya dengan Sabar anak kampung yang mencurigai aktivitas Kemi dan kawanannya di salah satu rumah besar di kampungnya, lalu pada pertemuan dengan siti dengan rahmat berikut ini petikan pengakuan Siti kepada Rahmat, akan kekeliruan pemikiran-pemikiran liberal yang digandrunginya selama ini: Coba perhatikan, Rahmat. Saya juga baru menyadari belakangan ini. Saya sudah terseret makin jauh. Dulu saya tertarik, karena selalu dikatakan, bahwa kita mengembangkan sikap terbuka, kritis, rasional, tidak partisan. Tapi, ketika sudah masuk ke lingkungan ini, kita tidak punya pilihan, kita juga dididik sangat partisan. Jika dulu orang Muslim bangga

mengutip Imam Syafii, Imam Ghazali, dan sebagainya, maka sekarang yang dibanggabanggakan adalah ilmuwan-ilmuwan orientalis. Katanya, kritis. Bahkan, karya-karya para ulama itu diakal-akali agar sesuai dengan pikiran mereka. Yang tanpa sadar, kita disuruh membenci sesama Muslim, pelan-pelan kami mau tidak mau harus mengambil jarak dari aktivitas keislaman dan komunitas Muslim. Coba kamu perhatikan, pernah nggak kamu lihat Kemi shalat berjamaah ke masjid, aktif dalam majlismajlis taklim, mengajar mengaji anak-anak, shalat tahajut, puasa sunnah, dan sebagainya. Lihat, siapa teman-teman dekatnya! Ingat nggak kata Ali bin Abi Thalib, siapa teman kepercayaan kamu, itulah kamu. Perhatikan juga apa yang selalu diomongkan dia. Dia tidak lagi bicara tentang aqidah Islam, bahwa iman itu penting, kesalehan itu penting. Tidak bicara tentang bahaya kemusyrikan dan kemurtadan. Padahal, sejak kecil di pesantren, dia sudah diajarkan kitabkitab Tauhid yang membahas masalah syirik. Bahkan, kata syirik, kafir, itu sudah dicoret dari kosakata dia. Syirik dan iman dianggap sama saja. Mukmin dan tidak mukmin dianggap sama. Islam dan bukan Islam disama-samakan. Padahal, al-Quran jelas-jelas membedakan derajat orang mukmin dengan derajat orang kafir. Saya kadang bertanya, mengapa saya menjadi begini. Bahkan, di kepala saya yang ada bukan lagi bagaimana memahami al-Quran dengan baik dan benar, tetapi bagaimana agar al-Quran bisa saya gunakan untuk mendukung pemahaman saya tentang Pluralisme, liberalisme, toleransi, dan sebagainya. Teman saya sampai berusaha keras untuk meraih gelar doktor dengan membuat metodologi Tafsir yang sesuai dengan pemikiran Pluralisme. Semua itu tidak terjadi seketika. Perlu waktu panjang. Sedikit demi sedikit, pikiran dibelokkan. Tanpa sadar. Perasaan dan pikiran dibelokkan. Saya suatu ketika bertanya kepada diri saya sendiri, mengapa saya tidak lagi mencintai saudara-saudara saya di Palestina? Bahkan, hati saya mulai condong pada kaum Yahudi. Saya suka melihat kemenangan Yahudi; yang saya lakukan adalah mencari-cari kelemahan orang Palestina dan kelebihan orang Yahudi. Malah, saya sama sekali sudah tidak peduli dengan masalah umat Islam di Kasmir, Moro, Afghanistan, Irak, dan sebagainya. Saya menganggap semua itu adalah komoditas kaum fundamentalis untuk mencari popularitas.

Yang lebih saya kedepankan adalah isu-isu yang dibawa oleh negara-negara Barat, seperti isu radikalisme Islam, pluralisme, fundamentalisme, dan sebagainya. Padahal, berapa ratus ribu bahkan jutaan penduduk sipil di negara-negara Muslim itu yang dibunuhi? Saya sudah menganggap bahwa mereka itu semua berhak dibunuh, karena mereka bagian dari kaum fundamentalis. Tidak ada diantara kami yang habis-habisan mengutuk pembunuhan manusia-manusia Muslim itu. Hanya sesekali keluar pernyataan, agar tidak terlalu dianggap antek Barat. Tapi, coba kalau ada satu saja orang bule yang tewas dibunuh oleh satu kelompok Islam, atau ada bom meledak di suatu tempat yang menewaskan puluhan orang, maka kami akan habis-habisan mengutuk. Yang lain, ini yang menyadarkan saya, tiba-tiba tertanam dalam diri saya, perasaan benci pada syariat Islam, dan bahkan benci dengan kemenangan satu partai Islam dalam Pemilu. Saya benci sekali kalau ada orang ngomong syariat. Bahkan, saya pernah memberi masukan teman-teman Kristen agar mereka mengeluarkan pernyataan yang menolak syariat. Saya pernah bingung, kenapa saya bisa menjadi begini. Saya mengenakan kerudung, tetapi isi kepala saya sama sekali tidak suka dengan kerudung. Saya benci sekali kalau ada orang Islam atau organisasi Islam yang mencoba membatasi pakaian. Bahkan saya pernah ikut merancang demonstrasi menentang RUU Pornoaksi dan Pornografi. Saya benar-benar termakan paham kebebasan. Saya benci MUI, yang menurut saya sok Islam sendiri. Saya mendukung Lia Eden, saya mendukung Ahmadiyah, saya benci semua orang Islam. Bahkan, pernah saya membenci ayah saya sendiri, karena saya melihat dia bersama para kyai di daerah saya mendatangi DPR, meminta agar tayangan-tayangan porno dan tidak senonoh dihentikan penayangannya. Saya benci itu semua. Kamu tahu Rahmat, karena untuk membuktikan saya sudah benar-benar menyatu dengan paham kebebasan, saya mendukung hak wanita untuk menjadi pelacur. Saya menentang penutupan komplek-komplek WTS di berbagai kota. Melacur saya anggap sebagai hak asasi wanita. Menjadi gigolo juga hak asasi. Yang penting tidak mengganggu hak orang lain. Hak-hak kaum homo dan lesbi juga saya perjuangkan. Sebab saya sudah dicekoki paham kebebasan, bahwa mereka adalah manusia. Saya tidak tahu, mengapa saya menjadi seperti ini. Semua pergaulan, kuliah, diskusi, kegiatan, sepertinya sudah diatur sedemikian rupa, sampai saya tidak sadar, bahwa saya

telah menjadi korban dari sebuah skenario besar. Saya korban. Kemi juga korban. Entah dia sadar atau tidak. Bayangkan Rahmat, saya ini wanita, perempuan. Sampai karena sudah begitu merasuknya paham kesetaraan gender dalam diriku, saya tidak lagi mengakui laki-laki berhak memimpin rumah tangga. Saya benci jika dikasihani. Pernah saya naik bus, ada seorang laki-laki memberikan tempat duduknya karena kasihan saya berdiri, saya bentak dia. Saya mau suami saya yang nanti melayani saya, menyediakan minum buat saya, mengasuh anak saya, dan kalau perlu membawakan tas saya. Entah kenapa di kepala saya tertenam kebencian dan dendam kepada laki-laki, karena mereka telah menindas kaum saya selama umur manusia. Suatu ketika, saya merenungkan semua itu dengan serius. Mengapa saya menjadi begini? Mengapa jadi begini? Itulah pertanyaan saya beberapa bulan terakhir ini. Saya sadar, tetapi saya tidak tahu, bagaimana saya akan keluar dari jeratan ini. Sudah terlalu jauh... Saya sulit keluar....Rahmat, entah bagaimana ujungnya perjalanan saya ini.... Saya sedih .... hati saya sangat perih... ingat ayah saya, Ibu saya, adik-adik saya...Saya dulu ingin membuktikan kepada mereka, bahwa saya bisa mandiri, saya bisa bebas, saya mau merdeka, saya tidak mau diatur lagi dengan berbagai belenggu. Saya minggat dari rumah, kuliah di satu kampus Islam Jakarta, lalu terakhir terseret ke kampus ini, karena ada beasiswa...Entahlah... sampai kapan saya akan terus seperti ini. Terkadang saya frustrasi... Saya juga tidak tahu... ini sindikat atau tidak. Yang jelas, saya sudah tidak punya teman, tidak punya komunitas, malu untuk bergaul dengan sesama Muslimah. Pikiran saya yang sudah terjerat. Untuk membuang jerat-jerat pikiran ini tidak mudah. Saya sadar ini salah, tetapi saya seperti tidak berdaya untuk melawannya. Belum lagi, instruksi dan program-program yang rutin. Saya sering tak sadar menghujat-hujat Islam sendiri, memakimaki umat Islam sendiri. Semua itu berjalan begitu saja tanpa bisa saya hindari. Saya sudah terjerat; terjerat oleh pikiran saya sendiri, terjerat oleh lidah saya sendiri! Saya sadar, saya geram, karena tidak berdaya untuk melepaskan diri dari semua keterjeratan ini... Saya tidak mampu... Padahal, di depan laki-laki saya selalu mencoba tampil perkasa, saya tidak mau dipandang rendah. Tapi, kenyataannya, saya tidak berdaya melawan pikiran saya sendiri...

Sampai-sampai perdebatan dengan rektor Profesor Malikan mewarnai hari pertama Rahmat. Dia menjadi bahan pembicaraan sekampus setelah dalam perdebatan tersebut dia unggul karena berhasil mematahkan argumen pemikiran liberal pak rektor. Banyak dialog dan pendapat-pendapat yang tentu bisa menepis berbagai paham yang mungkin sekarang sedang marak. Seperti liberalisme, pluralisme, feminisme, dll. Seperti yang saya kutip dalam bukunya: Bagaimana kita memahami keadilan Allah, jika ada orang-orang baik seperti Bunda Teresa dan Nelson Mandela akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan orang-orang jahat akan masuk surga hanya karena ia beragama Islam Rupanya pertanyaan semacam itu juga pernah disampaikan kepada Kyai Rois. Dan, jawaban Kyai Rois sangat mudah dicerna. Kyai Rois mengibaratkan iman sebagai pengakuan dan pembenaran. Aspek pengakuan tidak kalah pentingnya dengan aspek perbuatan. Dicontohkan, seorang anak yang tidak mengakui orang tuanya, seperti si Malin Kundang, dipandang sebagai anak durhaka, meskupun si anak rela berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Begitu juga orang tua yang tidak mau mengakui anaknya sendiri sebagai anak kandung-mungkin karena cacat-akan dikatakan sebagai orang tua jahat, meskipun anak itu diberikan perawatan dan pembiayaan yang baik Setelah itu diawali dengan wafatnya, Kyai Dulpikir, seorang aktivis liberal, yang kala itu memandu sebuah seminar terbuka di kampus setelah didebat oleh Rahmat. Sejak saat itu, Rahmat diamankan oleh salah seorang kerabat Kyai Rois. Berita kematian Kyai Dulpikir tersebar luas di media massa tanpa disadari oleh Rahmat. Siti yang sedari awal menghilang tak berjejak sejak pertemuan terakhir, mengingatkan Rahmat akan pesannya untuk berhatihati. Nyawanya terancam. Polisi terlibat dalam kasusnya. Dan dari sini, akhirnya terkuaklah misteri ada apa di balik aktivitas Kemi kawanannya. Alhasil, di balik aktivitas Kemi ternyata ada orang-orang yang menunggangi penyebaran pemikiran liberal demi uang dan cairnya dana asing yang menghendaki pemikiran liberal menyebar di masyarakat. Kasus ini berhasil diusut dengan ditangkapnya Romany ang notabene sebagai teman diskusi Kemi walaupun harus dibayar dengan taruhan nyawa, Kemi yang diakhir cerita sadar akan kesalahan pilihannya. Dan siti membuktikan kesungguhannya untuk bertobat. Ia bahkan mengorbankan rasa cintanya pada Rahmat dan memilih berjuang membesarkan pesantren ayahnya. Ia lebih mengedepankan aktivitas dakwah dan pendidikan Islam.

Sumber http://id.shvoong.com/books/novel-novella/2255815-kemi-cinta-kebebasan-yangtersesat/#ixzz2BS8brlIS

http://sudjanamihardja.multiply.com/journal/item/671/671?&show_interstitial=1&u=%2Fjour nal%2Fitem http://immashpratiwi.blogspot.com/2011/12/kemi-cinta-kebebasan-yang-tersesat.html

Anda mungkin juga menyukai