Anda di halaman 1dari 14

BAGAIMANA MEREKA BELAJAR?

Pada pertemuan pertama yang merupakan sesi muqoddimah dari kajian rutin ini, telah disampaikan mengenai
fenomena telah banyaknya orang yang berhijrah, banyaknya orang yang mendapatkan hidayah sehingga lebih
suka melangkahkan kakinya ke rumah-rumah Allah, namun tidak sedikit dari mereka yang belum mengetahui
bagaimana para ulama belajar, sedangkan kita dituntut untuk mengikuti metode belajar tentunya sesuai dengan
kemampuan kita

Mereka Senantiasa Haus Akan Ilmu


Selain itu, para ulama terdahulu selalu haus akan ilmu. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam;

“Ada dua kelompok yang selalu tamak dan tidak pernah merasa kenyang, penuntut ilmu dan penuntut dunia.”
(HR. Hakim)

Demikian hadits ini adalah wahyu, mukjizat yang selanjutnya dibenarkan oleh para ulama kita di dalam
catatan-catatan sejarah mereka. (1) Dimana mereka sebagai penuntut ilmu tidak pernah lepas dahaga akan
ilmu, dan (2) Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam menyamakan dengan ahli dunia.

Dan begitulah para ulama kita mempelajari firman-firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hadits-hadits Nabi
Shallallahu‘alaihi wa Sallam, hasrat mereka seperti ahli dunia mengejar dunianya.

Abul ‘Aaliyah mengatakan:

“Kami dahulu mendengar riwayat-riwayat yang disampaikan oleh sahabat-sahabat Nabi Shallallahu‘alaihi
wa Sallam dan pada saat itu kami berada di Iraq, kami tidak pernah puas sampai kami atur perjalanan pergi
ke Madinah untuk mendengar langsung dari lisan mereka.” (alkifayah 403)

Dan itu pula yang disampaikan oleh Imam Ahmad ketika ditanya, “apakah penuntut ilmu perlu melakukan
perjalanan jauh dalam rangka menuntut ilmu?” Beliau menjawab: ya, demi ALLAH sangat ditekankan. Lalu
beliau mencontohkan 'alqomah dan al aswad saat mendengar hadits dari umar bin alkhatthab lalu mereka tidak
puas sampai mereka safar ke madinah dan mendengar langsung dari Umar. (Muqaddimah ibnus shaalah 1/354)

Jadi kalau boleh kita qiyaskan , jikalau sekarang sudah ada kajian _ livestreaming_ , ada radio serta media
yang memudahkan lain sebagainya, bagi penuntut ilmu sejati mereka tidak akan puas dengan media itu, sang
penuntut ilmu sejati akan berusaha datang, karena atmosfir kajian beda berkah dan pahalanya. Kecuali jika
kondisi memang tidak memungkinkan

Setali tiga uang; sebagaimana orang yang hobi duniawi, maka dia tidak akan pernah puas menonton
pertandingan olahraga hanya melihat dari TV saja. Jika orang penggemar fanatik F1, dirinya akan rela ke
Singapura ketika perhelatan digelar di sana. Jika penggemar bola, maka dimanapun kesebelasan favoritnya
bertanding ia akan setia mendampinginya. Dan contoh lain sebagainya.

Mereka Rela Bersusah Payah Demi Menuntut Ilmu


Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya besarnya pahala tergantung besarnya ujian ….” (HR. Tirmidzi)

Kita sekarang berada di sebuah era dimana ilmu telah dibuka oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mendapatkan
hadits tinggal sejarak sentuhan jari di smartphone. Menyimak kajian hanya sejauh jari jempol menyentuh
tombol ‘play’ di gadget. Sementara para ulama terdahulu tak ayal harus safar berhari-hari bahkan berbulan-
bulan demi hanya mendapatkan satu buah hadits. Sebagaimana kisah Jabir –radhiallahu’anhu- untuk bertemu
Abdillah bin unais, untuk mendengar hadits Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam yang berbunyi:

“Allah akan bangkitkan manusia dalam kondisi telanjang bulat … “ (HR. Bukhari).

Jabir –radhiallahu’anhu- untuk mendapatkan hadits ini berjalan kaki selama 1 bulan. (Arrihlah fi tholabil 110-
118)

Bandingkan dengan keadaan kita saat ini, untuk mendapatkan satu buku hadits yang berisikan ribuan hadits,
hanya cukup mengunduhnya dengan modal dua jempol dan kerap pula mendapatkan internet yang gratis.

Imam Syu’bah, beliau mengatakan:

“Barangsiapa yang mencari ilmu hadits, maka dia bangkrut (maksudnya biayanya tidak murah). Aku pernah
menjual baskom atau ember ibuku seharga 7 Dinar untuk belajar ilmu agama.” (Siyar A'lamin Nubala'
7/220)

Atau pula yang terjadi dengan Hisyam Ad Damasyqi harus menjual rumah demi dapat duduk di majelisnya
Imam Malik. (Tahdzibul Kamal 3/1144)

Lalu sebagai pertanyaan renungan; kenapa mereka senantiasa dimuliakan di atas kita? Padahal kalau secara
logika, dengan kemudahan teknologi di era canggih ini kita lebih bisa memiliki banyak koleksi hadits
dibandingkan mereka.

Jawabannya ada pada ucapan Syeikh Asy Syinqithi:

“Keberkahan ilmu yang membedakan,1 hadits berkah lebih baik daripada ribuan hadits tapi tidak berkah.
Yang harus diincar oleh para penuntut ilmu, bukan hanya mencari ilmu, tapi mencari keberkahan ilmu,
mencari ilmu yang bermanfa’at.”

Karena Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam pinta bukan hanya ilmu saja, tapi juga sekaligus ilmu yang
bermanfaat. Dan salah satu cara mendapatkan keberkahan ilmu adalah usaha yang sungguh-sungguh, karena
semakin kita jungkir balik mendapatkan sesuatu, sesuatu itu semakin bernilai di hati kita.

Ulama terdahulu setelah mendapatkan hadits, maka mereka mengamalkannya sehingga ilmu mereka
berkahnya luar biasa, mereka kejar dan berupaya, benar-benar kerja keras untuk ilmu.
Ja’far durustuyah, beliau menceritakan kepada kita bagaimana beliau dan teman-temannya belajar di
majelisnya ‘Ali bin Madini:

“Kita ketika mendatangi majelisnya Ali bin Madini, kita sudah sampai di lokasi di waktu Ashar untuk kajian
besok pagi lalu kami begadang, duduk sepanjang malam di lokasi, karena kita khawatir tidak mendapatkan
tempat yang kondusif untuk mendengarkan ucapan Ali bin Madini .” (al jaami' li akhlaqir rowi wa aadabis
sami' 2/138)

Sebagaimana ulama sungguh-sungguh, maka kita juga demikian. Jikalau dunia bisa dikejar, bagaimana dengan
akhirat? Sudah pantasnya kita bersungguh-sungguh mengejar ilmu sebagaimana pencinta dunia mengejar
dunia.

Jika upaya yang kita kerahkan demi dunia hingga jungkir balik bisa dilakukan, sudah sepantasnya kita pun
berjungkir balik demi akhirat.

Jika untuk mendapatkan yang fana harus kerja keras, lalu bagaimana dengan yang kekal? Mustahil kita sukses
di akhirat kalau tidak ada kerja keras.

Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam bersabda:

”Ketahuilah bahwa apa yang Allah tawarkan sangat mahal, dan yang Allah tawarkan untuk kalian adalah
surga”. (HR Tirmidzi)

Mungkinkah segampang itu kita menggapai surga? Jikalau untuk dunia kita bisa habis-habisan, kenapa akhirat
tidak bisa habis-habisan? Kalau kaidah di dunia; “tidak ada makan siang gratis” , mungkinkah untuk Surga
dapat ditebus dengan gratis? Mustahil.

Ketahuilah, jika surga itu murah, Nabi Shallallahu‘alaihi wa Sallam tidak perlu hijrah dari Mekkah ke
Madinah. Jika surga itu murah, tidak ada penyiksaan terhadap Bilal.

Dan pintu gerbangnya upaya kita menggapai surga adalah dengan belajar dan belajar dan belajar. Karena
Imam Bukhari mengatakan:

“Ilmu dulu sebelum berbicara dan beramal.”

Kisah lainnya yang pantas dijadikan teladan dalam menjemput ilmu adalah Al Imam Qutrub yang bernama asli
Abu Ali Muhammad. Beliau adalah murid Sibawayh. Dalam tinjauan bahasa, makna ‘qutrub’ adalah binatang
yang selalu bergerak dan tidak pernah lelah dan suka terlihat di malam hari. Julukan ’qutrub’ disematkan pada
dirinya oleh Sibawayh karena saat sang guru membuka pintunya untuk pergi ke masjid untuk melaksanakan
shalat subuh, Sibawayh sudah mendapatkan sang murid berdiri di depan pintu rumahnya. Hal ini sering
dilakukan oleh Al Imam Qutrub hanya demi bisa belajar dan bertanya kepada Sibawayh selama perjalanan ke
masjid. (Akhbarun nahwiyin albashriyyin 39).

Kisah lainnya para ulama terdahulu yang dapat dijadikan inspirasi dalam menjemput ilmu adalah kisah Al
Imam Ahmad bin Hanbal, yang senantiasa ditahan oleh sang ibunda dengan menahan bajunya ketika hendak
keluar rumah di pagi hari. Sang Ibunda berkata; “Jangan pergi sekarang, tunggu sampai adzan
subuh.” Hingga akhirnya beliau masuk lagi seraya berkata: “Saya ingin cepat-cepat duduk di majelisnya Abu
Bakar Ayyasy dan yang lainnya.”(Manaqib Imam Ahmad 26)

Karena mereka ingin masuk surga. Karena mereka mengetahui makna hadits Nabi Shallallahu‘alaihi wa
Sallam:

“Barangsiapa yang menuntut ilmu agama, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR.
Muslim)

Mereka Menuntut Ilmu dengan Kerendahan Hati


Imam Syafi’i sebagaimana yang dinukilkan oleh Imam Nawawi dalam Al majmu' Syarah Muhadzdzab 1/35:

“Tidak ada satupun orang yang menuntut ilmu agama ini dengan kekayaan, kekuasaan, harga dirinya yang
tinggi, lalu sukses dengannya. Namun seseorang yang mempelajari ilmu dengan merendahkan hati (bahkan
mungkin dirinya tapi di hadapan firman Allah) dan kehidupan yang sempit (bisa jadi dia orang kaya tapi
saking semangatnya belajar, akhirnya dia tidak sempat menikmati uangnya sendiri, sehingga jika dibandingkan
dengan orang miskin maka hampir sama), lalu dia berkhidmat kepada ahli ilmu (melayani ahli ilmu, beradab di
hadapan mereka), mereka yang akan sukses.”

Sebenarnya ketika kita datang ke majelis, salah satu filosofinya kita tawadhu di hadapan Allah karena kaidah
umum di masyarakat, yang datang itu yang paling kecil. Makanya berkah karena harus tawadhu di hadapan
ilmu.

Imam Mujahid dalam Shahih Bukhari mengatakan:

“Tidak akan sukses belajar ilmu agama, orang yang minder dan orang yang sombong.”

Demikiannya para ulama terdahulu bersungguh-sungguh, bukan ingin tampil, tapi ingin mencari ilmu yang
berkah.

Mereka Menuntut Ilmu Secara Bertahap


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang orang yang belajar dan mengajar dalam surat Ali Imron ayat 79:

“…Namun jadilah seorang rabbani ketika kalian belajar Al Qur’an dan mengajarkan Al Qur’an…” (QS: Ali
Imron: 79)

Tugas kita bukan hanya belajar semata, namun selaras dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki, yakni
belajar dengan metode Rabbaani. Pertanyaan besarnya, apa itu Rabbaani?

Abdullah bin Abbas menjelaskan makna Rabbaani kepada kita;

“Rabbaani adalah orang-orang yang mendidik manusia mulai dari hal-hal yang _basic sebelum perkara-
perkara yang besar dan sulit.”_shahih albukhari bab al'ilmu qoblal qouli wal 'amal
Sebagian ulama menggunakan dalil Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa Sallam tentang masalah kelembutan
dalam memahami metode pembelajaran yang bertahap:

“Sesungguhnya lemah lembut tidaklah ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari
sesuatu kecuali akan memperkeruhnya” (HR. Muslim)

Syeikh Shalih Ali Syeikh berkata:

“Dan dalam dunia ilmu kita butuh kelembutan, yaitu belajar sedikit demi sedikit (step by step). Dan metode
sebaliknya bisa dikategorikan kasar dalam belajar.”

Senada dengan perkataan Al Imam ibnu Syihab:

“Barangsiapa yang mengambil ilmu sekaligus (langsung mengambil yang besar), maka akan hilang semuanya
dalam waktu yang singkat juga, karena ilmu hanya bisa dipelajari dengan berjalannya siang dan malam.”
jami' bayanil 'ilmi wa fadhlih 464

Sebagian ulama mengatakan:

“Barangsiapa yang tidak memiliki pondasi, maka dia tidak akan sampai ke tujuan.” addurorus saniyyah 5/352

Sebagai analogi, jika anak kecil yang baru memulai belajar telah menyukai mata pelajaran matematika namun
jika oleh gurunya diberikan soal algoritma, maka besar kemungkinan kecintaan sang anak kecil pada
matematika akan luruh sekejap.

Hal yang sama pun diterapkan pada ilmu bela diri, jika seseorang langsung mempelajari sekian banyak
gerakan jurus mematikan namun ternyata kuda-kuda dasarnya lemah dan salah, maka sangatlah mudah bagi
lawannya untuk menjatuhkan dirinya.

Inilah sebagai suatu kesimpulan, kalau mau sukses maka belajarlah dengan bertahap, pelan-pelan dan pelajari
satu per satu karena itu adalah metode para ulama kita.

Karena ini adalah konsep Allah Subhanhu wa Ta’ala. Sebagaimana apa yang telah Allah firmankan dalam
menjawab metode turunnya Al Qur’an dari orang-orang kafir:

Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun
saja?"; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil (teratur dan
benar). (QS: Al Furqon: 32)

Demikiannya hati Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam yang dikokohkan secara bertahap. Karena
inilah konsep Allah Subhanahu wa Ta’ala. Konsep yang dapat diimplementasikan pada bidang keilmuan
apapun; yakni menguasai secara bertahap. Dari perihal yang termudah dan terkecil hingga bertahap ke hal
yang besar dan sulit. Inilah konsep sukses yang Allah tawarkan; kalau kita mau sukses, maka jadilah orang
Rabbaani.

Mereka Mempelajari Adab Dahulu, Sebelum Belajar Ilmu


Salah satu ilmu yang harus kita prioritaskan selain akidah, iman, ibadah-ibadah yang wajib, adalah adab,
seperti yang dikatakan Al Imam Ibnul Mubarok:
_“Dulu ulama kita belajar adab dulu sebelum belajar ilmu.”_ghoyatun nihayah 1/446

Adab akan membuat ilmu kita berjalan paralel. Ilmu yang akan membuat kita menjadi orang yang bertaqwa
kepada Allah. Itu akan membuat banyak permasalah clear dengan sendirinya karena mempunyai adab.

Contoh dalam masalah adab, telah diaplikasikan pada kisah nyata tatkala terjadi dialog dua ulama besar dari
dua madzhab yang berbeda, Ibnu Hazm Al Andalusi (Madzhab Zhahiri) dan Abul Walid Al Baaji (Madzhab
Malikiyah). (Mu'jamul Udaba' 4/1651)

Sulit dipungkiri pertemuan perbedaan yang banyak dalam keilmuan, selain itu perbedaan semakin diperjarak
pula oleh status ekonomi dari kedua ulama besar tersebut, Ibnu Hazm yang kaya raya dan Abul Walid yang
tidak banyak harta dengan pekerjaannya sebagai penjaga keamanan.

Dialog diskusi yang terjadi sangat menegangkan namun memiliki akhir yang luar biasa. Di mana Abul Walid
Al Baaji mengatakan di akhir argumennya:

“Ibnu Hazm, kalau aku salah, saya minta maaf karena mayoritas muroja’ah saya ketika saya berada di bawah
lampu malam yang temaram.”

Begitu mendengar hal itu, Ibnu Hazm tak kalah cerdas nan beradab pun mengatakan:

”Anda juga harus memaafkan saya kalau saya ada salah dalam berdebat karena saya belajar selama ini
mayoritasnya di atas mimbar-mimbar emas dan perak.”

Abul Walid Al Baaji berdalil dengan faktor materi, artinya beliau tidak mempunyai fasilitas yang menunjang
belajar beliau. Sedangkan Ibnu Hazm menjawab secara psikis karena fasilitas yang membuat kita nyaman
rentan membuat kita terlena. Dapatlah dibayangkan jikalau kita belajar di atas kursi nyaman yang dapat
memijat nan empuk, sungguh akan sulit sekali ilmu dapat masuk ke dalam sanubari. Dan ketahuilah, hal
tersebut justru lebih berbahaya, karena hati di-nina-bobokan.

Point yang ingin kita petik adalah lihat bagaimana adab diantara dua ulama ini, mereka saling meminta maaf di
akhir debat. Mereka ketika saling mengkritisi, murni karena cemburu terhadap firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.

Wallahu’alam bishawab.
=====================
InsyaAllah bersambung kembali pada kajian selanjutnya.
DI BALIK AKHLAK PARA ULAMA
Setelah Imam Ibnul Jama’ah –rahimahullah- dalam kitabnya mengucapkan basmallah pada pembukaan
kitabnya, beliau melanjutkan dengan bershalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Kenapa para Ulama Bershalawat?


Karena ini adalah metode para ulama dalam membuka buku dan risalah mereka. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Imam As Sakhowi –rahimahullah. (Alqoulul Badii'; 413)

Karena mereka ingin meraih keutamaan dan tulisan mereka diberkahi ALLAH Subhanahu wa Ta’ala.

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang bershalawat kepada diriku satu kali saja ikhlas dari lubuk hatinya, maka Allah ta’ala akan
bershalawat kepada dirinya 10 shalawat, lalu Allah akan tinggikan kedudukannya 10 derajat, lalu Allah
memberikan 10 kebaikan buatnya, lalu Allah akan hapuskan 10 dosanya.” (HR. An-Nasai fi 'Amalil Yaum;
No.64).

Demikian sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa diucapkannya
shalawat harus dari lubuk hati, harus mengerti dan harus mentadabburinya.

Lalu apa Makna Shalawat?

Para ulama membahas apa arti shalawat dan ada beberapa pendapat tentang masalah ini, wallahu a’lam
bishshowab:

1. Shalawat adalah rahmat (Abdullah bin Abbas -radhiAllahu’anhu; Imam Ad Dohhak -rahimahullah).
2. Maghfiroh, ampunan dari Allah (Al Imam Ad Dohhak dan Al Imam Muqootil – rahimakumullah )
3. Arti shalawat adalah: “Pujian Allah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di hadapan malaikat-
Nya sebagai bentuk pengagungan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, memperlihatkan
kedudukan, ketinggian, kehormatan Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Al Imam Abul ‘Aaliyah,
Al Imam Ar Robi bin Anas, Al Imam Al Kholil bin Ahmad, dikuatkan Al Imam Ibnu Hajar & Al
Imam Ibnul Qoyyim –rahimakumullah).
(Ref: Fathul baari, 11/155-156; Fadhlus Shalati 'alan Nabi, 41; Shahih Al-Bukhari & Fathul Baari,
8/532; Alqoul Badii',19; Huququn Nabi, 2/508).

Dan ketika kita mengatakan pandangan yang ketiga yang paling kuat, maka ini mencakup pandangan pertama
dan kedua . Demikiannya secara otomatis ALLAH Ta’ala merahmati Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Karena bagaimana mungkin ALLAH Ta’ala memuji dan memuliakan seseorang sedangkan ALLAH Ta’ala
membenci orang tersebut?

Puji Menunjukkan Sayang, Simpati & Cinta

Ketika kita bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kita sedang meminta agar ALLAH
Ta’ala memuji Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di hadapan para malaikat sebagai simbol kasih sayang
ALLAH Ta’ala kepada Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Jalaaul Afham; 78)

Adapun salam, kita mendoakan agar ALLAH Ta’ala memberikan keselamatan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam. Lalu pertanyaannya;
“Akankah Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam butuh shalawat dari kita?”

Jawabnya, Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak butuh, namun kita diperintahkan oleh Allah Ta’ala
untuk beradab kepada sang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bershalawat sebagaimana dalam firman-
Nya:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman,
bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS: Al Ahzab: 56)

Shalawat adalah adab. Kita sudah diberikan berbagai macam kebaikan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam agar diselamatkan ALLAH Ta’ala di dunia dan akhirat. Tunaikanlah hak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, dan salah satu hak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bershalawat dan mengucapkan salam
kepada Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Itulah makna shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun untuk kita, makna shalawat untuk
kita adalah rahmat. (Fathul Baari; 11/156).

Para ulama mengatakan bahwa akan disebutkan juga di hadapan malaikat. Inilah alasannya kenapa Imam Ibnu
Jama’ah –rahimahullah dan ulama yang lain semangat untuk bershalawat karena mereka ingin agar mereka
dirahmati oleh ALLAH Ta’ala.

Setelah Bersholawat, Memuji Allah Ta’ala


Setelah bersholawat untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Imam ibnu Jama'ah –rahimahullah kemudian
melanjutkan tulisannya dengan memuji Allah Ta’ala dengan mengatakan:

“Segala puji bagi Allah Yang Maha Baik, Maha Penyayang, Maha Luas Ilmu.”

Ini konsep para ulama, yaitu bersyukur kepada ALLAH.

Al Imam Abu Hanifah –rahimahullah- pernah menjelaskan apa kunci beliau mendapatkan ilmu yang luas:

“Sesungguhnya aku mendapatkan ilmu seperti ini kuncinya itu adalah memuji Allah dan bersyukur kepada
Allah ta’ala. Setiap aku memahami sebuah perkara, sebuah ayat, aku mengerti fiqih dari masalah tersebut,
maka aku selalu mengucapkan Alhamdulillah, ternyata ilmuku bertambah.” (Ta'limul Muta'allim; 107)

Dan ini bukanlah hal yang mengherankan, ALLAH Ta’ala yang menjanjikan:

“… Jika kalian bersyukur, maka aku akan tambah...” (QS: Ibrahim: 7)

Sudahkah kita bersyukur kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala ketika mendapatkan ilmu? Allah Ta’ala yang
menyuruh kita untuk bersyukur, bergembira, berbahagia ketika mendapatkan ilmu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Yunus ayat 58:


“Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya (Al Quran) hendaklah dengan itu mereka bergembira.
Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". (QS: Yunus: 58)

Prioritas untuk Adab


Lalu Imam Ibnul Jama’ah –rahimahullah- melanjutkan tulisannya pada kitabnya dengan menjelaskan bahwa
diantara hal yang harus di prioritaskan oleh para pemilik akal sehat khususnya di waktu muda dan sangat layak
untuk diperjuangkan adalah adab yang mulia.

Dan orang yang paling berhak, yang paling layak memiliki adab yang mulia adalah ahli ilmu.

Ucapan ini selaras dengan ulama lain seperti Al Imam Hammad bin Salamah –rahimahullah:

“Wajib bagi penuntut ilmu hadits untuk menjadi orang yang adabnya paling sempurna, rendah hati, tawadhu,
yang paling semangat ibadahnya, dan yang paling jarang labil dan marah.” (Aljami' li Akhlaqir Rowi; 1/78).

Al Imam Abu ‘Aashim –rahimahullah- menyatakan:

“Barangsiapa yang mempelajari hadits-hadits Nabi ini, maka dia telah mempelajari hal yang paling tinggi
dari dunia, maka wajib menjadi manusia yang terbaik di lingkungannya.” (Aljami' li Akhlaqir Rowi; 1/78)

Tak pelak akan memunculkan pertanyaannya, “bagaimana bisa? Ada apa di balik perubahan akhlak mereka?
Kenapa mereka harus menjadi orang yang paling tawadhu, yang paling baik akhlaknya? Apa penyebabnya?”

Jawabnya, mari kita simak penjelasan Imam Ibnu Jama'ah -rahimahullah:

Karena ilmu mereka tentang akhlak dan adab-adab Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam serta tentang
perjalanan hidup para ulama dari ahlil bait Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat dan ilmu mereka
terhadap akhlak para ulama.

Karena mereka mempelajari dan berinteraksi, akhirnya mereka terpengaruh.

Al Imam Hammad –rahimahullah menyampaikan alasan yang sama:

“Karena mereka senantiasa mendengar hadits-hadits tentang betapa baiknya Adab, shiroh Rasul - Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan para ulama.”

Dan itu persis ucapan dari Al Imam Abu ‘Aashim –rahimahullah:

“Karena selama ini anda mempelajari hadits dan hadits adalah hal yang paling tinggi di dunia.”

Ternyata karena mereka selalu mendengar, melihat dan mempelajari Alquran dan tuntunan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dengan penuh keikhlasan.
ULAMA PUN MEMPELAJARI ADAB
Selanjutnya, Imam Ibnul Jamaah –rahimahullah- melanjutkan tulisannya dalam kitab _Tadzkiratus Sami' wal
Mutakallim fi Adabil 'Alim wal Mutakallim_dengan membawakan beberapa ucapan ulama salaf tentang
pentingnya mempelajari adab:

1. Al Imam Muhammad bin Sirin –rahimahullah berkata:


"Para ulama terdahulu, mereka belajar adab sebagaimana mereka belajar ilmu."

Hal ini selaras dengan penjelasan Al Imam Ibnu Mubarak –rahimahullah- :


”Dahulu mereka (sahabat dan tabi’in) mempelajari adab sebelum ilmu.” (Ghoyatun Nihayah; 1/446)

Senada yang dinasehatkan Al Imam Malik –rahimahullah- saat beliau berkata:


”Wahai anak saudaraku, pelajarilah adab sebelum kalian mempelajari ilmu.” (Hilyatul aulia’ 6/330).

2. Al Imam Hasan Al Bashri –rahimahullah- berkata:


"Salah seorang diantara kita melakukan safar bertahun tahun untuk memiliki adab yang mulia."

Al Imam Ibnu Mubarak –rahimahullah- suatu saat ditanya: “engkau mau kemana?” Beliau menjawab: “ke
bashrah.” Lalu kembali Imam Mubarak –rahimahullah ditanya; ”Siapa yang hendak engkau temui?” Beliau –
rahimahullah menjawab: “Ibnu ‘Aun, saya ingin mengambil akhlak dan adabnya.” (Al Adabus Syar’iyyah;
2/149)

Jika ulama saja butuh safar dengan waktu bertahun-tahun, bagaimana dengan kita jika tidak memulainya?

3. Al Imam Sufyan bin 'Uyainah –rahimahullah berkata:


"Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah parameter terbesar dan segala aspek mengacu kepada beliau,
baik dari sisi akhlak, biografi dan kehidupan beliau. Barangsiapa yang sesuai dengan Rasul Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, maka dia di atas kebenaran, dan barangsiapa yang menyelisihi beliau, maka dia di atas
kebatilan.”
WAHAI ANAKKU..BELAJARLAH ADAB DARI
MEREKA..

4. Al Imam Habib bin Syahid –rahimahullah- berkata kepada anaknya:


"Wahai anakku, bersahabatlah dengan para fuqoha dan ulama, dan belajarlah ilmu dari mereka dan
ambillah/pelajarilah adab-adabnya. Sesungguhnya hal itu lebih aku sukai daripada engkau menghafal
banyak hadits."

Al Imam Malik –rahimahullah bercerita bahwa dulu ibu beliau berkata kepadanya:
"Pergilah engkau ke Rabi'ah Ar Ro'yi, lalu pelajarilah adabnya sebelum engkau mempelajari ilmu al qur'an,
hadits dan fiqihnya secara teori.” (Tartibul Madarik; 1/119).

Nasehat ini benar-benar menancap di hati Imam Malik –rahimahullah- sehingga beliau menjadi orang yang
beradab dan hal ini beliau ajarkan juga kepada murid-muridnya.

5. Dan berkata sebagian ulama salaf kepada anaknya:


"Wahai anakku, engkau mempelajari satu bab tentang adab lebih aku sukai dibandingkan engkau mempelajari
70 bab teori tentang ilmu."

6. Berkata Al Imam Makhlad bin Al Husain –rahimahullah kepada Al Imam Ibnul Mubaarok -rahimahullah:
"Kebutuhan kami terhadap adab lebih besar daripada kebutuhan kami terhadap hadits (secara teori)."

Syeikh Shalih Al 'Ushoimi –rahimahullah :


"Kalau itu yang dikatakan Makhlad kepada Ibnul Mubaarok, lalu bagaimana dengan kita?"

Apakah yang diinginkan oleh ulama kita saat mereka mengatakan adab lebih penting dari hadits? Atau adab
lebih penting dari ilmu?
Untuk menjawab pertamyaan di atas, kita perlu mendudukkan dulu: “apa itu adab?”

Imam Abdullah bin Al Mubarak –rahimahullah- menyatakan:


”Adab adalah mengenal nafsu, kepentingan-kepentingannya dan upaya menjauhi kepentingan-kepentingan
nasfu tersebut (kec yang selaras dengan agama).” (Madarijus Salikin: 2/357).

Dan ulama membagi adab menjadi 3 (Madarijus Salikin; 2/356).


1. Adab kepada ALLAH Ta’ala;
2. Adab kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam;
3. Adab kepada makhluk.

Dari keterangan di atas kita dapat memahami bahwa tidak ada maksud untuk merendahkan ilmu dan hadits.
Karena maksud mereka dengan adab adalah ilmu yang diamalkan secara nyata sehingga tercipta kepribadian
seorang muslim yang utuh dengan ALLAH Ta’ala lalu dengn Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu
dengan sesama.
TESTIMONI IMAM SYAFI'I SAAT MEMPELAJARI
ADAB
Menyambung kajian yang lalu, Imam Ibnul Jama’ah –rahimahullah- melanjutkan tulisannya pada kitab
_Tadzkiratus Sami' wal Mutakallim fi Adabil 'Alim wal Mutakallim dengan testimoni dari Imam Syafi’I –
radhiyallahu’anhu:

Dikatakan kepada Imam Syafi'i -radhiyallahu 'anhu-:


"Bagaimana hasratmu terhadap adab?"
Maka Beliau -radhiyallahu 'anhu- menjawab:
"Aku mendengar satu huruf tentang adab yang belum pernah aku dengar sebelumnya, maka seluruh
anggota tubuhku cemburu dan berharap memiliki pendengaran agar bisa menikmatinya."
Dikatakan lagi kepada Beliau -radhiyallahu 'anhu-:
"Dan bagaimana caramu mendapatkannya/mempelajarinya (belajar adab)?"

Beliau menjawab:
"Seperti seorang wanita/ibu yang mencari anaknya yang hilang dan tidak ada yang dia miliki kecuali
anaknya tersebut."

Syaikh Shalih ‘Ushaimi –rahimahullah menerangkan:


Imam Syafi’i -radhiyallahu 'anhu- menggunakan analogi seorang wanita atau ibu yang kehilangan anak
tunggalnya, hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa penuntut ilmu senantiasa merasa diri lemah,
bodoh dan tidak suci dari dosa sebagaima seorang ibu yang sedang kehilangan anaknya merasa dirinya lemah,
dan tidak pintar menjaga anak.

Penuntut ilmu seyogyanya bersungguh-sungguh dan totalitas dalam menuntut ilmu dan adab sebagaimana
seorang ibu akan mengorbankan semuanya dan mencurahkan semua tenaganya agar buah hatinya dapat
kembali ke pangkuannya.

Anda mungkin juga menyukai