Anda di halaman 1dari 29

SEDIAAN MUKOADHESIF

Disusun oleh :

Alma Ramadani Vendianti 18334003

Diana Pratiwi 18334004

Rini Aryati 18334005

Muhamad Yuda Pratomo 18334025

Arda Setia Negara 18334028

Silvy Fauziah 18334030

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Sediaan Mukoadhesif” ini dengan
baik. Sekiranya makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca dalam proses belajar maupun mengajar.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki isi makalah ini agar kedepannya dapat lebih
baik lagi.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman dan pengetahuan
yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan seperti kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, November 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN….. …………………………………………………………………3


1.1. Latar Belakang .................................................................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................... 4
1.3. Tujuan ................................................................................................................................. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 6


2.1. Biofarmasetika ................................................................................................................ 6
2.2. Anatomi Dan Fisiologi Lambung.................................................................................... 8
2.3. Membran Mukosa Mulut............................................................................................... 11
2.4. Struktur Dan Kandungan Mukosa ................................................................................. 12
2.5. Mukoadhesif .................................................................................................................. 13
2.6. Mekanisme Mukoadhesif .............................................................................................. 16
2.7. Gastroretentive Mucoadhesive .................................................................................... 16
2.8. Sistem Penghantaran Obat secara Bukal ....................................................................... 17
2.9. Sistem Penghantar Obat Mukoadhesif .......................................................................... 18
2.10. Faktor Yang Mempengaruhi Sistem Penghantaran Mukoadhesif ......................... 20
2.10.1. Polimer Mukoadhesif ............................................................................................ 20
2.10.2. Faktor Lingkungan ................................................................................................ 21
2.10.3. Faktor Fisiologis .................................................................................................... 21
2.11. Keuntungan Dan Kerugian Sediaan Obat Mukoadhesif........................................ 22
2.12. Jenis Sediaan Obat Mukoadhesif ........................................................................... 22
2.13. Studi Disolusi In Vitro ........................................................................................... 24
2.14. Studi In Vivo ......................................................................................................... 24
2.15. Evaluasi Bioavailability......................................................................................... 24

BAB III REVIEW JURNAL ................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 28

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diberbagai bidang,
khususnya farmasi telah menghasilkan perubahan yang signifikan dalam teknologi
sediaan farmasi, khususnya obat-obatan. Berbagai bentuk dan sistem penghantaran obat
telah banyak dikembangkan untuk menggantikan bentuk dan sistem penghantaran obat
yang konvensional. Sistem penghantaran obat dikatakan ideal jika dapat diberikan dengan
satu kali pemberian untuk seluruh periode pengobatan, menghasilkan kadar obat dalam
darah yang relatif konstan selama periode waktu tertentu untuk mendapatkan efek obat
yang optimal dan menghantarkan obat langsung ke sasaran. Sistem penghantaran obat
dengan pelepasan yang dimodifikasi (modified release drug delivery system) merupakan
sistem penghantaran obat yang mendekati ideal. Namun, obat yang diberikan secara oral,
memiliki keterbatasan dalam hal lamanya obat (residence time) berada dalam saluran
pencernaan, khususnya pada daerahdaerah terjadinya absorbsi. Sistem penghantaran obat
mukoadhesif yang menghasilkan bentuk sediaan berinteraksi lebih lama dengan mukosa
yang terdapat dalam lambung dan usus, merupakan salah satu upaya yang dapat
digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu tinggal obat dalam lambung. Dengan
sistem ini, obat akan ditahan untuk waktu yang lebih lama dalam saluran pencernaan,
sehingga diharapkan proses absorpsinya menjadi lebih optimal. Selain itu dengan adanya
lokalisasi obat pada suatu daerah absorbsi, akan menyebabkan proses absorbsi obat
menjadi lebih efektif. Selain waktu tinggal obat dalam saluran pencernaan, sifat kelarutan
dan permeabilitas obat juga merupakan factor yang mempengaruhi proses absorbsi.
Dalam sistem klasifikasi biofarmasetika (BCS), obat dikelompokkan menjadi empat
kelompok yaitu obat yang memiliki kelarutan dan permeabilitas yang tinggi, obat yang
memiliki kelarutan rendah tetapi permeabilitas nya tinggi, obat yang memiliki kelarutan
yang tinggi tetapi permeabilitasnya rendah dan obat yang memiliki kelarutan dan
permeabilitas yang rendah. Obat yang memiliki kelarutan yang rendah tetapi
permeabilitasnya tinggi, proses absorbsinya ditentukan oleh tahap disolusi (rate limiting
step). Untuk meningkatkan proses absorbsinya, kecepatan disolusi obat perlu
ditingkatkan.
Perkembangan sistem penghantaran obat pada dekade belakangan ini telah sampai
pada penggunaan teknologi mukoadhesif. Beberapa keunggulan mukoadhesif ketika

3
diaplikasikan kepada sistem penghantaran obat antara lain, dapat meningkatkan
kepatuhan pasien mengkonsumsi obat karena bentuk sediannya dapat diterima dengan
baik oleh pasien, meningkatkan efikasi obat, mengurangi efek samping, jarak pemberian
dosis lebih panjang, maka kebutuhan tidur penderita tidak terganggu dan tentu saja
berimbas pada pencapian kualitas hidup pasien yang lebih baik.
Mukoadhesif adalah sistem penghantaran obat yang memanfaatkan sifat-sifat
musin dalam mukosa saluran cerna. Sistem penghantaran ini digunakan untuk
memformulasikan sediaan lepas terkendali dengan tujuan memperpanjang waktu
tinggal obat tersebut di saluran cerna dan mengatur kecepatan serta jumlah obat
yang dilepas.
Secara umum mukoadhesif merupakan bentuk sediaan bioadhesif yang
membentuk ikatan dengan membran mukosa sehingga bertahan pada membran
tersebut dalam satu periode waktu yang diperlama. Dalam formulasi digunakan
satu atau lebih hidrokoloid pembentuk gel dalam kadar tinggi (20-75% b/b)
seperti hidroksipropil metil selulosa yang mempunyai kekuatan mukoadhesif
sebesar 125, dan carbopol sebesar 185. Kombinasi keduanya diharapkan akan
memberikan kekuatan mukoadhesif sangat baik.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Biofarmasetika?
2. Apa saja organ yang bekerja pada sistem penghantaran obat mukoadhesif?
3. Apa yang dimaksud dengan mukoadhesif?
4. Bagaimana mekanisme pada mukoadhesif?
5. Bagaimana sistem penghantaran obat secara mukoadhesif?
6. Faktor-faktor apa saja dapat mempengaruhi sistem penghantaran mukoadhesif?
7. Apa saja keuntungan dan kerugian pada sediaan mukoadhesif?
8. Apa saja jenis-jenis sediaan obat mukoadhesif?
9. Bagaimana evaluasi in vivo dan in vitro pada sediaan mukoadhesif?
10. Bagaimana evaluasi bioavibility pada sediaan mokadhesif?

4
1.3. Tujuan
1. Untuk memahami apa itu biofarmasetika.
2. Untuk mengetahui organ yang bekerja pada sistem penghantaran obat
mukoadhesif.
3. Untuk memahami apa itu mokoadhesif
4. Untuk memahami mekanisme pada mukoadhesif.
5. Untuk memahami sistem penghantaran obat secara mukoadhesif.
6. Untuk memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sistem penghantaran
mukoadhesif.
7. Untuk memahami keuntungan dan kerugian pada sediaan mukoadhesif.
8. Untuk memahami jenis-jenis sediaan obat mukoadhesif.
9. Untuk memahami evaluasi in vivo dan in vitro pada sediaan mukoadhesif.
10. Untuk memahami evaluasi bioavibility pada sediaan mukoadhesif.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Biofarmasetika
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diberbagai bidang,
khususnya farmasi telah menghasilkan perubahan yang signifikan dalam teknologi
sediaan farmasi, khususnya obat-obatan. Berbagai bentuk dan sistem penghantaran obat
telah banyak dikembangkan untuk menggantikan bentuk dan sistem penghantaran obat
yang konvensional (Sutriyo, 2008).
Sistem penghantaran obat dikatakan ideal jika dapat diberikan dengan satu
kali pemberian untuk seluruh periode pengobatan, menghasilkan kadar obat dalam darah
yang relatif konstan selama periode waktu tertentu untuk mendapatkan efek obat yang
optimal dan menghantarkan obat langsung ke sasaran. Sistem penghantaran obat dengan
pelepasan yang dimodifikasi (modified release drug delivery system) merupakan sistem
penghantaran obat yang mendekati ideal. Namun, obat yang diberikan secara oral,
memiliki keterbatasan dalam hal lamanya obat (residence time) berada dalam saluran
pencernaan, khususnya pada daerahdaerah terjadinya absorbsi. Sistem penghantaran obat
mukoadhesif yang menghasilkan bentuk sediaan berinteraksi lebih lama dengan mukosa
yang terdapat dalam lambung dan usus, merupakan salah satu upaya yang dapat
digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu tinggal obat dalam lambung. Dengan
sistem ini, obat akan ditahan untuk waktu yang lebih lama dalam saluran pencernaan,
sehingga diharapkan proses absorpsinya menjadi lebih optimal. Selain itu dengan adanya
lokalisasi obat pada suatu daerah absorbsi, akan menyebabkan proses absorbsi obat
menjadi lebih efektif. Selain waktu tinggal obat dalam saluran pencernaan, sifat kelarutan
dan permeabilitas obat juga merupakan factor yang mempengaruhi proses absorbsi
(Sutriyo, 2008).
Dalam sistem klasifikasi biofarmasetika (BCS), obat dikelompokkan menjadi empat
kelompok yaitu obat yang memiliki kelarutan dan permeabilitas yang tinggi, obat yang
memiliki kelarutan rendah tetapi permeabilitasnya tinggi, obat yang memiliki kelarutan
yang tinggi tetapi permeabilitasnya rendah dan obat yang memiliki kelarutan dan
permeabilitas yang rendah. Obat yang memiliki kelarutan yang rendah tetapi

6
permeabilitasnya tinggi, proses absorbsinya ditentukan oleh tahap disolusi/rate limiting
step (Sutriyo, 2008).
Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut
(terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam
banyak kasus kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam
cairan pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi.
Hal Ini berlaku untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet,
kapsul atau suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular
dalam bentuk granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting
step, maka kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan
disolusi dapat mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol
keseluruhan bioavailabilitas obat dari suatu sediaan.
Sistem klasifikasi biofarmasetik (biopharmaceutical Classification System, BCS)
mengelompokkan obat dalam kelompok yang didasarkan pada: kelarutan, permeabilitas
dan kecepatan disolusi in vitro. Klasifikasi sistem ini dapat digunakan untuk
menjustifikasi persyaratan-persyaratan penelitian in vitro (sediaan) obat yang melarut
secara cepat, mengandung bahan aktif yang sangat larut dan sangat permeable.
Sistem klasifikasi biofarmasetik diperkenalkan melalui sebuah metode
untuk mengidentifikasi situasi yang mungkin mengikuti uji disolusi in vitro yang
digunakan untuk memastikan bioekivalensi dalam ketidakhadiran studi bioekivalensi
klinik secara nyata. Pada dasarnya pendekatan secara teori menyatakan, kelarutan dan
permeabilitas intestinal diidentifikasi sebagai karakteristik pengobatan utama yang
mengontrol absorpsi. Dalam klasifikasi biofarmasetik tersebut telah membagi beberapa
senyawa menjadi empat kelas berdasarkan permeabilitas dan kelarutan. Sistem
klasifikasi ini berguna dalam memprediksi efek transporter penghabisan dan serapan pada
penyerapan lisan maupun di tingkat postabsorption sistemik setelah pemberian dosis oral
dan intravena.

7
2.2. Anatomi Dan Fisiologi Lambung

Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat
dibawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung berbentuk tabung J, dan
bila penuh berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung 1
sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus dan antrum
pilorus. Sebelah atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri
bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter kedua ujung lambung
mengatur pengeluaran dan pemasukan.
Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan yang
masuk kedalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus
kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan
nama daerah kardia. Disaat sfingter pilorikum berelaksasi makanan masuk

8
kedalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah
terjadinya aliran balik usus halus kedalam lambung.

Lambung terdiri dari empat lapisan yaitu :

1. lapisan peritoneal luar yang merupakan lapisan serosa.


2. Lapisan berotot yang terdiri atas 3 lapisan :
a. Serabut longitudinal, yang tidak dalam dan bersambung dengan otot
esophagus.
b. Serabut sirkuler yang paling tebal dan terletak di pylorus serta membentuk
otot sfingter, yang berada dibawah lapisan pertama.
c. Serabut oblik yang terutama dijumpai pada fundus lambung dan berjalan
dari orivisium kardiak, kemudian membelok kebawah melalui kurva tura
minor (lengkung kelenjar).
3. Lapisan submukosa yang terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh darah
dan saluranlimfe.
4. Lapisan mukosa yang terletak disebelah dalam, tebal, dan terdiri atas banyak
kerutan/ rugae, yang menghilang bila organ itu mengembang karena berisi
makanan.

Ada beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan


menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar
kardia berada dekat orifisium kardia. Kelenjar ini mensekresikan
mukus. Kelenjar fundus atau gastric terletak di fundus dan pada
hampir selurus korpus lambung. Kelenjar gastrik memiliki tipe-tipe
utama sel. Sel- sel zimognik atau chief cells mensekresikan
pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana
asam. Sel-sel parietal mensekresikan asam hidroklorida dan faktor
intrinsik. Faktor intrinsik diperlukan untuk absorpsi vitamin B 12 di
dalam usus halus. Kekurangan faktor intrinsik akan
mengakibatkan anemia pernisiosa. Sel-sel mukus (leher)
ditemukan dileher fundus atau kelenjar-kelenjar gastrik. Sel-sel ini
mensekresikan mukus. Hormon gastrin diproduksi oleh sel G yang
terletak pada pylorus lambung. Gastrin merangsang kelenjar
gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan

9
pepsinogen. Substansi lain yang disekresikan oleh lambung adalah
enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion-ion natrium, kalium, dan
klorida. Persarafan lambung sepenuhnya otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan
dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus
mempercabangkan ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka.
Pengetahuan tentang anatomi ini sangat penting, karena
vagotomi selektif merupakan tindakan pembedahan primer yang
penting dalam mengobati tukak duodenum. Persarafan simpatis
adalah melalui saraf splenikus major dan ganlia seliakum. Serabut-
serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh
peregangan, dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut
aferen simpatis menghambat gerakan dan sekresi lambung. Pleksus
saraf mesentrikus (auerbach) dan submukosa (meissner)
membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan
mengkordinasi aktivitas motoring dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serat hati,
empedu, dan limpa) terutama berasal dari daerah arteri seliaka
atau trunkus seliaka, yang mempecabangkan cabang-cabang yang
mensuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang
penting dalam klinis adalah arteri gastroduodenalis dan arteri
pankreas tikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang
bulbus posterior duodenum. Tukak dinding postrior duodenum
dapat mengerosi arteria ini dan menyebabkan perdarahan. Darah
vena dari lambung dan duodenum, serta berasal dari pankreas,
limpa, dan bagian lain saluran cerna, berjalan kehati melalui vena
porta.
Fisiologi Lambung
1. Mencerna makanan secara mekanikal.
2. Sekresi, yaitu kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi
1500 – 3000 mL gastric juice (cairan lambung) per hari.
Komponen utamanya yaitu mukus, HCL (hydrochloric acid),
pensinogen, dan air. Hormon gastrik yang disekresi langsung
masuk kedalam aliran darah.
10
3. Mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama kali
protein dirubah menjadi polipeptida.
4. Absorpsi, secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi
air, alkohol, glukosa, dan beberapa obat.
5. Pencegahan, banyak mikroorganisme dapat dihancurkan dalam
lambung oleh HCL.
6. Mengontrol aliran chyme (makanan yang sudah dicerna dalam
lambung) kedalam duodenum. Pada saat chyme siap masuk
kedalam duodenum, akan terjadi peristaltik yang lambat yang
berjalan dari fundus ke pylorus.

2.3. Membran Mukosa Mulut


Membran mukosa mempunyai permukaan yang lembab terbentang pada dinding
organ saluran pencernaan dan pernafasan, bagian dalam mata, nasal, rongga muut dan
organ genital (Punitha dan Girish, 2010). Ada tiga tipe mukosa mulut yaitu :
7. Masticatory merupakan mukosa yang menutupi gingiva dan palatal. Mukosa ini
menekan epitelium yang berkeratinin ke jaringan di bawahnya dengan bantuan
jaringan kolagen penghubung yang dapat menahan abrasi dan gaya tekan dari proses
mengunyah.
8. Lining merupakan mukosa yang menutupi semua area kecuali permukaan dosal lidah
dan ditutupi oleh epitelium nonkeratinasi sehingga lebih permeable. Mukosa ini dapat
berubah elastis dan dapat meregang untuk membantu berbicara dan mengunyah.
9. Special merupakan mukosa yang berada di belakang lidah merupakan gabungan
masticatory dan lining mukosa yang terdiri dari sebagian mukosa berkeratin dan
sebagaian mukosa nonkeratin.

Penampang rongga mulut (Mathiowitz, 1999).


11
Mukosa mulut terdiri dari epitelium yang ditutupi mukus dan terdiri dari
stratum distentum, stratum filamentosum, stratum suprabasale dan stratum basale
(Mathiowitz, 1999). Epitelium bisa terdiri dari lapisan tunggal (single layer) yang
terdapat pada lambung usus kecil dan usus besar serta bronkus, ataupun lapisan ganda
(multiple layer) seperti pada esophagus dan vagina. Lapisan paling ats terdiri dari
goblet sel yang mensekresikan mukus ke permukaan epitelium. Permukaan lembab
pada jaringan mukosa adalah akibat adanya mukus yang berlendir, kental dan terdiri
dari glikoprotein, lipid, garam inorganic, dam lebih dari 95% air (Punitha dan Girish,
2010). Di bawah epitelium terdapat basal lamina, lamina propia dan submukosa.
Epitelium memberikan barrier mekanis yang dapat melindungi jaringan di bawahnya,
lamina propia bertindak sebagai penahan mekanis dan juga membawa pembuluh
darah dan sel saraf (Mathiowitz, 1999). Tebal lapisan mukus bervariasi pada tiap-tiap
jaringan mukosa, biasanya antara 50-500 µm pada saluran cerna dan kurang 1 µm
pada rongga mulut (Punitha dan Girish, 2010).

Struktur membran mukosa mulut (Mathiowitz, 1999).

2.4. Struktur Dan Kandungan Mukosa


Mukus merupakan sekret jernih dan kental serta melekat, membentuk lapisan
tipis, berbentuk gel kontinyu yang menutupi dan beradhesi pada permukaan
epitel mukosa. Mukus disintesis oleh sel goblet. Tebal mukus bervariasi antara
50-450 um. Didalam mukus terdapat musin yang mengandung glikoprotein
dengan berat molekul yang memungkinkan untuk polimer dapat menempel dan
mengalami penetrasi.

12
Biasanya mukus terdiri dari air 95 %, glikoprotein dan lemak 0,5-5,0%,
garam-garam mineral 1% dan protein bebas 0,5-1%. Namun, komposisi ini dapat
berbeda pada setiap individu walau hanya dengan perbedaan konsentrasi yang
kecil. Komponen utama mukus yang bertanggung jawab pada viskositas serta
sifat adhesi dan kohesinya adalah glikoprotein, suatu protein berbobot molekul
tinggi yang memiliki unit oligosakarida (rata-rata 8-10 residu monosakarida dari
5 jenis monosakarida, seperti L-fukosa, D-galaktosa, N-asetil-D-glukosamin, N-
asetil-D- galaktosamin dan asam sialat. Unit-unit monosakarida tersebut terikat
dalam rantai oligosakarida. Dengan adanya gugus-gugus tersebut membuat
musin dapat berikatan dengan gugus fungsi yang ada pada polimer.

Struktur Gula dalam Glikoprotein

2.5. Mukoadhesif
Mukoadhesif berasal dari kata mukosa dan adhesi. Mukosa merupakan membran pada
tubuh yang bersifat semipermeabel dan mengandung musin. Sedangkan adhesi berarti
gaya molekuler pada area kontak antar elemen yang berbeda agar dapat berikatan satu
sama lain. Jadi, mukoadhesif adalah sistem pelepasan obat dimana terjadi ikatan antara
polimer alam atau sintetik dengan substrat biologi yaitu permukaan mukus. Sistem
mukoadhesif dapat menghantarkan obat menuju site-spesific melalui ikatan antara

13
polimer hidrofilik dengan bahan dalam formulasi suatu obat, dimana polimer tersebut
dapat melekat pada permukaan biologis dalam waktu yang lama.
Sistem penghantaran ini digunakan untuk memformulasikan sediaan lepas terkendali
dengan tujuan memperpanjang waktu tinggal obat tersebut di saluran cerna dan mengatur
kecepatan serta jumlah obat yang dilepas.
Menurut Ahuja et al (1997) dan Lenearts et al (1990), mukoadhesif adalah suatu
interaksi antara permukaan mucus dengan polimer sintetis atau alami. Sediaan
mukoadhesif dirancang untuk melekat pada lapisan mukosa. Bentuk sediaan mukoadhesif
dapat memperpanjang waktu tinggal dan waktu kontak obat di tempat aplikasinya atau
absorpsinya sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas obat (Chowdary dan Rao,
2003). Dengan diperpanjangnya waktu absoprsi obat dalam lambung diharapkan efek
terapeutik dari obat tersebut juga meningkat dan meminimalkan resiko efek samping
akibat frekuensi pemberian yang terlalu sering. Frekuensi pemberian yang terlalu sering
dikarenakan waktu tinggal obat yang singkat dalam saluran cerna.
Konsep dasar dari sistem mukoadhesif ini adalah mekanisme perlindungan
gastrointestinal (Sulaiman, 2007). Mucus disekresikan secara terus menerus oleh sel-sel
goblet khusus yang terdapat pada saluran gastrointestinal yang berperan sebagai
sitoprotektif. Mucus bersifat visko elastis seperti gel, terdiri dari serabut yang penyusun
utamanya adalah glikoprotein. Ketebalan lapisan mucus berkurang dari permukaan
membrane ke lumen gastrointestinal. Fungsi utama mucus adalah untuk
melindungi sel-sel mukosa permukaan dari asam dan peptidase. Selain itu juga
berfungsi sebagai barier atau penghalang dari antigen, bakteri dan virus (Iannuccelli,
1998). Adanya ide pembuatan sediaan mukoadhesif diawali dengan adanya kebutuhan
pengobatan secara lokal pada bagian tertentu di saluran pencernaan. Tercapainya sistem
mukoadhesif pada sediaan dapat meningkatkan efek terapi dan pemberian obat dapat
dilakukan hanya satu kali sehari saja. Sejumlah bentuk sediaan mukoadhesif seperti
tablet, sediaan semi solid, serbuk, dan mikro atau nanopartikel telah banyak
dikembangkan. Meskipun demikian, sistem yang berhasil dipertahankan dalam saluran
pencernaan sesuai dengan waktu yang diinginkan belum dikembangkan (Lehr, 1996).
Material mukoadhesif yang banyak digunakan untuk formulasi adalah dalam bentuk
sintetis, hidrofilik alami. Polimer sintetis yang banyak digunakan misalnya karbomer,
hidroksi propil selulosa (HPC), hidroksi propil metil selulosa (HPMC), hidroksi
etilselulosa, natrium karboksimetil selulosa, polimer metakrilat dan polikarbonil.
Sedangkan polimer alami yang dapat digunakan misalnya xanthan gum, natrium alginat,
14
gelatin, akasia, dan tragakan. Selain dapat memberikan efek adhesif, polimer bioadhesive
juga dapat mengendalikan pelepasan obat (Lenearts, 1990). Polimer alami memiliki
banyak fungsi dalam pembuatan sediaan farmasi seperti sebagai agen lapisan film, pelapis
sediaan buccal, microsphere, untuk nanopartikel, formulasi sediaan cairan kental seperti
obat untuk mata, suspensi, implant (Pandey dan Khuller, 2004; Chamarthy dan Pinal,
2008; Alonso, et al., 2009). Selain itu, polimer alami juga banyak dimanfaatkan untuk
meningkatkan viskositas pada sediaan, sebagai stabilisator, sebagai bahan penghancur,
untuk meningkatkan kelarutan, sebagai agen pengemulsi dan pensuspensi, bahan
pembentuk gel, dan bahan pelekat alami (Guo et al., 1998). Polimer alami lebih unggul
dibandingkan polimer sintetis karena memiliki toksisitas yang rendah dan biodegradasi
yang baik sehingga banyak digunakan untuk bahan tambahan sediaan farmasi. Laju
pelepasan obat dari polimer alami tergantung pada beberapa faktor yakni faktor
fisikokimia dari obat dan polimer, tingkat biodegradasi polimer (Muhidinov et al., 2008),
morfologi dan ukuran partikel, kompatibilitas termodinamika yang ada antara polimer
dan zat aktif atau obat, serta sistem penghantarannya (Liu et al., 2004). Meskipun
demikian, polimer sintetis seperti HPMC juga memiliki toksisitas yang rendah dan
kemudahan dalam manufaktur sehingga polimer ini banyak diaplikasikan sebagai bahan
matriks dalam sediaan farmasi (Sujja et al., 1998).
Ada lima macam teori mukoadhesi (Andrews et al., 2009) :
1. Teori pembasahan
Kemampuan bioadhesive untuk mengembang saat kontak intim dengan substrat yang
sesuai merupakan faktor penting dalam teori pembasahan. Teori ini berkembang
secara dominan berkenaan dengan penggunaan cairan adhesif yang menggunakan
tegangan antar muka untuk memprediksi penyebaran dan perlekatannya (Peppas et
al., 1985; Mikos et al., 1989; Baszkin et al., 1990).
2. Teori elektronik
Teori ini tergantung pada asumsi bahwa bioadhesive dan target bahan biologis
memiliki permukaan elektronik dengan karakteristik yang berbeda. Berdasarkan hal
tersebut, ketika dua permukaan saling kontak satu sama lain, terjadi transfer elektron
dalam percobaan untuk menyeimbangkan Fermi levels sehingga menghasilkan
pembentukan lapisan ganda bermuatan listrik pada antarmuka dan permukaan
biologis (Derjaguin et al., 1966).

15
3. Teori pemisahan
Teori ini jauh dari teori yang diterima dalam bioadhesi. Teori ini menjelaskan
adanya kekuatan yang diperlukan untuk memisahkan dua permukaan setelah adhesi
terjadi (Mathiowitz et al., 2010).
4. Teori adsoprsi
Teori ini menyatakan bahwa ikatan bioadhesive terbentuk antara substrat
adhesif dan jaringan yang lemah karena pembentukan ikatan Van der Waals dan
ikatan hidrogen. Teori ini adalah teori yang paling banyak diterima dari bioadhesi
(Good, 1977; Tabor, 1977).
5. Teori difusi
Konsep interpenetrasi dan lilitan rantai polimer bioadhesive serta rantai
polimer mukosa didukung oleh teori difusi. Kekuatan ikatan meningkat seiring
dengan meningkatnya tingkat penetrasi. Penetrasi ini tergantung dari gradien
konsentrasi dan koefisien difusi (Mikos et al., 1986).

2.6. Mekanisme Mukoadhesif


Mukoadhesi adalah penghantaran obat bersama dengan pembawa yang sesuai yang
dapat berlekatan dengan membran mukosa dan merupakan fenomena kompleks yang
melibatkan pembasahan, adsorpsi, dan interpenetrasi rantai polimer. Prinsip penghantaran
obat dengan sistem mukoadhesif adalah memperpanjang waktu tinggal obat pada organ
tubuh yang mempunyai lapisan mukosa. Sistem mukoadhesif akan dapat meningkatkan
kontak yang lebih baik antara sediaan dengan jaringan tempat terjadinya absorpsi
sehingga konsentrasi obat terabsorpsi lebih banyak dan diharapkan akan terjadi aliran
obat yang tinggi melalui jaringan tersebut. Mekanisme mukoadhesi adalah sebagai
berikut (Andrews et al., 2009) :
1. Adanya kontak intim antara bioadhesive dan membran (ada pembasahan atau
fenomena pengembangan) (Chowdary et al., 2000; Gandhi et al., 1988).
2. Penetrasi bioadhesive ke jaringan atau ke permukaan mukosa (interpenetrasi)
(Chowdary et al., 2000; Gandhi et al., 1988).

2.7. Gastroretentive Mucoadhesive


Salah satu sediaan dengan pelepasan obat yang dimodifikasi adalah
sediaan dengan pelepasan diperlambat. Banyak metode yang dapat digunakan

16
untuk membuat sediaan lepas lambat, salah satunya adalah sediaan yang
dirancang untuk tetap tinggal di dalam lambung. Bentuk sediaan yang dapat
dipertahankan di dalam lambung disebut Gastro Retentive Drug Delivery System
(GRDDS). Keuntungan GRDDS diantaranya adalah mampu meningkatkan
bioavailabilitas, mengurangi obat yang terbuang dengan sia-sia, meningkatkan
kelarutan obat-obatan yang kurang larut pada lingkungan pH yang tinggi.
GRDDS juga memiliki kemampuan untuk menghantarkan obat-obatan secara
lokal di dalam lambung (contoh: antasid dan anti Helicobacter pylori) dan usus
kecil bagian atas.
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan waktu
tinggal obat di dalam lambung/Gastrict Residence Time (GRT), diantaranya
adalah suatu sistem bioadesif yang dapat melekat pada permukaan mukosa
lambung, sistem penghantaran yang dapat meningkatkan ukuran obat dengan
segera sesudah obat tersebut ditelan sehingga tertahan di dalam lambung, sistem
dengan densitas yang besar sehingga ketika masuk lambung akan segera
tenggelam di bagian lekukan lambung, sistem yang dikontrol secara
magnetik bekerja dengan menggabungkan magnetit oksida atau dilapisi oleh
magnet dan suatu sistem dengan densitas yang rendah (≈ 1,004 gram/ cm3 )
bila dibandingkan dengan cairan lambung sehingga dapat mengapung di
dalamnya (1, 2, 3).

2.8. Sistem Penghantaran Obat secara Bukal


Bukal adalah bagian dari mulut yang membatasi secara anterior dan lateral antar bibir
dan pipi, secara posterior dan medial (tengah) antara gigi dan gusi serta di atas dan di
bawah dari mukosa yang terbentang antara mulut, pipi dan gusi. Pembuluh arteri
maksilaris mengedarkan darah ke mukosa bukal dan darah mengalir lebih cepat dan lebih
banyak (2,4 mL/min/cm2) dari pada daerah sublingual, gingival dan palatal, sehingga
memfasilitasi difusi pasif molekul obat melewati mukosa. Tebal dari mukosa bukal antara
500 – 800 µm dan memiliki tekstur yang kasar, cocok untuk sistem penghantar obat yang
bersifat retensif. Pergantian epitelium bukal antar 5 – 6 hari (Punitha dan Girish, 2010).
Penghantaran obat melalui bukal adalah penghantaran melalui mukosa bukal, yang
terletak di sepanjang pipi, untuk mencapai sirkulasi sistemik. Mukosa bukal kurang
permeabel jika dibandingkan dengan mukosa sublingual dan biasanya kurang bisa

17
mencapai absorpsi obat dalam waktu cepat ataupun mencapai bioavailabilitas yang bagus,
namun lebih permeabel jika dibandingkan dengan kulit ataupun sistem penghantaran
lainnya. Membran lipid pada mukosa mulut menahan masuknya makromolekul sehingga
molekul-molekul kecil yang tidak terionisasi dapat melintas membran ini dengan mudah
(Mathiowitz, 1999).
Mekanisme melintasnya obat melintasi membrane lipid biologis diantaranya adalah
difusi pasif, difusi pasif terfasilitasi, transport aktif dan pinositosis. Mekanisme
penghantaran obat pada mukosa bukal adalah difusi pasif yang melibatkan perpindahan
dari zat terlarut dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah pada jaringan bukal.
Absorpsi obat dari rongga mulut tidak sama dengan masuknya obat secara langsung ke
sirkulasi sistemik Karena obat seperti disimpan dalam membrane bukal atau lebih dikenal
dengan efek reeservior bukal (Mc. Elay dan Hughes, 2007).

Skema absorpsi kinetik pada penghantaran obat mukoadhesif (Mc. Elay dan Hughes,
2007).

2.9. Sistem Penghantar Obat Mukoadhesif


Salah satu cara untuk mendapatkan sistem penghantar obat dengan
pelepasan obat dimodifikasi di saluran pencernaan adalah dengan membuat
sediaan bioadhesif. Bioadhesif adalah suatu senyawa yang mampu berinteraksi
dengan bahan biologis dan saling terikat selama periode waktu yang lama.
Apabila adhesive terikat pada mucus disebut mukoadhesi. Leung dan robinson

18
mendefinisikan mukoadhesif sebagai interaksi antara permukaan musin dengan
polimer sintesis atau alam.
Kekuatan bioadhesi sutu polimer atau seri polimer ditentukan oleh asal
polimer, media lingkungan dan variable fisiologi. Faktor polimer mencakup
bobot molekul, konsentrasi polimer aktif, fleksibilitas rantai polimer dan
konformasi ruang. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan
bioadhesif meliputi pH, waktu kontak awal, seleksi model permukaan substrat
dan pengembangan. Adapula variabel fisiologis mencangkup pertukaran mucus
dan tingkat penyakit.
Membran mucus manusia relatif permeabel dan dapat dilewati oleh obat.
Mucus merupakan sekresi jernih dan kental yang merekat membentuk lapisan
tipis gel kontinu menutupi dan beradhesi pada epitel mukosa. Mucus disekresi
oleh sel goblet sepanjang epitel atau kelenjar eksokrin dengan acini sel
mucus. Pada manusia, tebal lapisan ini bervariasi antara 50-450um. Secara
umum komposisi mukus adalah air 95%, glikoprotein dan lemak 0,5-5% garam
mineral 1% dan protein bebas 0,5-1 %. Glikoprotein mukus merupakan
protein berbobot molekul tinggi, memiliki unit oligosakarida yang terikat
padanya. Unit ini rata-rata terdiri dari 8-10 monosakarida dari 5 tipe yang
berbeda, yaitu L-fukosa, D-galaktosa, N-asetil-D-glukosamin, N-asetil-D-
galaktosamin dan asam sialat. Asam N-asetilneuramat merupakan asam
sialat penting pada manusia. Pada hewan ada asam sialat lain, seperti asam N-
glikoneuramat dan turunannya. Asam amino utama adalah serin, treonin dan
prolin.
Pada hakekatnya semua tempat mukus dapat digunakan untuk pemberian dan
absorpsi obat, seperti mukus di saluran cerna, nasal, ocular, vaginal, rectal,
oral dan periodontal. Oleh kareana itu sediaan oral dapat dibuat dalam bentuk
mukoadhesif. Konsep bioadhesi sejak tahun 1980 telah digunakan untuk sistem
penghantaran obat. Sistem ini dibuat dengan memasukkan bahan yang memiliki
sifat adhesi ke dalam formula sediaan, sehingga dapat tinggal di tempat yang
dekat dengan jaringan tempat terjadinya absorpsi obat, pelepasan obat dekat
dengan tempat kerja , untuk meningkatkan bioavailabilitasnya dan meningkatkan
aksi lokal atau efek sistemik.
Potensi yang digunakan pada pembawa (carrier) sediaan mukoadhesif
terletak pada kemampuan berkontak secara intensif dengan
19
barrie epitel sehingga memperpanjang waktu tinggalnya di tempat terjadinya
absorpsi, efektifitas obat pada penggunaan mukoadhesif oral dapat dicapai
dengan baik melalui peningkatan lama waktu tinggal obat di saluran cerna.
Walaupun demikian ada beberapa masalah yang membatasi penggunaan
sistem pemberian ini. Permasalahannya adalah absorpsi obat di saluran cerna
dipengaruhi oleh faktor fisiologis lambung dan usus, faktor sifat fisikokimia
lingkungan usus kecil serta luas permukaan lokasi terjadinya absorpsi.

2.10.Faktor Yang Mempengaruhi Sistem Penghantaran Mukoadhesif

2.10.1. Polimer Mukoadhesif


a. Bobot molekul
Dengan meningkatnya bobot molekul polimer, terjadi peningkatan kekuatan
mukoadhesif polimer. Polimer dengan berat molekul besar yang non hidrat
membentuk ikatan yang akan berinteraksi dengan substrat, sementara polimer
dengan berat molekul rendah akan membentuk gel lemah yang mudah larut.
b. Konsentrasi polimer mukoadhesif
Secara umum, konsentrasi polimer dalam kisaran 1-2,5%. Untuk sediaan
padat, semakin besar konsentrasi polimer maka semakin kuat sifat adhesinya.
c. Fleksibilitas rantai polimer
Rantai polimer yang fleksibel membantu penetrasi dan proses belitan rantai
polimer dengan lapisan mukosa menjadi lebih baik sehingga meningkatkan
kekuatan bioadhesif. Fleksibilitas dari rantai polimer umumnya dipengaruhi oleh
reaksi tautan silang dan hidrasi polimer jaringan. Semakin banyak reaksi tautan
silang, fleksibilitas dari rantai polimer berkurang.
d. Konformasi polimer
Gaya adhesi juga tergantung pada konformasi polimer, contohnya
heliks atau linier. Bentuk heliks dapat menyembunyikan gugus-gugus aktif
polimer sehingga mengurangi kekuatan adhesi polimer.
e. Fleksibilitas rantai polimer
Fleksibilitas rantai polimer penting untuk intepenetrasi dan
pembelitan rantai polimer dengan rantai musin. Apabila penetrasi rantai
polimer ke mukosa berkurang, maka kekuatan mukoadhesif juga akan
berkurang.
20
f. Derajat hidrasi
Hidrasi yang berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan mukoadhesif akibat pembentukan mucilago yang licin.

2.10.2. Faktor Lingkungan


a. pH
pH medium berpengaruh dalam kemampuan mukoadhesif suatu polimer,
contohnya pada kitosan. Pada pH yang netral atau basa, kitosan akan memiliki
kemampuan mukoadhesif yang baik.
b. Waktu kontak
Dengan peningkatan waktu kontak, terjadi proses peningkatan hidrasi dari
matriks polimer kemudian proses interpenetrasi dari rantai polimer. Lapisan
fisiologis mukosa dapat bervariasi tergantung pada patogenesis-sifat fisiologis
tubuh manusia.

2.10.3. Faktor Fisiologis


a. Waktu penggantian musin (mucin turn over)
Penggantian molekul musin secara alamiah dari lapisan mukus, penting untuk
2 hal. Pertama, penggantian musin diperkirakan akan membatasi waktu tinggal
mukoadhesif pada lapisan mukus. Seberapa pun kekuatan mukoadhesif,
mukoadhesif akan lepas dari permukaan karena penggantian musin. Kecepatan
penggantian akan berbeda dengan keberadaan mukoadhesif. Kedua, penggantian
musin akan melarutkan sejumlah molekul musin. Molekul ini berinteraksi dengan
mukoadhesif sebelum terjadi interaksi dengan lapisan mukus.
Penggantian musin tergantung pula pada faktor lain seperti keberadaan
makanan. Kecepatan penggantian musin baik pada keadaan lambung kosong
maupun penuh dapat membatasi waktu tinggal sediaan mukoadhesif karena jika
mukus lepas dari membran, polimer bioadhesif tidak dapat menempel lebih lama.
b. Penyakit tertentu
Adanya penyakit yang dapat merubah sifat-sifat fisikokimia dari mukus.
Perubahan struktural mukus pada kondisi penyakit ini belum diketahui secara
pasti. Jika mukoadhesif akan digunakan dalam keadaan sakit, maka sifat
mukoadhesi harus terlebih dahulu dievaluasi pada kondisi yang sama.

21
2.11.Keuntungan Dan Kerugian Sediaan Obat Mukoadhesif
 Keuntungan
1. Memperpanjang waktu tinggal sediaan di lokasi penyerapan
sehingga meningkatkan bioavailabilitas.
2. Aksesbilitas baik.
3. Penyerapan cepat karena suplai darah besar dan laju aliran darah
baik Peningkatan kepatuhan pasien.

 Kerugian
1. Terjadi efek berbisul lokal karena kontak lama dari obat
2. Penerimaan pasien dalam hal selera, iritasi dan mulut terasa
harus diperiksa.

2.12.Jenis Sediaan Obat Mukoadhesif


A. Ocular Delivery
Zat aktif dengan cepat dihilangkan dari rongga mata dengan adanya
pembentukan air mata dan refleks berkedip yang terus-menerus. Ini mengakibatkan
bioavailabilitas zat aktif dapat ditingkatkan dengan memasukkan atau menempelkan
ke mata sehingga waktu tinggal obat meningkat.
Contoh : Pilogel

B. Nasal Cavity
Lapisan mukosa hidung memiliki luas permukaan sekitar 150 – 200
cm2. Waktu tinggal 15 – 30 menit.
Contoh : Nasacort , Beconase, dan Sterimar

22
C. Buccal Cavity
Mukosa buccal mengacu pada bagian dalam pipi dan bibir.
Penghantaran obat melalui rongga buccal menghindari first pass metabolisme
dan pemberiannya mudah. Polimer bioadhesif dapat menahan sediaan
sehingga berada pada lokasi absorpsi.
Contoh : Buccastem

D. Vagina dan Rectum


MDDS mengurangi migrasi dari sistem penghantaran sehingga dapat
meningkatkan efikasi terapetiknya.
Contoh : Crinone dan Anacal

23
2.13.Studi Disolusi In Vitro
Pelepasan obat RD diuji dengan alat disolusi NTR-3000 tipe 2 (paddle). Medium uji
dengan suhu 37⁰C dan paddle berotasi dengan kecepatan 50 rpm dengan posisi 2,5 cm
dari bagian dasar wadah. Setelah tablet diletakkan pada medium, sampel diambil (4 ml)
pada tiap titik waktu yang ditentukan. Supernatan sampel diukur secara fluorometri
seperti sebelumnya.

2.14.Studi In Vivo
Mencit dianastesi dengan 1,2 ml larutan garam uretan 25% b/v melalui injeksi
intraperitoneal. Sebelum dilakukan administrasi bukal, sampel darah diambil sebanyak
0,3 ml. Tablet diberikan pada setiap mencit di bagian mukosa pipi. Kemudian,
diberikan 0,1 ml larutan garam di mukosa dekat bagian bawah tempat tablet diberikan.
Sampel darah (0,3 ml) diambil melalui vena jugularis pada titik-titik waktu yang
ditentukan. Darah disentrifugasi pada 1400 x g selama 5 menit dan diperoleh plasma.
Plasma (0,1 ml) dicampur dengan 0,1 ml penyangga karbonat 1M (pH 9,5) dan diaduk
rata. Kemudian, ditambahkan 0,5 ml etil asetat, digoyangkan dan disentrifugasi pada
1500 x g selama 10 menit. Fase organik yang terbentuk (0,3 ml) diambil, dan pelarut
diuapkan dengan gas nitrogen. Residu dilarutkan dalam 0,1 ml pelarut HPLC. Sebanyak
40 μl larutan diinjeksikan ke dalam kolom HPLC untuk menetapkan kadar RD.

2.15.Evaluasi Bioavailability
 Tablet diberikan secara oral dengan masa istirahat (wash out period) selama 2
minggu.

24
 Selanjutnya pengambilan sampel darah sejumlah 1,0 mL diambil dari vena marginalis
telinga kelinci pada menit ke-0, 3, 6, 9, 12, 15, 30, 60, 120, 180, 240, 300, 360, 420,
480, 540, dan 600. Darah ditampung dalam mikrotube yang mengandung 100 µL
larutan campuran NaF 25 µg/mL & kalium oksalat 20 µg/mL.
 Kemudian penetapan kadar analit dalam plasma ditetapkan menggunakan HPLC
dengan fase gerak asetonitril : dapar fosfat 20 mM pH 2,5 (30:70 v/v), kolom
LiChroCART 250-4,6 Purospher Star RP-18 Endcapped (5µm), dan detektor UV
pada panjang gelombang 230 nm. Sampel darah yang diperoleh segera divortex
selama 10 detik, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 xg selama 10
menit sehingga diperoleh bagian plasma (disimpan dalam wadah dengan penangas
es). Plasma segera diekstraksi (dalam waktu kurang dari 60 menit) dengan prosedur
sebagai berikut : 250 µL plasma, ditambah 20 µL larutan asam benzoat kadar 0,025
µg/mL (sebagai standar internal) dan 20 µL asam perklorat 17,5%, divortex 10 detik,
kemudian ditambah 1,0 mL dietil eter, divortex 3 menit. Larutan sampel disentrifugasi
pada kecepatan 12.000 xg selama 3 menit sehingga diperoleh fase organik (bagian
atas) dan fase air (bagian bawah). Fase organik diambil seluruhnya, ditempatkan
dalam vial, dan diuapkan di bawah aliran N2 cair. Residu yang diperoleh
direkonstitusi dengan 500 µL pelarut asetonitril : dapar fosfat 20 mM pH 2,5 (2:7).
Sampel selanjutnya disimpan dalam freezer pada suhu -40ºC. Tidak lebih dari 12 jam
setelah penyimpanan, sampel beku dicairkan dalam wadah penangas es, kemudian
diinjeksikan ke sistem HPLC dengan volume 20 µL dan kecepatan alir 1,5 mL/menit.
 Analisa data bioavailabilitas relatif (Frelatif) ditentukan berdasarkan parameter AUC
tablet floating tablet salut enterik. Harga parameter AUC dibandingkan secara statistik
dengan uji t pada taraf kepercayaan 95% menggunakan perangkat lunak SPSS versi
16.0.

25
BAB III
REVIEW JURNAL

Judul : Formulasi dan Evaluasi Sediaan Patch Bukal Mukoadhesif Celecoxib

Penulis : Siti Inayah, Lizma Febrina, Novita Eka Kartab Putri Tobing, Jaka

Fadraersada

Tujuan Penelitian : Tujuan penelitian ini yaitu untuk memodifikasi rute penghantaran
celecoxib dengan memformulasikan dalam bentuk sediaan patch bukal
mukoadhesif.

Patch F1 menunjukkan karakteristik patch yang baik dan memiliki profil pelepasan obat yang
tinggi. Patch bukal mukoadhesif merupakan sistem penghantaran obat yang penggunaanya
dengan cara diletakkan diantara gusi dan membran pipi bagian dalam.

Patch mukoadhesif memiliki berbagai macam keunggulan dibandingkan dengan bentuk


sediaan obat konvensional lainnya seperti tidak invasif, efek samping minimal, mampu
menjaga bioavabilitas obat, daya rekat pada saat pemakaian kuat, tidak perlu mengalami first-
pass metabolism, mudah untuk menghentikan pemberian obat jika terjadi kesalahan dalam
pemberian obat sehingga dapat mencegah terjadinya toksisitas, mencegah rusaknya obat-obat
yang tidak tahan terhadap pH saluran pencernaan, dan juga mencegah terjadinya iritasi
saluran cerna oleh obat yang bersifat iritatif.

Celecoxib merupakan obat NSAID yang telah digunakan secara luas untuk mengobati
penyakit artritis. Sehingga diperlukannya modifikasi rute penghantaran obat diantaranya
dengan memformulasikan dalam bentuk sediaan patch bukal mukoadhesif.

Formulasi patch dengan HPMC memiliki sifat bioadhesif yang maksimum dibandingkan
dengan patch yang mengandung polimer polivinil alkohol (PVA) dan yang mengandung
kombinasi PVA serta polivinil pirolidon (PVP).

Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan formulasi patch celecoxib yang dibuat dengan
menggunakan HPMC sebagai polimer mukoadhesif dan etil selulosa sebagai lapisan backing.
Pembuatan patch bukal mukoadhesif celecoxib Patch dibuat dengan menggunakan metode
solvent casting. Kurva baku dibuat dengan memplotkan kadar celecoxib sebagai X dan
absorbansi yang dihasilkan sebagai Y dalam persamaan regresi linier.

Evaluasi Sediaan Patch Bukal Mukoadhesif Celecoxib

a. Uji Keseragaman Bobot Pengujian terhadap keseragaman bobot patch dilakukan


dengan menimbang 10 buah patch dengan ukuran 1×2 cm2 secara acak dari setiap
formula kemudian ditimbang bobotnya menggunakan timbangan analitik

26
b. Uji Keseragaman Ketebalan Ketebalan patch diukur menggunkan mikrometer sekrup
di tiga titik berbeda pada setiap patch dari masing-masing formula. Diambil secara
acak 10 buah patch setiap formula kemudian diukur ketebalannya.
c. Uji pH Permukaaan Patch Patch dari setiap formula diambil secara acak, kemudian
dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi 0,5 ml aquades selama 120 menit
dalam temperatur ruang dan pH permukaan patch diukur dengan menggunakan pH
meter.
d. Uji Kemampuan Mengembang Pengembangan patch diukur dengan menempatkan
patch dari masing-masing formula dengan ukuran 1 x 2 cm2 ke dalam beaker glass
yang mengandung 20 ml larutan buffer fosfat pH 6,8....

Hasil dan Pembahasan :

Sediaan patch celecoxib yang dibuat terdiri dari dua lapisan, lapisan utama merupakan
lapisan yang mengandung polimer adhesif yaitu HPMC dan lapisan kedua merupakan lapisan
backing yang mengandung polimer etil selulosa, berfungsi untuk menahan difusi celecoxib ke
saliva serta untuk memberikan arah difusi zat aktif yang searah.

27
DAFTAR PUSTAKA

Abd Elhady, S Seha. Et all. 2003. Development of In Situ Gelling and


Muchoadhesive Mebeverine Hydroclorida Solution For Rectal
Administration. Saudi Pharmaceutical Journal, Vol. 11, No. 4, October 2003.

Alexander, Amit, et al. 2011. Mechanisme Responsible For Mucoadhesion of


Mucoadhesive Drug Delivery System: A Review. International Journal of
Applied Biology Pharmaceutical Technology Vol 2, 434-445

Carvalho, Flavia Chiva, et al. 2010. Mucoadhesive Drug Delivery Systems.


Brazilian Journal of Pharmaceutical Sciences vol 46.

Martinez, A., et al. 2011. Synthesis and characterization of thiolated alginate-


albumin nanoparticlesstabilized by disulfide bonds. Evaluation as drug
delivery systems. Carbohydrate Polymers 83, 1311-1321

Nep, Elijah I, and Barbara R Conway. 2011. Grewia Gum 2: Mucoadhesive


Properties of Compacts and Gels. Tropical Journal of Pharmaceutical
Research Pharmacotheraphy Group, 393-400.

Sutrio. Rachmat, Hasan. Rosalina, Mita. 2008. Pengembangan sediaan dengan


Pelepasan di modifikasi Mengandung Furosemid sebagai Model Zat Aktif
menggunakan Sistem Mukoadhesif. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. V, No.
1, April 2008, 01 – 08

28

Anda mungkin juga menyukai