Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH PSIKOLOGI KOGNITIF

DAMPAK COVID-19 PADA


COGNITIVE ACTION/PERILAKU KOGNITIF

Dosen Pengampu:
Dr.Bambang Parmadie,S.Pd.M.Sn

Oleh :

Nama : Tesa Letareni Damanik


NPM : A1G019064
Kelas : 2A

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2020
DAFTAR ISI Halaman

DAFTAR ISI....................................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Ruang Lingkup Masalah...................................................................................................1
1.3 Manfaat.............................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................2
2.1 Pengertian Covid-19.........................................................................................................2
2.2 Psikologi Kognitif.............................................................................................................2
2.3 Pengaruh Adanya Pandemi Covid-19 Terhadap Perilaku Kognitif..................................3
BAB III PENUTUP.........................................................................................................................6
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................6
3.2 Saran..................................................................................................................................6
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................7

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia dalam berperilaku merupakan cerminan dari kepribadian dan tempramen
manusia itu sendiri. Namun tempramen menuju ke arah reaksi psikis maupun biologis
terhadap stimulus yang ia dapatkan dari lingkungan. Kepribadian terbentuk oleh dua faktor
yaitu faktor genetis, dan faktor lingkungan. Faktor genetis merupakan faktor bawaan manusia
sejak lahir, sedangkan faktor lingkungan ialah dimana dan bagaimana ia tumbuh dan
berkembang. Tentunya di dalam berperilaku, manusia melewati proses belajar dan proses
identifikasi dalam hal melakukan kognisi sosial seperti mempresepsi, menganalisa,
mengingat, yang secara keutuhan merupakan kegiatan yang melibatkan kognisi dalam proses
penerimaan stimulus, storing sampai pada recalling memori.
Kognisi mempunyai peranan yang sangat penting dalam problem solving maupun
making decision yang merupakan aktifitas berpikir sehingga benar atau salahnya, tepat atau
tidaknya keputusan yang akan di ambil tergantung pada hasil making decision selama proses
berpikir yang melibatkan kognisi. Seperti halnya situasi pandemi Covid-19 yang terjadi saat
ini. Situasi pandemi Covid-19 atau virus corona ini menjadi salah satu penyebab kematian
terbesar di Indonesia akhir-akhir ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan yang
signifikan dari waktu ke waktu. Berdasarkan data yang disajikan oleh Candra (2020), dalam
website Republika.co.id, pertanggal 15 April 2020 sebanyak 5.136 orang terkonfirmasi positif
COVID-19 dengan jumlah pasien meninggal sejumlah 469 orang (9,13%). Keadaan ini
membuat individu merasa cemas dan banyak menimbulkan respon negatif seperti terobsesi
untuk menimbun alat kesehatan hingga dapat berdampak psikosomatis. Oleh karena itu,
Covid-19 ini akan berpengaruh pada perilaku kognitif individu.  Proses kognitif yang bekerja
dalam menghadapi perubahan ini (sebelum adanya pandemi dengan sesudah adanya pandemi)
juga tidak sama.
1.2 Ruang Lingkup Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulisan makalah ini, yakni sebagai berikut.
1. Apa pengertian dari Covid-19?
2. Apa yang dimaksud dengan perilaku kognitif?
3. Apa pengaruh yang ditimbulkan dari adanya pandemi covid-19 terhadap perilaku
kognitif?
1.3 Manfaat
Adapaun manfaat dari penulisan makalah ini, yakni sebagai berikut.
1. Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami lebih dalam tentang Covid-19.
2. Agar pembaca dapat mengetahuidan menjelaskan pengertian dari perilaku kognitif.
3. Agar pembaca dapat mengetahuibagaimana pengaruh dari Covid-19 terhadap perilaku
kognitif..

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Covid-19


Coronavirus merupakan suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada
hewan atau manusia[CITATION And19 \l 1033 ].Menurut Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia (2020), Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai
dari gejala ringan sampai berat. Beberapa jenis coronavirus diketahui menyebabkan infeksi
saluran nafas pada manusia mulai dari batuk pilek hingga yang lebih serius seperti Middle
East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS).Coronavirus jenis baru yang ditemukan menyebabkan penyakit Covid-19.
Corona virus atau yang disingkat dengam Covid-19 merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru ditemukan.Virus baru ini sebelumnya tidak
dikenal sebelum terjadi wabah di Wuhan,Tiongkok,bulan Desember 2019.Orang dapat
tertular Covid-19 dari orang lain yang terjangkit virus ini. Covid-19 dapat menyebar dari
orang ke orang melalui percikan-percikan dari hidung atau mulut yang keluar saat orang yang
terjangkit Covid-19 batuk atau mengeluarkan napas. Percikan-percikan ini kemudian jatuh ke
benda-benda dan permukaan-permukaan di sekitar. Orang yang menyentuh benda atau
permukaan tersebut lalu menyentuh mata, hidung atau mulutnya, dapat terjangkit Covid-19.
Penularan Covid-19 juga dapat terjadi jika orang menghirup percikan yang keluar dari batuk
atau napas orang yang terjangkit Covid-19. Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk
menjaga jarak lebih dari 1 meter dari orang yang sakit. WHO terus mengkaji perkembangan
penelitian tentang cara penyebaran Covid-19 dan akan menyampaikan temuan-temuan
terbaru.
2.2 Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif merupakan salah satu kajian dalam psikologi yang mempelajari
tentang persepsi, pemahaman, alur pikiran dan proses pemecahan masalah. Menurut para ahli
terkait definisi dari kognisi adalah suatu kegiatan untuk mengetahui, memperoleh,
mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan yang dilakukan suatu organisme, dan
khususnya sesuatu yang dilakukan oleh orang (Neisser, 1976). Jadi psikologi kognitif
termasuk disiplin ilmu psikologi yang mengkaji proses mental termasuk bagaimana cara
berpikir, mengingat dan belajar. Sementara menurut Ellis dan Hunt (1993), psikologi kognitif
merupakan sebuah studi tentang proses mental. Ahli lain mengatakan, seperti Anderson
(1995) bahwa psikologi kognitif mencoba memahami mekanisme-mekanisme dasar yang
melandasi pikiran manusia. Kognisi atau aktivitas - aktivitas mental meliputi pemerolehan,
penyimpanan, pengambilan dan penggunaan pengetahuan. Dengan kata lain, psikologi
kognitif dimaksud sebagai suatu pendekatan teoritis dalam psikologi yang menitikberatkan
struktur dan proses proses mental (Matlin, 1998). Oleh karena itu psikologi kognitif itu sangat
berkaitan erat dengan bagaimana manusia memperhatikan serta memperoleh informasi dunia,
atau bagaimana informasi tersebut disimpan dan dikelola di dalam otak, dan bagaimana
manusia memecahkan masalah, berpikir, dan merumuskan bahasa. Psikologi kognitif adalah
studi tentang proses mental (Solso, 2001).
Ada sejumlah alasan mengapa psikologi kognitif perlu dipelajari. Menurut Matlin
(1998), ada tiga adalah mempelajari psikologi kognitif, yakni bahwa kognisi merupakan satu
bagian utama dalam studi mengenai psikologi manusia. Misalnya apa yang individu lakukan
beberapa jam yang lalu akan membutuhkan persepsi, memori, bahasa dan berpikir.

2
Pendekatan psikologi kognitif telah berpengaruh secara luas pada bidang psikologi lain seperti
psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi perkembangan dan psikologi kesehatan.
Selain itu, psikologi kognitif juga mempengaruhi disiplin ilmu lain, misalnya terdapat jurnal
psikologi politik yang mengkaji sumbangan faktor kognitif terhadap situasi politik. Apresiasi
manusia terhadap psikologi kognitif akan membantu seseorang untuk memahami bidang
psikologi lain. Alasan ketiga lebih bersifat pribadi, manusia punya alat impresif yakni pikiran
dan dapat menggunakan alat itu setiap menit. Buku psikologi kognitif akan berfungsi seperti
buku petunjuk mengenai bagaimana cara bekerjanya pikiran manusia serta kiat-kiat
meningkatkan kinerja manusia.
2.3 Pengaruh Adanya Pandemi Covid-19 Terhadap Perilaku Kognitif
Karena beberapa respons yang berkembang terhadap penyakit Covid-19, ketakutan akan
penularan membuat lebih konformis dan berpikir secara kesukuan, dan kurang bisa menerima
sesuatu yang unik. Penilaian moral individu menjadi lebih keras dan sikap sosial manusia
menjadi lebih konservatif ketika mempertimbangkan isu-isu seperti imigrasi, kebebasan
seksual dan kesetaraan. Penyakit ini mungkin dapat mempengaruhi afiliasi politik seorang
manusia. Laporan terbaru tentang “Peningkatan Xenophobia dan Rasisme” mungkin sudah
menjadi tanda pertama dari perubahan psikologis ini. Namun jika diprediksi lebih dalam,
wabah ini juga mungkin mencerminkan pergeseran sosial dan psikologis yang lebih dalam,
antara lain:
a. Sistem kekebalan perilaku
Seperti kebanyakan psikologi manusia, respons terhadap penyakit ini perlu dipahami
dalam konteks prasejarah. Sebelum kelahiran kedokteran modern, penyakit menular akan
menjadi salah satu ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup manusia. Sistem kekebalan
memiliki beberapa mekanisme luar biasa untuk memburu dan membunuh para penyerang
patogen itu. Sayangnya, reaksi-reaksi ini membuat manusia merasa mengantuk dan lesu
artinya nenek moyang dari manusia yang sakit-sakitan tidak akan dapat melakukan
kegiatan-kegiatan penting, seperti berburu, mengumpulkan makanan atau mengasuh anak.
Menjadi sakit juga mahal secara fisiologis. Peningkatan suhu tubuh selama demam,
misalnya, sangat penting untuk respon imun yang efektif - tetapi ini menghasilkan
peningkatan 13% dalam konsumsi energi tubuh. Ketika makanan langka, itu akan menjadi
beban serius. Menurut Mark Schaller, menjadi sakit, dan membiarkan sistem kekebalan
yang luar biasa ini bekerja, benar-benar mahal. Ini seperti asuransi kesehatan - sangat
menyenangkan untuk dimiliki, tetapi sangat menyebalkan ketika suatu individu harus
menggunakannya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang mengurangi risiko infeksi
seharusnya menawarkan keuntungan bertahan hidup yang berbeda.
Untuk alasan ini, mengembangkan serangkaian respons psikologis yang tidak
disadari - yang oleh Schaller disebut "sistem kekebalan perilaku" untuk bertindak sebagai
garis pertahanan pertama untuk mengurangi kontak manusia dengan patogen potensial.
Respons jijik adalah salah satu komponen paling jelas dari sistem kekebalan perilaku.
Ketika manusia menghindari hal-hal yang berbau tidak sedap atau makanan yang di yakini
najis, secara naluriah manusia akan berusaha menjauhkan diri dari kemungkinan
penularan.
b. Menyesuaikan atau tinggalkan
Berbagai eksperimen telah menunjukkan bahwa manusia menjadi lebih konformis
dan menghormati konvensi ketika manusia merasakan ancaman suatu penyakit. Schaller
meminta peserta untuk menggambarkan waktu ketika mereka sebelumnya sakit, dan

3
kemudian memberi mereka berbagai tes yang mengukur kecenderungan mereka untuk
menyesuaikan diri. Dalam satu tes, ia menunjukkan kepada para mahasiswa terkait usulan
perubahan sistem penilaian universitas, misalnya - mereka dapat memilih dengan
menempatkan satu sen dalam stoples bertanda "setuju" atau "tidak setuju". Sensitivitas
yang meningkat terhadap penyakit mendorong para peserta untuk mengikuti kawanan dan
menempatkan uang mereka di dalam toples dengan jumlah koin terbanyak.
c. Kewaspadaan moral
Sistem kekebalan perilaku dapat mengubah pemikiran manusia. Schaller berpendapat
bahwa banyak dari aturan sosial diam-diam seperti cara manusia bisa dan tidak bisa
menyiapkan makanan, jumlah kontak sosial yang diterima dan tidak, atau cara membuang
limbah manusia dapat membantu mengurangi risiko infeksi. Menurut Schaller, sepanjang
sejarah manusia, banyak norma dan ritual melayani fungsi menjaga penyakit jauh-jauh.
Orang-orang yang mematuhi norma-norma itu melayani layanan kesehatan masyarakat,
dan orang-orang yang melanggar norma-norma itu tidak hanya menempatkan diri mereka
dalam risiko tetapi juga mempengaruhi orang lain. Akibatnya, lebih bermanfaat untuk
menjadi lebih menghormati konvensi dalam menghadapi wabah menular. Logika yang
sama menjelaskan alasan mengapa kebanyakan orang menjadi lebih waspada secara moral
terhadap wabah. Penelitian telah menunjukkan bahwa ketika terbesar manusia adalah takut
penularan, manusia cenderung lebih keras ketika menilai pelanggaran loyalitas (seperti
karyawan yang menjelek-jelekkan perusahaannya) atau ketika suatu individu melihat
seseorang yang gagal menghormati otoritas (seperti hakim). Insiden-insiden khusus itu
tidak akan berdampak apa pun dalam penyebaran penyakit, tetapi dengan melanggar
konvensi, mereka telah memberikan sinyal bahwa mereka mungkin melanggar aturan lain
yang lebih relevan yang ada untuk mencegah penyakit. Bahkan pengingat penyakit yang
sangat halus dapat membentuk perilaku dan sikap individu.
d. Takut pada dunia luar
Selain membuat individu menjadi hakim yang lebih keras terhadap orang-orang
dalam kelompok sosial, ancaman penyakit juga bisa membuat manusia lebih tidak percaya
pada orang asing. Dalam profil online dan pertemuan tatap muka, Natsumi Sawada di
McGill University di Kanada telah menemukan bahwa individu membentuk kesan pertama
yang lebih buruk dari orang lain jika dirinya merasa rentan terhadap infeksi. Penelitian
lebih lanjut telah menunjukkan bahwa orang yang kurang menarik secara konvensional
dinilai sangat kasar - mungkin karena suatu individu salah mengira ciri-ciri sederhana
mereka sebagai tanda kesehatan yang buruk. Ketidakpercayaan dan kecurigaan dari
individu yang meningkat juga akan membentuk respons individu terhadap orang-orang dari
latar belakang budaya yang berbeda.
Semakin hari banyak informasi yang menyebar perihal COVID-19, dari informasi
hoax hingga informasi yang bersifat resmi dan akurat. Keadaan ini membuat individu
merasa cemas dan banyak menimbulkan respon negatif seperti terobsesi untuk menimbun
alat kesehatan hingga dapat berdampak psikosomatis. Dr. Martina mengatakan kepada
Metro (dikutip dari Yasinta, 2020) bahwa sangat mungkin banyak orang mengembangkan
gejala yang mirip dengan virus corona, hanya karena kecemasan. Banyaknya informasi
yang menjelaskan bahwa COVID-19 menyebabkan kematian membuat individu merasa
cemas yang berlebih, Kecemasan terhadap kematian yang berlebih akan menimbulkan
gangguan fungsi emosional seperti neurotisma, depresi, dan gangguan psikosomatis (Gina,
dkk, 2017). Dr. Martina juga mengatakan kepada metro, serangan panik dapat dengan

4
mudah disalahartikan sebagai permulaan virus corona. Theory of somatic weakness
menyatakan bahwa psikosomatis dapat terjadi karena organ secara biologis sudah
peka/lemah. Hal tersebut memberi arti bahwa psikosomatis akan sering terjadi/banyak
menyerang masyarakat Indonesia seiring dengan berkembangnya informasi dan kurangnya
pengetahuan terhadap hal ini, terlebih jika individu yang mengalami memiliki organ
biologis yang lemah. Kecenderungan psikosomatis akibat COVID-19 juga dapat diperkuat
oleh pendapat Prawiharjo (1973) yang menyebutkan salah satu jenis psikosomatis adalah
system respiratory (psikosomatis yang sering menyerang saluran pernapasan), mengingat
bahwa COVID-19 juga menyerang sistem pernapasan manusia, dengan ini jelas bahwa
individu yang secara tiba-tiba mengalami sesak napas belum tentu mengalami gejala
COVID, tetapi dapat diklasifikasikan pada psikosomatis sebagai respon dari ketegangan
yang dialami.
Menurut Schaller, ini mungkin timbul dari ketakutan akan ketidaksesuaian di masa
lalu. Kebanyakan orang-orang di luar mungkin lebih kecil kemungkinannya untuk
mengamati norma-norma spesifik yang dimaksudkan untuk melindungi populasi dari
infeksi, dan jadi kekhawatir mereka tanpa disadari akan (atau sengaja) menyebarkan
penyakit. Tetapi hari ini, itu dapat menghasilkan prasangka dan xenophobia. Dampak
psikologis bisa dirasakan, seperti perasaan tertekan, stres, cemas saat didiagnosis positif
Covid-19. Penderita bisa merasa cemas atau khawatir secara berlebihan ketika privasinya
atau identitasnya bocor kepada publik sehingga berdampak dikucilkan oleh lingkungan
sekitarnya.
Berdasar kajian tersebut, diharapkan setiap individu tetap tenang dalam menghadapi
situasi tersebut, karena COVID-19 juga menyerang imun tubuh, jika seorang cemas
berlebihan dan mengidap gejala psikosomatis kemudian direspon dengan panik dan
semakin berpikiran negatif, bisa saja COVID-19 benar akan menyerangnya karena
imunnya yang melemah. Kecemasan dapat direduksi dengan perilaku yang positif seperti
selalu mencuci tangan, mengenakan masker, dan akan lebih baik jika melakukan social
distancing untuk sementara waktu hingga kasus tersebut mereda. Mereduksi ketegangan
dapat juga dilakukan dengan olahraga, serta meditasi dalam bentuk resignasi/penyerahan
diri sepenuhnya kepada Tuhan sehingga dapat menenangkan afeksi serta kognisi (Weiten).
Dalam kondisi ini, reaksi dari penderita bisa berupa bersikap tidak jujur dengan
riwayat penyakit, perjalanan sebelumnya dan pernah kontak dengan penderita Covid-19
lain kepada tenaga medis. Reaksi lainnya bisa berupa penderita merasa cemas atau
khawatir tentang hasil yang lambat setelah perawatan medis. Bagi masyarakat luas dapat
menimbulkan perasaan tertekan, stres dan cemas dengan pemberitaan mengenai
meningkatnya jumlah penderita Covid-19,pemberitaan yang simpang siur atau kurang tepat
dapat memicu stres pada masyarakat yang mempengaruhi hormon stres sehingga
menyebabkan sistem imun yang menurun dan rentan tertular Covid-19. Reaksi masyarakat
dapat berupa memproteksi secara berlebihan terhadap diri maupun keluarganya. Misalnya
dengan mencuci tangan berulang kali, membersihkan rumah dan lingkungan terus-
menerus. Lebih jauh, hal ini dapat menimbulkan gejala obsesif compulsif, yaitu gangguan
mental yang menyebabkan penderitanya merasa harus melakukan suatu tindakan secara
berulang-ulang. Bila tidak dilakukan, individu tersebut akan diliputi kecemasan atau
ketakutan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada masyarakat yang kurang bijak
menyikapi kebijakan pemerintah untuk 14 hari beraktivitas di dalam rumah (belajar,
bekerja dan beribadah di rumah), dimana mereka malah berlibur ke tempat wisata.

5
Masyarakat inilah yang sebaiknya perlu diedukasi mengenai pentingnya mematuhi
kebijakan pemerintah dan dampak dari sikapnya tersebut bagi keluarganya dan masyarakat
lain.
Perlu strategi coping adaptif yaitu cara mengatasi masalah yang adaptif oleh baik
penderita maupun masyarakat luas. Perasaan khawatir, tertekan dan cemas ini apabila
dapat diolah dengan tepat oleh individu maka bisa mengarahkan individu tersebut pada
reaksi melindungi diri dengan tepat dan meningkatkan religiusitas individu karena individu
dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME. Sebaliknya, apabila strateginya adalah
coping maladaptif maka tidak menutup kemungkinan individu dapat mengalami distres,
cemas, gejala obsesif kompulsif atau permasalahan psikologis lainnya.Rini menjelaskan,
terdapat himbauan untuk masyarakat dari Himpunan Psikologi Indonesia terkait
penyebaran Covid-19 yang disingkat PSIKOLOGI. Pertama Perhatikan kesehatan, kedua
Sosial distancing, ketiga Ingatlah menjaga kebersihan, keempat Konsumsi buah, vitamin
dan makanan bergizi, kelima Olah pikir, olah rasa dan meminimalisir kecemasan, keenam
Lakukan kebiasaan baik.

6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

7
Andini, S. F. 2019. Makalah: Covid-19. Medan: SMA Negeri 3.
Ahdiany, G. N., Widianti, E., dan Fitria, N. 2017. Tingkat Kecemasan Terhadap Kematian Pada
ODHA. Jurnal Keperawatan Soedirman, 13(3): 199-208.
Chandra. 2020. Update Covid-19, Pasien Positif Tembus 5.136 Orang. Diakses dari
https://republika.co.id/berita/q8tnp2328/emupdateem-covid19-pasien-positif-tembus-
5136-orang pada 19 Mei 2020.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Dua Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
CoronavirusDisease (COVID-19). Diakses dari
https://www.kemkes.go.id/resources/download/infoterkini/COVID19%20dokumen
%20resmi/2%20Pedoman%20Pencegahan%20dan%20Pengendalian%20Coronavirus
%20Disease%20(COVID-19).pdf pada 19Mei 2020.
Prawiharjo, Soejono. 1973. Klasifikasi Penyakit Jiwa dan Aspek-Aspek Pengobatannya.
Yogyakarta: Penerbit Yogya.
Rahmawati, Yasinta. 2020. Merasa Timbul Gejala Usai Membaca Corona Jangan Panik Dulu.
Diakses dari https://www.suara.com/health/2020/03/24/101012/merasa-timbul-gejala-
usai-membaca-berita-virus-corona-jangan-panik-dulu pada 20 Mei 2020.

Anda mungkin juga menyukai