Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

“PNEUMOTHORAK/TENSION PNEUMOTHORAK ”

Oleh :

NAMA : AHMAD BUCHORI


NIM : 21117006

Dosen Pengampuh : Siti Romadhoni, S.Kep., Ns., M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
PNEUMOTHORAK/TENSION
A. Definisi
Pneumothorak adalah adanya udara dalam rongga pleura. Biasanya
pneumotorak hanya ditemukan di unilateral dan hanya pada blast-injury yang
hebat dapat ditemukan pneumotorak bilateral. (Halim danusantoso dalam
Andra Saferi Wijaya dan Yessie Mariza Putri, 2013)
Pneumothorak adalah suatu keadaan dimana terdapat akumulasi udara
ekstrapulmoner dalam rongga pleur visceral dan perinteal, yang dapat
menyebabkan timbulnya kolaps paru. Pada keadaan normal rongga pleura
tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga
dada. (Raharjoe, 2012)
Pneumothorak merupakan suatu keadaan terdapatnya udara di dalam
rongga paru pleura, akibat robeknya pleura. (Arif Mustaqqin, 2008)

B. Etiologi
Pneumothorak dapat terjadi setiap kali permukaan paru-paru pecah dan
memungkinkan udara keluar dari paru-paru ke rongga pleura. Hal ini dapat
terjadi ketika luka beberapa tusukan dinding dada yang memungkinkan udara
luar masuk ke ruang pleura. Pneumothorak spontan dapat terjadi tanpa trauma
dada, dan biasanya disebabkan oleh kista kecil pada permukaan paru-paru.
Kista tersebut dapat terjadi tanpa penyakit paru-paru yang berhubungan, atau
mereka dapat berkembang karena gangguan paru-paru yang mendasari,
emfisema yang paling umum. (Tschopp dalam, 2014)
Berdasarkan penyebabnya peneumothorak dapat dibagi atas :
1. Pneumothorak Traumatik
Pneumotorak traumatik yaitu pneumotrak yang terjadi akibat penetrasi ke
dalam rongga pleura karena luka tembus, luka tusuk, luka tembak atau
tusukan jarum.

2
Pneumotorak traumatik dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu :
a. Pneumotorak traumatik bukan latrogenik
Pneumothorak traumatik bukan latrogenik adalah penumotorak yang
terjadi karena jejas kecelakaan misalnya : jejas dada terbuka / tertutup,
barotrauma.
b. Pneumothorak trauma latrogenik
Pneumothorak yang terjadi akibat tindakan oleh tenaga medis
1) Pneumotorak traumatik latrogenik aksidental
Pneumotorak yang terjadi pasa tindakan medis karena kesalahan/
komplikasi tindakan tersebut, misalnya pada tindakan biopsi
pleural, biopsi transbronkial biopsi atau aspirasi paru perkutaneus,
barotrauma.
2) Pneumotorak traumatik latrogenik artifisial (deciberate)
Penumotorak yang sengaja dikerjakan dengan cara mengisi udara
kedalam pleura melalui jarum dengan suatu alat Maxuell Box
biasanya untuk terapi tuberkulosis (sebelum era antibiotik) atau
untuk menilai permukaan paru.
2. Pneumotorak spontan
Pneumotorak spontan adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan suatu pneumotorak yang terjadi secara tiba-tiba dan tak
terduga atau tanpa penyakit paru-paru yang mendasarinya, pneumotorak
spontan ini dapat menjadi 2 yaitu :
a. Pneumotorak spontan primer
Pneumotorak spontan primer adalah suatu penumotorak yang terjadi
adanya penyakit paru yang mendasari sebelumnya umumnya pada
individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan dengan aktivitas
belum diketahui penyebabnya.
b. Pneumotorak spontan sekunder
Pneumotorak spontan sekunder adalah suatu penumotorak yang terjadi
adanya riwayat penyakit paru yang mendasarinya (pneumotorak, asma
bronkial, TB paru, tumor paru dll). Pada klien pneumotorak spontan
sekunder bilateral, dengan resetasi torakoskopi dijumpai metatasis

3
paru yang primernya berasal dari sarkoma jaringann lunak di luar
paru.

C. Anatomi Fisiologi

Paru adalah struktur elastic yang dibungkus dalam sangkar toraks, yang
merupakan suatu bilik udara kuat dengan dinding yang dapat menahan
tekanan. Ventilasi membutuhkan gerakan dinding sangkar toraks dan
dasarnya, yaitu diafragma. Efek dari gerakan ini adalah secara bergantian
meningkatkan dan menurunkan kapasitas dada. Ketika kapasitas dalam dada
meningkat, udara masuk melalui trakea (inspirasi), karena penurunanan
tekanan di dalam, dan mengembangkan paru. Ketika dinding dada dan
diafragma kembali ke ukurannya semula (ekspirasi), paru-paru yang elastis
tersebut mengempis dan mendorong udara keluar melalui bronkus dan trakea.
Fase inspirasi dari pernapasan normalnya membutuhkan energi; fase ekspirasi
normalnya pasif. Inspirasi menempati sepertiga dari siklus pernapasan,
ekspirasi menempati dua pertiganya. (Syaifudin, 2011)
a. Pleura
Bagian terluar dari paru-paru dikelilingi oleh membrane halus, licin,
yaitu pleura, yang juga meluas untuk membungkus dinding interior toraks

4
dan permukaan superior diafragma. Pleura parietalis melapisi toraks, dan
pleura viseralis melapisi paru-paru. Antar kedua pleura ini terdapat ruang,
yang disebut spasium pleura, yang mengandung sejumlah kecil cairan
yang melicinkan permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser
dengan bebas selama ventilasi. (Syaifudin, 2011)

Gambar2
2.

b. Mediastinum
Mediatinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua
bagian membagi rongga toraks menjadi dua bagian. Mediastinum
terbentuk dari dua lapisan pleura. Semua struktuk toraks kecuali paru-paru
terletak antara kedua lapisan pleura. (Syaifudin, 2011)
c. Lobus
Setiap paru dibagi menjadi lobus-lobus. Paru kiri terdiri atas lobus
bawah dan atas, sementara paru kanan mempunyai lobus atas, tengah, dan
bawah. Setiap lobus lebih jauh dibagi lagi menjadi dua segmen yang
dipisahkan oleh fisura, yang merupakan perluasaan pleura.
d. Bronkus dan Bronkiolus
Terdapat beberapa divisi bronkus didalam setiap lobus paru. Pertama
adalah bronkus lobaris (tiga pada paru kanan dan dua pada paru kiri).
Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus segmental (10 pada paru kanan
dan 8 pada paru kiri), yang merupakan struktur yang dicari ketika memilih
posisi drainage postural yang paling efektif untuk pasien tertentu. Bronkus
segmental kemudian dibagi lagi menjadi bronkus subsegmental. Bronkus

5
ini dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki arteri, limfatik, dan saraf.
(Syaifudin, 2011)
Bronkus subsegmental kemudian membentuk percabangan menjadi
bronkiolus, yang tidak mempunyai kartilago dalam dindingnya. Patensi
bronkiolus seluruhnya tergantung pada recoil elastik otot polos
sekelilinginya dan pada tekanan alveolar. Brokiolus mengandung kelenjar
submukosa, yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak
terputus untuk lapisan bagian dalam jalan napas. Bronkus dan bronkiolus
juga dilapisi oleh sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh “rambut”
pendek yang disebut silia. Silia ini menciptakan gerakan menyapu yang
konstan yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing
menjauhi paru menuju laring. (Syaifudin, 2011)
Bronkiolus kemudian membentuk percabangan menjadi bronkiolus
terminalis, yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus
terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori, yang dianggap
menjadi saluran transisional antara jalan udara konduksi dan jalan udara
pertukaran gas. Sampai pada titik ini, jalan udara konduksi mengandung
sekitar 150 ml udara dalam percabangan trakeobronkial yang tidak ikut
serta dalam pertukaran gas. Ini dikenal sebagai ruang rugi fisiologik.
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan
sakus alveolar kemudian alveoli. Pertukaran oksigen dan karbon dioksida
terjadi dalam alveoli. (Syaifudin, 2011)
e. Alveoli
Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli, yang tersusun dalam kluster
anatara 15 sampai 20 alveoli. Begitu banyaknya alveoli ini sehingga jika
mereka bersatu untuk membentuk satu lembar, akan menutupi area 70
meter persegi (seukuran lapangan tennis). Terdapat tiga jenis sel-sel
alveolar. Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding
alaveolar. Sel-sel alveolar tipe II, sel-sel yang aktif secara metabolic,
mensekresi surfaktan, suatu fosfolid yang melapisi permukaan dalam dan
mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel alveoli tipe III adalah makrofag
yang merupakan sel-sel fagositis yang besar yang memakan benda asing

6
(mis., lender, bakteri) dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang
penting. (Syaifudin, 2011)

Selama inspirasi, udara mengalir dari lingkungan sekitar ke dalam trakea,


bronkus, bronkiolus, dan alveoli. Selama ekspirasi, gas alveolar menjalani rute
yang sama dengan arah yang berlawanan. Faktor fisik yang mengatur aliran
udara masuk dan keluar paru-paru secara bersamaan disebut sebagai
mekanisme ventilasi dan mencakup varians tekanan udara, resistensi terhadap
aliran udara, dan kompliens paru. Varians tekanan udara, udara mengalir dari
region yang tekanannya tinggi ke region dengan tekanan lebih rendah. Selama
inspirasi, gerakan diafragma dan otot-otot pernapasan lain memperbesar
rongga toraks dan dengan demikian menurunkan tekanan dalam toraks sampai
tingkat di bawah atmosfir. Karenanya, udara tertarik melalui trakea dan
bronkus ke dalam alveoli. Selama ekspirasi normal, diafragma rileks, dan paru
mengempis, mengakibatkan penurunan ukuran rongga toraks. Tekanan alveolar
kemudian melebihi tekanan atmosfir, dan udara mengalir dari paru-paru ke
dalam atmosfir. (Syaifudin, 2011)

D. Patoflow
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis mesoteral, ditunjung oleh
jaringan ikat,pembuluh-pembuluh dara kapiler dan pembuluh getah bening,
rongga pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura
parietalis yang melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago,
diapragma dan menyusup kedalam pleura dan tidak sinsitif terhadap nyeri.

7
Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10-20ml) dan berfungsi sebagai
pelumas diantara kedua lapisan pleura. (Prince, 2006)
Patogenesis pneumotorak spontan sampai sekarang belum jelas.
1. Pneumotorak Spontan Primer
Pneumotorak spontan primer terjadi karena robeknya suatu kantong
udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara petologis membuktikan
bahwa pasien pneumotorak spontan yang parunya dipesersi tampak adanya
satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk blab dan bulla. (Prince,
2006). Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pelura
fibrotik yang menebal sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan
sebagian lagi oleh jaraingan paru emfisematus. Blab terbentuk dari suatu
alveoli yang pecah melalui suatu jaringan intertisial kedalam lapisan tipis
pleura viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme
pembentukan bulla/blab belum jelas , banyak pendapat mengatakan
terjadainya kerusakan bagian apeks paru akibat tekanan pleura lebih
negatif. Pada pneumotorak spontan terjadi apabila dilihat secara patologis
dan radiologis terdapat bulla di apeks paru. Observasi klinik
yangdilakukan pada pasien pneumotorak spontan primer ternyata
mendapatkan pneumotorak lebih banyak dijumpai pada pasien pria
berbadan kkurus dan tinggi. Kelainan intrinsik jaringan konetif
mempunyai kecenderungan terbentuknya blab atau bulla yang meningkat.
(Prince, 2006)
Blab atau bulla yang pecah masih belum jelas hubungan dengan
aktivitas yang berlebihan,karena pada orang-orang yang tanpa aktivitas
(istirahat) juga dapat terjadi pneumotorak. Pecahnya alveoli juga dikatakan
berhubungan dengan obstruksi check-valve pada saluran napas dapat
diakibatkan oleh beberapa sebab antara lain : infeksi atau infeksi tidak
nyata yang menimbulkan suatu penumpukan mukus dalam bronkial.
(Prince, 2006)
2. Pneumotorak Spontan Sekunder
Disebutkann bahwa terjadinya pneumotorak ini adalah akibat pecahnya
blab viseralis atau bulla pneumotorak dan sering berhubungan dengan

8
penyakit paru yang medasarinya. Patogenesis penumotorak ini umumnya
terjadi akibat komplikasi asma, fibrosis kistik, TB paru, penyakit-penyakit
paru infiltra lainnya misalnya pneumotoral supuratif, penumonia carinci.
Pneumotorak spontan sekunder lebih serius keadaanya karena adanya
penyakit yang mendasarinya. (Corwin, E. 2006)

Komplikasi PPOK
Trauma/tajam
tumpul
pecahnya
viselari
blab
s
Robekan
pleura
Pneumothorak

Akumulasi
dalam
Udarakavum
pleura

Penurun Pemasangan WSD


Ekspansi
an
paru
Ketidak
Efektifan Pola Diskontinuitas Pemasangan WSD
Nafas jaringan

Kerusakan Risiko Infeksi


Integritas Kulit

Merangsang reseptor
nyeri pada pleura Merangsang
nyeri pada periver kulit
reseptor
viselaris dan parietalis

Nyeri Akut

E. Manifestasi Klinik

9
Gejala klinis pneumotoraks spontan bergantung pada ada tidaknya tension
pneumotoraks serta berat ringan pneumotoraks. Pasien secara spontan
mengeluh nyeri dan sesak napas yang muncul secara tiba-tiba. Berdasarkan
anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah:
1. Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien. (Barmawi dan
Budiono, 2006)
Menurut Sudoyo (2006), Tanda dan gejala pneumothorak berupa :
1. Sesak napas
2. Dada terasa sempit
3. Gelisah
4. Keringat dingin
5. Sianosis
6. Tampak sisi yang terserang menonjol dan tertinggal dalam pernapasan
7. Perkusi hipersonor
8. Pergeseran mediastinum ke sisi sehat
9. Pola napas melemah pada bagian yang terkena
10. Suara amforik
11. Nyeri pleura
12. Hipotensi

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Sudoyo (2006), untuk menentukan diagnosa pada pneumothorak
dapat dilakukan cara sebagai berikut:
1. GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengaruhi ,
gangguan mekanisme pernapasan dan kemampuan mengkompensasi.
P4CO2 mungkin normal atau menurun, saturasi O2 biasanya menurun.
2. Sinar X dada : Menyatakan akumulasi udara atau cairan pada era pleura,
dapat menunjukkan penyimpanan struktur mediatinal jantung
3. Torasentesis : Menyatakan darah atau cairan sero anguinora (hemotorak)
4. HB : Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah

10
5. Pemeriksaan Radiologi : Gambaran radiologis pneumotorak akan tampak
hitam, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi
paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, tetapi
berbentuk lobuler yang sesuai dengan lobus paru. Ada kalanya paru yang
mengalami kolaps tersebut, hanya tampak seperti masa yang berada di
daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolpas paru yang luas sekali.
Besarnya kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak
napas yang dikeluhkan.

G. Pengkajian
1. Anamnesis
Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur , jenis
kelamin, alamt rumah, agama tau kepercayaan, suku bangsa, bangsa yang
dipakai, status pendidikan, dan pekerjaan klien/ asuransi keseahtan.
Keluhan utama meliputi sesak napas, bernapas terasa berat pada dada, dan
keluhan susah untuk melakukan pernapasan.
2. Riwayat penyakit saat ini
Keluhan sesak napas sering kali datang mendadak dan semakin lama
semakin berat. Nyeri dada dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat,
tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerakan pernapasan. Selanjutnya
dikaji apakah ada riwayat trauma yang mengenai rongga dada seperti
peluru yang menembus dada dan paru, ledakan yang menyebabkan
peningkatan tekanan udara dan terjadi tekanan di dada yang mendadak
menyebabkan tekanan dalam paru meningkat, kecelakaan lalu lintas
biasanya menyebabkan trauma tumpul di dada atau tusukan benda tajam
langsung menembus pleura.
3. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan apakah klien pernah menderita penyakit seperti Tb paru
di mana sering terjadi pada pneumotorak spontan.

4. Riwayat penyakit keluarga

11
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-
penyakit yang mungkin menyebabkan pneumotorak seperti kanker paru,
dan lain-lain.
5. Riwayat Psikososial
Pengkajian psikososial meliputi perasaan klien terhadap penyakitnya,
bagaiman cara mengatasinya, serta bagaimana prilaku kien pada tindakan
yang dilakukan terhadap dirinya.
6. Pengkajian Data Dasar
a. Aktivitas / Istirahat
Gejala : Dispnea dengn aktivitas atau istirahat
b. Sirkulasi
Tanda :
1) Takikardi
2) Frekuensi TAK teratur/ disritmia
3) S3/S4 atau irama gallop (gagal jantung sekunder terhadap efusi)
4) Nadi apikal berpinah oleh adanya penyimpangan mediastinal
dengan tegangan pneumotorak)
5) Tanda hormon (bunyi renyah sehubungan dengan denyut
jantung,menunjukkan udara dalamm mediatinum)
6) TD : hipotensi atau hipertensi
7) DVJ
c. Integritas EGO
Tanda : ketakutan,kegelisahan.
d. Maknanan atau cairan
Tanda : adanya pemasangan IV sena sentral atau infus tekanan
e. Nyeri atau kenyamanan
Gejala :
1) Nyeri dada unilateral, meningkat karena pernapasan,batuk
2) Timbul tiba-tiba gejala sementara batuk atau regangan
pneumotorak spontan, tajam dan nyeri, menusuk yang diperberat
oleh napas dalam, kemungkinan menyebabkan keleher, bahu,
abdomen efusi pleura).

12
Tanda :
1) Berhati-hati pada area yang sakit
2) Perilaku distraksi
3) Mengkerutkan wajah
f. Pernapasan
Gejala :
1) Kesulitan bernafas
2) Bauk, riwayat bedah dada atau trauma, infeksi paru, Ca
3) Pneumotorak sebelumnya, ruptur episematus bulla spontan, bleb
sub pleural
Tanda :
1) Pernapasan, peningkatan frekuensi (takipnea)
2) Peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesoris pernapasan
pada dada leher, retraksi iterkostal, ekspirasi abdominal kuat
3) Bunyi napas menurun atau tidak ada
4) Premitus menurun (sisi yang terlibat)
5) Perkusi pada ; Hipersonan di atas area bersih udara
6) Observasi dan palpasi dada; gerakan dada tidak sama (pardoksik)
bila trauma atau kempes, penurunan pengembangan toraks
7) Kulit ;pucat, cianosis, berkeringat, krepitas sub kutan
8) Mental ; ansietas, gelisah, bingung,pengsan
g. Keamanan
Gejala  :
1) Adanya trauma dada
2) Radiasi atau kemoterapi untuk keganasan
h. Pemeriksaan
Gejala :
1) GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang
dipengaruhi , gangguan mekanisme pernapasan dan kemampuan
mengkompensasi. P4CO2 mungkin normal atau menurun, saturasi
O2 biasanya menurun

13
2) Sinar X dada : Menyatakan akumulasi  udara atau cairan pada era
pleura, dapat menunjukkan penyimpanan struktur mediatinal
jantung)
3) Torasentesis : menyatakan darah atau cairan sero anguinora
(hemotorak)
4) HB : Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah. (Marilyn
E Doenges, 2000)

H. Diagnosa
1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru dan akumulasi udara dalam pleura ditandai
dengan pola napas abnormal.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (luka insisi post
pemasangan WSD) ditandai dengan keluhan tentang karakteristik nyeri
dengan menggunakan standar instrumen nyeri.
3. Resiko infeksi ditandai dengan faktor resiko diskontinuitas jaringan.
(NANDA, 2018-2020)

I. Intervensi
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN (NOC) (NIC)

14
1. Ketidak efektifan Setelah dilakukan tindakan NIC : Menajemen
pola nafas keperawatan,Pola napas pasien asma
berhubungan diharapkan menunjukan 1. Identifikasi faktor
dengan posisi tubuh perbaikan “Status pernapasan“ penyebab kolaps:
yang menghambat dengan criteria hasil: trauma, infeksi
ekspansi paru dan N INDIKATOR T komplikasi
akumulasi udara O mekanik
dalam pleura 1. Frekuensi 5 pernapasan.
ditandai dengan pernafasan 2. Observasi
pola napas 2. Kedalaman 5
abnormal. inspirasi TTV
3. Suara auskultasi 5 3. Monitor kecepatan
nafas irama,kedalaman,da
Skala indicator : n usaha pernafasan
1. Deviasi berat dari kisaran
normal 4. Ajarkan teknik
bernafas atau
2. Deviasi yang cukup berat dari relaksasi
kisaran
5. Ajarkan teknik
3. Deviasi sedang dari kisaran yang tepat untuk
normal menggunakan
pengobatan dan alat
4. Deviasi ringan dari kisaran
(misalnya
normal
inhaler,netulner,pea
5. Tidak ada deviasi dari kisaran k flow meter)
normal
6. Berikan pengobatan
dengan tepat atau
sesuai kebijakan
dan petunjuk
prosedur.

2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan NIC : Pemberian


berhubungan keperawatan ,pasien diharapkan analgesic
dengan agen cedera menunjukan perbaikan “Control 1. Monitor TTV
fisik (luka insisi nyeri“ dengan criteria hasil: sebelum dan
post pemasangan N INDIKATOR T sesudah
WSD) ditandai O memberikan
dengan keluhan 1. Mengenali kapan 5 analgesic
tentang karakteristik nyeri terjadi
nyeri dengan 2. Mampu mengontrol 5 2. Cek perintah
menggunakan nyeri pengobatan
standar instrumen 3. Menggunakan 5 meliputi
nyeri. tindakan obat,dosis,dan
pengurangan nyeri frekuensi obat
tanpa analgesic analgesic yang di
resepkan
Skala indicator

15
1. Tidak pernah menunjukan 3. Ajarkan tentang
penggunaan
2. Jarang menujukan analgesic,strategi
untuk menurunkan
3. Kadang-kadang menunjukan
efek samping dan
4. Sering menujukan harapan terkait
dengan keterlibatan
5. Secara konsisten dalam keputusan
menunjukan pengurangan nyeri
4. Gunakan teknik
komunikasi
terapeutik untuk
mengetahui
pengalaman nyeri
5. Kolaborasi dokter
dengan apakah
obat,dosis,rute
pemebrian,atau
perubahan interval
dibutuhkan,buat
rekomendasi
khusus berdasrkan
prinsip analgesic.

3. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan NIC : Kontrol


ditandai dengan keperawatan ,pasien diharapkan Infeksi
faktor resiko menunjukan perbaikan 1. Alokasikan
diskontinuitas “Keparahan Infeksi“ dengan kesesuaian luas
jaringan. criteria hasil: ruang per pasien ,
N INDIKATOR T seperti yang di
O indikasikan oleh
1. Kemerahan 5 pedoman pusat
2. Cairan (luka) yang 5 pengendalian dan
berbau busuk pencegahan
3. Vesikel yang tidak 5 penyakit
mengeras
permukaanya 2. Bersihkan
lingkungan
Scala indicator :
denganbaik setelah
1. Berat
digunakan untuk
2. Cukup Berat setiap pasien

3. Sedang 3. Ganti peralatan


perawatan per
4. Ringan pasien sesuai
protocol institusi
5. Tidak ada
4. Isolasi orang yang

16
terkena penyakit
menular
5. Batasi jumlah
pengunjung
6. Pastikan Teknik
perawatan luka
yang benar.

DAFTAR PUSTAKA
Barbara, C long. 1996. Perawatan Medical Bedah. Pajajaran Bandung.
Brunner & Suddarth. 2005. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofiologi Edisi Revisi 3. Jakarta: EGC
David C. 1994. Buku Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
Doenges, M. E. 2000. Rencanan Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
Muntaqqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
Prince, Sylvia. 2006. Patofisiologi ; Komsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi
6. Ptofisiologi; Komsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Saferi, Andra Wijaya dan Yessie Mariza Putri. 2013. KMB Keperawatan
Dewasa. Jakarta: Numed.
Syaifuddin, H. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 3.
Jakarta: EGC.

17

Anda mungkin juga menyukai