Anda di halaman 1dari 2

Menuju Pulau Terakhir, Binongko

Awalnya saya enggan menyeberang pulau, setelah negosiasi yang menguras emosi
hampir menemui jalan buntu. Akhirnya perusahaan melunak, dan saya pun menata
kembali mutku yang sempat hancur berantakan beberapa jam lalu. Saya harus
mengabari Pak Rahman, tapi waktu telah menunjukkan pukul 23.00 malam.

"Maaf Pak Rahman, besok kita jadi menyeberang ke Binongko", tulisku pada pesan
WhatsApp. Tak sampai 5 menit, pesan balasan dari Pak Rahman masuk. "Oke, besok pagi
jam 08.00 kapal berangkat". "Siaap", balasku.

Pagi itu saya berangkat menuju Binongko dengan kapal laut. Kapal cepat seperti yang
sering kunaiki dari kendari ke Muna, tapi dengan ukuran yang sedikit lebih kecil. Dari
dermaga kurasakan angin bertiup sedikit kencang, kulihat laut sepertinya cukup
berombak, tapi kuberusaha menenangkan diri.

Saya mensugesti diri sendiri dengan kata-kata ketua komunitas mancing terkenal di
Wakatobi, yang kutemui sehari sebelumnya. “Dibulan-bulan seperti sekarang ini,
mungkin ombak takkan besar, kalaupun ada itu cuma sisa-sisanya saja”, katanya. Dan
kapalpun bergerak meninggalkan dermaga Wangi-wangi menuju Pulau Binongko.

Makin lama kurasakan angin makin kencang, laut mulai bergolak dan ombak makin
kuat mengguncang kapal. Kudengar cerita orang-orang kalau kapal mengambil rute
barat mengitari karang, karena ombak dibagian timur lebih besar. Saya hanya berpikir,
kalau sisa-sisanya saja sudah seperti ini, bagaimana dengan puncaknya.

Tak jauh dari perairan Wangi-wangi, Pulau Kaledupa sudah bisa terlihat. Saya sedikit
tenang. Yang kadang buatku cemas dalam pelayaran, ketika kapal bergoyang dan pulau
tujuan belum terlihat.

“Mungkin Kaledupa bukan pemberhentian terakhir kami, setidaknya disana kapal akan
berlabuh untuk menurunkan penumpang, saat itu saya bisa beristrahat sejenak”,
pikirku.

Ketika kapal memasuki perairan Kaledupa, yang terjadi sebaliknya. Kapal tak berlabuh
didermaga, melainkan berlabuh diperairan dan menurunkan penumpang pada kapal
kecil. Kapal-kapal kecil inilah yang bertugas mengantar penumpang sampai di dermaga
Kaledupa. Begitu juga yang terjadi setelah kapal sampai di Pulau Tomia dan Binongko.

Pelayaran dari Wangi-wangi ke Kaledupa tak begitu terasa, karena jarak antar pulau
yang berdekatan. Setelah itu pelayaran jadi lebih menegangkan dan rasanya teramat
jauh. Dari Kaledupa menuju Tomia kapal mengambil jalur memutar karang, saya tak tau
lagi akan selama dan seberat apa perjalananku kali ini.

Dahulu saya selalu merasa lebih kuat dalam setiap perjalanan. Mau jalur udara, darat
dan laut, semuanya seperti dapat kutaklukan. Tapi hari itu semuanya berubah,
kebanggaan dan keberanian yang dulu kumiliki seperti mulai hilang.

Jujur, saya mual kemudian muntah sebelum sampai ke Pulau Binongko. Pak Rahman tak
tau itu, saya hanya berusaha terlihat kuat dan tak buatnya khawatir dengan kondisiku.

Kapal kembali memutar karang menuju Pulau Binongko. Seperti roket pembawa satelit
menuju orbit bumi, seperti itu juga rute yang diambil kapal ini. Saya merasakan kapal
berjalan lebih lambat dari sebelumnya, sepertinya karena ombak jadi lebih besar dari
biasanya, dan arah yang kami tuju berlawanan dengan arah ombak.

Anda mungkin juga menyukai