Anda di halaman 1dari 37

EKSTRAKSI CAIR-CAIR UNTUK PEMURNIAN XANTORIZOL

DARI MINYAK ATSIRI TEMULAWAK: PENENTUAN


KOEFISIEN PARTISI DAN EFISIENSI EKSTRAKSI

AJENG WIDYASWARI

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ekstraksi Cair-cair


untuk Pemurnian Xantorizol dari Minyak Atsiri Temulawak: Penentuan Koefisien
Partisi dan Efisiensi Ekstraksi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Ajeng Widyaswari
NIM G44110026
ABSTRAK
AJENG WIDYASWARI. Ekstraksi Cair-cair untuk Pemurnian Xantorizol dari
Minyak Atsiri Temulawak: Penentuan Koefisien Partisi dan Efisiensi Ekstraksi.
Dibimbing oleh RUDI HERYANTO dan IRMANIDA BATUBARA.

Berbagai metode telah banyak diterapkan untuk memurnikan xantorizol dari


minyak atsiri temulawak. Pada penelitian ini, minyak atsiri dari pelepah
temulawak diisolasi menggunakan metode distilasi uap, sedangkan xantorizolnya
diekstraksi dari minyak atsiri menggunakan metode ekstraksi cair-cair
menggunakan sistem pelarut HEMWat yang terdiri atas n-heksana, etil asetat,
metanol, dan air. Xantorizol dalam ekstrak tersebut ditentukan nilai koefisien
partisinya (K) dalam sistem pelarut HEMWat. Sistem pelarut 13 dipilih dari 15
sistem pelarut karena memiliki nilai K terbesar yaitu 430. Xantorizol dalam
minyak atsiri awal yang dilarutkan dalam metanol dan dianalisis menggunakan
kromatografi cair kinerja tinggi muncul pada waktu retensi 9 menit dengan
konsentrasi relatif 35 . Setelah dilakukan 3 kali ekstraksi, nilai efisiensi adalah
68 dan konsentrasi relatifnya yaitu 39 . Hasil analisis kromatografi gas-
spektrometer massa memperlihatkan keberhasilan ekstraksi bertingkat xantorizol
dari minyak atsiri pelepah temulawak.

Kata kunci: ekstraksi bertingkat, HEMWat, temulawak, xantorizol

ABSTRACT

AJENG WIDYASWARI. Liquid-liquid Extraction for the Xanthorrhizol


Purification of Temulawak Essential Oil: Determination of Partition Coefficient
and Extraction Efficiency. Supervised by RUDI HERYANTO and IRMANIDA
BATUBARA.

Various methods had been widely performed for purifying xanthorrhizol of


temulawak essential oils. In this study, essential oils from the stem of temulawak
was isolated using steam distillation method, whereas the xanthorrhizol was
extracted from essential oils using liquid-liquid extraction method with HEMWat
solvent system consisted of n-hexane, ethyl acetate, methanol, and water. Partition
coefficient (K) of xanthorrhizol in that extract was determined in the HEMWat
solvent system. Solvent system 13 was selected of the 15 solvent system because
it had the highest K value of 430. Xanthorrhizol in the initial essential oils that
was dissolved in methanol was analyzed using high performance liquid
chromatography appeared at retention time of 9 minutes with the relative
concentration of 35 . The value of efficiency after 3 times of extraction was 68
and the relative concentration of 39 . Analysis result of gas chromatography-
mass spectrometer showed that xanthorrhizol in essential oils from the stem of
temulawak had been successfully extracted using multistage extraction.

Keywords: HEMWat, multistage extraction, temulawak, xanthorrhizol


EKSTRAKSI CAIR-CAIR UNTUK PEMURNIAN XANTORIZOL
DARI MINYAK ATSIRI TEMULAWAK: PENENTUAN
KOEFISIEN PARTISI DAN EFISIENSI EKSTRAKSI

AJENG WIDYASWARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilakukan dari Mei sampai Oktober 2015 ini berjudul Ekstraksi Cair-cair
untuk Pemurnian Xantorizol dari Minyak Atsiri Temulawak: Penentuan Koefisien
Partisi dan Efisiensi Ekstraksi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Rudi Heryanto, MSi dan Dr Irmanida
Batubara, MSi selaku pembimbing atas bimbingan, arahan, dan sarannya kepada
penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayah (alm) dan
Ibu atas doa dan kasih sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Muhamad Mahfudin, Nur Chasanah, Arum Vitasari, Kak Palupi Dwi
Antari, Kak Aprilia Inggri, Kak Hanhan Nur Handayani, Windi Prasetyawati,
Liana Farida, Andini Chandra, Wira Prihandini, Intan Agustina, Natalia Verolina,
Nabila Swarna, Khammia, dan Riztrya Novedliani yang telah memberikan
semangat dan motivasinya kepada saya dalam menyelesaikan penelitian dan
skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

Ajeng Widyaswari
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
METODE 2
Alat dan Bahan 2
Metode Penelitian 2
HASIL DAN PEMBAHASAN 4
Profil Minyak Atsiri Pelepah Temulawak 4
Koefisien Partisi Xantorizol dalam Berbagai Sistem Pelarut 5
Optimasi Efisiensi Ekstraksi 6
Pemastian Xantorizol Menggunakan KG-SM 8
SIMPULAN DAN SARAN 9
Simpulan 9
Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
LAMPIRAN 13
RIWAYAT HIDUP 23
DAFTAR TABEL
1 Komposisi sistem pelarut HEMWat untuk ekstraksi cair-cair 3
2 Nilai koefisien partisi (K) dari rentang sistem pelarut terpilih 6

DAFTAR GAMBAR
1 Kromatogram minyak atsiri dalam metanol 5
2 Grafik nilai koefisien partisi (K) dari 5 sistem pelarut 6
3 Kromatogram fase atas sistem pelarut 13 tahap 3 (a) dan tahap 2 (b) 7
4 Kromatogram fase atas campuran dari ekstraksi tahap 1, 2, dan 3
menggunakan metanol (a) dan minyak atsiri dalam metanol (b) 8
5 Kromatogram KG-SM ekstrak xantorizol fase atas ekstraksi tahap 2 8
6 Spektrum massa KG-SM ekstrak xantorizol fase atas ekstraksi tahap 2 9

DAFTAR LAMPIRAN
1 Diagram alir penelitian 13
2 Kromatogram standar xantorizol dan sistem pelarut HEMWat 14
3 Polaritas sistem pelarut 18
4 Efisiensi ekstraksi cair-cair bertingkat xantorizol teoritis 19
5 Efisiensi ekstraksi cair-cair bertingkat xantorizol sebenarnya 21
PENDAHULUAN

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan tumbuhan rumpun


berbatang semu yang digunakan sebagai tanaman obat, baik dalam bentuk tunggal
maupun campuran. Temulawak telah banyak digunakan masyarakat Indonesia
sebagai obat untuk mengatasi batu empedu, batu ginjal, kolesterol tinggi, nyeri
sendi, nyeri haid, pelancar ASI, demam, sembelit, dan eksim (Herdiyanto 2014).
Temulawak juga diketahui memiliki khasiat sebagai antioksidan (Masuda et al.
1992), antibakteri (Hwang et al. 2000, Darusman et al. 2006), antilipidemia
(Yasni et al. 1994), antijamur (Rukayadi dan Hwang 2007), antikanker
(Ravindran et al. 2007), antitumor (Sudewo 2004), hepatoprotektor, antiradang
(Nuratmi et al. 1996), dan berpotensi untuk penanganan penyakit flu burung
(Darusman et al. 2007). Selain itu, temulawak dapat dimanfaatkan sebagai
penyusun komponen jamu dan ditemukan di dalam setiap efikasi formulasi jamu
(Wijaya et al. 2014).
Bagian temulawak yang paling banyak dimanfaatkan yaitu rimpang karena
mengandung komponen aktif utama berupa kurkuminoid dan minyak atsiri.
Kurkuminoid yang terdiri atas kurkumin, desmetoksikurkumin, dan
bisdesmetoksikurkumin berkhasiat sebagai antioksidan dan memberikan warna
kuning pada rimpang temulawak. Sedangkan minyak atsirinya mengandung
feladren, β-tumeron, kamfer, dan xantorizol (Rahardjo dan Rostiana 2005).
Xantorizol adalah komponen khas minyak atsiri dari temulawak yang dapat
membedakannya dengan tumbuhan genus Curcuma lainnya (Cho et al. 2011,
Itokawa et al. 2008). Sebagai komponen bioaktif yang khas dari temulawak,
xantorizol berpotensi digunakan sebagai senyawa penciri untuk kontrol kualitas
berbagai produk yang berasal dari temulawak. Namun sampai saat ini keberadaan
standar xantorizol di pasaran masih terbatas, seperti perusahaan penyedia bahan
kimia Sigma-Aldrich yang tidak lagi menyediakan standar xantorizol. Oleh karena
itu, perlu dilakukan suatu upaya untuk menyediakan standar xantorizol yang
diperlukan untuk kendali mutu sebagai komponen utama dalam jamu.
Penelitian senyawa aktif pada temulawak selama ini hanya berfokus pada
rimpang, padahal xantorizol juga ditemukan di berbagai bagian pada temulawak
seperti daun, pelepah, dan bunga. Sukrasno (2012) telah melakukan penelitian
pada rimpang temulawak menggunakan KG-SM dan mendapatkan kadar
xantorizol dalam minyak atsiri rimpang sebesar 7.10 . Septyanti (2012)
melakukan penelitian pada pelepah temulawak dan Julita (2013) melakukan
penelitian pada daun pelindung bunga temulawak menggunakan KG-SM dan
memperoleh kadar xantorizol dalam minyak atsiri masing-masing sebesar 29.87
dan 16.13 . Dari penelitian di atas menunjukkan bahwa potensi kandungan
xantorizol pada pelepah lebih besar dari rimpang dan daun temulawak. Oleh
karena itu, pengembangan metode pemurnian xantorizol dari minyak atsiri
pelepah temulawak perlu dilakukan agar dapat diperoleh xantorizol dengan kadar
yang tinggi sebagai bahan untuk membuat standar xantorizol.
Berbagai teknik untuk mengisolasi xantorizol telah dilakukan. Hwang
(2000) melakukan ekstraksi xantorizol dengan menggunakan pelarut metanol 75 ,
sedangkan Asriani (2010) melakukan ekstraksi dengan menggunakan pelarut
etanol 96 . Rendemen ekstrak yang lebih besar diperoleh dengan menggunakan
2

metode Asriani (2010), namun masih terdapat senyawa pengganggu pada hasil
akhirnya. Sebagai alternatif, penelitian ini akan menggunakan teknik ekstraksi
cair-cair dengan memanfaatkan distribusi zat pada 2 fase terpisah untuk
pemurnian xantorizol dalam minyak atsiri. Pemilihan sistem pelarut 2 fase untuk
ekstraksi cair-cair dapat dilakukan dengan menggunakan sistem ARIZONA atau
HEMWat. Sistem pelarut 2 fase ARIZONA terdiri atas heptana, etil asetat,
metanol, dan air, sedangkan sistem pelarut 2 fase HEMWat terdiri atas n-heksana,
etil asetat, metanol, dan air (Wu dan Wu 2013). Dalam penelitian ini, sistem
pelarut HEMWat dipilih dan digunakan karena telah dibuktikan dari penelitian
yang dilakukan oleh Wu et al. (2007), Graziose et al. (2011), Yan et al. (2012),
Pinel et al. (2007), dan Wang et al. (2011) yang telah berhasil mengisolasi
senyawa seskuiterpena dengan menggunakan sistem pelarut 2 fase HEMWat.
Penelitian ini bertujuan mengisolasi xantorizol dengan ekstraksi cair-cair. Tujuan
ini dicapai dengan menentukan koefisien partisi dari 2 fase pelarut menggunakan
sistem HEMWat, menganalisis kadar xantorizol di dalam 2 fase pelarut
menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), dan mengoptimasi
ekstraksi berdasarkan pada sistem 2 fase pelarut terpilih yang dinilai dari koefisien
partisinya.

METODE

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan yaitu pelepah temulawak dari kebun UKBB Pusat
Studi Biofarmaka Bogor sebanyak 50 kg, n-heksana, etil asetat, metanol, akuades,
asam fosfat 0.2 , dan natrium sulfat. Alat-alat yang digunakan yaitu peralatan
gelas, neraca analitik, distilator uap, kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
merk Shimadzu tipe LC-20A, dan kromatografi gas-spektrometer massa (KG-SM)
merk Shimadzu tipe QP-5050A.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan meliputi beberapa tahap. Tahapan


tersebut yaitu isolasi minyak atsiri, ekstraksi cair-cair, penentuan koefisien partisi
dan efisiensi ekstraksi, optimasi pelarut dengan ekstraksi cair-cair bertingkat, dan
analisis kadar xantorizol menggunakan KCKT (Lampiran 1).

Isolasi Minyak Atsiri dari Pelepah Temulawak (Muchtaridi et al. 2003)


Sampel basah pelepah temulawak yang telah dipotong-potong kecil
sebanyak 5 kg dimasukkan ke dalam distilator uap yang telah berisi akuades.
Perbandingan sampel dan akuades sebesar 1:2. Proses distilasi air selama 6 jam
dengan temperatur 100 105 . Proses distilasi dilakukan sebanyak 10 kali.
Distilat yang diperoleh kemudian didiamkan selama 2 jam kemudian dikeringkan
menggunakan natrium sulfat.
3

Penentuan Koefisien Partisi dalam Sistem Pelarut (Xie et al. 2009)


Pelarut HEMWat dicampurkan masing-masing dengan nisbah volume yang
sesuai dengan Tabel 1. Sebanyak 20 mg minyak atsiri dimasukkan ke dalam 20 ml
sistem pelarut nomor 1, 5, 9, 13, dan 15 yang dimasukkan ke dalam corong pisah
dan dikocok sampai terbentuk dua fase larutan (Xie et al. 2009).

Tabel 1 Komposisi sistem pelarut HEMWat untuk ekstraksi cair-cair

Sistem
n-heksana Etil asetat Metanol Air
Pelarut
1 9 1 9 1
2 8 2 8 2
3 7 3 7 3
4 7 3 6 4
5 6 4 6 4
6 7 3 5 5
7 6 4 5 5
8 5 5 5 5
9 4 6 5 5
10 3 7 5 5
11 4 6 4 6
12 3 7 4 6
13 3 7 3 7
14 2 8 2 8
15 1 9 1 9

Xantorizol akan terdistribusi di dalam dua fase larutan. Kedua fase larutan
yang dipisahkan dan dihitung nilai koefisien partisinya yang ditentukan dengan
mengambil 1 mL dari tiap fase pelarut yang dianalisis menggunakan KCKT.
Minyak atsiri dilarutkan ke dalam metanol untuk mengetahui komposisi minyak
atsiri awal pada konsentrasi 1000 g/mL. Luas puncak dari tiap fase pelarut
dibandingkan dengan luas puncak minyak atsiri awal dalam metanol. Nilai
koefisien partisi (K) ditentukan menggunakan persamaan:

K= (1)

di mana Aorg adalah luas puncak dari komponen target di dalam fase atas dan Aaq
adalah luas puncak dari komponen target di dalam fase bawah (Wei et al. 2012).
Nilai koefisien partisi digunakan untuk memilih sistem pelarut yang akan
digunakan dalam ekstraksi. Pemasti sistem pelarut ditentukan dengan
mempersempit rentang sistem pelarut, dalam hal ini digunakan 1 dari sistem
pelarut tersebut.

Optimasi Efisiensi Ekstraksi (Harvey 2000)


Pelarut terpilih kemudian digunakan untuk ekstraksi bertingkat dari
xantorizol. Ekstraksi bertingkat dilakukan sebanyak 3 kali. Sistem pelarut dengan
volume 20 mL yang mengandung xantorizol kemudian diambil fase bawahnya
4

untuk ekstraksi bertingkat menggunakan larutan fase atas dengan volume yang
sama. Sistem pelarut terpilih kemudian ditentukan fraksi solut dalam fase atas dan
bawah menggunakan persamaan:

( )= (2)

)=1 ( ) (3)

di mana qaq dan qorg adalah fraksi solut dalam fase bawah dan fase atas, D adalah
rasio distribusi, Vorg dan Vaq merupakan banyaknya volume fase organik dan fase
air yang digunakan. Dari persamaan di atas, efisiensi ekstraksi (E) dapat
ditentukan menggunakan fraksi solut dalam fase atas:

E=( ) 100 (4)

Efisiensi ekstraksi dari sistem pelarut terpilih dapat dioptimasi dengan melakukan
ekstraksi cair-cair bertingkat dan dihitung menggunakan persamaan berikut:

(5)

di mana n adalah banyaknya ekstraksi yang dilakukan dan Qaq adalah fraksi solut
dalam fase bawah setelah n kali ekstraksi.

Analisis Xantorizol (Darusman et al. 2007)


Ekstrak yang didapat dari hasil ekstraksi cair-cair kemudian ditentukan
kadar xantorizolnya dengan menggunakan KCKT. Sistem KCKT yang digunakan
adalah dengan kolom XBridge C18 (150 mm 4.16 mm), detektor photodiode
array (PDA) dengan panjang gelombang yang digunakan adalah 224 nm, volume
injeksi 20 μL, elusi isokratik (eluen H3PO4 0.2 , asetonitril, dan metanol), dan
suhu kolom 40 . Sebanyak 4 mg sampel hasil pemurnian dilarutkan dalam n-
heksana dan dianalisis menggunakan KG-SM selama 30 menit dengan gas
pembawa helium dan laju alir 1 mL/menit. Suhu injektor dan detektor sama, yaitu
290 , sedangkan suhu kolom terprogram diawali dengan 70 ditahan selama 4
menit, kemudian diubah perlahan-lahan dengan laju kenaikan suhu 15 /menit
hingga mencapai 290 .

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Minyak Atsiri Pelepah Temulawak

Isolasi minyak atsiri dari pelepah temulawak dilakukan menggunakan


metode distilasi uap. Distilat yang diperoleh kemudian dikeringkan menggunakan
natrium sulfat anhidrat. Minyak atsiri yang diperoleh kemudian diekstraksi untuk
mendapatkan xantorizol menggunakan metode ekstraksi cair-cair. Metode ini
dipilih karena ekstraksi cair-cair sangat berguna untuk memisahkan analat yang
5

dituju dari pengganggu dengan cara melakukan partisi sampel antar 2 pelarut yang
tidak saling campur. Senyawa yang bersifat polar akan ditemukan di dalam fase
air, sementara senyawa yang bersifat nonpolar akan ditemukan di dalam fase
organik. Analat yang terekstraksi ke dalam pelarut organik akan mudah diperoleh
kembali dengan cara penguapan pelarut (Harvey 2000).
Minyak atsiri yang berhasil diekstraksi dalam penelitian ini yaitu sebanyak
5 g dari 50 kg pelepah temulawak segar, sehingga rendemen minyak atsiri yang
diperoleh adalah sebesar 0.01 . Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini lebih
kecil dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh
Septyanti (2012) yang berhasil mengekstraksi minyak atsiri sebanyak 3.5 g dari 5
kg pelepah temulawak segar dengan rendemen minyak atsiri sebesar 0.07 .
Perbedaan rendemen minyak atsiri ini dapat disebabkan oleh umur panen
temulawak (Nurcholis 2006). Pelepah temulawak yang digunakan dalam
penelitian ini berumur 6 BST, sedangkan Septyanti (2012) menggunakan pelepah
temulawak berumur 9 BST.
Minyak atsiri dilarutkan ke dalam metanol untuk mengetahui komposisi
minyak atsiri awal dan dianalisis menggunakan KCKT. Puncak xantorizol muncul
pada waktu retensi 8.952 menit dengan persen area sebesar 34.988 (Gambar 1).
Waktu retensi yang diperoleh untuk xantorizol ini mendekati waktu retensi pada
kromatogram standar xantorizol 200 ppm dalam metanol yaitu pada 8.904 menit
(Lampiran 2).

Gambar 1 Kromatogram minyak atsiri dalam metanol

Koefisien Partisi Xantorizol dalam Berbagai Sistem Pelarut

Ekstraksi xantorizol menggunakan 5 sistem pelarut HEMWat untuk


menentukan sistem pelarut terbaik dalam mengisolasi xantorizol dari minyak atsiri.
Dari kelima sistem pelarut HEMWat tersebut, waktu retensi yang diperoleh dari
fase atas dan fase bawah menunjukkan bahwa xantorizol memiliki waktu retensi
sekitar 8.4 9.1 menit (Lampiran 2). Perbedaan waktu retensi tersebut dapat
terjadi karena perbedaan kepolaran pelarut yang digunakan. Fase atas yang terdiri
atas n-heksana dan etil asetat kepolarannya lebih rendah dibandingkan dengan
fase bawah yang terdiri atas metanol dan air. Pelarut dengan polaritas yang lebih
kuat akan berinteraksi lebih lama dengan fase diam (kolom), sehingga xantorizol
yang larut dalam fase bawah muncul pada waktu retensi lebih lama (Hendayana
2006).
6

Sistem pelarut dipilih berdasarkan nilai koefisien partisinya (K). Nilai K


dihitung berdasarkan analat yang terdistribusi di dalam kedua fase dan luas
areanya (Harvey 2000). Kelima sistem pelarut HEMWat yang diuji memiliki nilai
K yang bervariasi (Lampiran 2).

500,00
430,38
Koefisien partisi (K)

400,00

300,00

200,00 173,46

100,00 49,76
0,70 21,30
0,00
SP1 SP5 SP9 SP13 SP15
Sistem pelarut HEMWat

Gambar 2 Grafik nilai koefisien partisi (K) dari 5 sistem pelarut


Gambar 2 menunjukkan bahwa sistem pelarut yang memiliki nilai K tertinggi
adalah sistem pelarut 13. Sistem pelarut 13 kemudian diuji kembali menggunakan
sistem pelarut HEMWat 1 dari sistem pelarut 13, yaitu sistem pelarut 12 dan 14
ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Nilai koefisien partisi (K) dari rentang sistem pelarut terpilih

Sistem Luas puncak


K
Pelarut Fase atas Fase bawah
12 17966754 89243 201,32
13 13786023 32032 430,38
14 15893268 112997 140,65

Dari ketiga sistem pelarut tersebut, sistem pelarut 13 memiliki nilai K tertinggi.
Hal ini terjadi karena distribusi xantorizol pada fase atas jauh lebih besar
dibandingkan dengan fase bawahnya. Meskipun komposisi fase atas (n-
heksana:etil asetat 3:7 v/v) dari sistem pelarut 13 dan 12 sama, tetapi komposisi
fase bawahnya berbeda yaitu dari komposisi metanol dan air yang digunakan,
sehingga kepolaran sistem pelarut 12 dan 13 berbeda yang dapat diketahui dari
gabungan nilai indeks polaritasnya berdasarkan Byers (2003) (Lampiran 3).
Sistem pelarut HEMWat yang paling baik digunakan untuk ekstraksi xantorizol
adalah sistem pelarut 13 yang memiliki indeks polaritas sebesar 5.45 (Lampiran 3).

Optimasi Efisiensi Ekstraksi

Xantorizol yang terdistribusi pada fase bawah diekstraksi kembali


menggunakan fase atas yang ditambahkan sesuai volume dari fase bawah yang
tersisa dari hasil ekstraksi cair-cair tahap 1. Dari hasil ekstraksi cair-cair
7

bertingkat tahap 2 dan 3 diperoleh dua puncak berdekatan di sekitar waktu retensi
xantorizol.

Gambar 3 Kromatogram fase atas sistem pelarut 13 tahap 3 (a) dan tahap 2 (b)
Dua puncak berdekatan yang dihasilkan dari kromatogram fase atas tahap 2 dan 3
merupakan splitting peak dari xantorizol. Splitting terjadi karena xantorizol yang
terdeteksi di kolom berasal dari xantorizol yang terlarut di dalam n-heksana dan
etil asetat sebagai fase atas yang digunakan, juga xantorizol yang terlarut dalam
metanol yang berasal dari fase bawah tahap sebelumnya memberikan interaksi
yang berbeda terhadap fase diamnya (Sigma-Aldrich 2009). Hal ini dibuktikan
dari munculnya puncak pada waktu retensi 9.079 menit (Gambar 3a) dan 9.099
(Gambar 3b) yang berdekatan dengan waktu retensi xantorizol dalam
kromatogram minyak atsiri yang dilarutkan dalam metanol (Gambar 1).
Sistem pelarut 13 ditentukan efisiensi ekstraksinya secara teoritis
menggunakan Persamaan (4) diperoleh nilai sebesar 99.69 untuk tahap 1
(Lampiran 4). Efisiensi ekstraksi teoritis dari sistem pelarut terpilih dioptimasi
dengan melakukan ekstraksi cair-cair bertingkat terhadap fase bawahnya. Nilai
fraksi solut dalam fase atas dari ekstraksi bertingkat cair-cair secara teoritis adalah
sebesar 0.9999, sehingga dapat diperoleh efisiensi setelah 3 tahap ekstraksi adalah
sebesar 99.99 (Lampiran 4). Selain itu dilakukan perhitungan massa xantorizol
sebenarnya di fase atas pada tiap tahap ekstraksi. Massa xantorizol yang diperoleh
pada fase atas ekstraksi tahap 1, 2, dan 3 yaitu sebesar 7.6206, 0.6716, dan 0.1932
mg, sedangkan massa xantorizol yang diperoleh pada fase bawah ekstraksi tahap 1
sebesar 6.1028 mg. Dari massa xantorizol yang diketahui dapat dihitung nilai
efisiensi ekstraksi sebenarnya yaitu sebesar 67.87 (Lampiran 5).
8

Gambar 4 Kromatogram fase atas sistem pelarut 13 campuran dari ekstraksi tahap
1, 2, dan 3 menggunakan metanol (a) dan kromatogram minyak atsiri
dalam metanol
Kromatogram di atas menunjukkan bahwa campuran fase atas dari ekstraksi
bertingkat (Gambar 4a) memiliki luas puncak yang lebih kecil dibandingkan
dengan luas puncak xantorizol pada kromatogram minyak atsiri dalam metanol
(Gambar 4b). Meskipun luas puncaknya berkurang, kromatogram campuran fase
atas memiliki persen area yang lebih besar yaitu 38.69 . Hasil ini menunjukkan
kemurnian xantorizol hanya meningkat sedikit setelah dilakukan ekstraksi
bertingkat sebanyak tiga kali karena pelarut HEMWat tidak dapat memisahkan
analat dari pengganggu yang memiliki kepolaran hampir sama, sehingga sistem
pelarut Arizona diperlukan untuk mengekstraksi xantorizol karena komposisi
pelarutnya memiliki rentang yang lebih besar sehingga dapat memisahkan
xantorizol dengan kemurnian yang tinggi.

Pemastian Xantorizol Menggunakan KG-SM

Untuk membuktikan keberhasilan ekstraksi xantorizol dari fase bawah


ekstraksi cair-cair tahap 1 dilakukan analisis menggunakan KG-SM. Hasil analisis
KG-SM menunjukkan bahwa terdapat 3 senyawa yang masing-masing muncul
pada waktu retensi 11.440, 13.679, dan 23.085 menit (Gambar 5). Senyawa yang
terdeteksi pada waktu retensi 11.440 dan 23.085 menit adalah -kurkumena dan
asam oleamida, sedangkan xantorizol terdeteksi pada waktu retensi 13.679 menit.

Gambar 5 Kromatogram KG-SM ekstrak xantorizol fase atas ekstraksi tahap 2


9

Gambar 6 Spektrum massa KG-SM ekstrak xantorizol fase atas ekstraksi tahap 2
Spektrum SM juga menunjukkan keberhasilan ekstraksi bertingkat dari
xantorizol ditandai dengan munculnya nilai m/z sebesar 218.2 (Gambar 6).
Berdasarkan pustaka, persen kemiripan struktur xantorizol yaitu sebesar 81 dan
memiliki persen area sebesar 29.73 .

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Xantorizol telah berhasil diekstraksi menggunakan pelarut HEMWat dengan


teknik ekstraksi cair-cair dan dioptimasi menggunakan ekstraksi cair-cair
bertingkat. Sistem pelarut HEMWat yang memiliki nilai K tertinggi adalah sistem
pelarut 13. Sistem pelarut 13 yang telah diekstraksi bertingkat dan dianalisis
menggunakan KCKT menghasilkan pembelahan puncak xantorizol pada
kromatogram. Hasil analisis menggunakan KG-SM membuktikan keberhasilan
ekstraksi bertingkat xantorizol dengan munculnya nilai m/z 218. Ekstraksi
bertingkat dari sistem pelarut 13 dapat dilakukan untuk menentukan efisiensi
ekstraksi sehingga diperoleh nilai 67.87 dan dapat meningkatkan kemurnian
xantorizol pada fase atas yaitu sebesar 38.687 .

Saran

Sistem pelarut Arizona seharusnya digunakan untuk mengekstraksi


xantorizol dari minyak atsiri pelepah temulawak, karena sistem pelarut Arizona
memiliki rentang yang lebih besar antar komposisi pelarutnya dibandingkan
dengan sistem pelarut HEMWat.
10

DAFTAR PUSTAKA

Asriani D. 2010. Isolasi xanthorrhizol dari temu lawak terpilih berdasarkan nomor
harapan [tesis]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
Byers JA. 2003. Table Values from Phenomenex Catalog. [Internet] [diunduh
2015 Nov 25]. Tersedia pada: http://www.phenomenex.com.
Cho JY, Hwang JK, Chun HS. 2011. Xanthorrhizol attenuates dextran sulfate
sodium-induced colitis via the modulation of the expression of
inflammatory genes in mice. Life Sci. 88(19-20): 864-870.
doi:10.1016/j.lfs.2011.03.007.
Darusman LK, Djauhari E, Nurcholis W. 2006. Kandungan xanthorrhizol
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) pada berbagai cara budidaya dan
masa tanam. Prosiding Seminar Tumbuhan Obat Indonesia XXIX. Surakarta
(ID): Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. hlm 567-580.
Darusman et al. 2007. Potensi Temu Lawak Terstandar untuk Menanggulangi Flu
Burung. [Internet] [diunduh 2015 Mar 7]. Tersedia pada:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/7181.
Graziose R, Rathinasabapathy T, Lategan C, Poulev A, Smith PJ, Grace M, Lila
MA, Raskin I. 2011. Antiplasmodial activity of aporphine alkaloids and
sesquiterpene lactones from Liriodendron tulipifera L. J Ethnopharmacol
133:26–30. doi: 10.1016/j.jep.2010.08.059.
Harvey D. 2000. Modern Analytical Chemistry. New York (US): McGraw-Hill.
Hendayana S. 2006. Kimia Pemisahan: Metode Kromatografi dan Elektroforesis
Modern. Bandung (ID): PT Remaja Rosdakarya.
Herdiyanto. 2014. Pengoptimuman metode ekstraksi dan isolasi xantorizol dari
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Hwang JK. 2000. Xanthorrhizol: A New Bioactive Natural Compound. Seoul
(KR): Department of Biotechnology, Yonsei University.
Hwang JK, Shim JS, Pyun YR. 2000. Antibacterial activity of xanthorrhizol from
Curcuma xanthorrhiza against oral pathogens. Fitoterapia 71(3): 321-323.
doi:10.1016/S0367-326X(99)00170-7.
Itokawa H, Qian S, Toshiyuki A, Morris-Natschke SL, Lee KH. 2008. Recent
advances in the investigation of curcuminoids. Chin Med. 3(11): 1-13. doi:
10.1186/1749-8546-3-11.
Julita I. 2013. Daun pelindung bunga temu lawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
sebagai inhibitor tirosinase dan antioksidan [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Masuda T, Isobe J, Jitoe A, Nakatani N. 1992. Antioxidative curcuminoids from
rhizomes of Curcuma xanthorrhiza. Phytochem 31(10): 3645-3647.
doi:10.1016/0031-9422(92)83748-N.
Muchtaridi, Apriyantono A, Subarnas A, Budijanto S. 2003. Analysis of volatile
active compounds of essential oils of some aromatic plants possessing
inhibitory properties on mice locomotor activity. Proceeding in
International Symposium on Biomedicine. Bogor (ID): Biopharmaca Centre
IPB, 18-19 September. Tumbuhan Obat Indonesia 3: 23.
11

Nuratmi B, Adjirni, Paramitha DL. 1996. Penelitian farmakologis sambiloto


(Andrographis paniculata). Warta Tumbuhan Obat Indonesia 3: 23.
Nurcholis W. 2006. Kandungan xanthorrizol temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb) pada berbagai cara budidaya dan masa tanam [skripsi]. Bogor (ID):
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Pinel B, Audo G, Mallet S, Lavault M, De La Poype F, Séraphin D, Richomme P.
2007. Multi-grams scale purification of xanthanolides from Xanthium
macrocarpum centrifugal partition chromatography versus silica gel
chromatography. J Chromatogr A 1151(1-2): 14–19. doi:10.1016/
j.chroma.2007.02.115.
Rahardjo M, Rostiana O. 2005. Budidaya Tanaman Temulawak. Bogor (ID):
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika.
Ravindran PN, Babu KN, Sivaraman K. 2007. Turmeric: The Genus Curcuma.
New York (US): CRC press.
Rukayadi Y, Hwang JK. 2007. In vitro antimycotic activity of xanthorrhizol
isolated from Curcuma xanthorrhiza Roxb. against opportunistic
filamentous fungi. Phytother Res 5: 434-438. doi:10.1002/ptr.2092.
Septyanti C. 2012. Potensi pelepah temulawak sebagai antikanker dan antioksidan
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Sigma-Aldrich. 2009. HPLC Troubleshooting Guide. [Internet] [diunduh 2015
Nov 25]. Tersedia pada: http://www.sigmaaldrich.com/etc/medialib/
docs/Supelco/Bulletin/4497.Par.0001.File.tmp/4497.pdf
Sudewo B. 2004. Tanaman Obat Populer Penggempur Aneka Penyakit. Jakarta
(ID): Agro Media Pustaka.
Sukrasno, Kartika, Fidrianny I, Elfahmi, Anam K. 2012. Influence of storage on
the volatile oil content of Curcuma rhizome. Res J Med Plant : 1-7.
doi:10.3923/rjmp.2012.274.280.
Wang D, Fang L, Wang X, Qiu Z, Huang L. 2011. Preparative separation and
purification of sesquiterpenoids from Tussilago farfara L. by high-speed
counter-current chromatography. Quim Nova 34(5): 804–807.
doi:10.1590/S0100-40422011000500014.
Wijaya SH, Husnawati, Afendi FM, Darusman LK, Batubara I, Md. Altaf-Ul-
Amin, Sato T, Ono N, Sugiura T, Kanaya S.2014. Supervised Clustering
Based on DPClusO: Prediction of Plant-Disease Relations Using Jamu
Formulas of KNApSAcK Database. BioMed Res Int 2014: 1-15.
doi:10.1155/2014/831751.
Wu D, Wu S. 2013. Comprehensive solvent system for counter-current
chromatographic separation of natural antioxidant flavonoids from
traditional chinese medicines. J Med Res Dev 2(1): 1-14.
Wu H, Su Z, Yang Y, Ba H, Aisa HA. 2007. Isolation of three sesquiterpene
lactones from the roots of Cichorium glandulosum Boiss. et Huet. by high-
speed counter-current chromatography. J Chromatogr A 1176(1-2):217–
222. doi:10.1016/j.chroma.2007.11.013.
Wei Y, Du J, Lu Y. 2012. Preparative separation of bioactive compounds from
essential oil of Flaveria bidentis (L.) Kuntze using steam distillation
extraction and one step high-speed counter-current chromatography. J Sep
Sci 35: 2608–2614. doi:10.1002/jssc.201200266.
12

Yan G, Ji L, Luo Y, Hu Y. 2012. Preparative isolation and purification of three


sesquiterpenoid lactones from Eupatorium lindleyanum DC. by high-speed
counter-current chromatography. Molecules 17: 9002–9009.
doi:10.3390/molecules17089002.
Yasni S, Imaizumi K, Sin K, Sugano M, Nonaka G, Sidik. 1994. Identification of
an active principle in essential oils and hexane-soluble fractions of Curcuma
xanthorrhiza Roxb. Showing triglyceride-lowering action in rats. Food
Chem Toxicol 32(3): 273-278.
Xie J, Wang S, Sun B. 2009. Isolation and purification of nootkatone from the
essential oil of fruits of Alpinia oxyphylla Miquel by high-speed counter-
current chromatography. Food Chem 117(2): 375–380.
doi:10.1016/j.foodchem.2009.04.011.
13

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Isolasi minyak atsiri


dari pelepah temulawak

Distilasi uap selama 6 jam,


kemudian dikeringkan
menggunakan natrium sulfat

Kedua fase pelarut


Minyak atsiri kering dipisahkan
Ekstraksi cair-cair
dengan sistem pelarut Analisis
HEMWat menggunakan
KCKT

Penentuan koefisien
partisi dalam
2 fase pelarut

Sistem pelarut
terpilih

Optimasi efisiensi
ekstraksi dari
sistem pelarut terpilih
Ekstraksi cair-cair
bertingkat

Analisis xantorizol

KCKT

KG-SM
14

Lampiran 2 Kromatogram standar xantorizol dan minyak atsiri dalam sistem


pelarut HEMWat 1, 5, 9, 13, dan 15

Kromatogram standar xantorizol 1000 ppm

Kromatogram fase atas sistem pelarut 1

Kromatogram fase atas sistem pelarut 5


15

Lampiran 2 Kromatogram standar xantorizol dan minyak atsiri dalam sistem


pelarut HEMWat 1, 5, 9, 13, dan 15 (lanjutan)

Kromatogram fase atas sistem pelarut 9

Kromatogram fase atas sistem pelarut 13

Kromatogram fase atas sistem pelarut 15


16

Lampiran 2 Kromatogram standar xantorizol dan minyak atsiri dalam sistem


pelarut HEMWat 1, 5, 9, 13, dan 15 (lanjutan)

Kromatogram fase bawah sistem pelarut 1

Kromatogram fase bawah sistem pelarut 5

Kromatogram fase bawah sistem pelarut 9


17

Lampiran 2 Kromatogram standar xantorizol dan minyak atsiri dalam sistem


pelarut HEMWat 1, 5, 9, 13, dan 15 (lanjutan)

Kromatogram fase bawah sistem pelarut 13

Kromatogram fase bawah sistem pelarut 15

Nilai koefisien partisi (K) dari 5 sistem pelarut

Sistem Luas puncak


K
Pelarut Fase atas Fase bawah
1 3995685 5700961 0.7
5 10860041 509940 21.3
9 11412007 229336 49.76
13 13786023 32032 430.38
15 13559514 78172 173.46
18

Lampiran 3 Polaritas sistem pelarut berdasarkan Byers (2003)

Indeks polaritas komponen pelarut HEMWat

Pelarut Indeks polaritas


n-heksana 0
etil asetat 4.4
metanol 5.1
air 9

Indeks polaritas sistem pelarut HEMWat

Indeks polaritas
Sistem pelarut
gabungan
12 5.26
13 5.45
14 5.87

Contoh perhitungan indeks polaritas sistem pelarut 13:

= 5.45
19

Lampiran 4 Efisiensi ekstraksi cair-cair bertingkat xantorizol teoritis

Kromatogram fase atas sistem pelarut 13 ekstraksi tahap 1

Kromatogram fase bawah sistem pelarut 13 ekstraksi tahap 1

Perhitungan koefisien partisi xantorizol:

K=

K=

K = 320.5429

Perhitungan fraksi solut dalam fase bawah (bila suatu solut hanya berbentuk
tunggal pada masing-masing fase, D = K):

( )=

( )=

( ) = 3.1100 10-3
20

Lampiran 4 Efisiensi ekstraksi cair-cair bertingkat xantorizol teoritis (lanjutan)

Perhitungan fraksi solut dalam fase atas:

)=1 ( )

) = 1 – (3.1100 10-3)

) = 0.9969

Perhitungan efisiensi ekstraksi

E=( ) 100

E = 0.9969 100

E = 99.69

Perhitungan fraksi solut dalam fase bawah setelah tiga kali ekstraksi:

= 3.0081 10-8

Perhitungan fraksi solut dalam fase atas setelah tiga kali ekstraksi:

)=1 ( )

) = 1 – (3.0081 10-8)

) = 0.9999

Perhitungan optimasi efisiensi ekstraksi setelah tiga kali ekstraksi:

E=( ) 100

E = 0.9999 100

E = 99.99
21

Lampiran 5 Efisiensi ekstraksi cair-cair bertingkat xantorizol sebenarnya

Massa xantorizol tahap 1 fase atas:

= ⁄

= 7620.57 = 7.6206 mg

Massa xantorizol tahap 1 fase bawah:

= ⁄

= 4882.33 = 4.8823 mg

Massa xantorizol tahap 2 fase atas:

= 0.6716 mg

Massa xantorizol tahap 2 fase bawah:

= 2.0248 mg

Massa xantorizol tahap 3 fase atas:

= 0.1932 mg
22

Lampiran 5 Efisiensi ekstraksi cair-cair bertingkat xantorizol sebenarnya (lanjutan)

Efisiensi ekstraksi bertingkat sebenarnya:

E=

E= = 67.87
23

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Karawang pada 24 Juni 1994 dari ayah Drs Sumarman (alm)
dan ibu Herliawati. Tahun 2011, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Subang dan
pada tahun yang sama lulus Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
(SNMPTN) undangan di Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis mengikuti berbagai kegiatan non
akademik seperti anggota divisi musik dan vokal Art Dormitory Club tahun 2011,
anggota alto II dari PSM Agriaswara tahun 2011/2012, anggota divisi musik dan
vokal dari MAX!! IPB tahun 2012/2013, ketua divisi PDD Chemistry Challenge IPB
2013, ketua divisi Kesekretariatan SENSITIF IPB 2013, dan bendahara kegiatan IS3
dan Pelatihan HACCP Kimia IPB 2013. Penulis juga memiliki pengalaman menjadi
asisten praktikum Kimia TPB IPB pada tahun 2013-2014, Kimia Analitik Layanan
Biokimia pada tahun 2014-2015, Azas Kimia Analitik pada tahun 2014, Kimia
Biologis II pada tahun 2015, dan Praktikum Analisis Instrumental pada tahun 2015.
Penulis melakukan Praktik Lapangan di Balai Veteriner Subang dengan judul
laporan Uji Residu Trenbolon pada Daging dan Hati Sapi dengan Metode
Enzyme-linked Immunosorbent Assay dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi pada
tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai