Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

HUKUM PERBANKAN

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis

Dosen Pengampu : Jaenudin Umar SE, SH. MKn

Disusun oleh :

Muhammad Fikri Azizi ( 119020281)

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNUNG JATI
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan

makalah yang berjudul Hukum Perbankan dalam rangka memenuhi tugas

Individu Mata Kuliah Hukum Bisnis. Semoga makalah ini dapat dipergunakan

sebagai salah satu acuan atau petunjuk maupun pedoman bagi yang membaca

makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat

kekurangan dan kesalahan. Saran dan kritik yang membangun akan penulis terima

dengan hati terbuka agar dapat meningkatkan kualitas makalah ini.

Demikian yang dapan penulis sampaikan. Atas perhatiannya penulis

ucapkan terima kasih.

Cirebon, Oktober 2020 

   Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................. i
Daftar Isi........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengaturan Likuidasi Bank................................................................... 5
B. Perlindungan Nasabah Terhadap Likuidasi Bank................................. 7
C. Rahasia Bank........................................................................................ 10
D. Pengertian Rahasia Bank dan Teori Rahasia Bank............................... 16
E. Pelanggaran Rahasia Bank dan Pengecualian Rahasia Bank............... 19
F. Pengertian Kredit.................................................................................. 26
G. Penyebab Kredit Macet......................................................................... 26
H. Penyelesaian Kredit Macet................................................................... 29

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan........................................................................................... 41
B. Saran..................................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi

perorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara,

bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang

dimilikinya.

Perbankan merupakan sektor yang sangat vital dan memiliki peran

yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Lancarnya aliran uang

sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan perekonomian. Dengan

demikian, kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi

sasaran akhir dari kebijakan moneter. Di samping itu, perbankan

merupakan alat yang sangat vital dalam menyelenggarkan transaksi

pembayaran baik nasional maupun internasional.

Bisnis perbankan merupakan bisnis yang penuh risiko, di samping

menjanjikan keuntungan yang besar jika di kelola secara baik dan hati-

hati. Dikatakan sebagai bisnis penuh risiko karena aktivitasnya sebagian

besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan

giro maupun deposito. Besarnya peran yang diperhatikan oleh sektor

perbankan, bukan berarti membuka peluang sebebas-bebasnya bagi siapa

saja untuk mendirikan, mengelola ataupun menjalankan bisnis perbankan

tanpa di dukung dengan aturan perbankan yang baik dan sehat. Pemerintah

1
melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang menetapkan aturan

dan bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha

dan aktivitas perbankan. Oleh karenanya, kebijakan pemerintah disektor

perbankan harus di arahkan pada upaya mewujudkan perbankan yang

sehat, kuat dan kokoh. Hal ini mengingat kebijakan di bidang perbankan

ini tidak lagi semata-mata memegang peranan penting dalam

pengembangan infrasturktur keuangan dalam rangka mengatasi

kesenjangan antara tabungan dan investasi, tetapi juga berperan penting

dalam memelihara kestabilan ekonomi makro melalui keterkaitannya

dengan efektivitas kebijakan moneter.

Apabila kita melihat kondisi perbankan pada era 1997-1998 yang

mengalami krisis moneter, pada pertengahan tahun 1997 krisis moneter

semakin melebar menjadi krisis perbankan.[2] Masyarakat heboh dengan

terjadinya 16 bank yang dilikuidasi. Mereka khawatir apakah uang mereka

dapat dikembalikan secara utuh atau tidak, maklum selaku nasabah tidak

mengerti apa yang mesti diperbuat. Kepercayaan masyarakat terhadap

perbankan nasional memudar. banyak dana yang hengkang dari bank–

bank lokal berpindah ke bank asing, bahkan tidak sedikit yang di bawa ke

luar negeri.

Dampak selanjutnya dari keadaan tersebut akan dapat mengancam

perekonomian dan sistem perbankan nasional. Kepercayaan masyarakat

akan goyah terhadap bank atas perlindungan nasabah ketika terjadi

likuidasi bank tersebut.

2
Apabila bank mengalami kesulitan likuiditas, kemungkinan besar

terjadi efek yang menular khususnya apabila suatu bank di-rush, yaitu

dananya diambil secara besar-besarnya oleh nasabahnya karena tidak

adanya jaminan perlindungan hukum terhadap nasabah.

Kemauan masyarakat untuk menyimpan dananya pada bank

semata-mata dilandasi oleh kepercayaan bahwa uangnya akan dapat

diperoleh kembali pada waktunya dan disertai imbalan bunga. Berdasarkan

data-data yang diperoleh menunjukan, baik di Indonesia maupun di

Negara-negara lain bahwa ada beberapa bank yang mengalami kesulitan

dan terpaksa ditutup sehingga merugikan masyarakat, karena sebagian atau

seluruh dananya tidak dapat diperoleh kembali.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap

perbankan nasional, pemerintah mengeluarkan jaminan kewajiban

pembayaran bank umum atau dikenal dengan blanket guarantee yang

merupakan financial safety net dengan keputusan presiden Nomor 26

Tahun 1998 dan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (Pasal 37). Atas

dasar tersebut, penulis mencoba meneliti tentang perlindungan nasabah

terhadap likuidasi bank yang dituangkan dalam makalah yang berjudul

“Perlindungan Hukum Nasabah Terhadap Likuidasi Bank”.

3
B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas maka dapat diajukan rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan likuidasi bank berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku?

2. Bagaimana perlindungan hukum masyarakat penyimpan dana/nasabah

ketika terjadi likuidasi bank?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengaturan Likuidasi Bank

Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga

Penjamin Simpanan jo Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan UU

No. 24 Tahun 2004 jo UU No. 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Perpu No.

3 Tahun 2008, bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan likuidasi

dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan yang sebelumnya

dilaksanakan oleh Bank Indonesia.[3] Undang-undang Lembaga Penjamin

Simpanan itu ditetapkan penjaminan simpanan nasabah bank, yang

diharapkan dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industri

perbankan dan dapat meminimumkan risiko yang membebani anggaran

negara.

Penjamin simpanan nasabah bank tersebut diselenggarakan oleh

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang dibentuk oleh pemerintah

sebagai badan hukum berdasarkan undang-undang Lembaga Penjamin

Simpanan. LPS sendiri memiliki dua fungsi yaitu menjamin simpanan

nasabah bank dan melakukan penyelsaian atau penanganan bank gagal.

Penjaminan simpanan nasabah bank yang dilakukan LPS bersifat

terbatas tetapi dapat mencakup sebanyak-banyaknya nasabah. Setiap bank

yang menjalankan usahanya di Indonesia diwajibkan untuk menjadi

peserta penjaminan dan membayar premi penjaminan.[4] Apabila bank

5
tidak dapat melanjutkan usahanya dan harus dicabut izin usahanya, LPS

akan membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut terlebih dahulu

sampai jumlah tertentu. Adapun simpanan yang tidak dijamin akan

diselsaikan melelui proses likuidasi bank.

Pemebentukan LPS ini merupakan amanat dari Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Ketentuan dalam Pasal 37 B

Undang-Undang tersebut menetapkan bahwa setiap bank wajib menjamin

dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk

menjamin simpanan masyarakat dibentuk Lemabaga Penjamin Simpanan

(LPS) yang berbentuk badan hukum dan diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah.[5]Pembentukan LPS tersebut dimaksudkan untuk

melindungi kepentingan nasabah dan sekaligus meningkatkan kepercayaan

masyarakat kepada bank. Indonesia dalam rangka untuk mendukung

sistem perbankan nasional yang sehat dan stabil, maka dilakukan

penyempurnaan terhadap program penjaminan simpanan nasabah bank

dengan membentuk suatu lembaga yang independent yang diberi tugas dan

wewenang untuk melaksanakan program penjaminan simpanan nasabah

bank dimaksud yaitu LPS. Ketentuan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

menetapkan fungsi dan tugas LPS. Fungsi LPS adalah menjamin simpanan

nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem

perbankan sesuai dengan kewenangannya.[6] Kemudian Pasal 96 Undang-

6
Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

menetapkan, bahwa LPS melaksankan fungsi penjaminan tersebut bagi

bank berdasarkan prinsip syariah, yang lebih lanjut ditetapkan dalam

Peraturan Pemerintah.

B. Perlindungan Nasabah Terhadap Likuidasi Bank

Kehadiran hukum dalam masyarakat di antaranya adalah untuk

mengintegrasikan dan mengoordinasikan kepentingan-kepentingan yang

biasa bertentangan satu sama lain. Berkaitan dengan itu, Hukum harus

mampu mengintegrasikannya sehingga benturan-benturan kepentingan itu

dapat ditekan sekecil kecilnya.[7] Apabila dikaitkan dengan hukum

mengenai peran perbankan dalam melindungi nasabah ketika terjadi

likuidasi bank maka mengacu pada Peraturan Perbankan Indonesia, yaitu

bahwa hukum memberikan perlindungan terhadap nasabah dengan cara:

Perlindungan secara implicit (Implisit deposit protection), yaitu:

perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang

efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank.

Perlindungan ini yang diperoleh melalui: (1) peraturan perundang-

undangan di bidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh

pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank

Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan uasaha bank sebagai sebuah

lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan

pada umumnya, (4) memihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan

7
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang

tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan

informasi resiko pada nasabah.

Perlindungan eksplisit (Eksplicit deposit orotection), yaitu :

perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin

simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan,

lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan

pada bank yang gagal tersebut. Perlindungan ini diperoleh melalui

pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana

diatur dalam Keputusan Presiden RI No. 26 Tahun 1998 tentang jaminan

Terhadap Kewajiban Bank Umum.

Bahwa hakikat dari perlindungan Hukum tersebut adalah

melindungi kepentingan nasabah penyimpan dan simpanannya yang

disimpan di suatu bank tertentu terhadap suatu resiko kerugian.

Perlindungan ini juga merupakan upaya untuk mempertahankan dan

meningkatkan kepercayaan masyarakat khususnya nasabah, maka sudah

seharusnya/sepatutnya dunia perbankan perlu memberikan perlindungan

Hukum itu.

Bank Indonesia mempunyai wewenang pembinaan dan

pengawasan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha bank, demikian

juga Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank

dengan memperhatikan aspek pemodal (capital), kualitas asset,

manejemen, likuiditas, dan lain-lain misalnya dalam perlindungan nasabah

8
mengenai perlindungan pemberian kredit pada nasabah.[9] Dalam

hubungannya perlindungan dengan perlindungan kepentingan-kepentingan

nasabah dalam kegiatan bank di bidang rehabilitas ini, diperlukan

pembentukan suatu lembaga yang dapat menjamin bahwa dana nasabah

yang disimpan pada bank terjamin pengambilanya. Misalnya, apabila

suatu bank dilikuidasi, nasabah dari bank yang bersangkutan akan

memperoleh penggantian dananya dari lembaga penjamin.

Berbicara tentang perlindungan Hukum menurut KUHPerdata,

bagi nasabah, pada dasarnya perlindungan Hukum diperlakukan oleh

nasabah, baik nasabah penyimpan dana atau nasabah kreditor, juga

nasabah penerima kredit atau disebut nasabah debitur serta pengguna jasa

perbankan. Apabila dikaitkan dengan UU No 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen yang memasukan nasabah bank sebagai

konsumen, maka dasar hubungan Hukum kedua belah pihak adalah

berakar dari suatu perjanjian. Hal ini tampak dari Pasal 2 angka 5 UU No.

10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan. Disebutkan bahwa simpanan adalah dana yang dipercayakan

oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan uang

dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk

lainnya yang dipersamakan dengan itu.[10]

Dalam rangka memperoleh kembali dana yang disimpananya juga

dengan bunganya apabila dimungkinkan, maka pada dasarnya nasabah

merupakan pihak konkuren yang mendapat perhatian pertama untuk

9
dibayar dari hasil penjualan harta kekayaan bank yang bersangkutan

sebagaimana dicantumkan dalam PP No. 25 Tahun 1999 ayat (2) huruf a,

sehingga nasabah yang dirugikan oleh nasabah bank yang bermasalah dan

dilikuidasi dapat meminta hak atas dasarnya dengan menggugat ke

pengadilan, baik secara class action maupun perorangan.

C. “Rahasia Bank”

1. Apa yang perlu diketahui dari rahasia Bank?

Kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan rahasia

Bank, sehingga kalau kita menjadi nasabah Bank, kita akan

mengetahui secara pasti apa-apa yang boleh dan tidak boleh diberikan

pada pihak luar oleh Bank. Dalam dunia modern sekarang ini, hampir

setiap orang yang telah cukup umur berhubungan dengan Bank, entah

sekedar menyimpan uang, ataupun mengirim uang melalui transfer,

meminjam uang dan sebagainya.

Dasar Hukum ketentuan rahasia bank di Indonesia, mula-mula

adalah Undang-undang no.7 tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi

kemudian diubah dengan Undang-undang no.10/1998. Sesuai pasal 1

ayat 28 Undang-undang no.10/1998, berbunyi sebagai berikut:

Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan

keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya.

10
2. Lingkup Rahasia Bank

Pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul adalah: Apakah

yang harus dirahasiakan ini hanya terbatas kepada keuangan nasabah

penyimpan dana saja? Apakah juga menyangkut keadaan keuangan

nasabah debitur? Apakah lingkup rahasia Bank hanya menyangkut

pasiva (liabilities) bank berupa dana nasabah bank, ataukah juga

meliputi aktiva (assets) bank berupa kredit Bank kepada nasabah.

Apakah juga menyangkut penggunaan jasa-jasa bank yang lain, selain

jasa penyimpanan dana dan jasa pemberian kredit?

Dari rumusan pasal 40 Undang-undang No.10/1998, secara

eksplisit disebutkan bahwa lingkup rahasia bank adalah bukan saja

menyangkut simpanan nasabah, tetapi juga (identitas) nasabah

penyimpan yang memiliki simpanan tersebut. Bahkan dalam rumusan

pasal 40, “Nasabah Penyimpan” disebut lebih dahulu daripada

“Simpanannya”.

Di beberapa negara, lingkup dari rahasia bank tidak ditentukan

hanya terbatas kepada keadaan keuangan nasabah, tetapi meliputi juga

identitas nasabah yang bersangkutan.

3. Informasi mengenai mantan nasabah

Di dalam praktek perbankan atau praktek bisnis, sangat lazim

seorang nasabah berpindah-pindah atau berganti-ganti bank, seperti

juga adalah lazim seorang nasabah mempunyai simpanan pada

beberapa bank. Timbul pertanyaan, apakah bank masih terikat terhadap

11
kewajiban rahasia bank setelah nasabahnya tidak lagi menjadi nasabah

bank yang bersangkutan? Hal ini ternyata tidak diatur atau ditentukan

oleh undang-undang, baik oleh undang-undang no.7/1992 maupun

undang-undang no.10/1998.

Mengingat tujuan dari diadakannya ketentuan mengenai

kewajiban rahasia bank, sebaiknya undang-undang perbankan

Indonesia menentukan kewajiban rahasia bank tetap diberlakukan

sekalipun nasabah yang bersangkutan telah tidak lagi menjadi nasabah

bank yang bersangkutan.

4. Siapa yang berkewajiban memegang teguh rahasia Bank?

Menurut pasal 47 ayat (2) Undang-undang no.10/1998, yang

berkewajiban memegang teguh rahasia bank adalah:

 Anggota Dewan Komisaris Bank

 Anggota Direksi Bank

 Pegawai Bank

 Pihak terafiliasi lainnya dari Bank

5. Siapakah yang dikategorikan sebagai “pegawai bank”

Menurut penjelasan pasal 47 ayat (2) yang dimaksudkan

“pegawai bank” adalah “semua pejabat dan karyawan bank”. Lingkup

sasaran tindak pidana rahasia bank menurut pasal tsb terlalu luas,

karena berarti rahasia bank berlaku bagi siapa saja yang menjadi

pegawai bank, sekalipun pegawai bank tersebut tidak mempunyai

akses atau tak mempunyai hubungan sama sekali dengan nasabah

12
penyimpan dan simpanannya, seperti: pramubakti, satpam, pengemudi,

pegawai di unit yang mengurusi kendaraan dan masih banyak lagi.

6. Kewajiban merahasiakan bagi mantan pegawai bank

Seorang pegawai bank, ada kemungkinan tak selamanya

menjadi pegawai bank tersebut, bisa karena telah tiba masa pensiun,

keluar dan menjadi pegawai di perusahaan lain, meninggal dan

sebagainya. Pada krisis moneter, banyak pegawai bank yang terkena

PHK karena bank nya terkena likuidasi.

Pertanyaan yang muncul, apakah mantan pegawai bank masih

tetap terkena oleh kewajiban memegang teguh rahasia bank yang

menjadi kewajibannya sewaktu yang bersangkutan masih menjadi

pegawai aktif di bank yang bersangkutan? Ternyata Undang-undang

no.7/1992 maupun Undang-undang no.10/1998 tak mengaturnya.

Beberapa negara menentukan bahwa mantan pengurus dan

pegawai bank terikat oleh kewajiban rahasia bank. Ada yang

menentukan keterikatannya itu berakhir setelah beberapa tahun sejak

saat yang bersangkutan berhenti sebagai pengurus atau pegawai bank,

ada pula yang menentukan kewajiban tersebut melekat terus sampai

seumur hidup.

7. Pengertian pihak terafiliasi lainnya

Sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 ayat (22) Undang-

undang no.10/1998, yang dimaksud pihak terafiliasi adalah:

13
anggota dewan komisaris, pengawas, pengelola atau kuasanya,

pejabat atau karyawan bank, anggota pengurus, pengawas, pengelola,

atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank, khusus bagi bank yang

berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku pihak yang memberikan jasanya kepada bank,

antara lain: akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan

lainnya pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia, turut serta

mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan

keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi,

keluarga pengurus.

8. Pengecualian atas kewajiban rahasia bank

Undang-undang no.10/1998 memberikan pengecualian dalam 7

(tujuh) hal. Pengecualian tersebut tidak bersifat limitatif, artinya di luar

7 (tujuh) hal yang telah dikecualikan itu tidak terdapat pengecualian

yang lain. Pengecualian itu adalah:

 Untuk kepentingan perpajakan dapat diberikan pengecualian

kepada pejabat pajak berdasarkan perintah Pimpinan Bank

Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan (pasal 41) Untuk

penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan

Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara,

dapat diberikan pengecualian kepada Pejabat Badan Urusan

Piutang dan Lelang Negara/PUPN atas izin Pimpinan Bank

Indonesia (pasal 41A)

14
 Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana dapat diberikan

pengecualian kepada polisi, jaksa atau hakim atas izin Pimpinan

Bank Indonesia (pasal 42)

 Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya dapat

diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin Pimpinan

Bank Indonesia (pasal 43)

 Dalam rangka tukar menukar informasi di antara bank kepada bank

lain dapat diberikan pengecualian tanpa harus memperoleh izin

dari Pimpinan Bank Indonesia (pasal 44)

 Atas persetujuan, permintaan atau kuasa dari nasabah penyimpan

secara tertulis dapat diberikan pengecualian tanpa harus

memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (pasal 44A ayat 1)

 Atas permintaan ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan dana

yang telah meninggal dunia (pasal 44A ayat 2)

Sehubungan dengan pengecualian yang bersifat limitatif

tersebut, apabila ada pihak-pihak lain (selain yang telah ditentukan

sebagai pihak-pihak yang boleh memperoleh pengecualian) meminta

penjelasan mengenai keadaan keuangan suatu nasabah dari suatu bank,

jelas jawabannya adalah “tidak boleh”.

Sifat limitatif dari pengecualian itu bukan tidak dapat diperluas,

asal perluasannya ditentukan oleh undang-undang. Apabila

pengecualian di dalam undang-undang perlu ditambah, maka

penambahan dapat dilakukan dengan:

15
Mengubah Undang-undang no.10/1998, atau Memberikan

tambahannya dengan mencantumkannya dalam undang-undang

tersendiri.

Dari ulasan di atas terlihat, bahwa Bank merupakan lembaga

yang harus beroperasi secara prudent. Mengapa? Bank adalah bagian

dari sistim keuangan dan sistim pembayaran suatu negara.

Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi bank sangat

penting, karena ambruknya bank dapat mengakibatkan domino effect,

yaitu menular kepada bank-bank lain, yang akan mengganggu fungsi

sistim keuangan dan sistim pembayaran negara yang bersangkutan.

Bank adalah lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung

pada kepercayaan para nasabahnya, yang mempercayakan dana dan

jasa-jasa lain, yang dilakukan nasabah melalui bank. Oleh karena itu

bank sangat berkepentingan agar kadar kepercayaan masyarakat, yang

telah maupun yang akan menyimpan dananya, maupun yang telah atau

akan menggunakan jasa-jasa bank lainnya, terpelihara dengan baik.

Salah satu faktor untuk memelihara kepercayaan masyarakat terhadap

suatu bank, adalah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank.

D. Pengertian Rahasia Bank dan Teori Rahasia Bank

Dalam sistem hukum perbankan Indonesia, pengertian mengenai

rahasia bank selalu ditentukan dalam undang-undang yang mengatur

lembaga perbankan. Namun demikian, sesuai dengan perkembangan

16
zaman dan kebutuhan masyarakat rumusan tentang rahasia bank itu pun

mengalami perubahan, baik pengertian maupun ruang lingkupnya.

Mengenai pengertian rahasia bank, bisa kita lihat dalam UU No. 7

Tahun 1998 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Adapun rumusan mengenai rahasia bank menurut kedua undang-

undang tersebut adalah sebagaimana diuraikan berikut ini. :

1. UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 16 UU No. 7 Tahun 1992,

yang dimaksud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank

yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.

Berkaitan dengan itu, ketentuan Pasal 40 ayat (1) menentukan

bahwa bank dilarang memberikan keterangan yang dicatat pada bank

tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya, yang

wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia

perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,

Pasal 42, Pasal 43, dan Pasal 44.

Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dikemukakan bahwa

makna yang terkandung dalam pengertian rahasia bank adalah

larangan-larangan bagi perbankan untuk memberi keterangan atau

informasi kepada siapa pun juga mengenai keadaan keuangan nasabah

dan hal-hal lain yang patut dirahasiakan dari nasabahnya, untuk

kepentingan nasabah maupun kepentingan dari bank itu sendiri.

17
Selanjutnya ketentuan Pasal 1 angka 16 tersebut diubah

menjadi Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998, yang

mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan rahasia bank adalah

segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai

nasabah penyimpan dan simpanannya. Adapun Pasal 40 ayat (1) di

atas diubah menjadi Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998, yang

mengemukakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai

nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 41, 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal

44A.

Berdasarkan ketentuan di atas, menunjukkan bahwa pengertian

dan ruang lingkup mengenai rahasia bank yang diatur dalam UU No. 7

Tahun 1992 dan UU No. 10 Tahun 1998 memiliki perbedaan. Dalam

UU No 7 Tahun 1992 ketentuan rahasia bank tersebut lebih luas,

karena berlaku bagi setiap nasabah dengan tidak membedakan antara

nasabah penyimpan dan nasabah peminjam. Adapun ketentuan rahasia

bank yang ditentukan dalam UU No. 10 Tahun 1998 lebih sempit,

karena hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dan simpanannya saja.

Teori-teori Rahasia Bank

Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang

sangat penting bagi nasabah penyimpan dan simpanannya maupun

bagi kepentingan dari bank itu sendiri, sebab apabila nasabah

18
penyimpan ini tidak mempercayai bank di mana ia menyimpan

simpanannya tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya.

Terdapat dua teori mengenai rahasia bank, yaitu sebagai berikut:

1. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak

Menurut teori ini bank mempunyai kewajiban untuk

menyimpan rahasia nasabah yang diketahui bank karena kegiatan

usahanya dalam keadaan apa pun, baik dalam keadaan biasa atau

pun keadaan luar biasa. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan

individu, sehingga kepentingan negara dan masyarakat sering

terabaikan.

2. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Nisbi (Relatif)

Menurut teori ini bank diperbolehkan membuka rahasia

atau memberi keterangan mengenai nasabahnya, jika untuk

kepentingan yang mendesak, misalnya untuk kepentingan negara

atau kepentingan hukum. Teori ini banyak dianut oleh bank-bank

di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.

E. Pelanggaran Rahasia Bank dan Pengecualian Rahasia Bank

Secara tegas dinyatakan bahwa ada dua jenis tindak pidana yang

ditentukan oleh Pasal 47 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang

berkaitan dengan perbankan. Pertama, tindak pidana yang dilakukan oleh

mereka yang tanpa membawa perintah atau izin dari Pimpinan Bank

Indonesia dengan sengaja memaksa bank atau pihak yang terafilisi untuk

19
memberikan keterangan yang harus dirahasiakan oleh bank. Hal ini di

tentukan oleh Pasal 47 ayat (1). Kedua, tindak pidana yang dilakukan oleh

anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank, atau pihak terafiliasi

lainnya, yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib

dirahasiakan oleh bank. Tindak pidana tersebut ditentukan oleh Pasal 47

ayat (2).

Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut berbunyi sebagai berikut:

1. Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari pemimpin

Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A,

dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terfiliasi untuk

memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40,

diancam dengan pidana penjara sekuran-kurangnya 2 (dua) tahun dan

paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak

Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar).

2. Anggota dewan komisaris,direksi,pegawai bank atau pihak teafiliasi

lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib

dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana sekurang-

kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda

sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan

paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

20
Pengecualian Rahasia Bank

Pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank dalam UU No. 7

tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 adalah mengacu kepada ketentuan

Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa bank

wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan

simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,

41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A.

Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) tersebut dapatlah

diuraikan secara sistematis pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank

sebagai berikut:

1. Untuk Kepentingan Perpajakan

Mengenai pembukaan rahasia bank untuk kepentingan

perpajakan ini diatur dalam ketentuan Pasal 41 ayat (1) yang

menentukan bahwa:

Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas

permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah

tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan

bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan

nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

2. Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank yang Telah Diserahkan

kepada BUPLN/PUPN

Ketentuan Pasal 41A ayat (1) adalah landasan hukum untuk

pembukaan rahasia bank untuk kepentingan piutang bank yang telah

21
diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara

(BUPLN) atau Panitia Urusan Piutang (PUPN). Secara lengkap

ketentuan Pasal 41A ayat (1) menentukan bahwa:

Untuk penyelesaian piutang bank yang telah diserahkan kepada

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang

Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat

Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang

Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan

nasabah debitur.

3. Untuk Kepentingan Peradilan dalam Perkara Pidana

Pembukaan atau penerobosan terhadap ketentuan rahasia bank

dapat juga dilakukan dengan alasan untuk kepentingan peradilan dalam

perkara pidana sebagaimana ditentukan oleh Pasal 42 ayat (1) UU No.

10 Tahun 1998. Ketentuan Pasal 42 ayat (1) menentukan bahwa:

Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan

Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim

untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka

atau terdakwa pada bank.

4. Dalam Perkara Perdata antara Bank dengan Nasabah

Menurut ketentuan Pasal 43 UU No. 10 Tahun 1998 bahwa:

Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi

bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan

22
tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan

memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut.

Ketentuan ini merupakan landasan hukum dan alasan dapat

dibukanya atau diterobosnya ketentuan rahasia bank untuk

kepentingan penyelesaian perkara perdata antara bank dan nasabahnya

di pengadilan. Untuk itu direksi dari bank yang bersangkutan dapat

memberikan keterangan mengenai keadaan keuangan dari nasabah

tersebut.

5. Dalam Tukar-menukar Informasi Antar Bank

Menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998,

bahwa dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank juga

merupakan alasan untuk pembukaan atau penerobosan ketentuan

rahasia bank.

Pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa:

Dalam rangka tukar-menukar informasi antar bank, direksi

bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada

bank lain.

Ketentuan di atas tentu dapat dilakukan jika ada suatu

kepentingan dari bank yang bersangkutan yang berkaitan dengan

nasabah tersebut, dan tidak menimbulkan kerugian bagi nasabah. Oleh

sebab itu, pelaksanaan dari ketentuan ini lebih lanjut diatur oleh Bank

Indonesia sebagaimana ditentukan oleh Pasal 44 ayat (22) UU No. 10

Tahun 1998.

23
6. Atas Permintaan, Persetujuan atau Kuasa dari Nasabah Penyimpan

atau Ahli Warisnya

Alasan-alasan pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia

bank yang telah dikemukakan di atas, pada dasarnya mengandung

suatu kepentingan dari negara, kepentingan penyelesaian perkara, dan

kepentingan dari bank.

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga

mengatur mengenai pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia

bank atas dasar kepentingan dari nasabah penyimpan sebagaimana

diatur dalam Pasal 44A.

Pasal 44A ayat (1) menentukan bahwa:

Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah

penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan

keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang

bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan

tersebut.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 44A ayat (2) diatur bahwa:

Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli

waris yang sah dari penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh

keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.

Dari ketentuan Pasal 44A ayat (1) dan (2) di atas, menunjukkan

bahwa bank berkewajiban untuk memberikan keterangan mengenai

simpanan dari nasabah penyimpan kepada pihak yang diberi kuasa atau

24
ditunjuk oleh nasabah penyimpan dan/atau memberi keterangan

simpanan dari nasabah penyimpan kepada ahli warisnya apabila ia

meninggal dunia.

Selain pengecualian-pengecualian yang telah diuraikan diatas,

KPK juga diberikan kewenangan dalam membuka rahasia bank.

Kewenangan tersebut didasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung

No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan hukum atas

pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

terkait dengan ketentuan rahasia bank yang ditandatangani oleh Ketua

Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 2 Desember 2004.

Surat Keputusan Mahkamah Agung RI tersebut diterbitkan sebagai

jawaban atas Surat Gubernur Bank Indonesia No.

6/2/GBI/DHk/Rahasia, tanggal 8 Agustus 2004 yang meminta

pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung untuk menjawab

persoalan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam

membuka rahasia bank.

Dalam Surat Keputusan memuat penegasan hukum, bahwa

ketentuan Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi merupakan ketentuan khusus (lex specialis)

yang memberikan kewenangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi

dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Dengan demikian ketentuan prosedur izin membuka rahasia bank

25
sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 1998, tidak berlaku bagi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

F. Pengertian Kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa latin “credere” yang berarti

kepercayaan. Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur atau

pihak yang memberikan kredit (bank) dalam hubungan perkreditan dengan

debitur (nasabah penerima kredit) mempunyai kepercayaan bahwa debitur

dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat

mengembalikan kredit yang bersangkutan

Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang

Perbankan, merumuskan pengertian kredit adalah “Penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau

kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang

mewajibkan pihak peminjam melunasi hutangnya setelah jangka waktu

tertentu dengan pemberian bunga”.

G. Penyebab Kredit Macet

Kredit mecet dapat disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor

internal maupun eksternal. Faktor internal penyebab timbulnya kredit

macet yaitu penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan, itikad

kurang baik dari pemilik, pengurus, atau pegawai bank, lemahnya sistem

26
administrasi dan pengawasan kredit serta lemahya sistem informasi kredit

macet, sedangkan faktor eksternal penyebab timbulnya kredit macet adalah

kegagalan usaha debitur, musibah terhadap debitur atau terhadap kegiatan

usaha debitur, serta menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku

bunga kredit.

Sejak ditandatanganinya perjanjian kredit antara bank dengan

nasabah debitur, sejak saat itulah timbul hak dan kewajiban para pihak.

Kewajiban nasabah debitur adalah membayar pokok pinjaman beserta

bunganya. Namun dalam kenyataannya banyak nasabah yang tidak dapat

melaksanakan prestasinya dengan baik, sehingga kredit yang diterimanya

menjadi macet. Sebagian besar kredit macet timbul karena hal-hal yang

terjadi pada pihak debitur, antara lain :

1. Kondisi Ekonomi Nasabah

Pada umumnya, yang meminjam uang pada lembaga perbankan

adalah nasabah menengah kebawah. Mereka umumnya adalah petani,

pengusaha kecil dan menengah. Dengan demikian, di dalam

mengembangkan usahanya selalu tergantung pada harga pasar yang

berlaku.

2. Kemauan Debitur untuk membayar utangnya sangat rendah

Rendahnya kemauan debitur untuk membayar utangnya ini

disebabkan karena jaminan yang digunakan oleh mereka adalah tanah

milik orang lain.

27
Penggunaan tanah milik orang lain adalah disebabkan pemilik

tanah membutuhkan uang juga.

3. Nilai jaminan lebih kecil dari nilai hutang pokok dan bunga

Pihak perbankan menilai jaminan yang dimiliki oleh nasabah

debitur dianggap cukup untuk melunasi utang pokok dan bunga.

Namun pada saat dilakukan pelelangan nilai jaminan tersebut tidak

cukup untuk membayar utang pokok dan bunga debitur.

4. Usaha nasabah bangkrut

5. Kredit yang diterima nasabah disalahgunakan

Yang seharusnya untuk usahanya, namun disalahgunakan

untuk keperluan lain.

6. Managemen usaha nasabah sangat lemah

Perlu adanya pengelola usaha yang mempunyai pengetahuan

dan skill yang baik guna berkembangnya usaha tersebut.

7. Pembinaan kreditor terhadap nasabah sangat kurang

Perlu adanya pembinaan dari kreditor terhadap nasabah

debiturnya, pembinaan tersebut berguna untuk mengembangkan

kemampuan, pengetahuan , keterampilan dan lain sebagainya.

8. Nasabah Beritikad Tidak Baik

Ada sebagian nasabah yang sengaja dengan segala daya upaya

mendapatkan kredit tetapi setelah kredit diterima untuk kepentingan

yang tidak dapat dipertanggungajawabkan. Nasabah sejak awal tidak

berniat mengembalikan kredit walaupun dengan resiko apapun,

28
biasanya sebelum kredit jatuh tempo nasabah sudah melarikan diri

untuk menghindari tanggungjawab.

Kasmir juga mengemukakan bahwa timbulnya kredit-kredit

bermasalah (macet) selain berasal dari nasabah dapat juga berasal dari

bank, karena bank tidak terlepas dari kelemahan yang dimilikinya.

Bank dapat merupakan salah satu penyebab terjadinya kredit macet.

Hal tersebut karena dalam melakukan analisis, pihak bank melakukan

analisis kurang teliti sehingga apa yang seharusnya terjadi tidak

diprediksi sebelumnya. Dapat pula terjadi akibat kolusi dari pihak

analis kredit dengan pihak debitur sehingga dalam analisisnya

dilakukan secara subjektif.

Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa

kredit macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak

mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktu yang telah

diperjanjikan.

H. Penyelesaian Kredit Macet

Adanya kredit bermasalah apabila macet yang menjadi beban bagi

bank menjadi salah satu indikator penentu kinerja bank, oleh karena itu

adanya kredit bermasalah apabila macet memerlukan penyelesaian yang

cepat, tepat dan akurat dan memerlukan tindakan penyelematan dan

peyelesaian dengan segera.

29
Tindakan bank dalam usaha menyelamatkan dan menyelesaikan

kredit macet akan sangat bergantung pada kondisi kredit yang bermasalah

apabila macet itu sendiri. Untuk menyelamatkan dan menyelesaikan kredit

macet ada dua strategi yang ditempuh:

1. Penyelesaian kredit bermasalah melalui jalur non litigasi

Penyelesaian melalui jalur ini dilakukan melalui perundingan

kembali antara Kreditor dan debitor dengan memperingan syarat-

syarat dalam perjanjian kredit. Jadi dalam tahap penyelamatan kredit

ini belum memanfaatkan lembaga hukum karena debitor masih

kooperatif dan dari prospek usahanya masih feasible. Penanganan

kredit perbankan yang bermasalah menurut ketentuan Surat Edaran

Bank Indonesia No. 23/12/ BPP tanggal 28 Februari 1991 dalam usaha

mengatasi kredit macet , pihak bank dapat melakukan beberapa

tindakan penyelamatan sebagai berikut:

1. Rescheduling/ penjadwalan kembali

Rescheduling merupakan upaya pertama dari pihak bank

untuk menyelamatkan kredit yang diberikan kepada debitor. Cara

ini dilakukan jika ternyata pihak debitor (berdasarkan hasil

penelitian dan perhitungan yang dilakukan account officer bank)

tidak mampu untuk memenuhi kewajiban dalam hal pembayaran

kembali angsuran pokok maupun bunga kredit.

Rescheduling adalah penjadwalan kembali sebagian atau

seluruh kewajiban debitor. Hal tersebut disesuaikan dengan

30
proyeksi arus kas yang bersumber dari kemampuan usaha debitor

yang sedang mengalami kesulitan. Penjadwalan tersebut bisa

berbentuk :

a. Memperpanjang jangka waktu kredit

b. Memperpanjang jangka waktu angsuran, misalnya semula

angsuran ditetapkan setiap 3 bulan kemudian menjadi 6 bulan

c. Menurunkan jumlah untuk setiap angsuran yang

mengakibatkan perpanjangan jangka kredit

2. Reconditioning

Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan

sebagian atau seluruh syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada

perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan atau persyaratan

lainnya sepanjang tidak menyangkut perubahan maksimun saldo

kredit.

Upaya penyelamatan kredit secara reconditioning bertujuan untuk :

 Menyempurnakan legal documentation.

 Menyesuaikan kemampuan membayar debitor dengan kondisi

yang terjangkau oleh debitor (angsuran pokok, denda, bunga,

penalti dan biaya-biaya lainnya).

 Memperkuat posisi bank.

3. Recstructing

Lukman Dendawijaya mendefinisikan reksrtukturisasi yaitu

usaha penyelamatan kredit yang terpaksa harus dilakukan bank

31
dengan cara mengubah komposisi pembiayaan yang mendasari

pemberian kredit.

Secara umum tujuan dilakukannya rekstrukturisasi kredit

adalah meningkatkan kemampuan debitor dalam membayar pokok

dan bunga jaminan. Dalam melakukan rekstrukturisasi kredit hal

yang harus diperhatikan adalah prospek usaha dan itikad baik

debitor.

Restructing atau rekstrukturisasi menurut Surat Keputusan

Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12

November 1998 tentang Rekstrukturisasi kredit dalam Pasal 1

huruf c adalah upaya yang dilakukan bank dalam kegiatan usaha

perkreditan agar debitor dapat memenuhi kewajibannya.

Rektrukturisasi kredit dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai

berikut :

a. “Penurunan suku bunga kredit

Penurunan suku bunga kredit tidak dapat dikatakan

sebagai rekstrukturisasi kredit apabila penurunan dimaksud

bertujuann menyesuaikan dengan bunga pasar yang pada saat

bersamaan juga mengalami penurunan. Kaitannya dengan

Batas Maksimum Pemberian Kredit (selanjutnya disingkat

menjadi BMPK), perpanjangan jangka waktu yang sebelumnya

telah melampaui BMPK diberlakukan sebagai pelampauan

BMPK yang wajib diselesaikan dalam jangka waktu 9 bulan

32
sedangkan penyertaan modal sementara dalam rangka

rektrukturisasi kredit dikecualikan dari perhitungan BMPK

b. pengurangan tunggakan bunga kredit

kreditor dapat memberikan keringanan berupa

mengurangi jumlah bunga yang tertunggak atau menghapus

seluruh tunggakan bunga kredit. Debitor dibebaskan dari

kewajiban membayar tunggakan bunga kredit sebagian atau

seluruhnya. Langkah ini diambil agar debitor mempunyai

kembali kemampuan melanjutkan kegiatan usahanya sehingga

dapat digunakan membayar utang pokoknya.

c. Pengurangan tunggakan pokok kredit

Kreditor dapat memberikan keringanan berupa

mengurangi utang pokok yang tertunggak. Langkah ini

merupakan reksstrukturisasi yang paling maksimal yang dapat

diberikan oleh bank karena langkah ini biasanya diikuti dengan

penghapusan bunga dan denda seluruhnya.

“Pengurangan tunggakan pokok ini merupakan

pengorabanan yang tidak kembali dan merupakan kerugian

bagi bank.”

d. Perpanjangan waktu kredit

Perpanjangan waktu kredit merupakan bentuk

rekstrukturisasi kredit yang bertujuan memperingan debitor

untuk mengembalikan hutangnya.

33
“Diharapkan dengan perpanjangan waktu ini dapat

memberikan kesempatan kepada debitor untuk melanjutkan

usahanya sehingga pendapatan yang harusnya digunakan untuk

membayar hutang digunakan untuk memperkuat usahanya.”

e. Penambahan fasilitas kredit

Dalam hal ini rektrukturisasi kredit dilakukan dengan

cara penambahan fasilitas kredit yang harus digunakan sesuai

prosedur yang ketat dan terdapat agunan yang cukup. “Dengan

adanya penambahan fasilitas kredit dimana debitor diberikan

kredit lagi sehingga utang menjadi besar nantinya diharapkan

debitor dapat mempunyai kemampuan untuk menjalankan

kembali usahanya dan pendapatan dari usahanya dapat

digunakan untuk membayar utang lama dan utang baru.

f. Pengambilalihan asset debitor sesuai dengan ketentuan yang

berlaku Pengambilalihan asset debitor sesuai dengan ketentuan

yang mengacu kepada Undang-Undang perbankan khususnya

Pasal 12A yang mengatur kemungkinan Bank Umum dapat

membeli sebagian atau seluruh anggunan baik melalui

penjualan umum atau pelelangan ataupun diluar pelelangan

berdasarkan penyerahan secara sukarela Namun kemudahan ini

oleh undang-undang diadakan pembatasan yaitu:

1) Agunan yang dapat dibeli oleh bank adalah agunan dari

kredit macet

34
2) Agunan yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-

lambatnya dalam jangka waktu 1 tahun

3) Dalam jangka waktu 1 tahun bank dapat menangguhkan

kewajibankewajiban yang berkaitan dengan pengalihan hak

atas agunan yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku

g. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada

perusahaan debitor

Pengurangan tunggakan bunga dan usaha lainnya tidak

dapat dilakukan langkah ini diambil setelah melalui analisi

yang mendalam serta mempertimbangkan akan terjadinya

perubahan status bank terhadap debitor. Konversi kredit

menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan debitor

hanya dilakukan apabila dipenuhi persyaratanpersyaratan

tertentu, yaitu :

1) Jangka waktu penyertaan maksimum 5 tahun atau kurang

dari 5 tahun apabila perusahaan telah memperoleh laba

selama 2 tahun berturut-turut.

2) Setelah 5 tahun harus dihapus bukukan. Dalam hal ini bank

tidak perlu ijin Bank Indonesia namun harus sesuai dengan

anggaran dasar dan kebijakan masing-masing bank. Selain

itu juga harus memperhatikan BMPK. Konversi kredit

harus dilakukan oleh satuan kerja yang tersisa dengan

35
satuan kerja pemberian kredit dan dipimpin oleh pejabat

yang memiliki kewenangan untuk melakukan negoisasi

dengan debitor dalam rangka konversi kredit.

2. Penyelesaian Kredit Bermasalah apabila macet secara Litigasi

a. Mengajukan gugatan ke pengadilan

1) Mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan ketentuan

Hukum Acara Perdata

Kreditor atau bank dapat memberikan somasi atau

peringatan kepada debitor agar ia memenuhi kewajiban, namun

somasi secara yuridis tidak mempunyai akibat hukum yang

memaksa pada debitor. “Apabila somasi itu tidak ditanggapi

oleh debitor, maka kreditor atau bank dapat melakukan gugatan

ke Pengadilan Negeri.” Kemudian apabila terbukti hakim akan

mengeluarkan keputusan Pengadilan yang tetap atau pasti.

Namun bila tergugat atau debitor tidak melaksanakan putusan

pengadilan Kreditor atau penggugat dapat mengajukan

permohonan eksekusi dan melakukan sita eksekusi untuk

selanjutnya melelang harta tergugat sehingga hasil lelangan

dapat digunakan untuk melunasi hutang tergugat.

2) Eksekusi jaminan kredit

“Mekanisme eksekusi jaminan kredit bila jaminan

diikat secara formal atau melalui bantuan notaris untuk

membuatkan aktanya (grosse akta/ akta hipotek/ akta hak

36
tanggungan) maka kreditor cukup mengajukan permohonan

eksekusi kepada pengadilan yang berkompeten.” Bila ternyata

debitor tetap tidak melaukannya maka kreditor akan memohon

sita eksekusi. Kemudian dengan sita eksekusi tersebut juru sita

pengadilan melakukan sita jaminan yang biasanya disertai

permohonan kreditor untuk pelelangan jaminan. Lalu,

pengadilan berdsarkan permohonan lelang dari kreditor akan

menghubungi kantor lelang untuk melaksanakan lelang atas

jaminan tersebut. Setelah pelelangan dilakukan, kreditor bisa

mengambil pinjaman dengan perhitungan yang sudah diketahui

pengadilan dari harga jaminan yang terjual.

3) Parate Eksekusi Hak tanggungan

Pemegang hak tanggungan dapat memilih cara menjual

lelang objek hak tanggungan berdasarkan kekuasaan sendiri

(Pasal 6 jo. Pasal 11 ayat (2e) Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1996), maka pemegang hak tanggungan sama sekali tidak perlu

berhubungan dengan pengadilan. “Kreditor pemegang Hak

Tanggungan cukup meminta bantuan Kantor Lelang Negara

untuk menjual obyek hak tanggungan tersebut.

b. penyelesaian kredit perbankan melalui BPBN

“Kredit bermasalah yang ada pada bank yang sedang

dalam penyehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27

37
Tahun 1999 diselesaikan oleh suatu lembaga yang disebut

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).”

Piutang yang diurusi oleh BPPN dari Bank dalam

Penyehatan meliputi :

1) Piutang yang sudah dialihkan kepada BPPN;

2) Piutang yang timbul sehubungan dengan Penanggungan

hutang;

3) Penyerahan kekayaan oleh pihak lain kepada Bank Dalam

Penyehatan atau BPPN

Tatacara BPPN dalam menjalankan tugasnya adalah :

1) Penerbitan Surat Paksa Penerbitan Surat Paksa diatur dalam

pasal 56 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun

1999, yang memiliki kekuatan eksekutorial dan

berkedudukan sama dengan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Penerbitan Surat Paksa

ini dilakukan sepanjang debitor telah melalaikan kewajiban

membayar atau kewajiban lainnya berdasarkan dokumen

kredit, dokumen pemberian hak jaminan, pernyataan yang

telah dibuat sebelumnya dan atau dokumen lainnya dan

kepada debitor atau penanggung hutang telah terlebih

dahulu diberi surat peringatan melalui surat tercatat untuk

membayar atau dokumen lain yang nilainya sama seperti

itu.

38
2) penyitaan

Dalam jangka waktu 1 (satu) hari setelah

diterimanya Surat Paksa, BPPN berwenang melakukan sita

eksekusi atas seluruh kekayaan debitor termasuk yang

berada di tangan pihak ketiga kecuali barang-barang yang

masih dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya. Surat

penyitaan harus memenuhi syarat Pasal 58 dan dilakukan

oleh juru sita dibantu 2 (dua) orang saksi dan dituangkan

dalam berita acara penyitaan. Berita acara penyitaan

diserhkan pada kantor pertanahan.

3) Pelelangan

Penjualan kekayaan miliik debitor yang telah disita

dilakukan melalui pelelangan, pembagian hasil pelelangan

diserahkan untuk melunasi pemenuhan pembayaran piutang

negara terdahulu. Upaya hukum lainnya tidak dapat

mencegah BPPN untuk mengambil pelunasan piutang

negara termasuk upaya hukum uuntuk mencegah atau

menunda pelaksanaan tindakan hukum lain. Wewenang

BPPN juga adalah menerbitkan surat pencabutan sita

apabila debitor telah melunasi hutangnya, selanjutnya

kantor pendaftaran mencabut blookir dan mengangkat sita

eksekusinya.

39
c. Penyelesaian kredit macet melalui PUPN dan BUPLN (Sekarang

KPKNL).

Jika kredit bermasalah sudah dapat digolongkan sebagai

kredit macet, makA untuk bank-bank milik negara di Indonesia

dapat menyerahkan penyelesaian kredit macet kepada Panitia

Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Badan Urusan Piutang dan

Lelang Negara (BUPLN). Sekarang Kantor Pelayanan Kekayaan

Negara dan Lelang (KPKNL).

d. Penyelesaian kredit bermasalah melalui jasa pengacara.

Jalan ini dapat pula ditempuh oleh sebuah bank, hanya

penyelesaian melalui jasa pengacara akan membutuhkan biaya

yang relatif lebih besar karena harus membayar feenya, oleh karena

itu sebelum memutuskan untuk menggunakan jasa pengacara,

pihak bank harus membandingkan dulu jumlah kredit tertunggak

dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan kemudian bagi

pengacara.

40
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan makalah di atas maka dapat diberikan

kesimpulan mengenai perlindungan terhadap nasabah mengenai likuidasi

suatu bank telah diantisipasi oleh pihak bank sendiri melalui perlindungan

secara implicit dan explicit dimana keduanya sudah dijelaskan di atas dan

diatur dalam UU Perbankan. Disamping itu Bank Indonesia mempunyai

wewenang pembinaan dan pengawasan dalam rangka menjaga

kelangsungan usaha bank, demikian juga Bank Indonesia menetapkan

ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek pemodal

(capital), kualitas asset, manejemen, likuiditas, dan lain-lain misalnya

dalam perlindungan nasabah mengenai perlindungan pemberian kredit

pada nasabah, yang mana pembinaan dan pengawasan tersebut akan

berpengaruh terhadap kesehatan dan kelancaran operasional bank agar

tidak terjadi permasalahan yang mempengaruhi kesehatan bank.

B. Saran

Dari pembahasan diatas mengenai perlindungan hukum nasabah

terhadap likuidasi bank, maka penulis dapat memberikan saran yaitu bagi

pihak bank terkait transparansi kesehatan bank mungkin agar selalu

diumumkan keadaan atau kesehatan bank, baik melalui media massa atau

41
melalui website, karena seluruh kelancaran dan kelangsungan operasional

bank ini berdasar pada kesehatan bank itu sendiri. Hal ini dimaksudkan

agar para nasabah mengetahui resiko terhadap dana simpanannya.

Disamping itu hendaknya juga pihak bank memberikan perlakuan yang

sama terhadap nasabah penyimpan dana baik yang kecil maupun yang

besar. Untuk menghidari terjadinya likuidasi bank hendaknya dari pihak

bank menjaga kesehatan bank dengan mematuhi peraturan perundang-

udangan yang berlaku dalam operasional perbankan.

42
DAFTAR PUSTAKA

Asikin Zainal, “Pengantar Hukum Perbankan Indonesia”, Jakarta: Rajawali Pers,

2016.

Hermansyah, “Hukum Perbankan Nasional Indonesia”, Jakarta: Perdana Media,

2005.

Prabowo Shidqon, “Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum: Perlindungan Hukum Terhadap

Nasabah” Semarang: Unwahas, 2010.

https://kinerjabank.com/catatan-setelah-penutupan-16-bank-dalam-likuidasi-

tahun-1997

http://www.lps.go.id/fungsi-tugas-wewenang

43

Anda mungkin juga menyukai