DISUSUN OLEH :
MUHAMMAD FAUZAN PRATAMA
19059265
MANAJEMEN DUAL DEGREE
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kita ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan
rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah………………………………………………………..
B.Rumusan Masalah………………………………………………………………
C.Tujuan Pembahasan…………………………………………………………….
BAB II PEMBAHASAN
A.Definisi kebakaran hutan………………………………………………………………
B.Dampak Kebakaran Hutan……………………………………………………………………
C.Masalah Kebakaran Hutan…………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….…….
BAB I
PENDAHULUAN
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan Pembahasan
a. Membedah cara penyelesaian pembakaran Hutan .
“ Kebakaran Hutan dan Lahan “
A. Pendahuluan
Adapun tujuan dari peneliatian ini antara lain untuk mengetahui untuk mengetahui
proses penyelesaian Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) di Indonesia melalui
“Jalan Pantas” atau “Jalan Pintas”. Selanjutnya membedah kelebihan dan
kekurangan masingmasing cara dilihat dari pespektif negara hukum.
Dengan demikian jelas bahwa hakikat hukum dalam konsep krabbbe adalah bahwa
hukum yang dibuat oleh negara/pemerintah adalah harus merupakan perjelmaan
dari perasaan hukum rakyat terbanyak, sehingga dapat memenuhi rasa nilai batin itu
sendiri dan bukan untuk kepentingan penguasa belaka. Indonesia sebagai negara
hukum yang berkedaulatan rakyat dan berdasarkan konstitusional memiliki asas
hukum bahwa siapa pun sama dihadapan hukum (principle of equality before the
law).
Dalam konsep ini menekankan bahwa hukum yang berkuasa dalam suatu negara
akan tetapi konstruksi hukum yang dihasilkan bukan semata-mata bebas sesuai
kehendak penguasa dikarenakan turunan kedaulatan Negara, melainkan sangat
memperhatikan aspek kedaulatan rakyat (demokratis). Penekanan dalam
pembentukan hukum mengacu pada tujuan negara itu sendiri. Kedaulatan hukum
juga menekankan pada esensi dari penyelenggraan pemerintah harus berdasarkan
pada hukum. Penelitian terkait yang membahas ini antara lain oleh Inosentius
Samsul mengenai instrumen hukum penanggulangan pembakaran hutan, lahan dan
polusi asap, hasil dari penelitian ini penegakan hukum yang ada belum mampu
mengatasi permasalahan ini (Samsul, 2015). Selanjutnya penelitian Popi Tuhulele
membahas kebakaran hutan di
Indonesia dan proses penegakan hukumnya sebagai komitmen dalam mengatasi
dampak perubahan iklim, hasil dari penelitian ini terdapat celah yang
membingungkan dalam peraturan pembakaran hutan dan lahan yang digunakan
oleh para pelaku serta ketidakserasian antar aktor penegak hukum (Tuhulele, 2014).
2. Pembahasan
Pada pasal 21 udang-undang No. 4 Tahun 1982 menegaskan jenis tanggung jawab
yang di bebankan kepada pelaku perncemaran dan perusakan lingkungan
menggunakan prinsip “strict liability” atau menurut istilah komar kantaatmadja “azas
tanggung jawab mutlak”(Marpaung, 1997,hal 4). Ganti rugi biasaya melingkupi biaya,
rugi dan bunga. Sanksi yang secara formal antara lain (Hamdan, 2000, hal 53):
(1) Sanksi administrasi,
(2) Sanksi perdata
(3) Sanksi Pidana
(4) Sanksi tata tertib
Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) Di masa lalu membakar hutan merupakan
suatu metode praktis untuk membuka lahan. Pada awalnya banyak dipraktekkan
oleh para peladang tradisional atau peladang berpindah. Namun karena biayanya
yang sangat murah, praktek membakar hutan dan lahan banyak diadopsi oleh
perusahaan-perusahaan kehutanan dan perkebunan. Motif pembakaran hutan dan
lahan oleh perusahaan kelapa sawit karena lebih efektif dari pada melakukannya
dengan menggunakan cara konvensional dengan penebasan dan bahan kimia. Selain
itu, dengan melakukan pembakaran dapat menaikkan PH hingga 5-6 yang cocok
untuk menanam kelapa sawit.
Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang menyelimuti sejumlah wilayah di
Sumatra dan Kalimantan beberapa waktu belakangan ini, telah mengganggu
kehidupan masyarakat. Kondisi tersebut terjadi hampir setiap tahun, khususnya di
musim kemarau. Pada tahun 2015, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
mencatat setidaknya terdapat 95 titik panas sumber kabut asap di Sumatra dan 61
titik panas di Kalimantan. Penyebaran kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan
yang terjadi menyelimuti wilayah Sumatra Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Setidaknya 22, 6 juta jiwa menjadi
korban di Sumatra dan 3 juta jiwa di Kalimantan korban asap akibat kebakaran hutan
dan lahan tersebut.
Berdasarkan tipe bahan bakar dan sifat pembakarannya, kebakaran hutan dan lahan
dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu:
7. Faktor alam seperti sambaran petir, lahar dari letusan gunung dan lain-lain.
Kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan sangat besar terhadap kehidupan
manusia maupun terhadap kehidupan mahluk hidup lainnya baik secara langsung
maupun tidak langsung, antara lain:
2. Dampak Ekonomi Hilangnya hasil hutan (kayu dan non kayu). Terganggunya
aktifitas ekonomi baik dari sektor perkebunan, transportasi, pariwisata, perdagangan
dan sebagainya. Biaya pengobatan terhadap gangguan kesehatan, dan biaya
langsung untuk memadamkan api.
Penyebab kebakaran hutan adalah proses land clearingi yaitu kebakaran hutan
karena pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, pembangunan industri kayu yang
tidak diikuti dengan pembangunan hutan tanaman, besarnya kesempatan yang
diberikan pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan konvensi lahan menjadi
perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kayu dan perkebunan sawit
serta penegakan hukum yang lamban untuk mensikapi tindakan konvensi dan
pembakaran yang dilakukan. Meskipun demikian, besarnya kerugian dan dampak
tersebut tak mampu membuat penegakan hukum terkait kebakaran hutan dan lahan
serta kabut asap disikapi dengan bijak dan tuntas. Padahal kebakaran hutan dan
lahan serta kabut asap telah terjadi selama bertahun-tahun tanpa ada perlindungan
terhadap hutan sebagai bagian dari lingkungan hidup buat masyarakat dan
penegakan hukum terhadap penyebab kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, hal ini
juga merefleksikan bahwa ada sesuatu yang salah dengan pengelolaan kehutanan
dan perkebunan di Indonesia.
Langkah kedua adalah saat terjadi bencana. Sewaktu api hutan menyebar,
pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama memerangi kobaran api sebelum
mereka lepas kendali. Hal ini mungkin terdengar sederhana, namun metode
pemadaman kebakaran hutan di Indonesia perlu ditinjau kembali guna mengurangi
risiko terbakarnya dampak pembakaran. Selain itu, untuk meminimalisasi korban,
pemerintah harus sepenuhnya mempersiapkan layanan kesehatan dengan sumber
daya yang diperlukan dalam menangani kasus yang berhubungan dengan saluran
pernapasan. Khususnya, hal ini mempertimbangkan dampak yang merusak dari api
terhadap pernapasan dan penglihatan manusia.
Langkah ketiga adalah pemulihan setelah bencana. Di sini, pemerintah harus mulai
menanam kembali pepohonan. Pada saat yang sama, itu harus menahan orang yang
bertanggung jawab yang telah membakar hutan dengan sengaja. Pemerintah harus
tegas dalam bertindak untuk menangkal setiap kejahatan terhadap alam di masa
depan.
3. Penutup
Kesimpulan
Saran
Sebagai manusia kita harus melindungi hutan agar terjadi nya kebakaran hutan
karena dampak dari kebakaran hutan tersebut berdampak ke kita juga . Jadi
tanamkan pada diri masing masing agar mau mencintai hutan dalam hal kecil sekali
pun
4. Daftar pustaka