Disusun oleh :
Andrian Velly
PO71200190015
1
PRODI DIII JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
2
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi………………………………………………………………………7
2.2 Epidemiologi…………………………………………………………………7
2.3 Etiologi……………………………………………………………………7-9
2.4 Patogenesis…………………………………………………………….….9-10
2.7 Diagnosis………………………………………………………………...13-19
2.11 Prognosis………………………………………………………………...….25
3
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian……………………………………………………………….…...26
BAB IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
histopatologi. Studi laboratorium sangat membantu untuk menyingkirkan
diagnosis lain dan menilai status gizi pasien, tapi pertanda serologi dapat
membantu dalam diagnosis penyakit colitis. Pencitraan radiografi memiliki peran
penting dalam hasil pemeriksaan pasien dengan suspect kolitis dan dalam
diferensiasi kolitis ulserativa dengan penyakit Crohn. Perlakuan awal untuk colitis
ulceratif meliputi pemberian kortikosteroid, agen anti-inflamasi, agen antidiare,
dan rehidrasi. Bedah dianggap perlu jika pengobatan medis gagal atau jika
keadaan darurat bedah berkembang. (Adam, 2010).
6
1.3 Tujuan Perumusan masalah
2. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan dalam membuat
rumusan masalah.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kolitis ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama penyakit radang
usus (IBD) , bersama dengan penyakit Crohn . Tidak seperti penyakit Crohn,
yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari saluran pencernaan, kolitis
ulseratif bersifat hanya melibatkan usus besar, dan ileum terminal pada 10%
pasien. (Adam, 2010).
2.2 Epidemiologi
Penyebaran penyakit kolitis ulseratif ini sama dengan penyakit chron.
Banyak ditemukan di negara barat dan sedikit di negara Asia dan Afrika.
Akan tetapi akhir-akhir ini lebih banyak kasus Crohn ditemukan di Indonesia,
mungkin juga karena lebih banyak orang berobat ke dokter dan adanya
kemajuan di bidang teknik untuk diagnosa. Insidensi penyakit kolitis ulseratif
di Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan
tetap konstan. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000
8
penduduk. Sementara puncak kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35
tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi dalam setiap dekade kehidupan.
(Glickman RM, 2000)
Di RSCM tahun 2001 – 2006 terdapat 3,9% pasien yang terdeteksi
dari 1541 pasien yang dilakukan endoskopi, dan di RSGS tahun 2002 – 2006
terdapat 6,95% pasien yang terdeteksi sebagai kolitis ulseratif dari 532 pasien
yang dilakukan endoskopi.( Djojoningrat dkk, 2011).
2.3 Etiologi
Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran
tertentu penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal
ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik.
(Glickman RM, 2000)
Faktor familial/ genetik
Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih dibandingkan
orang kulit hitam atau cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali
lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan non Yahudi. Hal ini
menunjukan bahwa dapat ada predisposisi genetik terhadap perkembangan
penyakit ini. (Glickman RM, 2000)
Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus
menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping banyak usaha
untuk menemukan agen bakteri, jamur, virus, belum ada yang sedemikian
jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau
agen lain yang dapat ditularkan yang dapat menghadirkan efek sitopatik
pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi. (Glickman RM, 2000)
Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep
bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini
(misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan
bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat
9
menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-
70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA
(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA
tidak terlibat dalam patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia
dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA negatif
lebih cenderung menjadi HLADR4 positif. (Glickman RM, 2000)
Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan.
Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang,
sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan
seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit
radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka
menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang
atau mengeksaserbasi gejalanya. (Glickman RM, 2000)
Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis
ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif
menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi
apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian sekarang
menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara perokok
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan
risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan
dengan yang bukan perokok. (Glickman RM, 2000)
2.4 Patogenesis
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria
oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya
belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun
sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD.
Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non
patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya
10
suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada
fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak
terkontrol pada flora normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus
IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori
ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen lumenal, yang
tetap dan diperkuat karena kesam/aan antara antigen lumenal dan protein tuan
rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epitelial oleh
sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated
secara langsung. (Price , 2005)
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada
peningkatan sekresi antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG
dan IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan
meningkatnya produksi IgG (oleh limfosit Th2) dan IgG, sub tipe yang
respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent. Ada juga peningkatan
produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α
[TNF-α], terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang
lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini
menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam
penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam
pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies
oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang
meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen
kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi
dan edema. ( Djojoningrat dkk, 2011)
11
elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan vaskularisasi
pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang
terdiri dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses
kemudian pecah dan proses radang meluas pada submukosa. (Jugde TA,
2009)
12
• atrophy ++
• branching ++
• crypt shortening ++
• villous surface ++
Metaplasia pyloric ++
Metaplasia Paneth cell ++
Lymphoid hyperplasia ++
Epithelial displacement ++
Increased mononucleous ++
Endocrine cell hyperplasia ++
Squamous metaplasia ++
13
Gambar1. Keterlibatan organ pada kolitis ulseratif. (Judge TA, 2009)
2.7 Diagnosis
Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri
abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus
berat. Pada penyakit yang ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang
14
setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi
sistemik. (Marc D, 2011)
Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan
ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya
anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove) ( tabel 3).
Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama
yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap
minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon
yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan
lapisan mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis
ulseratif relatif mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa
dan luasnya bagian usus yang terlibat. Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi
radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,
kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran
mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan
tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal. (Djojoningrat, 2007)
15
pemeriksaan fisis umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi
postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat.
Manifestasi ekstrakolon bisa dijumpai. Hal ini termasuk penyakit okular
(iritis, uveitis, episkleritis), keterlibatan kulit (eritema nodosum, pioderma
gangrenosum), dan artralgia/artritis (periferal dan aksial artropati). Kolangitis
sklerosing primer jarang dijumpai. (Djojoningrat, 2007)
b. Gambaran Laboratorium
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat
dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang
mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah
kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap
darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan
elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare.
Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya
mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang berulserasi.
Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris
yang berhubungan. (Djojoningrat, 2007)
Pemeriksaan kultur feses (patogen usus dan bila diperlukan,
Escherichia coli O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile
negatif. (Marc D, 2011)
Pemeriksaan antibodi p-ANCA dan ASCA (antibodi Saccharomyces
cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit kolitis ulseratif
dengan penyakit Crohn. (Adam, 2010)
c. Gambaran Radiologi
1. Foto polos abdomen
Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus
pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah
batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput
femur. Gambaran kolon sendiri terlihat memendek dan struktur haustra
16
menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada, sehingga, apabila
seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam
abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat
mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan
kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi
perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya
pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left
lateral decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak. (Adam, 2010)
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk
melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto
polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium
enema merupakan kontra indikasi. (Marc D, 2011)
2. Barium enema
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila
ada kelainan pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema
maka persiapan saluran cerna merupakan pendahuluan yang sangat penting.
Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-turut dengan memakan makanan
rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih yang banyak.
Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral. (Marc D, 2011)
Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras
tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast)
yaitu barium sulfat dan udara. Teknik double contrast sangat baik untuk
menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single contrast,
walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit. Barium
enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan
pasien dengan kolitis ulseratif.
Gambaran foto barium enema pada kasus dengan kolitis ulseratif
adalah mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta
kolon tampak menjadi kaku seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara
difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit
akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila
17
ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri (desendens)
selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum
dan menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi rektum selalu terlibat,
walaupun rektum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian
proksimalnya. (Adam, 2010)
Pada keadaan di mana terjadi pan-ulseratif kolitis kronis maka
perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal
menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped
caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut
backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-
button ulcers. Pasien dengan kolitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi
menjadi adenokarsinoma kolon. (Adam, 2010)
3. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan
modalitas pemeriksaan yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali
merupakan pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan intralumen dan
ekstralumen. (Adam, 2010)
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan
saluran pencernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan
rendah residu dan banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24
jam sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon
diisi dulu dengan air. (Anonim, 2011)
Pada pemeriksaan USG, kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan
penebalan dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang
berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur
hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan
peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau
pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau cross-sectional. Dengan
USG Doppler, pada kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan
dinding usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus
tersebut. (Marc D, 2011)
18
4. CT-scan dan MRI
Kelebihan CT-scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung
keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh
mana komplikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan
kelebihan MRI terhadap CT-scan adalah mengevaluasi jaringan lunak
karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara
jaringan lunak satu dengan yang lain. . (Marc D, 2011)
Gambaran CT-scan pada kolitis ulseratif, terlihat dinding usus
menebal secara simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka
terlihat gambaran target sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi
dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau keadaan abnormalitas
yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas memperlihatkan
fistula dan sinus tract-nya. (Anonim, 2011)
d. Gambaran Endoskopi
Pada dasarnya kolitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan
mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan
menyebar/progresif ke proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta
didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah 80% pada rektum dan
rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan
seluruh kolon (pan-kolitis). (Anonim, 2011)
Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa,
eritema difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas
mukus, darah dan nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam
adalah karakteristik. Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di
rektum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela sebelum batas
proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun
selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik
penuh dari kolon pada kolitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang
sakit akut. Biopsi rektal bisa memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang
19
lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan penampilan granuler, dan bisa
terdapat pseudopolip seperti pada gambar 6. (Marc D, 2011)
e. Gambaran Histopatologi
Yang termasuk kriteria histopatologik adalah perubahan arsitektur
mukosa, perubahan epitel dan perubahan lamina propria. Perubahan arsitektur
mukosa meliputi perubahan permukaan, berkurangnya densitas kripta,
gambaran abnormal arsitektur kripta (distorsi, bercabang, memendek).
Perubahan epitel seperti berkurangnya musin dan metaplasia sel Paneth serta
permukaan villiform juga diperhatikan. Perubahan lamina propria meliputi
penambahan dan perubahan distribusi sel radang. Granuloma dan sel-sel
berinti banyak biasanya ditemukan. Gambaran mikroskopik ini berhubungan
dengan stadium penyakit, apakah stadium akut, resolving atau
kronik/menyembuh. Pada kolon normal, permukaan datar, kripta tegak,
sejajar, bentuknya sama, jarak antar kripta sama, dan dasar dekat muskularis
mukosa. Sel-sel inflamasi, predominan terletak di bagian atas lamina propria.
Tsang dan Rotterdam (1999), membagi gambaran histologik penyakit kolitis
ulseratif menjadi kriteria mayor dan minor. Sekurang-kurangnya dua kriteria
mayor harus dipenuhi untuk diagnosis kolitis ulseratif. (Marc D, 2011)
Kriteria mayor kolitis ulseratif:
Infitrasi sel radang yang difus pada mukosa
Basal plasmositosis
Netrofil pada seluruh ketebalan mukosa
Abses kripta
Kriptitis
Distorsi kripta
Permukaan viliformis
Kriteria minor kolitis ulseratif:
Jumlah sel goblet berkurang
Metaplasia sel Paneth
20
Tetapi pada kolitis ulseratif stadium dini, gambarannya tidak dapat
dibedakan dari kolitis infektif. Dan kolitis ulseratif mempunyai tiga stadium
yang gambaran mikroskopiknya berbeda-beda. Perlu diingat bahwa pada
seorang penderita dapat ditemukan gambaran ketiga stadium dalam satu
sediaan. (Marc D, 2011)
2.9 Penatalaksanaan
Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan,
tujuan pengobatan dengan obat adalah untuk 1) menginduksi remisi, 2)
mempertahankan remisi, 3) meminimalkan efek samping pengobatan, 4)
21
meningkatkan kualitas hidup, dan 5) meminimalkan risiko kanker (Marc D,
2011)
Adapun Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan
kesehatan lini pertama dijelaskan pada gambar 7. Obat-obat kolitis ulserativa
meliputi .( Djojoningrat dkk, 2011)
1. Agen anti-inflamasi seperti senyawa 5-ASA, kortikosteroid sistemik,
kortikosteroid topikal, dan
2. Immunomodulators
a. Kortikosteroid Sistemik
Telah digunakan selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien
dengan penyakit Crohn sedang sampai parah dan kolitis ulseratif atau yang
gagal untuk merespon dosis optimal 5-ASA. Berbeda dengan senyawa 5-
ASA, kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung dengan jaringan usus
yang meradang untuk menjadi efektif. Kortikosteroid oral adalah agen anti
peradangan yang kuat seluruh tubuh. Akibatnya, mereka digunakan dalam
mengobati enteritis. ( Djojoningrat dkk, 2011)
22
Pada pasien kritis, kortikosteroid intravena (seperti hydrocortisone)
dapat diberikan di rumah sakit. Kortikosteroid lebih cepat bertindak daripada
senyawa 5-ASA. Pasien sering mengalami perbaikan dalam gejala mereka
dalam beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid dimulai. (Adam,2010)
Rencana bertindak diawali dengan : (a) memilih obat: secara
konvensional, prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih menjadi
pilihan yang sering karena murah dan mudah dijangkau. Preparat Budesonide
dipakai untuk memperoleh tujuan konsentrasi steroid yang tinggi pada
dinding usus, dengan efek sistemik (dan efek sampingnya) yang rendah,
khususnya pada pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan colon
ascendens baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. (b)
mempertimbangkan dosis. Dosis rata – rata yang banyak digunakan untuk
mencapai fase remisi adalah setara dengan 40 – 60 mg prednison atau setara
dengan prednisolon dengan dosis 0,5 – 1,0 mg/KgBB. Tindakan terapi
kemudian tappering off dose setelah remisi yang tercapai dalam waktu 8-12
minggu. ( Djojoningrat dkk, 2011)
23
penggunaan oral (coated) maupun rektal (foam-enema/suppository). (b) Dosis
rata-rata 5-ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi
tercapai yang umumnya setelah 16-24 minggu diberikan kemudian dosis
pemeliharaan yang bersifat individual.Terapi jangka panjang 5-ASA dapat
pula mencegah karsinoma kolorektal dengan cara apoptosis dan menurunnya
proliferasi mukosa kolorektal pada IBD. ( Djojoningrat dkk, 2011)
c. Immunomodulators
Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh. Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif,
bagaimanapun, sistem kekebalan tubuh secara abnormal dan kronis
diaktifkan. Immunomodulators mengurangi peradangan jaringan dengan
mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu
produksi protein yang mempromosikan aktivasi kekebalan dan peradangan.
Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu pemberian 2-
3 bulan sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya. Umumnya sebagai
introduktor/ substituensi pada kasus kasus steroid dependent atau refrakter.
Umumnya dosis initial 50 mg sampai tercapai efikasi substitusi, kemudian
dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau 1,5 mg/kgbb untuk 6-
MP. Efek samping yang sering timbul adalah nausea dan dispepsia,
leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis. ( Djojoningrat dkk, 2011)
d. Pembedahan
Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera setelah
terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare
dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau
usus kecil dan semua cairan, makanan dan obat-obatan diberikan melalui
pembuluh darah. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis
atau perforasi. Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien
24
dalam 24-48 jam, segera dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir
sebagian besar usus besar diangkat. (Adam, 2010)
Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus
besar, maka pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan.
Pembedahan non-darurat juga dilakukan karena adanya penyempitan dari
usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan pada anak-anak. Alasan
paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak sembuh-
sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis
tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan
menyembuhkan kolitis ulserativa. ( Djojoningrat dkk, 2011)
Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian terendah
usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi. Prosedur
pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus besar dan sebagian
besar rektum diangkat, dan sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan
ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat diatas anus. (Marc D, 2011)
2.10 Komplikasi
1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia
karena kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering
menjadi berat, dengan perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran
infeksi. (Marc D, 2011)
2. Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus.
Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding
usus terhenti, sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya.
Perut tampak menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan
ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen perut akan
menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar
sangat melebar, keadaannya disebut megakolon toksik. Penderita tampak
sakit berat dengan demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan
jumlah sel darah putih meningkat. Dengan pengobatan efektif dan segera,
kurang dari 4% penderita yang meninggal. Jika perlukaan ini
25
menyebabkan timbulnya lubang di usus (perforasi), maka resiko
kematian akan meningkat. (Marc D, 2011)
3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat
pada orang yang menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat.
Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita
telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa
menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara teratur,
terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode
bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk
diperiksa dibawah mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi
kanker. Bila diagnosis kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan
penderita akan bertahan hidup. (Marc D, 2011)
2.11 Prognosis
(Marc D, 2011)
Remisi pada 10%; eksaserbasi intermiten sebanyak 75%; penyakit aktif
berlanjut sebanyak 10%.
Mortalitas
26
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
a.Identitas pasien
e. Imunisasi
f. pemeriksaan fisik
g. kegiatan sehari-hari
1. Aminosalicylates
2. Kortikosteroid
27
• Kortison
• Prednisone
• Prednisolon
• Cortifoam
• Hidrokortison
• Methylprednisolone
• Beclometasone
3. Obat imunosupresif
• Tacrolimus
-Data mayor :
-Data minor :
c. Agitasi
28
Intervensi :
a. Kurangi kebisingan.
c. Jika berkemih sepanjang malam mengganggu, batasi masukan cairan waktu malam
dan berkemih sebelum berbaring.
d. Tetapkan bersama individu suatu jadwal untuk program aktivitas sepanjang waktu
(jalan, terapi fisik).
-Data mayor
-Data minor
e.Haus/mual/anokresia
b. Menceritakan perlunya untuk meningkatkan masukan cairan selama stres atau panas
29
Intervensi
a. Rencanakan tujuan masukan cairan untuk setiap pergantian (mis; 1000 ml selama
pagi, 800 ml sore, dan 200 ml malam hari)
c. Pantau masukan; pastikan sedikitnya 1500 ml peroral setiap 24 jam serta pantau
haluaran; pastikan sedikitnya 1000-1500 ml setiap 24 jam.
d. Timbang berat badan setiap hari, kehilangan berat badan 2%-4% menunjukan
dehidrasi ringan, 5%-9% dehidrasi sedang
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Kolitis Ulserativa merupakan suatu penyakit menahun, dimana usus besar
mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut
dan demam. Kolitis ulserativa bisa dimulai pada umur berapapun, tapi biasanya
dimulai antara umur 15-30 tahun.Tidak seperti penyakit Crohn, kolitis ulserativa
tidak selalu memperngaruhi seluruh ketebalan dari usus dan tidak pernah
mengenai usus halus. Penyakit ini biasanya dimulai di rektum atau kolon
sigmoid (ujung bawah dari usus besar) dan akhirnya menyebar ke sebagian atau
seluruh usus besar.
Pengobatan kolitis ulseratif memiliki tujuan adalah untuk
1) menginduksi remisi,
2) mempertahankan remisi,
3) meminimalkan efek samping pengobatan,
4) meningkatkan kualitas hidup, dan
5) meminimalkan risiko kanker
Prognosis dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon
terhadap pengobatan konservatif
30
DAFTAR PUSTAKA
31
8. Marc D Basson. 2011.http://emedicine.medscape.com/article/183084-
overview. Akses pada 22 mei 2011
32