Disusun oleh :
FAKULTAS FARMASI
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Sediaan Mukoadhesif” ini dengan
baik. Sekiranya makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun
pedoman bagi pembaca dalam proses belajar maupun mengajar.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki isi makalah ini agar kedepannya dapat lebih
baik lagi.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman dan pengetahuan
yang kami miliki sangat kurang. Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan seperti kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
3
diaplikasikan kepada sistem penghantaran obat antara lain, dapat meningkatkan
kepatuhan pasien mengkonsumsi obat karena bentuk sediannya dapat diterima dengan
baik oleh pasien, meningkatkan efikasi obat, mengurangi efek samping, jarak pemberian
dosis lebih panjang, maka kebutuhan tidur penderita tidak terganggu dan tentu saja
berimbas pada pencapian kualitas hidup pasien yang lebih baik.
Mukoadhesif adalah sistem penghantaran obat yang memanfaatkan sifat-sifat
musin dalam mukosa saluran cerna. Sistem penghantaran ini digunakan untuk
memformulasikan sediaan lepas terkendali dengan tujuan memperpanjang waktu
tinggal obat tersebut di saluran cerna dan mengatur kecepatan serta jumlah obat
yang dilepas.
Secara umum mukoadhesif merupakan bentuk sediaan bioadhesif yang
membentuk ikatan dengan membran mukosa sehingga bertahan pada membran
tersebut dalam satu periode waktu yang diperlama. Dalam formulasi digunakan
satu atau lebih hidrokoloid pembentuk gel dalam kadar tinggi (20-75% b/b)
seperti hidroksipropil metil selulosa yang mempunyai kekuatan mukoadhesif
sebesar 125, dan carbopol sebesar 185. Kombinasi keduanya diharapkan akan
memberikan kekuatan mukoadhesif sangat baik.
4
1.3. Tujuan
1. Untuk memahami apa itu biofarmasetika.
2. Untuk mengetahui organ yang bekerja pada sistem penghantaran obat
mukoadhesif.
3. Untuk memahami apa itu mokoadhesif
4. Untuk memahami mekanisme pada mukoadhesif.
5. Untuk memahami sistem penghantaran obat secara mukoadhesif.
6. Untuk memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi sistem penghantaran
mukoadhesif.
7. Untuk memahami keuntungan dan kerugian pada sediaan mukoadhesif.
8. Untuk memahami jenis-jenis sediaan obat mukoadhesif.
9. Untuk memahami evaluasi in vivo dan in vitro pada sediaan mukoadhesif.
10. Untuk memahami evaluasi bioavibility pada sediaan mukoadhesif.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Biofarmasetika
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat diberbagai bidang,
khususnya farmasi telah menghasilkan perubahan yang signifikan dalam teknologi
sediaan farmasi, khususnya obat-obatan. Berbagai bentuk dan sistem penghantaran obat
telah banyak dikembangkan untuk menggantikan bentuk dan sistem penghantaran obat
yang konvensional (Sutriyo, 2008).
Sistem penghantaran obat dikatakan ideal jika dapat diberikan dengan satu
kali pemberian untuk seluruh periode pengobatan, menghasilkan kadar obat dalam darah
yang relatif konstan selama periode waktu tertentu untuk mendapatkan efek obat yang
optimal dan menghantarkan obat langsung ke sasaran. Sistem penghantaran obat dengan
pelepasan yang dimodifikasi (modified release drug delivery system) merupakan sistem
penghantaran obat yang mendekati ideal. Namun, obat yang diberikan secara oral,
memiliki keterbatasan dalam hal lamanya obat (residence time) berada dalam saluran
pencernaan, khususnya pada daerahdaerah terjadinya absorbsi. Sistem penghantaran obat
mukoadhesif yang menghasilkan bentuk sediaan berinteraksi lebih lama dengan mukosa
yang terdapat dalam lambung dan usus, merupakan salah satu upaya yang dapat
digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu tinggal obat dalam lambung. Dengan
sistem ini, obat akan ditahan untuk waktu yang lebih lama dalam saluran pencernaan,
sehingga diharapkan proses absorpsinya menjadi lebih optimal. Selain itu dengan adanya
lokalisasi obat pada suatu daerah absorbsi, akan menyebabkan proses absorbsi obat
menjadi lebih efektif. Selain waktu tinggal obat dalam saluran pencernaan, sifat kelarutan
dan permeabilitas obat juga merupakan factor yang mempengaruhi proses absorbsi
(Sutriyo, 2008).
Dalam sistem klasifikasi biofarmasetika (BCS), obat dikelompokkan menjadi empat
kelompok yaitu obat yang memiliki kelarutan dan permeabilitas yang tinggi, obat yang
memiliki kelarutan rendah tetapi permeabilitasnya tinggi, obat yang memiliki kelarutan
yang tinggi tetapi permeabilitasnya rendah dan obat yang memiliki kelarutan dan
permeabilitas yang rendah. Obat yang memiliki kelarutan yang rendah tetapi
6
permeabilitasnya tinggi, proses absorbsinya ditentukan oleh tahap disolusi/rate limiting
step (Sutriyo, 2008).
Agar suatu obat dapat diabsorsi, pertama sekali obat tersebut harus dapat terlarut
(terdispersi molekuler) dalam cairan dimana obat tersebut akan diabsorpsi. Di dalam
banyak kasus kecepatan disolusi atau waktu yang dibutuhkan untuk obat melarut dalam
cairan pencernaan menjadi kecepatan pembatas (rate-limiting step) dari proses absorbsi.
Hal Ini berlaku untuk obat yang diberikan dalam bentuk sediaan padat oral seperti tablet,
kapsul atau suspensi, seperti halnya juga untuk obat yang diberikan secara intramuskular
dalam bentuk granul atau suspensi. Ketika kecepatan disolusi merupakan rate-limiting
step, maka kecepatan disolusi juga akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya, kecepatan
disolusi dapat mempengaruhi onset, durasi dan intensitas respon, dan mengontrol
keseluruhan bioavailabilitas obat dari suatu sediaan.
Sistem klasifikasi biofarmasetik (biopharmaceutical Classification System, BCS)
mengelompokkan obat dalam kelompok yang didasarkan pada: kelarutan, permeabilitas
dan kecepatan disolusi in vitro. Klasifikasi sistem ini dapat digunakan untuk
menjustifikasi persyaratan-persyaratan penelitian in vitro (sediaan) obat yang melarut
secara cepat, mengandung bahan aktif yang sangat larut dan sangat permeable.
Sistem klasifikasi biofarmasetik diperkenalkan melalui sebuah metode
untuk mengidentifikasi situasi yang mungkin mengikuti uji disolusi in vitro yang
digunakan untuk memastikan bioekivalensi dalam ketidakhadiran studi bioekivalensi
klinik secara nyata. Pada dasarnya pendekatan secara teori menyatakan, kelarutan dan
permeabilitas intestinal diidentifikasi sebagai karakteristik pengobatan utama yang
mengontrol absorpsi. Dalam klasifikasi biofarmasetik tersebut telah membagi beberapa
senyawa menjadi empat kelas berdasarkan permeabilitas dan kelarutan. Sistem
klasifikasi ini berguna dalam memprediksi efek transporter penghabisan dan serapan pada
penyerapan lisan maupun di tingkat postabsorption sistemik setelah pemberian dosis oral
dan intravena.
7
2.2. Anatomi Dan Fisiologi Lambung
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas tepat
dibawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung berbentuk tabung J, dan
bila penuh berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung 1
sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus dan antrum
pilorus. Sebelah atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri
bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfingter kedua ujung lambung
mengatur pengeluaran dan pemasukan.
Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan yang
masuk kedalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus
kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan
nama daerah kardia. Disaat sfingter pilorikum berelaksasi makanan masuk
8
kedalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah
terjadinya aliran balik usus halus kedalam lambung.
9
pepsinogen. Substansi lain yang disekresikan oleh lambung adalah
enzim dan berbagai elektrolit, terutama ion-ion natrium, kalium, dan
klorida. Persarafan lambung sepenuhnya otonom. Suplai saraf
parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan
dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus
mempercabangkan ramus gastrik, pilorik, hepatik dan seliaka.
Pengetahuan tentang anatomi ini sangat penting, karena
vagotomi selektif merupakan tindakan pembedahan primer yang
penting dalam mengobati tukak duodenum. Persarafan simpatis
adalah melalui saraf splenikus major dan ganlia seliakum. Serabut-
serabut aferen menghantarkan impuls nyeri yang dirangsang oleh
peregangan, dan dirasakan di daerah epigastrium. Serabut-serabut
aferen simpatis menghambat gerakan dan sekresi lambung. Pleksus
saraf mesentrikus (auerbach) dan submukosa (meissner)
membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan
mengkordinasi aktivitas motoring dan sekresi mukosa lambung.
Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serat hati,
empedu, dan limpa) terutama berasal dari daerah arteri seliaka
atau trunkus seliaka, yang mempecabangkan cabang-cabang yang
mensuplai kurvatura minor dan mayor. Dua cabang arteri yang
penting dalam klinis adalah arteri gastroduodenalis dan arteri
pankreas tikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang
bulbus posterior duodenum. Tukak dinding postrior duodenum
dapat mengerosi arteria ini dan menyebabkan perdarahan. Darah
vena dari lambung dan duodenum, serta berasal dari pankreas,
limpa, dan bagian lain saluran cerna, berjalan kehati melalui vena
porta.
Fisiologi Lambung
1. Mencerna makanan secara mekanikal.
2. Sekresi, yaitu kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi
1500 – 3000 mL gastric juice (cairan lambung) per hari.
Komponen utamanya yaitu mukus, HCL (hydrochloric acid),
pensinogen, dan air. Hormon gastrik yang disekresi langsung
masuk kedalam aliran darah.
10
3. Mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama kali
protein dirubah menjadi polipeptida.
4. Absorpsi, secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi
air, alkohol, glukosa, dan beberapa obat.
5. Pencegahan, banyak mikroorganisme dapat dihancurkan dalam
lambung oleh HCL.
6. Mengontrol aliran chyme (makanan yang sudah dicerna dalam
lambung) kedalam duodenum. Pada saat chyme siap masuk
kedalam duodenum, akan terjadi peristaltik yang lambat yang
berjalan dari fundus ke pylorus.
12
Biasanya mukus terdiri dari air 95 %, glikoprotein dan lemak 0,5-5,0%,
garam-garam mineral 1% dan protein bebas 0,5-1%. Namun, komposisi ini dapat
berbeda pada setiap individu walau hanya dengan perbedaan konsentrasi yang
kecil. Komponen utama mukus yang bertanggung jawab pada viskositas serta
sifat adhesi dan kohesinya adalah glikoprotein, suatu protein berbobot molekul
tinggi yang memiliki unit oligosakarida (rata-rata 8-10 residu monosakarida dari
5 jenis monosakarida, seperti L-fukosa, D-galaktosa, N-asetil-D-glukosamin, N-
asetil-D- galaktosamin dan asam sialat. Unit-unit monosakarida tersebut terikat
dalam rantai oligosakarida. Dengan adanya gugus-gugus tersebut membuat
musin dapat berikatan dengan gugus fungsi yang ada pada polimer.
2.5. Mukoadhesif
Mukoadhesif berasal dari kata mukosa dan adhesi. Mukosa merupakan membran pada
tubuh yang bersifat semipermeabel dan mengandung musin. Sedangkan adhesi berarti
gaya molekuler pada area kontak antar elemen yang berbeda agar dapat berikatan satu
sama lain. Jadi, mukoadhesif adalah sistem pelepasan obat dimana terjadi ikatan antara
polimer alam atau sintetik dengan substrat biologi yaitu permukaan mukus. Sistem
mukoadhesif dapat menghantarkan obat menuju site-spesific melalui ikatan antara
13
polimer hidrofilik dengan bahan dalam formulasi suatu obat, dimana polimer tersebut
dapat melekat pada permukaan biologis dalam waktu yang lama.
Sistem penghantaran ini digunakan untuk memformulasikan sediaan lepas terkendali
dengan tujuan memperpanjang waktu tinggal obat tersebut di saluran cerna dan mengatur
kecepatan serta jumlah obat yang dilepas.
Menurut Ahuja et al (1997) dan Lenearts et al (1990), mukoadhesif adalah suatu
interaksi antara permukaan mucus dengan polimer sintetis atau alami. Sediaan
mukoadhesif dirancang untuk melekat pada lapisan mukosa. Bentuk sediaan mukoadhesif
dapat memperpanjang waktu tinggal dan waktu kontak obat di tempat aplikasinya atau
absorpsinya sehingga dapat meningkatkan bioavailabilitas obat (Chowdary dan Rao,
2003). Dengan diperpanjangnya waktu absoprsi obat dalam lambung diharapkan efek
terapeutik dari obat tersebut juga meningkat dan meminimalkan resiko efek samping
akibat frekuensi pemberian yang terlalu sering. Frekuensi pemberian yang terlalu sering
dikarenakan waktu tinggal obat yang singkat dalam saluran cerna.
Konsep dasar dari sistem mukoadhesif ini adalah mekanisme perlindungan
gastrointestinal (Sulaiman, 2007). Mucus disekresikan secara terus menerus oleh sel-sel
goblet khusus yang terdapat pada saluran gastrointestinal yang berperan sebagai
sitoprotektif. Mucus bersifat visko elastis seperti gel, terdiri dari serabut yang penyusun
utamanya adalah glikoprotein. Ketebalan lapisan mucus berkurang dari permukaan
membrane ke lumen gastrointestinal. Fungsi utama mucus adalah untuk
melindungi sel-sel mukosa permukaan dari asam dan peptidase. Selain itu juga
berfungsi sebagai barier atau penghalang dari antigen, bakteri dan virus (Iannuccelli,
1998). Adanya ide pembuatan sediaan mukoadhesif diawali dengan adanya kebutuhan
pengobatan secara lokal pada bagian tertentu di saluran pencernaan. Tercapainya sistem
mukoadhesif pada sediaan dapat meningkatkan efek terapi dan pemberian obat dapat
dilakukan hanya satu kali sehari saja. Sejumlah bentuk sediaan mukoadhesif seperti
tablet, sediaan semi solid, serbuk, dan mikro atau nanopartikel telah banyak
dikembangkan. Meskipun demikian, sistem yang berhasil dipertahankan dalam saluran
pencernaan sesuai dengan waktu yang diinginkan belum dikembangkan (Lehr, 1996).
Material mukoadhesif yang banyak digunakan untuk formulasi adalah dalam bentuk
sintetis, hidrofilik alami. Polimer sintetis yang banyak digunakan misalnya karbomer,
hidroksi propil selulosa (HPC), hidroksi propil metil selulosa (HPMC), hidroksi
etilselulosa, natrium karboksimetil selulosa, polimer metakrilat dan polikarbonil.
Sedangkan polimer alami yang dapat digunakan misalnya xanthan gum, natrium alginat,
14
gelatin, akasia, dan tragakan. Selain dapat memberikan efek adhesif, polimer bioadhesive
juga dapat mengendalikan pelepasan obat (Lenearts, 1990). Polimer alami memiliki
banyak fungsi dalam pembuatan sediaan farmasi seperti sebagai agen lapisan film, pelapis
sediaan buccal, microsphere, untuk nanopartikel, formulasi sediaan cairan kental seperti
obat untuk mata, suspensi, implant (Pandey dan Khuller, 2004; Chamarthy dan Pinal,
2008; Alonso, et al., 2009). Selain itu, polimer alami juga banyak dimanfaatkan untuk
meningkatkan viskositas pada sediaan, sebagai stabilisator, sebagai bahan penghancur,
untuk meningkatkan kelarutan, sebagai agen pengemulsi dan pensuspensi, bahan
pembentuk gel, dan bahan pelekat alami (Guo et al., 1998). Polimer alami lebih unggul
dibandingkan polimer sintetis karena memiliki toksisitas yang rendah dan biodegradasi
yang baik sehingga banyak digunakan untuk bahan tambahan sediaan farmasi. Laju
pelepasan obat dari polimer alami tergantung pada beberapa faktor yakni faktor
fisikokimia dari obat dan polimer, tingkat biodegradasi polimer (Muhidinov et al., 2008),
morfologi dan ukuran partikel, kompatibilitas termodinamika yang ada antara polimer
dan zat aktif atau obat, serta sistem penghantarannya (Liu et al., 2004). Meskipun
demikian, polimer sintetis seperti HPMC juga memiliki toksisitas yang rendah dan
kemudahan dalam manufaktur sehingga polimer ini banyak diaplikasikan sebagai bahan
matriks dalam sediaan farmasi (Sujja et al., 1998).
Ada lima macam teori mukoadhesi (Andrews et al., 2009) :
1. Teori pembasahan
Kemampuan bioadhesive untuk mengembang saat kontak intim dengan substrat yang
sesuai merupakan faktor penting dalam teori pembasahan. Teori ini berkembang
secara dominan berkenaan dengan penggunaan cairan adhesif yang menggunakan
tegangan antar muka untuk memprediksi penyebaran dan perlekatannya (Peppas et
al., 1985; Mikos et al., 1989; Baszkin et al., 1990).
2. Teori elektronik
Teori ini tergantung pada asumsi bahwa bioadhesive dan target bahan biologis
memiliki permukaan elektronik dengan karakteristik yang berbeda. Berdasarkan hal
tersebut, ketika dua permukaan saling kontak satu sama lain, terjadi transfer elektron
dalam percobaan untuk menyeimbangkan Fermi levels sehingga menghasilkan
pembentukan lapisan ganda bermuatan listrik pada antarmuka dan permukaan
biologis (Derjaguin et al., 1966).
15
3. Teori pemisahan
Teori ini jauh dari teori yang diterima dalam bioadhesi. Teori ini menjelaskan
adanya kekuatan yang diperlukan untuk memisahkan dua permukaan setelah adhesi
terjadi (Mathiowitz et al., 2010).
4. Teori adsoprsi
Teori ini menyatakan bahwa ikatan bioadhesive terbentuk antara substrat
adhesif dan jaringan yang lemah karena pembentukan ikatan Van der Waals dan
ikatan hidrogen. Teori ini adalah teori yang paling banyak diterima dari bioadhesi
(Good, 1977; Tabor, 1977).
5. Teori difusi
Konsep interpenetrasi dan lilitan rantai polimer bioadhesive serta rantai
polimer mukosa didukung oleh teori difusi. Kekuatan ikatan meningkat seiring
dengan meningkatnya tingkat penetrasi. Penetrasi ini tergantung dari gradien
konsentrasi dan koefisien difusi (Mikos et al., 1986).
16
untuk membuat sediaan lepas lambat, salah satunya adalah sediaan yang
dirancang untuk tetap tinggal di dalam lambung. Bentuk sediaan yang dapat
dipertahankan di dalam lambung disebut Gastro Retentive Drug Delivery System
(GRDDS). Keuntungan GRDDS diantaranya adalah mampu meningkatkan
bioavailabilitas, mengurangi obat yang terbuang dengan sia-sia, meningkatkan
kelarutan obat-obatan yang kurang larut pada lingkungan pH yang tinggi.
GRDDS juga memiliki kemampuan untuk menghantarkan obat-obatan secara
lokal di dalam lambung (contoh: antasid dan anti Helicobacter pylori) dan usus
kecil bagian atas.
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan waktu
tinggal obat di dalam lambung/Gastrict Residence Time (GRT), diantaranya
adalah suatu sistem bioadesif yang dapat melekat pada permukaan mukosa
lambung, sistem penghantaran yang dapat meningkatkan ukuran obat dengan
segera sesudah obat tersebut ditelan sehingga tertahan di dalam lambung, sistem
dengan densitas yang besar sehingga ketika masuk lambung akan segera
tenggelam di bagian lekukan lambung, sistem yang dikontrol secara
magnetik bekerja dengan menggabungkan magnetit oksida atau dilapisi oleh
magnet dan suatu sistem dengan densitas yang rendah (≈ 1,004 gram/ cm3 )
bila dibandingkan dengan cairan lambung sehingga dapat mengapung di
dalamnya (1, 2, 3).
17
mencapai absorpsi obat dalam waktu cepat ataupun mencapai bioavailabilitas yang bagus,
namun lebih permeabel jika dibandingkan dengan kulit ataupun sistem penghantaran
lainnya. Membran lipid pada mukosa mulut menahan masuknya makromolekul sehingga
molekul-molekul kecil yang tidak terionisasi dapat melintas membran ini dengan mudah
(Mathiowitz, 1999).
Mekanisme melintasnya obat melintasi membrane lipid biologis diantaranya adalah
difusi pasif, difusi pasif terfasilitasi, transport aktif dan pinositosis. Mekanisme
penghantaran obat pada mukosa bukal adalah difusi pasif yang melibatkan perpindahan
dari zat terlarut dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah pada jaringan bukal.
Absorpsi obat dari rongga mulut tidak sama dengan masuknya obat secara langsung ke
sirkulasi sistemik Karena obat seperti disimpan dalam membrane bukal atau lebih dikenal
dengan efek reeservior bukal (Mc. Elay dan Hughes, 2007).
Skema absorpsi kinetik pada penghantaran obat mukoadhesif (Mc. Elay dan Hughes,
2007).
18
mendefinisikan mukoadhesif sebagai interaksi antara permukaan musin dengan
polimer sintesis atau alam.
Kekuatan bioadhesi sutu polimer atau seri polimer ditentukan oleh asal
polimer, media lingkungan dan variable fisiologi. Faktor polimer mencakup
bobot molekul, konsentrasi polimer aktif, fleksibilitas rantai polimer dan
konformasi ruang. Faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan
bioadhesif meliputi pH, waktu kontak awal, seleksi model permukaan substrat
dan pengembangan. Adapula variabel fisiologis mencangkup pertukaran mucus
dan tingkat penyakit.
Membran mucus manusia relatif permeabel dan dapat dilewati oleh obat.
Mucus merupakan sekresi jernih dan kental yang merekat membentuk lapisan
tipis gel kontinu menutupi dan beradhesi pada epitel mukosa. Mucus disekresi
oleh sel goblet sepanjang epitel atau kelenjar eksokrin dengan acini sel
mucus. Pada manusia, tebal lapisan ini bervariasi antara 50-450um. Secara
umum komposisi mukus adalah air 95%, glikoprotein dan lemak 0,5-5% garam
mineral 1% dan protein bebas 0,5-1 %. Glikoprotein mukus merupakan
protein berbobot molekul tinggi, memiliki unit oligosakarida yang terikat
padanya. Unit ini rata-rata terdiri dari 8-10 monosakarida dari 5 tipe yang
berbeda, yaitu L-fukosa, D-galaktosa, N-asetil-D-glukosamin, N-asetil-D-
galaktosamin dan asam sialat. Asam N-asetilneuramat merupakan asam
sialat penting pada manusia. Pada hewan ada asam sialat lain, seperti asam N-
glikoneuramat dan turunannya. Asam amino utama adalah serin, treonin dan
prolin.
Pada hakekatnya semua tempat mukus dapat digunakan untuk pemberian dan
absorpsi obat, seperti mukus di saluran cerna, nasal, ocular, vaginal, rectal,
oral dan periodontal. Oleh kareana itu sediaan oral dapat dibuat dalam bentuk
mukoadhesif. Konsep bioadhesi sejak tahun 1980 telah digunakan untuk sistem
penghantaran obat. Sistem ini dibuat dengan memasukkan bahan yang memiliki
sifat adhesi ke dalam formula sediaan, sehingga dapat tinggal di tempat yang
dekat dengan jaringan tempat terjadinya absorpsi obat, pelepasan obat dekat
dengan tempat kerja , untuk meningkatkan bioavailabilitasnya dan meningkatkan
aksi lokal atau efek sistemik.
Potensi yang digunakan pada pembawa (carrier) sediaan mukoadhesif
terletak pada kemampuan berkontak secara intensif dengan
19
barrie epitel sehingga memperpanjang waktu tinggalnya di tempat terjadinya
absorpsi, efektifitas obat pada penggunaan mukoadhesif oral dapat dicapai
dengan baik melalui peningkatan lama waktu tinggal obat di saluran cerna.
Walaupun demikian ada beberapa masalah yang membatasi penggunaan
sistem pemberian ini. Permasalahannya adalah absorpsi obat di saluran cerna
dipengaruhi oleh faktor fisiologis lambung dan usus, faktor sifat fisikokimia
lingkungan usus kecil serta luas permukaan lokasi terjadinya absorpsi.
21
2.11.Keuntungan Dan Kerugian Sediaan Obat Mukoadhesif
Keuntungan
1. Memperpanjang waktu tinggal sediaan di lokasi penyerapan
sehingga meningkatkan bioavailabilitas.
2. Aksesbilitas baik.
3. Penyerapan cepat karena suplai darah besar dan laju aliran darah
baik Peningkatan kepatuhan pasien.
Kerugian
1. Terjadi efek berbisul lokal karena kontak lama dari obat
2. Penerimaan pasien dalam hal selera, iritasi dan mulut terasa
harus diperiksa.
B. Nasal Cavity
Lapisan mukosa hidung memiliki luas permukaan sekitar 150 – 200
cm2. Waktu tinggal 15 – 30 menit.
Contoh : Nasacort , Beconase, dan Sterimar
22
C. Buccal Cavity
Mukosa buccal mengacu pada bagian dalam pipi dan bibir.
Penghantaran obat melalui rongga buccal menghindari first pass metabolisme
dan pemberiannya mudah. Polimer bioadhesif dapat menahan sediaan
sehingga berada pada lokasi absorpsi.
Contoh : Buccastem
23
2.13.Studi Disolusi In Vitro
Pelepasan obat RD diuji dengan alat disolusi NTR-3000 tipe 2 (paddle). Medium uji
dengan suhu 37⁰C dan paddle berotasi dengan kecepatan 50 rpm dengan posisi 2,5 cm
dari bagian dasar wadah. Setelah tablet diletakkan pada medium, sampel diambil (4 ml)
pada tiap titik waktu yang ditentukan. Supernatan sampel diukur secara fluorometri
seperti sebelumnya.
2.14.Studi In Vivo
Mencit dianastesi dengan 1,2 ml larutan garam uretan 25% b/v melalui injeksi
intraperitoneal. Sebelum dilakukan administrasi bukal, sampel darah diambil sebanyak
0,3 ml. Tablet diberikan pada setiap mencit di bagian mukosa pipi. Kemudian,
diberikan 0,1 ml larutan garam di mukosa dekat bagian bawah tempat tablet diberikan.
Sampel darah (0,3 ml) diambil melalui vena jugularis pada titik-titik waktu yang
ditentukan. Darah disentrifugasi pada 1400 x g selama 5 menit dan diperoleh plasma.
Plasma (0,1 ml) dicampur dengan 0,1 ml penyangga karbonat 1M (pH 9,5) dan diaduk
rata. Kemudian, ditambahkan 0,5 ml etil asetat, digoyangkan dan disentrifugasi pada
1500 x g selama 10 menit. Fase organik yang terbentuk (0,3 ml) diambil, dan pelarut
diuapkan dengan gas nitrogen. Residu dilarutkan dalam 0,1 ml pelarut HPLC. Sebanyak
40 μl larutan diinjeksikan ke dalam kolom HPLC untuk menetapkan kadar RD.
2.15.Evaluasi Bioavailability
Tablet diberikan secara oral dengan masa istirahat (wash out period) selama 2
minggu.
24
Selanjutnya pengambilan sampel darah sejumlah 1,0 mL diambil dari vena marginalis
telinga kelinci pada menit ke-0, 3, 6, 9, 12, 15, 30, 60, 120, 180, 240, 300, 360, 420,
480, 540, dan 600. Darah ditampung dalam mikrotube yang mengandung 100 µL
larutan campuran NaF 25 µg/mL & kalium oksalat 20 µg/mL.
Kemudian penetapan kadar analit dalam plasma ditetapkan menggunakan HPLC
dengan fase gerak asetonitril : dapar fosfat 20 mM pH 2,5 (30:70 v/v), kolom
LiChroCART 250-4,6 Purospher Star RP-18 Endcapped (5µm), dan detektor UV
pada panjang gelombang 230 nm. Sampel darah yang diperoleh segera divortex
selama 10 detik, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 xg selama 10
menit sehingga diperoleh bagian plasma (disimpan dalam wadah dengan penangas
es). Plasma segera diekstraksi (dalam waktu kurang dari 60 menit) dengan prosedur
sebagai berikut : 250 µL plasma, ditambah 20 µL larutan asam benzoat kadar 0,025
µg/mL (sebagai standar internal) dan 20 µL asam perklorat 17,5%, divortex 10 detik,
kemudian ditambah 1,0 mL dietil eter, divortex 3 menit. Larutan sampel disentrifugasi
pada kecepatan 12.000 xg selama 3 menit sehingga diperoleh fase organik (bagian
atas) dan fase air (bagian bawah). Fase organik diambil seluruhnya, ditempatkan
dalam vial, dan diuapkan di bawah aliran N2 cair. Residu yang diperoleh
direkonstitusi dengan 500 µL pelarut asetonitril : dapar fosfat 20 mM pH 2,5 (2:7).
Sampel selanjutnya disimpan dalam freezer pada suhu -40ºC. Tidak lebih dari 12 jam
setelah penyimpanan, sampel beku dicairkan dalam wadah penangas es, kemudian
diinjeksikan ke sistem HPLC dengan volume 20 µL dan kecepatan alir 1,5 mL/menit.
Analisa data bioavailabilitas relatif (Frelatif) ditentukan berdasarkan parameter AUC
tablet floating tablet salut enterik. Harga parameter AUC dibandingkan secara statistik
dengan uji t pada taraf kepercayaan 95% menggunakan perangkat lunak SPSS versi
16.0.
25
BAB III
REVIEW JURNAL
Penulis : Siti Inayah, Lizma Febrina, Novita Eka Kartab Putri Tobing, Jaka
Fadraersada
Tujuan Penelitian : Tujuan penelitian ini yaitu untuk memodifikasi rute penghantaran
celecoxib dengan memformulasikan dalam bentuk sediaan patch bukal
mukoadhesif.
Patch F1 menunjukkan karakteristik patch yang baik dan memiliki profil pelepasan obat yang
tinggi. Patch bukal mukoadhesif merupakan sistem penghantaran obat yang penggunaanya
dengan cara diletakkan diantara gusi dan membran pipi bagian dalam.
Celecoxib merupakan obat NSAID yang telah digunakan secara luas untuk mengobati
penyakit artritis. Sehingga diperlukannya modifikasi rute penghantaran obat diantaranya
dengan memformulasikan dalam bentuk sediaan patch bukal mukoadhesif.
Formulasi patch dengan HPMC memiliki sifat bioadhesif yang maksimum dibandingkan
dengan patch yang mengandung polimer polivinil alkohol (PVA) dan yang mengandung
kombinasi PVA serta polivinil pirolidon (PVP).
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan formulasi patch celecoxib yang dibuat dengan
menggunakan HPMC sebagai polimer mukoadhesif dan etil selulosa sebagai lapisan backing.
Pembuatan patch bukal mukoadhesif celecoxib Patch dibuat dengan menggunakan metode
solvent casting. Kurva baku dibuat dengan memplotkan kadar celecoxib sebagai X dan
absorbansi yang dihasilkan sebagai Y dalam persamaan regresi linier.
26
b. Uji Keseragaman Ketebalan Ketebalan patch diukur menggunkan mikrometer sekrup
di tiga titik berbeda pada setiap patch dari masing-masing formula. Diambil secara
acak 10 buah patch setiap formula kemudian diukur ketebalannya.
c. Uji pH Permukaaan Patch Patch dari setiap formula diambil secara acak, kemudian
dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi 0,5 ml aquades selama 120 menit
dalam temperatur ruang dan pH permukaan patch diukur dengan menggunakan pH
meter.
d. Uji Kemampuan Mengembang Pengembangan patch diukur dengan menempatkan
patch dari masing-masing formula dengan ukuran 1 x 2 cm2 ke dalam beaker glass
yang mengandung 20 ml larutan buffer fosfat pH 6,8....
Sediaan patch celecoxib yang dibuat terdiri dari dua lapisan, lapisan utama merupakan
lapisan yang mengandung polimer adhesif yaitu HPMC dan lapisan kedua merupakan lapisan
backing yang mengandung polimer etil selulosa, berfungsi untuk menahan difusi celecoxib ke
saliva serta untuk memberikan arah difusi zat aktif yang searah.
27
DAFTAR PUSTAKA
28