Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

“ KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN “

DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD FAUZAN PRATAMA
19059265
MANAJEMEN DUAL DEGREE
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kita ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan
rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Padang, 01 Desember 2019

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah………………………………………………………..
B.Rumusan Masalah………………………………………………………………
C.Tujuan Pembahasan…………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN
A.Definisi kebakaran hutan………………………………………………………………
B.Dampak Kebakaran Hutan……………………………………………………………………
C.Masalah Kebakaran Hutan…………………………………………..

BAB III PENUTUP


A.Kesimpulan……………………………………………………………………..
B.Saran…………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….…….

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Penelitian ini bertujuan untuk membedah cara penyelesaian


pembakaran lahan di Indonesia melalui “jalan pantas” yaitu cara
yang sesuai dengan prosedur atau melalui “jalan pintas” yaitu cara
yang langsung menuju inti permasalahan Ruang lingkup penulisan
ini meliputi aspek hukum, politik, ekonomi dan sosial budaya.

B.Rumusan Masalah

a. Pengertian Kebakaran Hutan


b. Permasalahan Kebakaran Hutan

C.Tujuan Pembahasan
a. Membedah cara penyelesaian pembakaran Hutan .
“ Kebakaran Hutan dan Lahan “

A. Pendahuluan

Kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi


kemungkinan manusia mempunyai peran dalam memulai kebakaran di
milenium terakhir ini, perburuan dan selanjutnya untuk membuka petak-
petak pertanian di dalam hutan. Meskipun kebakaran telah menjadi
suatu ciri hutan-hutan di Indonesia selama ratusan tahun, kebakaran
yang terjadi mula-mula pasti lebih kecil dan lebih tersebar dari segi
frekuensi dan waktunya dibandingkan dua dekade belakangan ini,
kebakaran yang terjadi mula-mula ini bukan merupakan penyebab
deforestasi yang signifikan. Paling tidak telah terjadi 3 kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia.

Kebakaran hebat pertama yang merupakan akibat gabungan antara


pengelolaan hutan yang tidak benar dan fenomena iklim El Nino
menghancurkan 3,2 juta Ha, dimana 2,7 juta Ha merupakan hutan
tropis (Schindler dkk, 1989).Kebakaran yang besar kembali terjadi pada
tahun 1997-1998 menurut Wahana Lingkungan Hidup (WALHI)
memperkirankan 13 juta Ha hutan dan lahan yang terdampak akibat
terbakar ini. Sementara menurut Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) bersama Asian Development Bank (ADB)
mengestimasi 9,75 juta Ha (BBC Indonesia 2015). Selanjutnya
kebakaran besar terjadi pada tahun 2015, menurut data
KementrianLingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan total luas
kebakaran hutan 2,61 juta Ha (Kontan.co.id, 2016).

Dampak langsung dari kebakaran hutan sebagai berikut. Pertama,


timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat.
Kedua, secara sosial dan ekonomi masyarakat dirugikan karena
berkurangnya efisie nsi kerja, kantor-kantor dan sekolah-sekolah
diliburkan serta transportasi penghubung terganggu. Ketiga, kerugian
imateriil dan materiil pada masyarakat setempat bahkan menyebabkan
transboundary haze pollution (pencemaran asap lintas batas) ke wilayah
negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Brunei
Darussalam.

Pelaku pembakaran hutan dan lahan (KARHUTLA) selama ini ditindak


secara tidak tegas dan terkesan dan hanya sangat sedikit yang
ditindak lanjuti sampai ke pengadilan. Putusan pengadilan pun
terkadang jauh dari harapan, contohnya Putusan Pengadilan Negeri
(PN) Palembang tahun 2015 tentang gugatan perdata Kementrian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT. Bumi Mekar
Hijau (BMH) senilai Rp 7,8 triliun tentang kebakaran hutan dan lahan, ditolak karena
dinilai penggugat tidak bisa membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dan
unsur kerugian.

Penyelesaian pembakaran hutan dan lahan di Indonesia secara umum diselesaikan


dengan cara normatif yang penulis sebut sebagai “Jalan Pantas” yaitu cara
penyelesaian sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku. Sedangkan
menyelesaikan dengan cara yang baru/penerapan sanksi strategis yang penulis sebut
sebagai “Jalan Pintas” dimana kelebihan dari metode ini tidak memakan waktu lama
dan administrasi yang berbelit-belit. Contohnya pemberian sanksi administrasi
kepada perusahaan yang membakar hutan Berdasarkan latar belakang masalah
diatas maka dapat dirumuskan pertanyaan Apakah menyelesaikan Kebakaran Hutan
dan Lahan (KARHUTLA) di Inodnesia melalui “Jalan Pantas” atau “Jalan Pintas”?

Adapun tujuan dari peneliatian ini antara lain untuk mengetahui untuk mengetahui
proses penyelesaian Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) di Indonesia melalui
“Jalan Pantas” atau “Jalan Pintas”. Selanjutnya membedah kelebihan dan
kekurangan masingmasing cara dilihat dari pespektif negara hukum.

Terakhir adalah merumuskan strategi dan waktu penggunaan masing-masing cara


pada pengaplikasiaannya dilapangan Teori yang digunakan oleh penulis adalah Teori
kedaulatan hukum yang dirintis oleh Hogo Krabbe (1857-1936) seorang ahli hukum
dari universitas Leiden, Belanda. Konsep kedaulatan hukum dapat diartikan
kekuasaan tertinggi atas negara adalah hukum.

Dengan demikian jelas bahwa hakikat hukum dalam konsep krabbbe adalah bahwa
hukum yang dibuat oleh negara/pemerintah adalah harus merupakan perjelmaan
dari perasaan hukum rakyat terbanyak, sehingga dapat memenuhi rasa nilai batin itu
sendiri dan bukan untuk kepentingan penguasa belaka. Indonesia sebagai negara
hukum yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan konstitusional memiliki asas
hukum bahwa siapa pun sama dihadapan hukum (principle of equality before the
law).

Dalam konsep ini menekankan bahwa hukum yang berkuasa dalam suatu negara
akan tetapi konstruksi hukum yang dihasilkan bukan semata-mata bebas sesuai
kehendak penguasa dikarenakan turunan kedaulatan Negara, melainkan sangat
memperhatikan aspek kedaulatan rakyat (demokratis). Penekanan dalam
pembentukan hukum mengacu pada tujuan negara itu sendiri. Kedaulatan hukum
juga menekankan pada esensi dari penyelenggraan pemerintah harus berdasarkan
pada hukum. Penelitian terkait yang membahas ini antara lain oleh Inosentius
Samsul mengenai instrumen hukum penanggulangan pembakaran hutan, lahan dan
polusi asap, hasil dari penelitian ini penegakan hukum yang ada belum mampu
mengatasi permasalahan ini (Samsul, 2015). Selanjutnya penelitian Popi Tuhulele
membahas kebakaran hutan di
Indonesia dan proses penegakan hukumnya sebagai komitmen dalam mengatasi
dampak perubahan iklim, hasil dari penelitian ini terdapat celah yang
membingungkan dalam peraturan pembakaran hutan dan lahan yang digunakan
oleh para pelaku serta ketidakserasian antar aktor penegak hukum (Tuhulele, 2014).

Penelitian terakhir oleh Erdiansyah yang berjudul Implementasi Pertanggungjawaban


Pidana Korporasi Pembakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau, hasil dari penelitian
ini terjadi keenganan pengadilan pidana untuk membebankan criminal liability
terhadap korporasi, hambatannya antara lain ketidaksederhanaan perangkat hukum
dan peraturan perundang-undangan, profesionalisme aparat penegak hukum
lingkungan dan kesadaran hukum masyarakat dan sarana yang mendukung
penegakan hukum

2. Pembahasan

Pertanggungjawaban pembakaran hutan dan lahan berdasarkan pasal 20


undangundang lingkungan hidup yaitu kewajiban membayar ganti kerugian kepada
penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan yang baik dan sehat dan biaya
pemulihan lingkungan hidup kepada Negara (Silalahi, 2001). Tata cara pengaduan
oleh penderita, tata cara penelitian oleh tim tentang bentuk, jenis dan besarnya
kerugian serta tatacara penentuan ganti rugi diatur dalam perundang-undangan.

Pada pasal 21 udang-undang No. 4 Tahun 1982 menegaskan jenis tanggung jawab
yang di bebankan kepada pelaku perncemaran dan perusakan lingkungan
menggunakan prinsip “strict liability” atau menurut istilah komar kantaatmadja “azas
tanggung jawab mutlak”(Marpaung, 1997,hal 4). Ganti rugi biasaya melingkupi biaya,
rugi dan bunga. Sanksi yang secara formal antara lain (Hamdan, 2000, hal 53):
(1) Sanksi administrasi,
(2) Sanksi perdata
(3) Sanksi Pidana
(4) Sanksi tata tertib

Sedangkan reward non-formal antara lain misalnya pemberian penghargaan oleh


pemerintah berupa Upakarti, Kalpataru dan sebagainya kepada warga masyarakat
yang telah melestarikan atau melindungi lingkungan hidup atau pemberian
penghargaan dari perusahaan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan
baik dalam negeri maupun luar negeri.

Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) Di masa lalu membakar hutan merupakan
suatu metode praktis untuk membuka lahan. Pada awalnya banyak dipraktekkan
oleh para peladang tradisional atau peladang berpindah. Namun karena biayanya
yang sangat murah, praktek membakar hutan dan lahan banyak diadopsi oleh
perusahaan-perusahaan kehutanan dan perkebunan. Motif pembakaran hutan dan
lahan oleh perusahaan kelapa sawit karena lebih efektif dari pada melakukannya
dengan menggunakan cara konvensional dengan penebasan dan bahan kimia. Selain
itu, dengan melakukan pembakaran dapat menaikkan PH hingga 5-6 yang cocok
untuk menanam kelapa sawit.

Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang menyelimuti sejumlah wilayah di
Sumatra dan Kalimantan beberapa waktu belakangan ini, telah mengganggu
kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut terjadi hampir setiap tahun, khususnya di
musim kemarau. Pada tahun 2015, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
mencatat setidaknya terdapat 95 titik panas sumber kabut asap di Sumatra dan 61
titik panas di Kalimantan. Penyebaran kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan
yang terjadi menyelimuti wilayah Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Setidaknya 22, 6 juta jiwa menjadi
korban di Sumatra dan 3 juta jiwa di Kalimantan korban asap akibat kebakaran hutan
dan lahan tersebut.

Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) telah melakukan


perhitungan kerugian multidimensi dampak kebakaran hutan dan lahan serta kabut
asap, salah satunya di provinsi Jambi. Kerugian finasial dari indikasi kerugian
lingkungan saja di jambi diperkirakan telah mencapai Rp 7 triliun pada tahun 2015.
Jumlah tersebut diperkirakan meningkat dari kerugian yang diderita tahun lalu
sebesar Rp 4 triliun. Kerugian tersebut belum termasuk masyarakat yang
pernapasannya terganggu karena pencemaran udara, anak-anak dan sekolah
diliburkan serta arus transportasi yang terhambat, gagal panen bagi petani serta
lahan menjadi tidak produktif akibat asap. Sedangkan di Riau, kerugian ekonomi
pada tahun 2015 dari kebakaran hutan mencapai Rp 20 triliun yaitu 2.398 Ha cagar
biosfer terbakar, 21.914 Ha lahan terbakar, 58.000 orang menderita gangguan
pernapasan , ditambah pekerja dan aktifitas sekolah terganggu.

Berdasarkan tipe bahan bakar dan sifat pembakarannya, kebakaran hutan dan lahan
dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu:

1. Kebakaran bawah (ground fire) merupakan tipe kebakaran dimana api


membakar bahan organik dibawah permukaan. Oleh karena sedikit udara dan bahan
organik maka kebkaran ini tidak terlihat apinya namun asap. Penyebaran api juga
sangat lambat dan terjadi dalam waktu yang lama (biasanya terjadi pada lahan
gambut yang ketebalannya mencapai 10 meter).

2. Kebakaran permukaan (surface fire) yaitu tipe kebakaran dimana api


membakar bahan bakar permukaan yang berupa serasah, semak belukar, anakan,
pancang, dan limbah pembalakan. Sifat api permukaan cepat merambat, nyalanya
besar dan panas, namun cepat padam.

3. Kebakaran tajuk (crown fire) merupakan tipe kebakaran yang membakar


tajuk pohon (bagian atas pohon). Kebakaran ini akan parah jika terjadi di tanaman
yang daunnya mudah terbakar dan rapat.
Kebakaran hutan dan lahan antara lain karena faktor alam, biasanya terjadi pada
musim kemarau ketika cuaca sangat panas dan faktor pembakaran oleh manusia.
Sebab utama dari kebakaran adalah pembukaan lahan yang meliputi:

1. Pembakaran lahan yang tidak terkendali sehingga merembet ke masyarakat


maupun perusahaan. Namun bila pembukaan lahan dilaksanakan dengan
pembakaran dalam skala besar, kebakaran tersebut sulit terkendali. Pembukaan
lahan tersebut sering dilaksanakan untuk usaha perkebunan, (Hutan Tanaman
Industri) HTI, pertanian lahan kering, sonor dan mencari ikan. Pembukaan lahan
yang paling berbahaya adalah di daerah rawa/gambut.
2. Penggunaan lahan yang menjadikan lahan rawan kebakaran, misalnya
dilahan bekas (Hak Pengusahaan Hutan) HPH dan di daerah yang beralang-alang
.
3. Konflik antara pihak pemerintah, perusahaan dan masyarakat karena status
lahan sengketa perusahaan-perusahaan kelapa sawit kemudian menyewa tenaga
kerja dari luar untuk bekerja dan membakar lahan masyarakat lokal yang lahannya
ingin diambil alih oleh perusahaan, untuk mengusir masyarakat. Kebakaran
mengurangi nilai lahan dengan cara membuat lahan menjadi terdegradasim dan
dengan demikian perusahaan akan lebih mudah mengambil alih lahan dengan
melakukan pembayaran ganti rugi yang murah bagi penduduk asli.

4. Dalam beberapa kasus, penduduk lokal juga melakukan pembakaran untuk


memprotes pengambil-alihan lahan mereka oleh perusahaan kelapa sawit.

5. Tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, sehingga terpakasa


memilih alternatif yang mudah, murah dan cepat untuk pembukaan lahan.

6. Kurangnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang melanggar


peraturan pembukaan lahan.

7. Faktor alam seperti sambaran petir, lahar dari letusan gunung dan lain-lain.
Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan sangat besar terhadap kehidupan
manusia maupun terhadap kehidupan mahluk hidup lainnya baik secara langsung
maupun tidak langsung, antara lain:

1. Dampak Ekologi Mengganggu proses ekologi antara lain suksesi alami,


produksi bahan organic dan proses dekomposisi, siklus unsure hara, siklus hidrologi
dan pembentukan tanah. Selain itu mengganggu fungsi hutan sebagai pengatur iklim
dan penyerap karbon. Lebih jauh dapat merusak Daerah Aliran Sungai (DAS).
Hilangnya keberagaman hayati dan ekosistemnya. Kebakaran juga melepaskan
banyak emisi karbon dan gas rumah kaca ke atmosfer yang memperburuk
perubahan iklim.

2. Dampak Ekonomi Hilangnya hasil hutan (kayu dan non kayu). Terganggunya
aktifitas ekonomi baik dari sektor perkebunan, transportasi, pariwisata, perdagangan
dan sebagainya. Biaya pengobatan terhadap gangguan kesehatan, dan biaya
langsung untuk memadamkan api.

3. Dampak Kesehatan Gangguan pernapasan ringat sampai akut. Asap yang


dihasilkan dari kebakaran mengandung sejumlah gas dan partikel yang berbahaya
seperti sulfur dioksida (SO2 ), karbon monoksida (CO), formaldehid, akrelin,
benzene, nitrogen oksida (NOx ) dan ozon (O3 ).

Penyebab kebakaran hutan adalah proses land clearingi yaitu kebakaran hutan
karena pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, pembangunan industri kayu yang
tidak diikuti dengan pembangunan hutan tanaman, besarnya kesempatan yang
diberikan pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konvensi lahan menjadi
perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kayu dan perkebunan sawit
serta penegakan hukum yang lamban untuk mensikapi tindakan konvensi dan
pembakaran yang dilakukan. Meskipun demikian, besarnya kerugian dan dampak
tersebut tak mampu membuat penegakan hukum terkait kebakaran hutan dan lahan
serta kabut asap disikapi dengan bijak dan tuntas. Padahal kebakaran hutan dan
lahan serta kabut asap telah terjadi selama bertahun-tahun tanpa ada perlindungan
terhadap hutan sebagai bagian dari lingkungan hidup buat masyarakat dan
penegakan hukum terhadap penyebab kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, hal ini
juga merefleksikan bahwa ada sesuatu yang salah dengan pengelolaan kehutanan
dan perkebunan di Indonesia.

Pemerintah indonesia telah menetapkan peraturan mengenai penanganan


kebakaran hutan. Jakarta telah mendorong pemerintah pusat dan regional untuk
bekerja sama mengatasi situasi ini. BNPB juga diminta untuk membuat hujan buatan
untuk disebarkan di daerah-daerah tertentu. Selain itu, pemerintah bermaksud
mengambil tindakan tegas terhadap para tertuduh yang sengaja membakar hutan.
Akhirnya, negara bagian sedang mengambil tindakan pencegahan di wilayah-wilayah
tertentu untuk memastikan agar kebakaran tidak menyebar lebih jauh. Respon
pemerintah ini harus dihargai, tetapi ada tiga langkah tambahan yang dapat diambil.
Yang pertama adalah sebelum bencana. Tujuan perencanaan sebelum bencana alam
adalah agar warga indonesia bekerja sama dengan pemerintah untuk mengambil
tindakan pencegahan terhadap potensi kebakaran hutan sesegera mungkin.
Tujuannya adalah untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya hutan untuk
lingkungan dan, pada gilirannya, hidup kita. Selain itu, dengan adanya pemerintahan
pusat yang memimpin, Indonesia harus melarang perusahaan atau individu
menggunakan api untuk membuka lahan. Jika perencanaan dan kebijakan seperti itu
diterapkan, maka dampak kebakaran hutan dapat dikurangi.

Langkah kedua adalah saat terjadi bencana. Sewaktu api hutan menyebar,
pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama memerangi kobaran api sebelum
mereka lepas kendali. Hal ini mungkin terdengar sederhana, namun metode
pemadaman kebakaran hutan di Indonesia perlu ditinjau kembali guna mengurangi
risiko terbakarnya dampak pembakaran. Selain itu, untuk meminimalisasi korban,
pemerintah harus sepenuhnya mempersiapkan layanan kesehatan dengan sumber
daya yang diperlukan dalam menangani kasus yang berhubungan dengan saluran
pernapasan. Khususnya, hal ini mempertimbangkan dampak yang merusak dari api
terhadap pernapasan dan penglihatan manusia.

Langkah ketiga adalah pemulihan setelah bencana. Di sini, pemerintah harus mulai
menanam kembali pepohonan. Pada saat yang sama, itu harus menahan orang yang
bertanggung jawab yang telah membakar hutan dengan sengaja. Pemerintah harus
tegas dalam bertindak untuk menangkal setiap kejahatan terhadap alam di masa
depan.

3. Penutup

 Kesimpulan

Penyelesaian Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) melalui “Jalan


Pantas” maupun “Jalan Pintas” memiliki rasionalisasi, konesekuensi,
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penggunaan kedua cara
secara bersamaan lebih efektif dibanding dengan satu cara saja.
Pemerintah sebagai pengelola negara sebaiknya lebih fokus pada
pencegahan daripada penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
karena lebih efisiensi dana, waktu, dan keberlangsungan lingkungan
dapat terjaga. Diperlukan reformasi birokrasi pengadilan tentang
pelaku pembakaran hutan sehingga lebih efisien dan tidak rumit.
Pilihan jalan tersebut merupakan kesepakaatan dari eksekutif, legislatif
dan yudikatif baik dari level negara, tingkat provinsi dan tingkat
Kabupaten

 Saran

Sebagai manusia kita harus melindungi hutan agar terjadi nya kebakaran hutan
karena dampak dari kebakaran hutan tersebut berdampak ke kita juga . Jadi
tanamkan pada diri masing masing agar mau mencintai hutan dalam hal kecil sekali
pun

4. Daftar pustaka

Absori, 2014, Hukum Penyelesaian Lingkungan Hidup: Sebuah Model


Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dengan Pendekatan Partisipatif,
Surakarta, Muhammadiyah Press.

Anda mungkin juga menyukai