Hematoma Epidural: KI 1. Hematom
Hematoma Epidural: KI 1. Hematom
KI
1. Hematom :
1. Hematoma Epidural
Hematoma jenis ini muncul cedera pada bagian kepala yang terdapat pada pembuluh arteri
meningeal tengah. Akibatnya, darah akan mengumpul di ruang epidural, yaitu di antara
bagian luar selaput otak dengan tulang tengkorak, sehingga menyebabkan hematoma.
2. Hematoma Subdural
Hematoma ini terjadi karena cedera di bagian kepala yang melibatkan pembuluh darah
vena di otak. Hal itu menyebabkan kebocoran darah yang terjadi secara perlahan. Darah
tersebut akan berkumpul di ruang bawah selaput otak (subdural) yang lebih luas dan
membutuhkan waktu lebih lama. Dan pada akhirnya gumpalan tersebut menekan jaringan
otak.
3. Hematoma Intrakranial
Hematoma jenis ini biasanya muncul pada rongga kepala dan terjadi ketika pembuluh darah
mengalami kerusakan. Seperti pada beberapa lapisan pelindung otak atau di dalam jaringan
otak, seperti halnya hematoma epidural dan hematoma subdural. Ketiganya membutuhkan
penanganan medis segera untuk mencegah terjadinya kerusakan otak yang permanen.
4. Hematoma Intramuskular
Hematoma ini terjadi di dalam jaringan otot yang dapat menyebabkan terjadinya hambatan
pada suplai darah ke otot. Sehingga, otot dan pembuluh darah di sekitar jaringan tersebut
dapat mengalami rusak permanen.
5. Hematoma Scalp
Masih di area kepala, hematoma jenis ini terjadi pada luar tengkorak, tepatnya di bawah
kulit kepala. Terkadang, pengidapnya dapat merasakan seperti ada benjolan.
6. Hematoma Telinga
Penggumpalan darah pada telinga ini terjadi karena cedera yang diakibatkan perdarahan
pada struktur tulang rawan telinga yang posisinya berada di bawah kulit telinga.
Hematoma ini terjadi apabila seseorang mengalami cedera pada hidung. Apabila tidak
segera mendapat pengobatan, tulang rawan pada hidung dapat rusak dan sekat yang
memisahkan antara lubang hidung atau septum akan mengalami robekan.
8. Hematoma Subkutan
Hematoma jenis ini terjadi pada kulit yang mengalami lebam dan memar. Hal yang
mengakibatkan hematoma ini adalah cedera pada pembuluh darah yang berada di bawah
kulit.
9. Hematoma Subungual
Hematoma ini biasanya terjadi karena cedera di jari tangan atau kaki. Hal ini dikarenakan
berkumpulnya darah di bawah kuku sehingga menyebabkan rasa nyeri pada jari-jari.
Hematoma ini menyerang bagian dalam perut. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai
cedera atau kondisi medis tertentu.
2. Refelks balbinski :
Reflek patologis.
Reflek ini akan menghilang setelah bayi berusia 6-9 bulan
RM
Spontan 4
Terhadap perintah/pembicaraan 3
Terhadap rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Respons Motorik
Sesuai perintah 6
Mengetahui lokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Reaksi fleksi-dekortikasi 3
Reaksi ekstensi-deserebrasi 2
Tidak berespons 1
Respons Verbal
Dapat berbicara dan memiliki orientasi 5
baik
Dapat berbicara, namun disorientasi 4
Berkata-kata tidak tepat dan tidak jelas 3
(nappropriate words)
Mengeluarkan suara tidak jelas 2
(incomprehensive sounds)
Tidakbersuara 1
Glasgow Coma Scale (GCS) classifies Traumatic Brain Injuries (TBI) as Mild (14–15); Moderate (9–
13) or Severe (3–8).
6. hematom berdiameter 5x3 cm di pelipis kanan. Kekuatan otot lengan dan kaki kanan menurun,
dengan atrofi pada tungkai kanan. Refleks fisiologis kanan meningkat dan didapatkan refleks
Babinski yang positif.
PEMERIKSAAN REFLEKS PATOLOGIS PENGERTIAN Refleks patologik adalah refleks-refleks yang tidak dapat
dibangkitkan pada orang-rang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan gerakan reflektorik
defendif atau postural yang pada orang dewasa yang sehat terkelola dan ditekan oleh akifitas susunan
piramidalis. Anak kecil umur antara 4 – 6 tahun masih belum memiliki susunan piramidal yang sudah
bermielinisasi penuh, sehingga aktifitas susunan piramidalnya masih belum sepmpirna. Maka dari itu
gerakan reflektorik yang dinilai sebagai refleks patologik pada orang dewasa tidak selamanya patologik jika
dijumpai pada anakanak kecil, tetapi pada orang dewasa refleks patologikselalu merupakan tanda lesi upper
motor neuron (UMN). Refleks-refleks patologik itu sebagian bersifat refleks dalam dan sebagian lainnya
bersifat refleks superfisialis. Reaksi yang diperlihatkan oleh refleks patologik itu sebagian besar adalah sama,
akan tetapi mendapatkan julukan yang bermacam-macam karena cara membangkitkannya berbeda-beda.
Adapun refleks-refleks patologik yang sering diperiksa di dalam klinik antara lain refleks Hoffmann, refleks
Tromner dan ekstensor plantar response atau tanda Babinski. SASARAN BELAJAR Mahasiswa memilki
pengetahuan dan keterampilan mengenai cara pemeriksaan refleks patologis. SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah melakukan latihan keterampilan ini, mahasiswa : 1. Dapat melakukan persiapan alat/bahan dengan
benar. 2. Dapat memberikan penjelasan pada klien atau keluarganya tentang apa yang akan dilakukan, alat
yang dipakai, bagaimana melakukan, apa manfaatnya, serta jaminan atas aspek keamananan dan
kerahasiaan data klien. 3. Dapat melakukan pemeriksaan refleks patologis dengan benar dan tepat
LO
FISIOLOGI KESADARAN
Formasi retikuler berperan penting dalam menentukan tingkat kesadaran. RAS
adalah jalur polysynaptic kompleks yang berasal dari batang otak (formasi retikuler)
dan hipotalamus dengan proyeksi ke intalaminar dan nukleus retikular thalamus
yang akan memproyeksi kembali secara menyeluruh dan tidak spesifik pada area
luas dari korteks termasuk frontal, parietal, temporal, dan oksipital (Gambar 1). Jaras
kolateralkedalamnyatidakhanyadaritraktus sensoris, tetapi juga dari traktus trigeminal,
pendengaran, penglihatan, dan penciuman. (Ganong, 2016) Kelainan yang mengenai
lintasan RAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju
ke subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat
kesadaran. (Wijdicks, 2010)
Gambar 1. Gambaran ascending reticular activating system (ARAS) pada batang otak (brainstem) memperlihatkan
proyeksi pada thalamus dan korteks serebral (Ganong, 2016)
Spontan 4
Terhadap perintah/pembicaraan 3
Terhadap rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Respons Motorik
Sesuai perintah 6
Mengetahui lokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Reaksi fleksi-dekortikasi 3
Reaksi ekstensi-deserebrasi 2
Tidak berespons 1
Respons Verbal
Dapat berbicara dan memiliki orientasi 5
baik
Dapat berbicara, namun disorientasi 4
Berkata-kata tidak tepat dan tidak jelas 3
(nappropriate words)
Mengeluarkan suara tidak jelas 2
(incomprehensive sounds)
Tidakbersuara 1
Tabel 4. Four Score
Nilai
Respons Mata
Buka mata, bola mata bergerak, dan 4
berkedip sesuai instruksi
Buka mata, namun bola mata tidak 3
mengikuti arah gerakan jari
Mata tertutup, namun membuka saat 2
terdengar suara keras
Mata tertutup, namunmembuka saat 1
ada
rangsangan nyeri
Mata tetap tertutup walaupun ada 0
rangsangan nyeri
Respons Motorik
Ibu jari tangan naik, tangan 4
menggenggam dan peace sign sesuai
instruksi
Melokalisasi nyeri 3
Reaksi fleksi terhadap nyeri 2
Extensor posturing 1
Tidak ada respons terhadap nyeri atau 0
generalized myoclonus status epilepticus
Refleks Batang Otak
Terdapat refleks pupil dan kornea 4
Satu pupil lebar dan fixed 3
Tidak ada refleks pupil atau refleks 2
kornea
Tidak ada refleks pupil dan refleks 1
kornea
Tidak ada refleks pupil, kornea, dan 0
batuk
berubah. Pentingnya pemahaman mengenai mekanisme dan penyebab dari
Pernapasan
Tidakdiintubasi
berbagai danpolapernapasan
gangguan 4
kesadaran sehingga mampu mengenali dan
teratur
membedakanpenyebabdasar pasien dengan kondisi kesadaran menurun.
Tidak diintubasi dan pola pernapasan 3
Cheyne-Stokes
Tidakdiintubasi danpolapernapasan 2
tidak teratur
Bernapas di atas ventilator rate 1
Bernapas setara ventilator rate atau 0
apnea
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan
kematian, terutama pada dewasa muda. Di Amerika Serikat, hampir 10%
kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian
akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi
setiap 7 detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit.
Cedera kepala dapat terjadi pada semua kelompok usia, namun angka
kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24 tahun. Angka
kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita
(Rowland et al, 2010).
Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan
lalu lintas yang dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007
dengan 2013 hanya untuk transportasi darat, tampak ada kenaikan cukup
tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS, 2013).
7
Test Skor
Eye Opening (E)
Spontaneous 4
Open to voice 3
Open to pain 2
None 1
Best Motor Response (M)
Follow commands 6
Localizing to painful stimuli 5
Flexion-withdraw to painful stimuli 4
Flexor / Decorticate posturing to painful stimuli 3
Extensor / Decerebrate posturing to painful 2
stimuli
None 1
Best Verbal Response
Oriented conversation 5
Confused / disoriented conversation 4
Inappropriate words 3
Incomprehensible sound 2
None 1
4. Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat benturan
dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala.
Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan
penekanan atau
laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur impresi
dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen
tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah tabula
interna segmen tulang yang sehat.
5. Fraktur basis cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang
terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali
disertai dengan robekan pada duramater yang melekat erat
pada dasar tengkorak. pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada
fraktur basis cranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s
sign pada fraktur basis cranii fossa media.
2.1.3.3.4. Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial.
Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai
pada jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banyak
ujung-ujung saraf yang rusak.
2.1.3.3.5. Avulsi
Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit
terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial.
Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas setelah cedera
(Mansjoer, 2010).
2.1.4. Patofisiologi
Cedera kepala didasarkan pada proses patofisiologi dibagi menjadi
dua yang didasarkan pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya
disebabkan oleh kekuatan fisik yang lalu diikuti proses patologis yang
terjadi segera dan sebagian besar bersifat permanen. Dari tahapan itu,
dikelompokkan cedera kepala menjadi dua (Youmans, 2011):
2.1.5.2. Hipotensi
Hipotensi, yang bisa muncul kapan saja akibat trauma, telah
dijadikan prediktor utama terhadap outcome pada pasien cedera kepala.
Hipotensi merupakan faktor yang sering ditemukan diantara kelima faktor
terkuat yang mempengaruhi outcome pasien cedera kepala. Riwayat
penderita dengan kondisi hipotensi berhubungan dengan peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas pasien cedera kepala (Chessnut, 2000;
Demetriades, 2004). Terdapatnya cedera sistemik ganda terutama yang
berhubungan dengan hipoksia sistemik dan hipotensi (tekanan sistolik <
90 mmHg), memperburuk prognosis penyembuhan (Bowers, 1980).
Miller (1978) menemukan 13% penderita dengan hipotensi dan 30%
dengan hipoksia pada saat tiba di unit gawat darurat. Diantara penderita
cedera kepala, hipotensi biasanya disebabkan kehilangan darah karena
cedera sistemik; sebagian kecil mungkin karena cedera langsung pada
pusat refleks kardiovaskular di medula oblongata. Newfield (1980)
mendapatkan angka mortalitas 83% pada penderita-penderita dengan
hipotensi sistemik pada 24 jam setelah dirawat, dibandingkan dengan
angka mortalitas 45% dari penderita-penderita tanpa hipotensi sistemik
(Moulton, 2005).
Penambahan morbiditas dari hipotesi sistemik bisa sebagai akibat
cedera iskemik sekunder dari menurunnya perfusi serebral. Hipotensi
yang ditemukan mulai dari awal cedera sampai selama perawatan
penderita merupakan faktor utama yang menentukan outcome penderita
cedera kepala, dan merupakan satu- satunya faktor penentu yang dapat
dikoreksi dengan medikamentosa. Adanya satu episode hipotensi dapat
menggandakan angka mortalitas dan meningkatkan morbiditas, oleh
karenanya koreksi terhadap hipotensi terbukti akan menurunkan
morbiditas dan mortalitas (Rovlias, 2004; Sastrodiningrat, 2006).
Pietropaoli dkk dalam penelitian retrospektifnya menemukan bahwa
hipotensi intra operatif juga memegang peranan penting, dengan
peningkatan kematian tiga kali lipat. Mekanisme yang pasti mengenai
pengaruh hipotensi dengan peningkatan derajat keparahan masih belom
jelas, tetapi pada autopsi 90% pasien cedera kepala ditemukan bukti
adanya kerusakan otak akibat iskemik (Stieffel, 2005).
2.1.5.3. Hipoksia
Katsurada dkk melaporkan bahwa diantara penderita cedera kepala
berat dalam keadaan koma, 43% mendapat hipoksia arterial dibawah 70
mmHg, 51% mempunyai perbedaan oksigen alveolar-arterial lebih dari
30% ; 14% mendapat hiperkarbia lebih dari 45 mmHg. Miller (1978)
mendapatkan bahwa 30% dari penderita ada awalnya sudah menderita
hipoksia.
Hipoksia sistemik dapat terjadi karena apnea yang tiba tiba atau
karena pola pernafasan abnormal lainnya, hipoventilasi karena cedera
sumsum tulang belakang atau obstruksi jalan nafas karena cedera kepala
atau cedera leher, juga karena cedera lansung pada dinding dada atau
paru, atau oleh emboli lemak di sirkulasi pulmonal karena fraktur tulang
panjang. Sangat sulit untuk menjelaskan efek hipoksia sistemik pada
manusia, tetapi tampaknya juga memegang peranan didalam
memperburuk prognosa (Sastrodiningrat, 2006).
Penelitian yang dilakukan Wagner (2010) pada sekelompok tikus
menjelaskan bahwa hipoksia disertai benturan menyebabkan peningkatan
kejadian edema otak bila dibandingkan dengan benturan saja, hal ini
mungkin disebabkan
oleh karena gangguan pada sel yang cedera untuk mempertahankan
hemostasis ion.
No Lesions 32
Extracerebral Hematoma 15
Bilateral Swelling 12
PRIMARY INJURY
Extra axial injury
Epidural hematoma
Subdural hematoma
Subarachnoid hemorrhage
Intraventricular hemorrhage
Intra axial injury
Axonal injury
Cortical contusion
Intracerebral hematoma
Encephalomalacia
Vascular Injury
Dissection
Carotid cavernous fistula
Arteriovenous dura fistula
Pseudoaneurysm
SECONDARY INJURY
Acute
Diffuse cerebral swelling
Brain herniation
Infarction
Infection
Chronic
Hydrocephalus
Encephalomalacia
CSF leak
Leptomeningeal cyst
Klasifikasi Kriteria
Systolic Blood
Glasgow Coma Pressur Respiratory Coded
Scale (GCS) e Rate (x/minute) Value
(mmHg
)
13-15 >89 10-29 4
9-12 76-89 >29 3
6-8 50-75 6-9 2
4-5 1-49 1-5 1
3 0 0 0
Skala untuk semua area anatomi dan organ dapat ditemukan di American
Association for the Surgery of Trauma website. AIS manual dan CD (2005) yang
tersedia dari daftar AAAM.
Regio Cedera AIS AIS2
Skor 50
keparahan
cedera (ISS)
Tabel 2.11. Kalkulasi ISS (Chawda, 2004)
5. Meninggal dunia (death) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah
dan memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan
penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu
distribusi bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati (PVS,
Death) dan penilaian ekstensi (GOS Extended).
1. Death: meninggal.
4. Upper severe disability: dapat ditinggal dirumah sendiri kurang lebih 8 jam
sehari, akan tetapi tidak dapat melakukan perjalanan jauh atau pergi
berbelanja tanpa ditemani orang lain.
PENUTUP
Kesadaran dipertahankan oleh sistem aktivasi retikuler (RAS) yang utuh di
batang otak dan otak terhubung ke thalamus dan hemisfer otak. Sistem pengaktif
retikuler (RAS) membuat seseorang tetap terjaga dan waspada selama periode
bangun. Gangguan yang secara fisik mempengaruhi area ini dapat menyebabkan
gangguan kesadaran dan kondisi kesadaran yang berubah. Patofisiologi yang mendasari
penurunan kesadaran berdasarkan pada gangguan struktural dan medis dari tingkat
gangguan kesadaran yang
KI
1. Hematom
2. Refleks fisiologis
3. Refleks Babinski
RM
1. Mengapa Wajah Pasien tampak tidak simetris dan mulut mencong ke kiri?
2. Mengapa selama pemeriksaan pasien beberapa kali berteriak sakit, berkata kotor, memaki dan
memegang kepalanya serra meronta-ronta saat dipegangi kuat?
3. Mengapa meski berteriak dan meronta mata pasien cenderung menutup seperti mengantuk?
4. Mengapa pasien hanya membuka mata dan bila dipegangi dengan kuat/diberi rangsangan nyeri,
dan tidak merespon saat diberi pertanyaan?
5. Mengapa ada hematom di pelipis kanan pada pasien dan bagaimana pengaruhnya?
6. Mengapa kekuatan otot lengan dan kaki kanan pasien menurun, disertai atrofi tungkai kanan?
7. Apa interpresi hasil pemeriksaan refleks fisiologis kanan meningkat dan refleks babinski + pada
kaki kanan?