Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

TEKNIK SEDIAAN SOLIDA


Semester VI| Tahun Ajaran 2019/2020

DISOLUSI TABLET KHUSUS DAN SUPOSITORIA


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Teknik Sediaan Solida

Disusun Oleh:
Kelompok 6

Mira Nurseha (10060315044)


Lainur Ariva (10060315046)
Raghdah Nurdiani S (10060315065)
Desi Ratnaningsih (10060315078)
Novira Nur’aini R (10060315080)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2019 M/ 1440 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah yang berjudul “Disolusi Tablet Khusus dan supositoria” dapat tersusun
hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung,15/Mei/2019

Penyusun

2|Disolusi sediaan solida


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 4
2.1 Definisi Disolusi .......................................................................
2.2 Model Pelepasan (Disolusi) Obat ..............................................
2.3 Faktor Kecepatan Dan Laju Disolusi ........................................
2.4 Metode Penentuan Kecepatan Disolusi .....................................
2.5 Alat Uji Disolusi Tablet Menurut Farmakope Indonesia ..........
2.6 Alat Uji Disolusi Tablet Menurut Usp ......................................
2.7 Monografi Sediaan Tablet khusus .............................................
2.8 Monografi supositoria ...............................................................
BAB III DATA PENGAMATAN ................................................................
3.1. Uji disolusi tablet inti …………………………………………
3.2 Uji disolusi tablet salut dengan weight gain 5% ……………...
3.3 Uji disolusi tablet salut dengan weight gain 6% ……………...
BAB IV PEMBAHASAN...............................................................................
4.1 uji disolusi tablet inti, tablet salut (wight gain 5%&6%) ..........
4.2 Tabel Penerimaan (S) ................................................................
4.3 supositoria
KESIMPULAN ...............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

3|Disolusi sediaan solida


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar kimia senantiasa
merancang sediaan obat supaya mampu merancang terobosan baru dalam
menciptakan suatu produk yang berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun
efek yang ditimbulkan. Sudah sepantasnya sebagai seorang farmasis harus selalu
menggali informasi terkini mengenai teknologi obat dari berbagai segi.
Tablet merupakan bentuk sediaan oral yang banyak diproduksi dan
disukai oleh masyarakat karena tablet mempunyai beberapa keuntungan
diantaranya adalah ketepatan dosis, mudah cara pemakaiannya, relatif stabil dalam
penyimpanan, mudah dalam transportasi dan distribusi kepada konsumen, serta
harganya relatif murah. (Banker dan Anderson, 1986).
Tablet salut enterik merupakan tablet yang disalut dengan lapisan yang tidak
melarut atau hancur di lambung melainkan di usus, supaya tablet dapat melewati
lambung dan hancur serta diabsorpsi di usus (Ansel, 1989).
Diklofenak adalah suatu obat penghambat sintesis prostaglandin yang
potensinya setara dengan indometasin.Walaupun mekanisme kerja dari diklofenak
adalah menghambat sintesis prostaglandin,diklofenak juga menimbulkan penurunan
produk lipoksigenase dengan meningkatkan pengambilan asam arakidonat menjadi
trigliserida. (Smith dan Reynard, 1995).
Supositoria merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi berbentuk
padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo dan
meleleh pada suhu tubuh. Supositoria sangat berguna bagi pasien dengan
kondisi yang tidak memungkinkan dengan terapi obat secara peroral, misalnya pada
pasien muntah, mual, tidak sadar, anak-anak, orang tua yang sulit menelan dan
selain itu juga dapat menghindari metabolisme obat di hati.

4|Disolusi sediaan solida


Bahan dasar suppositoria mempengaruhi pada pelepasan zat terapeutiknya.
lemak coklat capat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampurkan dengan cairan
tubuh, sehingga menghambat difusi obat yanglarut dalam lemak pada tempat yang
diobati. Polietilen glikol adalah bahan dasar yang sesuai dengan beberapa antiseptik,
namun bahan dasar ini sangat lambat larut sehingga menghambat pelepasan zat yang
dikandungnya.
Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk diketahui bersama, yang
akan dibahas yaitu mengenai disolusi suatu zat. Disolusi merupakan suatu tahapan
yang yang sangat berperan penting dalam menentukanhasil suatu efek obat dalam
tubuh manusia. Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut
dalam air telah lama menjadi masalah pada industrifarmasi. Obat-obat tersebut
umumnya mengalami proses disolusi yang lambatdemikian pula laju absorpsinya.
Dalam hal ini partikel obat terlarut akan diabsorpsipada laju rendah atau bahkan tidak
diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian absorpsiobat tersebut menjadi tidak
sempurna.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari disolusi?
2. Apa saja model pelepasan (disolusi) suatu obat?
3. Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan dan laju disolusi?
4. Bagaimana metode penentuan kecepatan disolusi dan penentuan alat uji
disolusi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi disolusi
2. Untuk mengetahui model pelepasan (disolusi) suatu obat.

5|Disolusi sediaan solida


3. Untuk mengetahui factor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan dan
laju disolusi.
4. Untuk mengetahui metode penentuan kecepatan disolusi dan penentuan alat
uji disolusi.

6|Disolusi sediaan solida


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi disolusi

Disolusi adalah suatu proses dimana kandungan aktif dari obat, terlarut dalam
suatu pelarut. Disolusi suatu tablet adalah jumlah atau persen zat aktif dari suatu
sediaan padat yang larut pada suatu waktu tertentu dalam kondisi baku misal pada
suhu, kecepatan pengadukan dan komposisi media tertentu, Sedangkan
bioavailabilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi
sistemik Menurut definisi yang sederhana, dua produk obat yang mempunyai dosis
yang sama disebut bioekivalen apabila jumlah dan kecepatan obat aktif yang dapat
mencapai sirkulasi sistemik dari keduanya tidak mempunyai perbedaan yang
signifikan (Isnawati A dkk, 2003; Shargel E, dkk, 1988; Martin A, dkk, 1993;
Eipistein S, 2003; Gibaldi M, 1984).
Uji disolusi ialah suatu metode fisika-kimia, digunakan dalam pengembangan
produk dan pengendalian mutu sediaan obat berdasarkan pengukuran parameter
kecepatan pelepasan dan melarut zat berkhasiat dari sediaannya. Uji disolusi ini dapat
digunakan untuk mengetahui bioavailabilitas suatu obat, karena hasil disolusi
berkorelasi secara erat dengan ketersediaan hayati suatu obat dalam tubuh. Sedangkan
uji bioekivalensi merupakan cara untuk menilai aktivitas obat di dalam tubuh
(Stoklosa MJ, 1991).
Laju disolusi suatu obat adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi
terlarut dalam medianya setiap waktu tertentu. Jadi, disolusi menggambarkan
kecepatan obat larut dalam media disolusi. Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran
yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan
waktu. Suatu hubungan yang umum menggambarkan proses disolusi zat padat telah
dikembangkan oleh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan berikut (Astuti,
2008) :

7|Disolusi sediaan solida


dM DS
= (Cs − C)
dt h
Keterangan :
dM.dt-1 : kecepatan disolusi
D : koefisien difusi
S : luas permukaan zat
Cs : kelarutan zat padat
C : konsentrasi zat dalam larutan pada waktu
h : tebal lapisan difusi

Dalam teori disolusi atau perpindahan massa, diasumsikan bahwa selama


proses disolusi berlangsung pada permukaan padatan terbentuk suatu lapisan difusi
air atau lapisan tipis cairan yang stagnan dengan ketebalan h. Bila konsentrasi zat
terlarut di dalam larutan (C) jauh lebih kecil daripada kelarutan zat tersebut (Cs)
sehingga dapat diabaikan, maka harga (Cs-C) dianggap sama dengan Cs. Jadi,
persamaan kecepatan disolusi dapat disederhanakan menjadi :

𝑑𝑀 𝐷𝑆𝐶𝑠
=
𝑑𝑡 ℎ

2.2 Model Pelepasan (Disolusi) Obat

Model pelepasan yang dikenal dalam sistem penghantaran obat cukup banyak,
seperti controlled release, sustain release, delayed release, continous release,
prolong release, depot, gradual release, long term release, programe release,
proportionate release, protracted release, repository, retrad, slow release, dan lain-
lain. Istilah baku yang digunakan dalam USP XXIII ada dua, yaitu delayed release
dan extended release.

Delayed release atau lepas tunda adalah sediaan yang bertujuan untuk menunda
pelepasan obat sampai sediaan telah melewati lambung, sedangkan extended release

8|Disolusi sediaan solida


atau sustaine release atau lepas lambat adalah suatu sediaan yang dibuat sedemikian
rupa sehingga zat aktif akan tersedia selama jangka waktu tertentu setelah obat
diberikan.

2.3 Faktor Kecepatan Dan Laju Disolusi


Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat
(Astuti, 2008) :
a. Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang
bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein,
koefisien difusi dapat dinyatakan melalui persamaan berikut:
𝑘𝑇
𝐷=
6ή𝑟
Keterangan :
D : koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskosita pelarut
T : suhu

b. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat
sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas
dan memperbesar kecepatan disolusi.

c. pH Pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam
atau basa lemah.
Untuk asam lemah :

9|Disolusi sediaan solida


𝑑𝑐 𝐾𝑎
= 𝐾. 𝐶. 𝐶𝑠 (1 + + )
𝑑𝑡 (𝐻 )

Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan
demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.
Untuk basa lemah :
𝑑𝑐 𝐻+
= 𝐾. 𝐶. 𝐶𝑠 (1 + )
𝑑𝑡 (𝐾𝑎)

Jika (H+) besar atau p

H kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan


disolusi juga meningkat (Astuti,2008).

d. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika
pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.

e. Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar
sehingga kecepatan disolusi meningkat.

f. Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur
internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga.
Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga
kecepatan disolusinya besar.

10 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
g. Sifat Permukaan Zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob.
Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat
dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan
disolusinya bertambah. Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor,
antara lain (Astuti, 2008):
a. Sifat fisika kimia obat.
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas
permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju
disolusi akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan
obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada
umumnya lebih mudah larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat
dapat membentuk suatu polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang
berbeda meskipun memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara
umum lebih keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf,
kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk
kristal.

b. Faktor alat dan kondisi lingkungan.


Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan
perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi
kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan
semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur,
viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat
mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.

c. Faktor formulasi.
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara

11 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung
dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti
magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium
disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan
obat, misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak
larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih
sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi.

2.4 Metode Penentuan Kecepatan Disolusi


a. Laju disolusi Intrinsik (Metode Permukaan Konstan)
Laju disolusi intrinsik merupakan laju dimana suatu padatan melarut di dalam
suatu pelarut dalam batasan kuantitatif. Bila suatu tablet sediaan obat lainnya
dimasukkan ke dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari
bentuk padatnya. Jika obat tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padatan juga
mengalami disintegrasi menjadi granul-granul dan granul yang lain emngalami
pemecahan menjadi partikel-partikel yang halus. Disintegrasi, deagregasi, dan
disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk
dimana oat tersebut diberikan (Voight, 1999)
Pengujian disolusi sangat bermanfaat karena merupakan faktor pembatas
dalam absorbsi obat. Pengujian disolusi digunakan untuk membuktikan kesesuaian
dengan spesifikasi kampendial dan dapat merupakan persyaratan dalam registrasi
obat. Disolusi digunakan pula selama pengembangan produk dan pengujian stabilitas
sebagai bagian dari spesifikasi produk.
Laju disolusi intrinsik atau Metode permukaan konstan menggunakan suatu
lempeng yang dikompresi dengan luas yang diketahui. Metode ini mengeliminasi luas
permukaan dan muatan listrik permukaan sebagai variabel disolusi. Laju disolusi
yang diperoleh dengan metoda ini dinamakan laju disolusi intrinsik, dan merupakan
karakteristik dari masing-masing senyawa padat dan suatu pelarut yang diketahui
pada kondisi eksperimen yang tetap. Harga tersebut umumnya dinyatakan sebagai

12 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
miligram yang dilarutkan per menit sentimeter persegi (mg/menit cm2). Dalam
disolusi partikel-partikel kecil sejumlah sampel serbuk yang ditimbang ditambahkan
ke medium disolusi dalam suatu sistem pengadukan yang konstan. Metode ini
digunakan untuk mengkaji pengaruh ukuran partikel, luas permukaan, bahan-bahan
penambah ke zat aktif (Jones D, 2008).
Apabila permukaan zat padat per satuan luas bersentuhan langsung dengan
medium maka kecepatan disolusi zat padat disebut sebagai kecepatan disolusi
intrinsic (Hansen, 1982). Keuntungan dari uji disolusi adalah penggunaan jumlah
sampel yang sedikit (Steele, 2001).
Dalam keadaan yang sangat terkontrol, temperature, intensitas pengadukan,
dan homogenitas cairan medium adalah konstan (Wagner, 1971). Dalam keadaan
demikian kecepatan disolusi zat padat sangat dipengaruhi luas kontak muka atau luas
permukaan efektif zat padat terhadap pelarutnya.
W / S = K.t
dimana, W = Jumlah zat padat terlarut dalam medium
t = waktu
S = Luas kontak zat padat dengan medium
K = Kecepatan disolusi intrinsik

b. Kecepatan Disolusi Partikulat (Metode Suspensi)


Metode suspense ini dilakukan dengan serbuk zat padat yang ditambahkan ke
dalam pelarut tanpa pengontrolan eksak terhadap luas permukaan partikelnya.
Sampel diambil pada waktu – waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan
dengan cara yang sesuai. Pada metode suspensi ini alat yang sering digunakan yaitu
bertipe dayung atau keranjang berdasarkan dari farmakope Indonesia (Martin, 1993).
1. Metode Keranjang (Basket)
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan olehtangkai
motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi
media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan

13 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
37o. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat
khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk
menyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi (Agoes,
2008).
2. Metode Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi
memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara
vertical ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet
atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi
untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu
bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada suhu
37o. posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat
peka terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung
yang tidak tepat secara drastic dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi
pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan
(Agoes, 2008)

2.5 Alat Uji Disolusi Tablet Menurut Farmakope Indonesia


a. Alat Uji Disolusi Tipe 1
Alat ini terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang digerakkan oleh
motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup sebagian di dalam sebuah
tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu
dalam wadah pada 37°C ± 0,5°C selama pengujian berlangsung dan menjaga agar
gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. Bagian dari alat, termasuk lingkungan
tempat alat diletakkan harus tidak dapat memberikan gerakan, goncangan atau
getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. wadah
disolusi sebaiknya berbentuk silinder dengan dasar setengah bola tinggi 160 mm
hingga 175 mm, diameter dalam 98 mm hingga 106 mm dan kapasitas nominal 1000

14 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
mL. Pada bagian atas wadah ujungnya melebar, untuk mencegah penguapan dapat
digunakan penutup yang pas. Batang logam berada pada posisi sedemikian sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada tiap titik dari sumbu vertikal wadah, berputar
dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Terdapat suatu alat pengatur
kecepatan sehingga memungkinkan kita untuk mengatur kecepatan putaran yang
dikehendaki dan mempertahankan kecepatan seperti yang tertera dalam masing-
masing monografi dalam batas lebih kurang 4%. Komponen batang logam dan
keranjang yang merupakan bagian dari pengaduk terbuat dari baja tahan karat tipe
316 atau yang sejenis sesuai dengan spesifikasi pada gambar kecuali dinyatakan lain
dalam masingmasing monografi, gunakan kasa 40 mesh. Dapat juga digunakan
keranjang berlapis emas setebal 0,0001 inci (2,5 μm). Sediaan dimasukkan ke dalam
keranjang yang kering pada tiap awal pengujian. Jarak antara dasar bagian dalam
wadah dan keranjang adalah 25 mm ± 2 mm selama pengujian berlangsung.
(Farmakope Indonesia Edisi IV, 1995)

Gambar 1. Alat Uji Disolusi Tipe 1

15 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
b. Alat Disolusi Tipe 2 (Tipe Dayung)
Alat disolusi tipe 2 (tipe dayung) terdiri dari sebuah wadah bertutup yang
terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor, berbentuk
dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada
posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari
sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goncangan yang berarti. Daun
melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Dayung memenuhi
spesifikasi pada gambar. Jarak 25mm ± 2mm antara daun dan bagian dalam dasar
wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang
merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai.
Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar.
Sepotong kecil bahan yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral
dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan. (Farmakope Indonesia
Edisi IV, 1995)

Gambar 2. Alat Uji Disolusi Tipe 2

16 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
1) Batang dan daun terbuat dari baja tahan karat berukuran 303 atau yang setara.
2) Bila alat berputar pada sumbu E, besarnya A dan B tidak boleh menyimpang
lebih dari 0,5 mm.
3) Kecuali dinyatakan lain, toleransi adalah ±1.0 mm.
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju disolusi adalah suhu. Dalam
persamaan Einstein, suhu akan mempengaruhi koefisien disolusi. Perubahan
koefisien disolusi tentu akan mengubah laju disolusi. Peningkatan suhu akan
memperbesar harga koefisien disolusi sehingga meningkatkan laju disolusi.
Kenaikan suhu akan mengakibatkan peningkatan energy kinetik zat, baik pelarut,
maupun zat terlarut. Untuk zat dalam panadatn, kenaikan suhu akan memperkecil
kekuatan ikatan intermolekul sehingga molekul padatan lebih mudah terbebaskan ke
dalam larutan. Energk kinetic zat pelarut yang semakin besar akan memperbesar
kemungkinan tumbukan dengan molekul zat padatan yang ada dipermukaan
padatan. Tumbukan ini dapat menimbulkan interaksi antara pelarut dan padatan,
yaitu adanya tarik-menarik. Gaya tarik-menarik ini bisa menyebabkan molekul
dalam padatan terbawa ke dalam larutan. Karena kemungkinan tumbukan semakin
tinggi akibat kenaikan suhu, penarikan molekul padatan menuju larutan akan
semakin tinggi intensitasnya.

2.6 Alat Uji Disolusi Tablet menurut USP


Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu
pecah menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut
menjadi lebih luas, dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan
tubuh. Namun, sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan
tablet untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan
jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan dengan
kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan uji
dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat

17 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering
ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet (Voigt, 1995).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat
dan tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat
berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari
berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet
melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila berada di saluran cerna, menjadi
minat utama dari para ahli farmasi (Voigt, 1995).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet
diperoleh dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa
penggunaan in vivo menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan
untuk merencanakan, melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang
diperlukan bagi pengkajian pada manusia.; ketepatan yang rendah serta besarnya
penyimpangan pengukuran; besarnya biaya yang diperlukan; pemakaian manusia
sebagai obyek bagi penelitian yang “nonesensial”; dan keharusan menganggap
adanya hubungan yang sempurna antara manusia yang sehat dan tidak sehat yang
digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in vitro dipakai dan
dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk mengukur
bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor formulasi
dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi bioavaibilitas.
Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi
dengan tes bioavaibilitas in vitro.
Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji disolusi in vitro yaitu untuk
menunjukkan :
a. Pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
b. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju
penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara
klinis (Shargel, 1988).

18 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
Uji disolusi dapat dilakukan dengan menggunakan dua tipe alat, yaitu (Depkes
RI, 1995):

Tabel Disolusi Apparatus

1. Alat 1 (Metode Basket)


Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan
transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak. Wadah
tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat mempertahankan suhu dalam
wadah 37° ± 0,5° C selama pengujian berlangsung. Bagian dari alat termasuk
lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan,
atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat
pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola,
tinggi 160-175 mm, diameter dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml.
Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm,

19 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur
mempertahankan kecepatan alat.

Alat 1 (Metode Basket)

2. Alat 2 (Metode Dayung)


Sama seperti alat 1, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas
daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak
lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Jarak
antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian
berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat
disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke
dasar wadah sebelum dayung mulai berputar.

Alat 2 (Metode Dayung)

20 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
Keuntungan dan kerugian dari alat tipe 1 dan tipe 2 yaitu:
a. Keuntungan
 Alat yang diterima secara luas untuk pengujian pembubaran
 Alat pilihan pertama untuk bentuk sediaan oral padat
 Mudah dioperasikan
 Standar
 Kuat
 Pengalaman yang luas
b. Kekurangan
 Memperbaiki (terbatas) volume
 Simulasi kondisi transit gastrointestinal tidak mudah dilakukan
[United States Pharmacopeia 30th: Appendix <711> Dissolution, <724>
DrugRelease]

3. Alat 3 Reciprocating Cylinder


Alat terdiri dari satu rangkaian labu kaca beralas rata berbentuk silinder;
rangkaian silinder kaca yang bergerak bolak-balik; penahan dari baja tahan karat;
(tipe 316 atau yang setara) dan kasa polipropilen yang dirancang untuk
menyambungkan bagian atas dan alas silinder yang bergerak bolak-balik; dan sebuah
motor serta sebuah kemudi untuk menggerakkan silinder bolak-balik secara vertikal
dalam labu dan jika diinginkan, silinder dapat diarahkan secara horizontal pada
deretan labu kaca yang lain. Labu – labu tercelup sebagian dalam tangas air dengan
ukuran sesuai yang da[at mempertahankan suhu 37o ± 0,5o selama pengujian. Tidak
ada bagian alat, termasuk tempat di mana alat diletakkan, memberikan gerakan,
goyangan atau getaran yang berarti.

21 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
Alat 3 Reciprocating Cylinder
a. Keuntungan
 Dapat diprogram untuk menjalankan pembubaran di berbagai media dan pada
kecepatan yang berbeda pada waktu yang berbeda
 Berusaha untuk mensimulasikan perubahan pH di saluran GI misalnya pH 1,
pH 4,5, pH 6,8
b. Kekurangan
 Tidak cocok untuk bentuk sediaan yang hancur menjadi partikel kecil
 Surfaktan menyebabkan berbusa
 Volume pembuluh kecil
 Evaporasi media untuk tes durasi panjang

4. Alat 4 Flow Through Cell


Alat terdiri dari sebuah wadah dan sebuah pompa untuk media disolusi;
sebuah sel yang dapat dialiri, sebuah tangas air yang dapat mempertahankan suhu
media disolusi pada 37o ± 0,5o. Pompa mendorong media disolusi ke atas melalui
sel. Pompa memiliki kapasitas aliran antara 240 ml per jam dan 960 ml per jam,
dengan laju aliran baku 4 ml, 8 ml, dan 16 ml per menit. Pompa harus secara
volumetrik memberikan aliran konstan tanpa dipengaruhi tekanan aliran dalam alat
penyaring. Sel terbuat dari bahan yang inert dan transparant, dipasang vertikal dengan
suatu sistem penyaring yang mencegah lepasnya partikel tidak larut dari bagian atas
sel; diameter sel baku adalah 12 mm dan 22,6 mm; bagian bawah yang runcing

22 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
umumnya diisi dengan butiran kaca kecil dengan diameter lebih kurang 1 mm dan
sebuah butiran dengan ukuran lebih kurang 5 mm diletakkan pada bagian ujung untuk
mencegah cairan masuk ke dalam tabung.

Alat 4 Flow Through Cell


a. Kekurangan:
 Pengalaman terbatas dengan penggunaan peralatan -tidak ada monograf USP
 Ketepatan pompa memengaruhi hasilnya
b. Keuntungan:
 Volume media tidak terbatas
 Cocok untuk obat yang sulit larut
 Kondisi hidrodinamik yang lembut

5. Alat 5 Paddle Over Disk


Gunakan labu dan dayung dari Alat 2, dengan penambahan suatu cakram baja
tahan karat dirancang untuk menahan sediaan transdermal pada dasar labu. Suhu
dipertahankan pada 32o ± 0,5o. Jarak 25 mm ± 2 mm antara bilah dayung dan
permukaan cakram dipertahankan selama penetapan berlangsung. Labu dapat ditutup
selama penetapan untuk mengurangi penguapan. Cakram untuk menahan sediaan
transdermal dirancang agar volume tak terukur antara dasar labu dan cakram

23 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
minimal. Cakram diletakkan sedemikian rupa sehingga permukaan pelepasan sejajar
dengan bilah dayung.

Alat 5 Paddle Over Disk

6. Alat 6 Cylinder
Gunakan labu dari Alat 1, kecuali keranjang dan tangkai pemutar diganti
dengan elemen pemutar silinder yang terbuat dari baja tahan karat, dan suhu
dipertahankan pada 32o ± 0,5o selama penetapan berlangsung. Sediaan uji
ditempatkan pada silinder pada permulaan tiap penetapan. Jarak antara bagian dasar
labu dan silinder dipertahankan 25 mm ± 2 mm selama penetapan.

Alat 6 Cylinder

24 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
7. Alat 7 Reciprocating Holder
Terdiri dari suatu rangkaian wadah volumetrik untuk larutan yang sudah
dikalibrasi atau ditara, terbuat dari kaca atau bahan inert yang sesuai, sebuah
rangkaian motor dan pendorong untuk menggerakkan sistem turun naik secara
vertikal dan mengarahkan sistem secara horizontal secara otomatis ke deret labu yang
berbeda jika diinginkan, dan satu rangkaian penyangga cuplikan berbentuk cakram.
Wadah larutan sebagian terendam dalam sebuah tangas air yang sesuai dengan ukuran
yang memungkinkan untuk mempertahankan suhu bagian dalam wadah larutan 32o ±
0,5o selama pengujian berlangsung. Tidak ada bagian alat termasuk tempat
diletakkannya alat, yang memberikan gerakan, goncangan, atau getaran yang berarti.

Alat 7 Reciprocating Holder


8. Alat 8 dan alat 9
Alat 8 biasanya digunakan untuk obat yang pelepasannya diperpanjang
sedangakan alat 9 biasanya digunakan untuk sediaan yang berupa salep, krim dan
sediaan transdermal.

Alat 8 dan alat 9

25 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
2.7 Monografi Sediaan Tablet
Berdasarkan Monografi Terlampir 139 monografi sediaan tablet konvensional
dan 5 monografi diantaranya merupakan sediaan tablet modifikasi,yakni:
a. Efervescen asam asetilsalisilat;
b. Salut enterik bisakodil;
c. Lepas tunda asam asetilsalisilat;
d. Vaginal nistatin;
e. Vaginal klortimazol

Monografi Na Diklofenak (FI IV halaman 1405, USP halaman 32


Pemberian : Serbuk hablur putih hingga hampir putih, higroskopik
Nama lain : Natrii-diklofenak. Diclofenac sodium
Rumus Molekul : C14H10CI2NNaO2
Berat Molekul : 318,13
Nama Kimia : Asam benzenasetat, 2-{(2,6-diklorofenil)amino}monosodium
Kelarutan : Sedikit larut dalam air, larut dalam alcohol, praktis tidak larut
dalam kloroform dan eter; bebas larut dalam alcohol metil. pH
larutan 1% dalam air adalah 7,0 dan 8. (Martindale 36, 2009)
Pka : 4,2
Titik leleh : 284◦C
Wadah dan penyimpanan : Dalam wadah kedap dan tertutup rapat
Stabilitas : Gel 1% Na diklofenak harus disimpan pada suhu 25◦C dan
terlindung dari panas. Stabil tanpa adanya O2 dan dalam buffer
pH 7,6
Sifat Khusus : Sedikit higroskopis
Prosedur Pembuatan Tablet Inti :
Tablet inti dibuat sebanyak 1000 tablet dengan metode kempa langsung
dengan format formula tablet ini sebagai berikut:

26 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
Formula Jumlah (Gram)
Natrium Diklofenak 50
Laktosa 50
Avicell pH 102 148
Aerosil 200 5
Magnesium Stearat 1
Bahan-bahan yang telah diayak, ditimbang sesuai beratnya masing-masing.
Semua bahan dicampr hingga homogeny. Sediaan kemudian dimasukkan kedalam
alat homogenizer selama 15 menit hingga sediaan homogeny. Pemeriksaan massa
cetak tablet diuji kelembapan, kecepatan alir, sedut baring, serta kompresibilitas
serbuk. Massa kemudiaan dicetak menjadi tablet, diusahakan agar didapat tablet
dengan kekerasan lebih besar 70 N, friabilitas kecil dan waktu hancur kurang dari 15
menit.
Monografi Diclofenac Sodium Delayed-Realease Tablets
Tablet lepas tertunda Natrium diklofenak mengandung tidak kurang dari 90%
dan tidak lebuh dari 110% dari jumlah yang tertera di label.
Disolusi, Metode B
- Media Disolusi : HCl 0,1 N ; 900 mL
- Apparatus 2 (dayung yang dilapisi polytef): 50 rpm
- Prosedur : setelah 2 jam pengadukan, tablet dimasukkan kedalam tahap
Buffer. Tablet dimasukkan kedalam HCl 0,1 N pada setiap bejana,
ditambahkan 20 mL HCl 0,5 N dan diaduk selama 5 menit. tentukan jumlah
Natrium Diklofenak yang terlarut pada gelombang UV dengan absorbansi
maksimumnua 276 nm dan dibandingkan dengan standar. Masukkan 68 mg
standar Natrium diklofenak kedalam labu ukur 100 mL dan ditambahkan 10
mL HCl 0,1 N setelah itu ad aquadest. 3 mL aliquot diencerkan di labu ukur
100 mL dan di tambahkan HCl 0,1 N dan NaOH 5 N (900:20) dan

27 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
dicampurkan. Larutan standar ini mengandung 13,6 μg Natrium Diklofenak
Standar USP per mL
Tahap Buffer
Pembuatan Buffer fosfat pH 6,8 – larutkan 76 g Tribasat natrium fosfat dalam
1000 mL air. campurkan 250 mL larutan dengan 750 mL HCl 0,1 N, bila perlu di
adjust dengan HCl 2 N atau NaOH 2 N sampai pH nya mencapai 6,8.
Media : Buffer fosfat 6,8 ; 900 mL
Apparatus 2 : 50 rpm
- Prosedur – setelah 45 menit, tentukan jumlah dari C14H10Cl2NnaO2 yang
terlarut pada serapan UV dengan panjang gelombang maksimum 276 nm
dengan kondisi larutan yang telah disaring, dan dibandingkan dengan larutan
standar yang dibuat sebagai berikut. 68 mg Natrium Diklofenak standar USP
diencerkan dalam labu ukur 100 mL dengan air dan ditambahkan 10 mL
NaOH 0,1 N dan dicampurkan. Encerkan 3 mL aliquot dari larutan tersebut
kedalam labu ukur 100 mL yang kedua dan diencerkan dengan medium.
Toleransi – tidak kurang dari 75% (Q) C14H10Cl2NNaO2 yang terlarut dari yang
tertera di label

2.8 Monografi Sediaan Supositoria ibu profen


Panjang gelombang absorbansi maksimum Ibuprofwen diukur pada rentang
200-400 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV dan dibuat kurva baku dari
beberapa konsentrasi larutan ibuprofen tersebut. pelarut yang digunakan untuk
membuat larutan baku adalah dapar fosfat 7,4 ± 0,1. Panjang gelombang maksimum
Ibuprofen adalah 221,60 nm.
Disolusi

- Media Disolusi : Dapar fosfat pH 7,4 ± 0,1 ; 250 mL

- Apparatus 1 (Keranjang) ; 50 rpm

28 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
- Prosedur : Sampel diambil pada menit ke-5, 10, 15, 30, 45, 60, 90 dan 120.

Setiap pengambilan sampel sejumlah 5 mL diukur absorbansnya dengan

panjang gelombangg 221,60 nm dengan larutan dapat yang volumenya sama.

kadar obat yang terlepas dari suppositoria ke dalam medium dihitung

berdasarkan kurva baku yang telah dibuat, sedangkan profil disolusi obat

dinyatakan dalam persen terdisolusi dan nilai efisiensi disolusi DE120.

2.9 Tabel Penerimaan


a. Table penerimaan S (farmakope IV,1995)

b. Table penerimaan L

29 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
c. Table penerimaan A

30 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
BAB III
DATA PENGAMATAN
3.1 Uji disolusi tablet inti

Tabel 1 uji disolusi tablet inti Gambar 1 profil pelepasan tablet inti

3.2 Uji disolusi tablet salut dengan weight gain 5%

Tabel 2 uji disolusi tablet weight gain 5% Gambar 2 profil pelepasan tablet weight
gain 5%

3.3 Uji disolusi tablet salut dengan weight gain 6%

Tabel 3 uji disolusi tablet weight gain 6% Gambar 3 profil pelepasan tablet
weight gain 6%

31 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
3.4 Data pengamatan supositoria.
Presentase Ibuprofen yang terdisolusi selama 120 menit terdapat pada gambar

dibawah ini. Sedangkan nilai efisiensi disolusi pada menit ke-120 terdapat pada tabel

berikut. Analisis statistik one way Anova menunjukkan bahwa persen terdisolusi

Ibuprofen selama 120 menit dan nilai DE120 untuk ketiga formula memiliki perbedaan

yang bermakna (p=0,001).

Formula Rata-rata DE120±SD (%)

FA 9,902 ± 0,439

FB 13,850 ± 0,571

FC 17,596 ± 1,799

32 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Uji disolusi tablet inti dan tablet salut dengan weight gain 5% & 6%

Uji disolusi dilakukan terhadap tablet inti, Berdasarkan hasil uji disolusi tablet
inti terlihat bahwa kadar maksimum tablet inti natrium diklofenak yang terlarut
adalah 100,138% dicapai dalam waktu 45 dengan kecepatan putar pengadukan 50
rpm.
Hasil uji disolusi tablet salut dengan weight gain 5% menunjukan hasil
pengujian disolusi bahwa kadar maksimum natrium diklofenak adalah sebesar
100,050 % dan dicapai dalam waktu 45 menit. Sedangakn uji disolusi tablet salut
dengan weight gain 6% menunjukan hasil pengujian disolusi bahwa kadar maksimum
natrium diklofenak adalah sebesar 99,664 % dan dicapai dalam waktu 45 menit. .
4.2 Table Penerimaan (S)
Tahap S1, dimana tablet dimasukkan satu persatu kedalam alat disolusi, tablet
memenuhi syarat apabila tiap unit tablet tidak kurang dari Q (jumlah zat aktif yang
terlarut seperti yang tertera dalam masing-masing monografi) + 5 %. Apabila tahap
S1 tidak memenuhi syarat maka pengujuan dilanjutkan pada tahap S2 dimana pada
tahap ini jumlah tablet ditambah 6 tablet sehingga jumlah tablet yang diuji menjadi
12 tablet (S1+S2), tablet memenuhi syarat apabila rata-rata dari 12 tablet adalah sama
dengan atau lebih besar dari harga Q dan tidak ada satu uni tablet yang lebih kecil
dari Q-15 %. Apabila tahap S2 masih tidak memenuhi syarat maka pengujian
dilanjutkan pada tahap S3 dimana jumlah tablet ditambah 12 tablet sehingga jumlah
tablet yang diuji 24 tablet (S1+S2+S3), tablet memenuhi syarat rata-rata dari 24 unit
tablet sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit tablet lebih kecil
dari Q-15% dan tidak satu unitpun yang lebih kecil dari Q-25%.

33 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
4.3 supositoria
Uji disolusi dilakukan untuk mengetahui kadar Ibuprofen yang terdisolusi dari

sediaan suppositoria secara kuantitatif per satuan waktu. Hasil yang diperoleh

menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah obat yang terdisolusi pada formula

suppositoria dengan sistem dispersi padat Ibuprofen. Analisis statistik terhadap nilai

persen terdisolusi dilakukan dengan uji normalitas menggunakan metode Shapiro-

Wilk dan didapatkan nilai α sebesar 0,661 (α > 0,05) yang menunjukkan data

terdistribusi normal.

Selanjutnya, dilakukan uji homogenitas varians dengan metode Levene’s

test didapatkan nilai α sebesar 0,544 (α > 0,05) yang menunjukkan variasi data

antar kelompok sama. Oleh karena data terdistribusi normal dan variasi data

antar kelompok sama, maka dilakukan uji statistik dengan metode one way

Anova. Dari uji statistik one way Anova, diperoleh α sebesar 0,001 (α ≤ 0,05) yang

menunjukkan bahwa ketiga formula memilki perbedaan yang bermakna.

Peningkatan jumlah obat terdisolusi yang paling tinggi adalah pada

formula FC yang berbeda bermakna dengan FB (p = 0,001). Hal ini disebabkan

karena penurunan derajat kristalinitas ibuprofen yang paling tinggi adalah pada FC

sehingga ibuprofen dapat larut lebih baik dalam media disolusi dibandingkan FA dan

FB. Berdasarkan persentase jumlah ibuprofen yang terdisolusi pada Gambar 3

dihitung nilai efisiensi disolusi pada menit ke 120 (DE120).

Nilai DE120 yang diperoleh dari ketiga formula terdapat dalam Tabel

diatas dan menunjukkan bahwa efisiensi disolusi ibuprofen paling besar adalah

34 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
pada formula suppositoria FC. Uji statistik dilakukan dengan menguji normalitas

menggunakan metode Shapiro-Wilk dan didapatkan nilai α sebesar 0,621 (α > 0,05)

yang menunjukkan data terdistribusi normal. Selanjutnya, dilakukan uji

homogenitas varians dengan metode Levene’s test didapatkan nilai α sebesar

0,733 (α > 0,05) yang menunjukkan variasi data antar kelompok sama. Oleh

karena data terdistribusi normal dan variasi data antar kelompok sama, maka

dilakukan uji statistik dengan metode one way Anova yang diperoleh nilai α

sebesar 0,001 (α ≤ 0,05) yang menunjukkan bahwa ketiga formula memilki

perbedaan yang bermakna.

Dari hasil tersebut, diketahui bahwa pembuatan dispersi padat ibuprofen

dengan polimer xylitol 1:1 dan 1:2 dapat meningkatkan DE120. Kondisi

penyimpanan dispersi padat dapat mempengaruhi stabilitas fisiknya. Berdasarkan

penelitian sebelumnya, penyimpanan dispersi padat pada suhu ruang yaitu ±25 ºC

dalam jangka waktu lebih dari 2 bulan sampai dengan 5 bulan dapat

menyebabkan terjadinya proses penuaan fisik yang menyebabkan penurunan

jumlah obat yang terdisolusi tiap satuan waktu.

Pada proses penuaan fisik, partikel dispersi padat memiliki energi bebas

permukaan yang tinggi sehingga partikel cenderung tidak stabil dan bergabung

membentuk partikel yang lebih besar untuk menurunkan energi bebas permukaan.

Terbentuknya partikel yang lebih besar menyebabkan ukuran partikel serbuk

dispersi padat menjadi lebih besar dan luas permukaan partikel yang kontak

35 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
dengan media disolusi menurun. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya

penurunan kemampuan disolusi obat.

KESIMPULAN
Tujuan uji disolusi pada sediaan supositoria dan tablet, baik itu tablet
konvesional dan tablet khusus dimaksudkan untuk mengetahui seberapa banyak
presentasi zat aktif dalam obat yang terabsorpsi dan masuk kedalam peredaran darah
untuk memberikan efek terapi. Sedangkan penggunaan alat uji disolusi tergantung
masing- masing monografi zat aktif.

36 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, G. 2008. Pengembangan Sediaan Farmasi, Edisi Revisi dan Pelunasan. ITB :
Bandung
Astuti, Widyani Ketut, dkk, 2008, Buku Ajar Farmasi Fisika, Jurusan Farmasi,
FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran.
Depkes RI, 1995, Farmakope Indonesia Edisi IV, Dirjen POM : Jakarta.
Disintegration / dissolution profiles of copies of Fosamax (alendronate),
Current Medical Research and Opinion19: 783.
Eipstein S, Cryer B, Ragi S, Zanchetta JR, Walliser J, Chow J, et al, 2003,
Gibaldi M, 1984, Biopharmaceutics and clinical pharmacokinetics, 3 rd edition, Lea
and Febiger, Philadelphia.
Hansen, W. A. 1982. Handbook Of Dissolution Testing. Pharmaceutical Technology
Publication. Springfield, O. R
Indrawati, Teti, 2011, Sistem Penghantaran Obat Baru Peroral dengan Pelepasan
Terkontrol, Vol. 2 No. 1 ISSN 2086-7816.
Isnawati A, Alegantina S, Arifin KM, 2003, Profil disolusi dan penetapan kadar tablet
kotrimoksazol generik berlogo dan tablet dengan nama dagang. Media
Litbang Kesehatan; XIII (2): 21.
Jones D. 2008. FASTtrack Pharmaceutics Dosage Formand Design. Pharmaceutical
Press : London
Martin A, Swarbick J, Cammarata A, 1993, Farmasi fisik; Dasar-dasar Farmasi
Fisik dalam Ilmu Farmasetik Edisi Ketiga, UI Press, Jakarta.
Noerono Soendani. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Shargel L, BC Andrew, 1988, Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi
Kedua, Airlangga University Press Surabaya.
Steele, G. 2001. Preformulation Predictions From Small amounts of Compound as an
Aid to Candidate Drug Selection in Pharmaceutical Preformulation and

37 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a
Formulation : A Practical Guide from Candidate Drug Selection to
Commercial Dosage From. Interpharm CRC Boca Raton, FL.
Stoklosa MJ, Ansel HC, 1991, Pharmaceutical Calculations 9th Edition, Lea and
Febiger, London.
The United State Pharmacopeial Convention. (2006). The United States
Puspayani, N., Permatasari, D., Danimayotsu, A. (2017). Pengaruh Jumlah Polimer
Xylitol Dalam Sistem Dispersi Padat Terhadap Suppositoria Ibuprofen.
Majalah Kesehatan FKUB, 128-138.
Voight. 1999. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. UGM Press. Yogyakarta
Wagner, J.G. 1971. Biopharmaceutical and Relevant Pharmacokinetics, !stEd. Drug
Intelegence Publication Hamilton Illions.

38 | D i s o l u s i s e d i a a n s o l i d a

Anda mungkin juga menyukai