Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH UJI BIOEKIVALENSI FENITOIN

PRAKTIKUM BIOFARMASI – FARMAKOKINETIKA


MODUL X

Disusun Oleh :
Shifa Fadillah : 10060314087
Kiki Ramdani : 10060316096
Rifa Gifari Diyaulhaq : 10060316097
Alsi Diennadya S : 10060316098
Lisma Hermawati : 10060316100
Elfa Rizky Khafifah : 10060316102
Moch Rofi Nurhakim : 10060316104
Shift / Kelompok :D/5
Tanggal Praktikum :31 Januari 2019
Tanggal Pengumpulan :31 Januari 2019

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT E


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2019 M / 1441 H
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fenitoin adalah salah satu obat yang digunakan untuk kejang parsial dan

gejala epilepsi. Farmakokinetik fenitoin berubah dari orde pertama menjadi orde nol

dengan dosis tinggi. Laju absorpsi berbeda untuk tiap merk dengan formulasi berbeda

dan konsentrasi pada plasma dapat bervariasi dan mempengaruhi pengobatan kejang.

Beberapa pasien dapat beralih ke fenitoin dengan merk yang lebih murah yang

mungkin tidak bioekuivalen dengan obat induk dan mempengaruhi mengontrol

kejang. Fenitoin generik dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi serum

dibandingkan dengan formulasi bermereknya dalam sebuah penelitian yang dilakukan

di Amerika Serikat. Formulasi fenitoin merek diubah menjadi generik telah

menyebabkan serangan kejang baru. Dokter, apoteker, pasien dan pembuat kebijakan

harus menyadari bahwa untuk beberapa pasien mungkin ada risiko yang terkait

dengan beralih dari merek ke formulasi fenitoin generik.

Hal ini merupakan prioritas para profesional kesehatan dan pembuat kebijakan

untuk membuat negara Indonesia mandiri dalam produksi obat-obatan esensial dan

untuk memastikan ketersediaan obat-obatan yang aman, efektif, standar, dan

berkualitas dengan harga terjangkau dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan kesehatan masyarakat.

Di Indonesia menurut Peraturan Kepala BPOM RI Nomor

HK.03.1.23.12.11.10217 Tahun 2011 tentang obat uji ekivalensi. Uji bioekivalensi


wajib dilakukan untuk obat copy dengan kelas terapi yang tercantum dalam

peraturan. Fenitoin merupakan obat system syaraf pusat antiepilepsi yang termasuk

kedalam daftar obat yang wajib dilakukan uji bioekivalensi.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bioavailabilitas dan bioekivalensi

dari obat copy tablet fenitoin sodium dengan kekuatan sediaan 100 mg dosis tunggal

berdasarkan obat inovator eptoin 100 mg yang diproduksi oleh Abbott India Ltd. Dua

produk obat dikatakan bioekivalen jika keduanya memiliki ekivalensi farmasetik pada

pemberian dengan dosis yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sama

sehingga menghasilkan efek dan keamanan yang sama.

1.2. Tujuan Pengujian

Tujuan pengujian ini untuk mengetahui obat copy bioekivalen dengan obat

innovator sebagai syarat untuk mengajukan izin edar obat copy tersebut.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Monografi

2.1.1. Fenitoin Sodium

Gambar II.1 Struktur Fenitoin Sodium

Fenitoin sodium mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari

102,0% C15H11N2N1O2 dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.

Pemerian : Serbuk; putih; tidak berbau; agak higroskopis; secara

bertahap menyerap karbon dioksida dari udara.

Kelarutan : Mudah larut dalam air, larutan biasanya agak keruh karena

terhidrolisa sebagian dan menyerap karbon dioksida; larut

dalam etanol; praktis tidak larut dalam eter dan dalam

kloroform.

BM : 274.25

Susut pengeringan : Tidak lebih dari 2.5%; lakukan pengeringan pada suhu 1050

selama 4 jam.

Stabilitas : Stabil selama penyimpanan


Inkompatibilitas : Inkompatibel dengan Amikacin sulfat, bretylium tosylate,

dobutamine HCl, lidokain HCl, linkomisin HCl, Meperidin

HCl, Metaraminol bitartrat, Morfin sulfat, Nitrogliserin,

Norepinefrin bitartrat, Pentobarbital sodium, Prokain HCl,

Streptomisin sulfat.

Aturan : Disimpan dalam wadah tertutup rapat (Depkes RI, 2014:435-

436; dan McEvoy, 2011).

2.2. Farmakologi

2.2.1. Mekanisme Kerja

a. Membatasi propagasi kejang dengan mengurangi potensiasi pasca-tetanik

(PTP) dengan mengurangi masuknya ion natrium pasif atau dengan

meningkatkan efisiensi pompa natrium sehingga akumulasi berlebihan

natrium intraseluler tidak terjadi selama stimulasi tetanik.

b. Kehilangan PTP juga mencegah fokus kejang kortikal dari pecah daerah

kortikal yang berdekatan.

c. Memperlihatkan sifat antiaritmia yang mirip dengan quinidine atau

procainamide.

d. Meskipun sedikit efek pada rangsangan otot jantung, itu mengurangi kekuatan

kontraksi, menekan tindakan alat pacu jantung, dan meningkatkan konduksi

atrioventrikular, terutama ketika telah ditekan oleh glikosida digitalis.


e. Memperpanjang periode refraktori efektif relatif terhadap durasi potensial

aksi.

f. Dapat menyebabkan hipotensi setelah pemberian IV.

g. Sedikit aktivitas hypnosis (McEvoy,2011).

2.2.2. Indikasi dan Dosis

a. Pasien Anak

1) Kejang : Oral dosis umum 5 mg/kg.

2) Epilepsi : 15-20 mg/kg secara iv.

b. Dewasa

1) Kejang : Oral dosis 100 mg 3x sehari

2) Epilepsi : 10-15 mg/kg secara iv. Diikuti oleh iv. Atau oral 100 mg

setiap 6-8 jam (McEvoy, 2011).

2.2.3. Efek Samping

Mual dan muntah, konstipasi, nyeri epigastrium, disfagia, kehilangan rasa,

anoreksia, dan penurunan berat badan. Efek samping SSP meliputi kebingungan

mental, nistagmus, ataksia, penglihatan kabur, diplopia, amblyopia toksik, pusing,

insomnia, transien gugup, saraf berkedut, dan sakit kepala (McEvoy, 2011).

2.2.4. Interaksi Obat

Ada interaksi yang kompleks antara antiepilepsi, dan toksisitas dapat

ditingkatkan tanpa peningkatan aktivitas anti epilepsi yang sesuai. Interaksi tersebut

sangat bervariasi dan tidak dapat diprediksi dan pemantauan plasma sering

disarankan dengan terapi kombinasi. Karena fenitoin terikat secara luas dengan
protein plasma, fenitoin dapat tersingkirkan oleh obat yang bersaing untuk tempat

pengikatan protein, sehingga membebaskan fenitoin yang lebih bebas (aktif secara

farmakologis) ke dalam plasma. Namun, peningkatan fenitoin bebas memberi efek

sedikit asalkan fungsi hati tidak terganggu.

Jenis interaksi yang berpotensi lebih serius dapat terjadi karena metabolisme

fenitoin dapat dijenuhkan. Konsentrasi toksik fenitoin dapat berkembang pada pasien

yang diberikan obat yang menghambat metabolisme fenitoin bahkan pada dosis yang

sangat kecil. Fenitoin merupakan penginduksi enzim yang kuat, dan menginduksi

metabolisme banyak obat, termasuk beberapa antibakteri, antikoagulan,

kortikosteroid, quinidine, dan hormon seks (terutama, kontrasepsi oral). Sifat

hipotensi dari dopamin dan jantung sifat depresi obat seperti lidokain mungkin dapat

ditingkatkan secara berbahaya oleh fenitoin intravena (McEvoy, 2011).

2.2.5. Kontraindikasi

Penggunaan intravena kontraindikasi pada pasien dengan sinus bradycardia,

SA block, AV block kelas 2 atau 3 atau sindrom Adams-Stokes, Hipersensitivitas

pada fenitoin atau pada bahan lain dalam formula atau hidantoin (McEvoy, 2011).

2.2.6. Peringatan

a. Potensi toksik antikonvulsan turunan hidantoin dan tindakan pencegahan

terapi antikonulsan harus diperhatikan.

b. Penarikan tiba-tiba dapat memicu epileptus.

c. Pengurangan dosis atau mengganti antikonvulsan harus hati-hati dan perlahan


d. Dapat menyebabkan hipotensi jika diberi terlalu cepat dan terjadi reaksi

kardiotoksik yang parah dan mengancam jiwa.

e. Asupan alkohol dapat meningkatkan konsentrasi fenitoin pada serum dan

penggunaan alkohol jangka panjang dapat menurunkan konsentrasi pada

serum.

f. Reaksi sensitivitas dapat menyebabkan ruam

g. Perhatikan jika menggunakan senyawa yang serupa secara struktural pada

pasien yang mengalami hipersensitivitas fenitoin

2.3. Farmakokinetika

Farmakokinetika obat terdiri dari proses absorpsi, distribusi,dan eliminasi.

2.3.1. Absorpsi

Fenitoin hampir sepenuhnya diserap dalam saluran pencernaan secara

perlahan. Sebagian besar tidak larut dalam pH asam lambung, sebagian besar diserap

di usus bagian atas. Penyerapan fenitoin dipengaruhi oleh keberadaan makanan.

Konsentrasi plasma terapetik sediaan oral dicapai setelah satu minggu terapi.

2.3.2. Distribusi

Fenitoin didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh. Sekitar 90%-95% terikat

dengan protein plasma, namun dapat berkurang saat terkena penyakit tertentu dan

pada populasi pasien tertentu. Fenitoin dapat melintasi penghalang plasenta dan

didistribusikan ke ASI

2.3.3. Eliminasi

a. Metabolisme
Fenitoin dimetabolisme di hati menjadi metabolit tidak aktif, 5-(p-

hidroksifenil) - 5-fenilhidantoin (HPPH). Laju metabolisme dipengaruhi oleh

genetik dan mungkin karakteristik ras. Laju metabolisme meningkat selama

kehamilan dan menstruasi dan menurun dengan pertambahan usia.

b. Rute eliminasi

Metabolit tidak aktif (HPPH) dieksresikan lewat urin, kebanyakan sebagai

glukuronida sekitar 60-75% dari dosis harian dieksresikan dalam bentuk ini.

c. Waktu paruh

Waktu paruh plasma secara oral sekitar 22 jam dan sediaan iv sekitar 10-15

jam,

d. Populasi khusus

Konsentrasi total plasma fenitoin lebih rendah pada pasien uremik kronis

dibanding pada pasien non-uremik. Itu menunjukkan perubahan disposisi

metabolik obat pada pasien dengan uremia (McEvoy, 2011; dan Sweetman,2018).
BAB III

DESAIN PENGUJIAN

Studi bioekivalensi (BE) membandingkan profil kadar obat copy (Fenitoin

tablet) yang diproduksi oleh Abbott India Ltd. terhadap obat inovator (Eptoin) dalam

darah pada subyek manusia laki-laki sehat yang diberikan dalam dosis tunggal 100

mg secara oral dalam bentuk tablet. Studi ini dilakukan dengan mengikuti Pedoman

Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) termasuk harus lolos Kaji Etik.

Studi dilakukan pada 12 subyek dengan sistem cross over design (desain

menyilang) untuk menghindari variasi biologik. Pemberian obat diberikan secara

acak dengan cara double blind. Pengujian awal diberikan obat copy pada 6 peserta

dan diberikan obat inovator eptoin.

Pada pengujian selanjutnya perlakuan ditukar. Kedua perlakuan dipisahkan

oleh periode washout selama 1 minggu untuk mengeliminasi produk obat yang

pertama diberikan.
BAB IV

SUBJEK UJI

4.1. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

Tabel IV.1. Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Merokok dan
Subjek sehat
mengkonsumsi alkohol
4.2. Prakondisi
Pria Riwayat alergi fenitoin

Riwayat penyakit
gastrointestinal, hati, atau
Umur antara 17-45 tahun ginjal, adanya penyakit
kardiovaskular atau
hematologis.

Kondisi lain yang


Rasio berat badan dan tinggi mengganggu absorpsi,
badan dalam kisaran normal distribusi, metabolisme, dan
20% ekskresi obat-obatan
lainnya.

Penyakit neurologis atau


BMI 18,5 - 22,9
psikologis yang serius

Tidak merokok dan Konsumsi obat lain dan


mengkonsumsi alkohol ketergantungan obat
Sukarelawan tidak boleh meminum obat golongan antasida dan kalolin,

karena obat golongan tersebut dapat mengurangi absorbsi fenitoin. Pada obat fenitoin

dapat menyebabkan sukarelawan mengalami anemia megaloblastin sehingga

diperlukan pemberian suplemen dan makanan yang dapat meningkatkan produksi sel

darah merah.
BAB V

CARA PENGUJIAN

Cara pengujian terhadap obat ini menggunakan desain menyilang dua arah

(Cross Over Design). Etikal clearens diperoleh dari institusi komite etik. Pengujian

ini dilakukan sesuai dengan Cara Uji Klinik yang Baik. Kemudian sukarelawan

dipilih sebanyak dua belas orang laki-laki dengan kriteria yang sehat, tidak merokok

dan tidak mengkonsumsi alkohol, rasio berat badan dan tinggi badan dalam kisaran

20% berat ideal, bebas dari penyakit neurologis atau psikologis yang serius dan

sukarelawan tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan lain dan ketergantungan obat.

Pengujian dilakukan dengan sistem cross over design dengan pengambilan sampel

obat diberikan secara acak dengan cara double blind. Pengujian awal diberikan obat

copy pada 6 peserta dan diberikan obat inovator (fenitoin tablet 100 mg) pada 6

peserta lainnya. Pada pengujian selanjutnya perlakuan ditukar. Kedua perlakuan

dipisahkan oleh periode washout selama 1 minggu untuk mengeliminasi produk obat

yang pertama diberikan. Sukarelawan dipuasakan terlebih dahulu selama 10 jam dan

pada Saat memimum obat 1 tablet 100 mg phenytoin dibarengi dengan pemberian air

mineral sebanyak 240 mL sebelum pemberian obat diambil sampel darah dengan rute

intravena pada sukarelawan, kemudian setelah pemberian obat diambil sampel darah

pada waktu 1,2,3,4,6,8,24,48 dan 72 jam sampel disentrifuga pada kecepatan 5000

rpm selama 10 meniit, plasma dipisahkan dan dimasukan kedalam tabung. Lalu

disimpan dalam suhu -200C sebelum dilakukan pengujian kadar plasma, plasma

disimpan dahulu pada suhu ruangan kemudian di vortex lalu di sentrifugasi dan sisa
bekuan dibuang. Konsentrasi obat dalam sampel darah dianalisis dengan metode

kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) fase terbalik (Knauer HPLC, Jerman).

Metode analitik sebelumnya telah divalidasi. Kolom yang digunakan Knauer C18,

250 X 4.6mm, ukuran partikel 5μ dengan kolom pelindung C18, stainless steel. Fase

gerak yang digunakan adalah asetonitril. Laju aliran yang digunakan adalah 1 ml /

menit. Sampel dianalisis pada panjang gelombang deteksi 215 nm. Fixed loop

Rheodyne injector system dilengkapi dengan 20μl Rheodyne Loop digunakan.

Perangkat lunak yang diintegrasikan adalah Clarity Chrome. Photodiode array

detector (Smart line 2800). Sampel kalibrasi dibuat dengan spiking 480 μL plasma

kontrol manusia dengan 20 μL larutan stok analit. Profil waktu-konsentrasi plasma

fenitoin ditentukan dengan menggunakan metode farmakokinetik non-kompartemen

saat nol. Profil tingkat obat plasma disajikan dalam bentuk grafik. Parameter

farmakokinetik berikut dari obat uji (phenytoin dengan kekuatan dosis 100mg) dan

obat referensi (Eptoin) dihitung Cmax (Puncak Konsentrasi Plasma), Tmax (Waktu

untuk mencapai Konsentrasi Plasma maksimum), AUC0-72 (Area di bawah kurva

waktu konsentrasi plasma 0 hingga 72 jam), AUC0-∞ (Area di bawah kurva waktu

konsentrasi plasma 0 hingga ∞), T½ (waktu paruh eliminasi) dan Ke (konstanta laju

eliminasi).
BAB VI

SAMPEL UJI DAN WAKTU SAMPLING

6.1. Sampel Uji

Plasma

6.2. Waktu Sampling

Sampel darah diambil pada waktu 0 (sebelum pemberian obat), 1, 2, 3, 4, 6, 8,

24, 48, dan 72 jam setelah pemberian obat. Pengambilan sampel darah diambil

melalui pembuluh darah vena anticubital. Plasma dipisahkan dari sampel darah

menggunakan sentrifuga dengan kecepatan 5000 rpm selama 10 menit. Kemudian

sampel plasma disimpan pada suhu -200C sampai akan dianalisis


BAB VII

SENYAWA YANG AKAN DITENTUKAN DAN METODE ANALISIS

7.1. Senyawa yang akan ditentukan

Senyawa yang akan ditentukan yaitu fenitoin sodium dalam sampel plasma.

7.2. Metoda Analisis

Metode analisis yang digunakan adalah metode HPLC fase balik dengan

detector Photodiode array dari Knauer, Jerman. Metode analisis divalidasi sebelum

analisis dilakukan. Kolom terdiri dari C18, 250 × 4,6 mm dengan ukuran partikel 5μ

dari besi tahan karat. Fase gerak yang digunakan adalah asetonitri. Laju alir 1 ml /

menit. Sampel dianalisis pada panjang gelombang 215 nm. Sistem injektor dilengkapi

dengan 20 μl Rheodyne Loop. Perangkat lunak yang digunakan adalah Clarity

Chrome.

Sampel kontrol dibuat dari 480 μL plasma kontrol manusia dengan 20 μL

larutan stok analit. Profil farmakokinetika plasma fenitoin ditentukan dengan

menggunakan metode farmakokinetik non-kompartemen orde nol. Profil tingkat obat

plasma disajikan dalam bentuk grafis. Parameter farmakokinetik berikut dari obat

copy dan obat inovator dihitung Cmax (Konsentrasi obat dalam plasma pada Tmax),

Tmax (Waktu untuk mencapai Konsentrasi Plasma maksimum), AUC 0-72 (Area di

bawah kurva waktu konsentrasi plasma 0 hingga 72 jam), AUC0- ∞ (Area di bawah

kurva waktu konsentrasi plasma 0 hingga ∞), T½ (waktu paruh eliminasi) dan

K(konstanta laju eliminasi).


BAB VIII

PENGOLAHAN DATA DAN PERHITUNGAN


Parameter farmakokinetik untuk fenitoin ditentukan dari Konsentrasi plasma

maksimum (Cmax) dan waktu untuk mencapai konsentrasi plasma maksimum (t max)

dan ditentukan nilai AUC 0-72 (Area di bawah kurva waktu konsentrasi plasma 0

hingga 72 jam), AUC0-∞ (Area di bawah kurva waktu konsentrasi plasma 0 hingga

∞) ditentukan dengan menggunakan aturan trapesium linier, T½ (waktu paruh

eliminasi) dihitung dengan cara In 2 dibagi dengan konstanta laju eliminasi dan Ke

(konstanta laju eliminasi) didapat dari hasil regresi linear antara konsetrasi dan

waktu .
BAB IX

ANALASIS STATISTIK DAN INTERPRETASI DATA

Deskriptif parameter rata-rata dan standar deviasi (SD) dihitung menggunakan

SPSS (program komputer yang dipakai untuk analisis statistika) versi 11.5. Uji

ANOVA diterapkan pada data farmakokinetik yang tidak ditransformasi (Cmax,

AUC0-72, AUC0-∞) dan log (Cmax, AUC0-72, AUC0-∞). Nilai P 0,05 atau kurang

dianggap signifikan secara statistik. Produk fenitoin dianggap bioequivalen jika

interval kepercayaan 90% perbedaan dalam nilai rata-rata AUC dan Cmax logaritmik

antara obat copy dan inovator berada dalam kisaran yang dapat diterima dari Log

(0,8) hingga Log (1,25) (Barrett, 2000; Rockville, 1992; dan Westlake, 1972).
BAB X

DAFTAR PUSTAKA

Barrett, J.S., Batra, V., Chow, A., Cook, J., Gould, A.L., Heller, A.H. et al. (2000).

PhRMA perspective on population and individual bioequivalence, J Clin

Pharmacol, Volume 40, Nomor 6, hlm. 561-570.

Dirjen POM. (2014). Farmakope Indonesia Edisi V. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia, Jakarta.

McEvoy, G.K. (Ed.) (2011). AHFS Drug Information Essentials, American Society

of Health System Pharmacist, Maryland.

Rockville, M.D. (1992). FDA Guidance on statistical procedures for bioequivalence

studies using a standard two-treatment crossover designs. Division of

Bioequivalence, office of Generic Drugs, Center for Drug Evaluation and

Research, Food and Drug Administration.

Sweetman, S.C. (2018). Martindale The Complete Drug Reference, 38th Edition,

Pharmaceutical Press, London.

Westlake, W.J. (1972). Use of confidence intervals in analysis of comparative

bioavailability trials, J Pharm Sci, Volume 61, Nomor 8, hlm.1340-1341.

Anda mungkin juga menyukai