Anda di halaman 1dari 5

Budaya Maluku

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa

Budaya Maluku adalah aspek kehidupan yang mencakup adat istiadat, kepercayaan, seni
dan kebiasaan lainnya yang dijalani dan diberlakukan oleh masyarakat Maluku. [1] Maluku
adalah sekelompok pulau yang merupakan bagian dari Nusantara. [2] Maluku berbatasan
dengan Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di sebelah timur
dan Palau di timur laut. [2] Maluku memiliki beragam budaya dan adat istiadat mulai dari alat
musik, bahasa, tarian, hingga seni budaya. [1]

Daftar isi
 1 Budaya Kalwedo
o 1.1 Nilai Adat Kalwedo
 2 Budaya Hawear
 3 Batu Pamali
 4 Upacara Fangnea Kidabela
o 4.1 Makna Upacara Fangnea Kidabela
 5 Hibua Lamo
 6 Budaya Arumbae
 7 Sasahil dan Nekora
 8 Referensi

Budaya Kalwedo
Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo. [3] Kalwedo adalah bukti yang
sah atas kepemilikan masyarakat adat di Maluku Barat Daya (MBD). [3] Kepemilikan ini
merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang bersaudara. [4] Kalwedo telah
mengakar dalam kehidupan baik budaya maupun bahasa masyarakat adat di kepulauan Babar
dan MBD. [3] Pewarisan budaya Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon
sehari-hari, adat istiadat, dan pewacanaan. [4]

Nilai Adat Kalwedo

Kalwedo merupakan budaya yang memiliki nilai-nilai sosial keseharian, dan juga nilai-nilai
religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian, dan kebahagiaan hidup
bersama sebagai orang bersaudara. [4] Budaya Kalwedo mempersatukan masyarakat di
kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah kekerabatan adat, dimana
mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama.[3] Nilai
Kalwedo diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas pulau dan negeri, yaitu:
inanara ama yali (saudara perempuan dan laki-laki). [4] Inanara ama yali menggambarkan
keutamaan hidup dan pusaka kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas
hati, jiwa, pikiran dan perilaku.[4]
Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup
Niolilieta/hiolilieta/siolilieta (hidup berdampingan dengan baik). [3] Tradisi hidup masyarakat
MBD dibentuk untuk saling berbagi dan saling membantu dalam hal potensi alam, sosial,
budaya, dan ekonomi yang diwariskan oleh alam kepulauan MBD. [3]

Budaya Hawear

Sasi (Hawear) di Kepulauan Kei

Hawear (Sasi) adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan masyarakat
Kepulauan Kei secara turun menurun. [5] Cerita rakyat, lagu rakyat, dan berbagai dokumen
tertulis merupakan prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya termasuk Hawear. [4]
Sejarah Hawear bermula dari seorang gadis yang diberikan daun kelapa kuning (janur
kuning) oleh ayahnya. [4] Kemudian janur kuning itu disisipkan atau diikat di kain seloi yang
dipakainya. [4] Gadis tersebut melakukan perjalanan panjang untuk menemui seorang raja
(Raja Ahar Danar). [4] Maksud dari janur kuning tersebut sebagai tanda bahwa ia telah
dimiliki oleh seseorang, dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh siapapun selama
perjalanan. [4] Janur kuning tersebut diberikan oleh sang ayah, karena sang ayah pernah
diganggu oleh orang-orang tak dikenal dalam perjalanannya. [4] Hal ini adalah proses Hawear
yang masih dijalankan sesuai dengan maknanya hingga saat ini.[5]

Batu Pamali

Contoh: Batu Pamali Negeri Saparua


Batu Pamali adalah simbol material adat masyarakat Maluku. [6] Selain Baileo, rumah tua,
dan teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati
masyarakat adat Maluku.[6] Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar berdirinya
sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo, sekaligus sebagai
representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam kehidupan masyarakat. [6] Batu
Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri adat, dengan demikian batu Pamali
adalah milik bersama setiap soa. [4] Di beberapa negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki
secara kolektif, termasuk negeri adat yang masyarakatnya memeluk agama yang berbeda. [6]
Seiring dengan perkembangan agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan
keberadaan batu Pamali. [6] Dengan adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri
diganti dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa. [6]

Upacara Fangnea Kidabela


Kepulauan Tanimbar yang sekarang menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat, memiliki
kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk
Duan Lolat dan Kidabela. [7] Duan Lolat mengatur tentang hubungan sosial masyarakat yang
luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa atau lebih, dan hubungan tersebut
diwujudkan dalam bentuk Kidabela. [7] Upacara Fangnea Kidabela memperkokoh hubungan
sosial masyarakat Tanimbar dalam wadah persaudaraan dan persekutuan agar tidak mudah
pecah atau retak. [7]

Makna Upacara Fangnea Kidabela

Upacara Fangnea Kidabela mengandung makna persatuan dan kesatuan hidup masyarakat
Tanimbar baik internal maupun eksternal dalam setiap situasi. [7] Upacara Fangnea Kidabela
juga mengandung makna sebagai pemanasan, pengerasan, dan pemantapan (fangnea)
terhadap persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban (kidabela) di antara sesama
sebagai suatu persekutuan wilayah teritorial Kampung Sulung di pulau Enus yang terletak di
Selaru bagian selatan pulau Yamdena. [7] Makna upacara Frangnea Kidabela sama dengan
upacara Panas Pela di Ambon, Lease, dan Maluku Tengah. [7] Upacara ini menciptakan
suasana hidup bermasyarakat yang kokoh dan kuat untuk mencegah fenomena konflik dan
perpecahan terhadap hubungan masyarakat. [7]

Hibua Lamo
Hibua Lamo adalah rumah besar yang dijadikan simbol masyarakat adat di Halmahera
Utara, sekaligus simbol Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara. [8] Di
Halmahera Utara terdapat tiga etnis masyarakat yang memiliki rumah adat masing-masing,
misalnya rumah adat etnis Tobelo disebut Halu. [8] Namun Hibua Lamo yang menjadi
pemersatu semua etnis. [8] Hibua Lamo adalah konstruksi dari nilai-nilai hidup dalam
masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai komunitas Hibua Lamo. [9] Hibua Lamo
merupakan konsep bersama yang disebut Nanga Tau Mahirete (rumah kita bersama). [9]
Orang Tobelo, Galela dan Loloda tersegregasi secara geografis, dan terbelenggu dalam
tradisi, agama dan kepercayaan yang berbeda. [9] Perbedaan tersebut dipahami dan dihayati
dengan kesucian hati dan kemurnian pikiran, kemudian diterapkan dalam sebuah ungkapan
filosofis Ngone O'Ria Dodoto yang bermakna satu ibu satu kandung. [8] Konsekuensi dari
falsafah Nanga Tau Mahurete dan Ngone O'Ria Dodoto adalah lahirnya sebuah komunitas
asli Halmahera Utara daratan maupun kepulauan dalam satu kesatuan yang teridentifikasi
sebagai komunitas Hibua Lamo dan kemudian disimbolkan dalam rumah adat Himua Lamo.
[8]

Dalam konteks ini komunitas Tobelo, Galela, dan Loloda mengalami proses penyatuan dalam
satu sosiokultural baru yang dinamis. [8] Sosiokultural ini berlandaskan pada nilai-nilai
O'dora (saling kasih), O'hanyangi (saling sayang), O'baliara (saling peduli), O'adili
(perikeadilan) dan O'diai (kebenaran) dalam bingkai Nanga Tau Mahurete dan Ngone O'Ria
Dodoto. [8]

Budaya Arumbae

Lomba Arumbae Manggurebe

Arumbae adalah bentukan karakter masyarakat Maluku, baik yang tinggal di pesisir maupun
di pegunungan. [9] Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam masyarakat Maluku. [9]
Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari terbentuknya suatu masyarakat. [9]
Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar - dalam mitos Barsaidi meyakini bahwa leluhur
mereka tiba di pulau Yamdena setelah melewati perjuangan yang sulit di lautan. [9]
Perjuangan melintasi lautan merupakan sejarah keluhuran. [1] Kedatangan para leluhur dari
pulau Seram, pulau Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari
cerita keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru, Ambon, Lease, dan Maluku Tenggara.
[1]
Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan Pela Gandong antar negeri. [1]
Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat
lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan. [1] Secara filosofis, maknanya
ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam
menghadapi tantangan untuk menyongsong masa depan yang gemilang. [1]

Laut adalah medan penuh bahaya dan Arumbae menstrukturkan cara pandang bahwa laut
adalah medan kehidupan yang harus dihadapi. [1] Itulah sebabnya, masyarakat Maluku
melihat laut sebagai jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau
lainnya. [1] Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong bertujuan untuk mengeratkan
jalinan hidup orang bersaudara sebagai pandangan dunia orang Maluku. [1] Kebiasaan
papalele, babalu, maano, dan konsekuensi berlayar ke pulau lain, membuat laut dan arumbae
sebagai simbol perjuangan ekonomi. [1]

Arumabe tampak dalam beragam karya seni. [1] Misalnya dalam syair kata tujuh ya nona,
ditambah tujuh, sapuluh ampa ya nona dalang parao [1] Banyak gapura negeri adat Maluku
berbentuk Arumbae. [1] Lagu daerah banyak mengumpamakan keharmonisan dengan simbol
perahu atau Arumbae. [1] Di bidang olahraga, Arumbae Manggurebe menjadi program
pariwisata dan olah raga tahunan yang diselenggarakan di Teluk Ambon. [1]

Sasahil dan Nekora


Sasahil dan Nekora merupakan tradisi masyarakat adat di Negeri Siri Sori Islam dan Negeri
Siri Sori Kristen di pulau Saparua. [10] Bagi masyarakat desa Telalora, Nekora memiliki basis
nilai tolong-menolong antarwarga. [10] Nilai tradisi Sasahil dan Nekora terletak pada cara dan
proses pelaksanaan. [10] Nilai tolong-menolong yang terdapat dalam tradisi Sasahil maupun
Nekora memiliki basis solidaritas yang kuat, dan menciptakan relasi saling memberi dan
menerima antarwarga agar suatu pekerjaan berat untuk mendirikan rumah bisa lebih ringan.
[10]
Dalam menghadapi dinamika kehidupan yang terus berubah, tradisi Sasahil dan Nekora
selalu dipertahankan dan dipelihara dengan baik. [10] Hal ini dimaksudkan sebagai modal
sosial kelangsungan hidup bermasyarakat di masa mendatang. [10]

Anda mungkin juga menyukai