PENDAHULUAN
1
Metcalf membagi konflik menjadi dua jenis, yaitu intrapersonal conflict (konflik
intrapersonal) dan interpersonal conflict (konflik interpersonal).
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu sendiri,
misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu bertentangan dengan nilai
budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai dengan kemampuannya.
Konflik intrapersonal ini bersifat psikologis, yang jika tidak mampu diatasi
dengan baik dapat menggangu bagi kesehatan psikologis atau kesehatan mental
(mental hygiene) individu yang bersangkutan. Sedangkan konflik interpersonal
ialah konflik yang terjadi antar individu. Konflik ini terjadi dalam setiap
lingkungan sosial, seperti dalam keluarga, kelompok teman sebaya, sekolah,
masyarakat dan negara. Konflik ini dapat berupa konflik antar individu dan
kelompok, baik di dalam sebuah kelompok (intragroup conflict) maupun antar
kelompok (intergroup conflict). Dalam penelitian ini titik fokusnya adalah pada
konflik sosial remaja, dan bukan konflik dalam diri individu (intrapersonal
conflict).
B. RUMUSAN MASLAH
1. Apa saja metode dari teknik teknik resolusi?
2. Apa saja bentuk tingkatan kepemimpinan dalam resolusi konflik?
3. Apa saja teknik stimulasi konflik dalam mengurangi ketergantungan antar
unit?
C. TUJUAN MASALAH
1. Agar dapat mengetahui metode dari teknik teknik stimulasi konflik?
2. Agar dapat mengetahiu bentuk tingkatan kepemimpinan dalam resolusi
konflik?
3. Agar dapat mengetahui teknik stimulasi konflik dalam mengurangi
ketergantungan antar unit
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. METODE TEKNIK-TEKNIK RESOLUSI
Robins menawarkan teknik-teknik resolusi yang bersumber pada struktur
untuk megurangi konflik, jika tingkat konflik sudah berada pada level yang
mengakibatkan tidak efektifitasnya organisasi.1
Ada beberapa metode resolusi sebagai berikut:
1. Tujuan Super Ordinat (super ordinate goals)
Tujuan bersama yang dianut dua atau lebih kelompok yang tidak dapat
dicapai tanpa kerja sama kelompok-kelompok yang terlibat. Dalam
kenyataannya, tujuan tingkat tinggi tidak dapat dicapai oleh satu kelompok
sendirian atau dengan jalan menggantikan semua tujuan lain dari setiap
kelompok yang terlibat dalam konflik. Pengalian pada tujuan yang lebih
tinggi dapat menjadi metode pengelolaan konflik yang efektif, dengan cara
mengalikan perhatian pihak-pihak yang terlibat dari tujuan mereka yang
berbeda menjadi tujuan bersama pada tingkatnya yang lebih tinggi.
Tujuan super ordinate adalah tujuan bersama yang dianut oleh dua unit
atau lebih yang memaksakan dan sangat menarik dan yang tidak dapat
dicapai dengan sumber-sumber dari unit mana saja secara terpisah. Teknik
resolusi ini dimulai dengan sebuah definisi dari tujuan yang dipunyai
bersama dan pengakuan bahwa tanpa bantuan dari pihak-pihak yang saling
bertentang maka tujuan itu tidak dapat dicapai. Dari hasil penelitian Muzafer
(1966: 93) menyimpulkan bahwa dalam keadaan dimana konflik berkembang
dari tujuan yang tidak kompatibel, penggunaan tujuan superordinate harus
meningkatkan kerja sama.
1
Robins. Teori organisasi, prentice-hall international, inc, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
hal:465
3
Ketergantungan dapat berupa resprokal ketergantuggan skuensial. dan
ketergangtungan mengelompokkan. Ketergantungan resiprokal artinya setiap
unit dalam melakukantugasnya saling membutuhkan masukan. Misalnya pasa
sebuah rumah sakit dengan berbagai bidang sosialisasi yang ada. Setiap
dokter yang menangani pasien saling membutuhkan informasi dari
spesialisasi yang lain untuk membrikan pelayanan terbaik pada pasien.
Dalam situasi seperti ini, karena terjadi banyak interaksi diantara
berbagi pihak, kemungkinan besar konflik dapat terjadi. Ketergantungan
sekuensial merupakan ketergantungan yang terjadi apabila satu pihak baru
dapat menyelesaikan pekerjaannya apabila pihak lain sudah menyelesaikan
pekerjaannya. Konflik ini juga dapat terjadi bila masing-masing pihak
memiliki interaksi yang cukup intensif meskipun tidak seintensif dalam
ketergantungan resiprokal. Ketergantungan mengelompok yaitu hasil kerja
masing-masing pihak sangat diperlukan untuk menghasilkan outfut tingkatan
yang lebih tinggi. Konflik yang terjadi disini kemungkinannya lebih kecil
karena interksi mereka yang tidak begitu intensif. Namun, apabila
dihadapkan pada situasi sumberdaya, konflik dapat memuncak kearah yang
saling menghambat.
Teknik ini pada umumnya digunakan jika konflik bersumber dari saling
ketergantungan mutual dan satu arah. Penyangga (buffer), misalnya, dapat
diperkenalkan untuk mengurangi saling ketergantungan tersebut. Jika Output
dari unit A adalah input untuk unit B, maka B bergantung pada unit A. jika A
terlambat maka B juga akan terganggu. Salah satu solusinya adalah dengan
membuat suatu persediaan (inventory) dari output A sebagai suatu
penyangga.
3. Perluasan Sumber daya
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa terjadinya konflik dapat
disebabkan oleh terbatasnya sumber daya. Dengan nalar yang sangat normal,
apabila sumber daya ini diperluas maka konflik pun akan hilang. Sumber
4
daya berupa tersedianya posisi struktural (misalnya Direktur atau Presiden
Direktur), uang, ruangan, fasilitas dan sebagainya.
Jika konflik muncul karena kelangkaan sumber daya, maka cara
termudah untuk memecahkan konflik tersebut adalah adalah melalui
perluasan sumber daya yang tersedia. Hal ini mungkin tidak diinginkan oleh
pihak lain yang berada di luar konflik, tetapi kekuatan terbesarnya sebagai
sarana untuk memecahkan masalah adalah dalam kemampuannya untuk
memungkinkan masing-masing pihak yang berkonflik untuk memperoleh
kemenangan.
Memperluas sumber daya sebagai suatu penyelesaian konflik akan
sangat berhasil karena membuat pihak-pihak yang berkonflik puas. Namun
kegunaannya dibatasi oleh sifat dari keterbatasan yang terdapat didalamnya,
sumber daya organisasi jarang sekali terdapat dalam jumlah yang dapat
diperluas dengan mudah.
4. Pemecahan Persoalan (problem solving).
Metode ini disebut juga sebagai metode konfrontasi, karena pemecahan
konflik dilakukan dengan cara tatap muka dari kelompok yang saling
bertentangan. Tujuan pertemuan adalah mengindentifikasi, memecahkan dan
menyelesaikan persoalan. Konflik kerja diubah menjadi situasi dimana yang
sedang bersalisi bersama-sama berusaha mencari penyelesaian bagi masalah
yang timbul hal ini dapat dilaksanakan melalui teknik pemecahan masalah,
dari pada menumpas konflik kerja atau berusaha mencapai konpormi, pihak-
pihak yang bersangketa secara terbuka berusaha mencari penyelesaian yang
dapat diterima bersama.
Teknik ini menuntut pihak-pihak yang berkonflik untuk saling bertemu
dan mencari penyebab yang menjadi dasar dari konflik mereka dan
bertanggung jawab bersama untuk keberhasilan resolusinya. Metode ini telah
dinyatakan sebagai metode yang paling sehat untuk memecahkan konflik
antar kelompok. Pemecahan masalah, dengan metode ini mencoba untuk
5
“menekankan yang positif” dengan menonjolkan pandangan yang sama dari
pihak yang berkonflik. Karena hampir setiap masalah selalu terdapat celah
yang memungkinkan pihak yang berselisih bersepakat. Hal ini yang sering
dilupakan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
6
dalam kondisi tertentu, dalam upaya naik banding dan permasalahan belum
terselesaikan maka upaya penyelesaannya pada umumnya memerlukan pihak
ketiga yang bisa bersikap netral. Bahkan organisasi tertentu menciptakan
posisi untuk seorang ombudsman (seorang yang diangkat perusahaan untuk
menangani perselisihan).
6. Wewenang formal
wewenag yang dipunyai supervisor terhadap pihak yang berkonflik
cukup penting dan penggunaannya demikian meluas sehingga dapat dianggap
sebagai sebuah teknik resolusi tersendiri. Individu dalam organisasi, dengan
sedikit pengecualian, mengakui dan menerima wewenang dari atasan mereka
sebagai cara yang dapat diterima untuk memecahkan konflik. Meskipun
mereka mungkin tidak sepakat dengan keputusan tersebut, namun mereka
tunduk kepadanya. Jadi, wewenang yang formal sangat berhasil untuk
mengurangi konflik.
7. Interaksi yang intensif
Interkasi yang terus menerus akan mengurangi konflik, karena dengan
berinteraksi mereka akan menemukan kepentingan dan ikatan yang sama
yang dapat memudahkan kerja sama.
8. Perbaikan kriteria evaluasi dan sistem pemberian imbalan
Jika pemisahan evaluasi dan imbalan menciptakan konflik, manajemen
harus mempertimbangkan ukuran prestasi yang mengevaluasi dan memberi
imbalan kepada unit-unit yang bekerja sama. Penghapusan situasi zero-sum
dapat menguntungkan. Dengan memastikan, misalnya, bahwa kendali mutu,
auditing, dan fungsi kebijaksanaan lainnya dievaluasi untuk kontribusi
pencegahan dalam menemukan kesalahan akan mengurangi konflik. Selain
itu, pelembagaan seluruh organisasi, pembagian keuntungan atau
perencanaan pemberian bonus akan membantu meningkatkan orang bahwa
perhatian utama organisasi adalah pada keefektifan keseluruhan sistem,
bukan pada salah satu unit saja.
7
9. Pembauran unit yang berkonflik
Teknik ini menawarkan solusi dengan menyarankan salah satu fihak
yang berkonflik memperluas batas-batasnya dan menyerap sumber
kejengkelannya, atau mereka meng-coopt pihak lawan / pengkritik dengan
membaurkan mereka ke dalam sistem itu. Misalnya, bagaimana sistem
sekolah dasar dan menengah menggunakan teknik yang sama jika mereka
mengizinkan orang-orang yang kritis terhadap kurikulum untuk turut serta
dalam meninjau kembali dan mengevaluasi program dan kebijaksanaan
tersebut.
Dengan argumen yang relatif sama, bahwa suatu organisasi harus
menyeimbangkan akan kebutuhan konflik yang baik (good conflict) – yaitu
yang mengatasi inersia dan memungkinkan pembelajaran baru bagi
organisasi – dengan pencegahan peningkatan good conflict ke arah bad
conflict – yaitu yang menyebabkan hancurnya koordinasi dan integrasi
diantara fungsi-fungsi dan divisi-divisi. Jones menawarkan beberapa disain
strategi penyelesaian konflik untuk membantu organisasi dalam mengelola
konflik yang dihadapinya.3
B. TINGKATAN KEPEMIMPINAN DALAM RESOLUSI KONFLIK
a. Tingkat kepemimpinan dalam resolusi konflik
8
3. Kepemimpinan akar rumput orang dengan terutama pengalaman yang sangat
penting.
9
segera disentuh oleh konsekuensi konflik, misalnya sehubungan dengan
keamanan, sumber daya untuk menutupi kebutuhan dasar, dugaan
masyarakat lokal sering dipisahkan dengan permusuhan dan kebencian.
Diskon konflik dialami dengan cara langsung. Pemimpin akar rumput lokal
hidup dan bekerja secara langsung dengan populasi dan, oleh karena itu
tidak sesuai dengan situasi dan perspektif dengan baik.
1. Top-down
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa keputusan, hukum dan hukum
dan hasil negosiasi yang berasal dari tingkat kepemimpinan teratas akan
mempengaruhi tingkat lain secara otomatis. Populasi akan mengikuti
keputusan ini.
2. Bottom-up
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa perubahan hanya bisa berasal
dari akar rumput.
3. Middle-out
Pendekatan ini mengasumsikan bahwa pemimpin jangkauan tengah
memiliki kontak (dan kepercayaan) ke atas serta ke bawah, juga
melampaui belahan konfrontasi dan pemisahan dalam konflik tertentu.
Dengan demikian mereka memahami perspektif semua sisi di masyarakat
dan bisa mendapatkan akses terhadap mereka. Ini adalah titik penting
untuk memanfaatkan konflik sosial atau politik.
10
b. Pendekatan resolusi konflik
Sebaiknya dalam modul satu, konflik pada tingkat individu,
interpersonal, kelompok dan antar kelompok tidak dapat dihindari. Namun,
proses menangani konflik untuk mencapai hasil yang konstruktif daripada
yang merusak sangat penting. Proses ini bisa dikejar dengan berbagai cara.
Tujuan penting, namun, harus selalu mencapainya atau mengatur tahap
untuk resolusi konflik sejati, saya. Situasi dimana alasan mendasar untuk
konflik tertentu dieliminasi. Dua pendekatan luas terhadap resolusi konflik
sering digunakan:
Pendekatan Manajemen Konflik tidak langsung. Berdasarkan
pendekatan ini, teknik umum meliputi:
a) Mengajukan permohonan tujuan bersama: -fokuskan pada tujuan atau
kesimpulan yang sangat diinginkan;
b) Rujukan hierarkis: -Mogleber disebut tingkat organisasi atau kelompok
yang lebih tinggi untuk solusi
c) Desain-Desain Organisasi: -Selasi relasi hubungan antara pihak yang
saling bertentangan. Hal ini dapat dilakukan melalui: decoupling,
buffering, linking pin, licison groups.
11
masa depan sifat yang sama atau serupa kemungkinan terjadi. Model ini
sering menghasilkan keadaan berikut:
- Menghindari: orang berpura-pura konflik tidak benar-benar ada dan
berharap itu akan bertambah lenyap.
- Akomodasi / Perhubungan: Orang-orang memainkan perbeda pada
antaranya yang bertentangan, di satu sisi, dan menyoroti kesamaan,
di sisi lain. E.G.
- Kompromi: Setiap partai yang terlibat dalam konflik memberikan
sesuatu yang bernilai ke nilai yang lain. Dalam hal ini tidak ada
keuntungan pesta dalam hal ini, dan benih untuk konflik masa depan
ditaburkan. Meskipun sebuah konflik tampaknya dapat diselesaikan
untuk sementara melalui kompromi, namun mungkin masih terjadi
pada saat berikutnya di masa depan. E.G.
b. Model Win-Lose
Ini adalah ketika satu pihak mengarsipkan keinginannya dengan
biaya dan mengesampingkan keinginan pihak lain. Ini adalah hasil dari
berikut ini:
- Persaingan: Kemenangan dicapai melalui kekuatan, keterampilan
atau dominasi yang superior.
- Perintah otoritatif: Otoritas formal menentukan solusi dan
menentukan apa yang didapat dan apa yang hilang dan oleh siapa.
Win-rue gagal untuk mengatasi akar penyebab konflik. Ini
cenderung menekan keinginan, pandangan, pendapat salah satu
partai yang saling bertentangan. Akibatnya, konflik masa depan atas
isu serupa kemungkinan terjadi.
c. Model Win-Win
Ini adalah hasil kolaborasi antara pihak yang berkepentingan
untuk mengatasi masalah sebenarnya. Menggunakan teknik masalah -
untuk mendapatkan penghasilan kembali.
12
- Kolaborasi: Ini adalah pendekatan langsung dan positif bagi
manajemen konflik. Ini melibatkan pengakuan oleh semua pihak
yang saling bertentangan bahwa ada sesuatu yang salah dan perlu
mendapat perhatian.
- Pemecahan masalah: Ini melibatkan pengumpulan dan mengevaluasi
informasi dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.
Koperasi Customative UnasSective Unicoperopers Asertified
Catatan:
Kolaborasi dan pemecahan masalah harus selalu digunakan
untuk mendapatkan resolusi konflik yang benar, waktu dan
sumber yang memungkinkan.
Menghindari: Ini dapat digunakan saat sebuah masalah tidak
penting, atau bila ada masalah lain dan menekan masalah, atau
membiarkan pihak yang bertentangan mendinginkan dan
mendapatkan kembali perspektif.
Perintah otoritatif: Ini dapat digunakan saat tindakan cepat dan
menentukan sangat penting, atau saat tindakan tidak populer
harus diambil.
Akomodasi: Ini dapat digunakan saat masalah konflik lebih
penting bagi orang lain daripada diri sendiri, atau, ketika
seseorang ingin membangun "kredit" untuk digunakan nanti.
Kompromisinya: Ini dapat digunakan untuk permukiman
sementara hingga masalah yang kompleks atau sampai pada
solusi yang efisien saat waktu terbatas.5
13
C. TEKNIK STIMULASI KONFLIK DALAM MENGURANGI
KETERGANTUNGAN
Pandangan interactionist mengakui bahwa konflik setiap saat dapat terlalu
rendah maupun terlalu tinggi. Jika konflik terlalu rendah, manajer harus
menstimulasi oposisi unuk menciptakan konflik yang fungsional.
Sayangnya, dilihat dari sudut teoritis, kita lebih banyak mengetahui tentang
cara memecahkan konflik secara efektif daripada cara menstimulasi konflik.
Secara sedehana dapat dikatakan bahwa hal ini adalah hasil dari fakta bahwa
gagasan untuk mendorong terjadinya konflik merupakan sebuah ide yang relatif
baru dan baru saja mulai mendapatkan perhatian dari para peneliti organisasi.
Diskusi di bawah ini mengetengahkan beberapa teknik stimulasi yang potensial.
Teknik – teknik itu diperoleh dari peninjauan kembali sumber konflik.6
Teknik stimulasi tidak lebih penting ataupun kurang penting dibandingkan
counterpart-nya untuk resolusi – kita hanya kurang mengenalnya.
1. Komunikasi
Para manajer dapat memanipulasi pesan dan saluran sedemikian rupa
sehingga mendorong terjadinya konflik. Pesan yang mempunyai dwi arti atau
yang bersifat mengancam mendorong terjadinya konflik. Informasi bahwa
sebuah pabrik akan ditutup, bahwa sebuah departement akan dihapus, atau
pemberhentian akan dijalankan, hal tersebut dapat mempercepat intensitas
konflik
2. Keanekaragaman
Salah satu cara untuk “membangunkan” sebuah unit yang macet adalah
dengan menambahkan seorang atau beberapa orang yang latar belakangnya,
pengalamannya, dan nilai-nilainya berbeda secara mencolok dari yang
6
Budoyono. Penggunaan konflik. Bandung: PT. Rosdakarya, 1998. Hal: 75-76.
14
dipegang oleh para anggota pada saat ini dalam sebuah unit.
Keanekaragaman dapat sintesis maupun nyata.
3. Persaingan
Manajemen dapat merangsang konflik dengan menciptakan rangsangan
yang bersaing diantara unit-unit. Tentunya, jika yang dipertaruhkan dalam
pertarungan adalah zero-sum, anda dapat mengharapkan bahwa konflik
tersebut akan menjadi lebih intensif. Misalnya, jika unit pemadam kebakaran
kota saling bersaing untuk memperoleh hadiah “pemadam kebakaran yang
terbaik”, hasilnya pada umumnya akan menghasilkan organisasi pemadam
kebakaran yang lebih efektif.
15
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan
persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Membagi konflik menjadi
dua jenis, yaitu intrapersonal conflict (konflik intrapersonal) dan interpersonal
conflict (konflik interpersonal). Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi
dalam diri individu sendiri, misalnya ketika keyakinan yang dipegang individu
bertentangan dengan nilai budaya masyarakat, atau keinginannya tidak sesuai
dengan kemampuannya.
Ada beberapa metode resolusi sebagai berikut:
1. Tujuan Super Ordinat (super ordinate goals)
2. Mengurangi ketergantungan antar unit
3. Perluasan sumber daya
4. Pemecahan masalah bersama
5. Sistem naik banding
6. Wewenang formal
7. Interaksi yang intensif
8. Perbaikan kriteria evaluasi dan sistem pemberian imbalan
9. Pembauran unit yang berkonflik
Tingkatan kepemimpinan dalam resolusi konflik
1. Top down
2. Bottom up
3. Middle-out
Mengurangi ketergantungan
1. Komunikasi
2. Persaingan
3. keanekaragaman
16
DAFTAR PUSTAKA
Sthephen P Robins. 1994. Teori organisasi, prentice-hall international, inc,
Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Hany handoko. 1995. Penelitian konflik. Bandung: gramedia.
Jones. 2001. Organizational theory, text and cases. Third edition. Prentice-hall
international.
Dedy Mulyana. 2001. Manajemen konflik. Jakarta: Bumi Aksara
Budoyono. 1998. Penggunaan konflik. Bandung: PT. Rosdakarya.
17