Anda di halaman 1dari 9

AIDA NUR FITRIANI

2443018348
FARMAKOTERAPI II – A
Persiapan Kuliah Jamur dan Parasit
1. Apa factor resiko terjadinya Vulvovaginal Candidiasis pada beberapa orang ?
- Penggunaan antibiotic
- Aktivitas seksual
- Oral kontrasepri yang mengandung estrogen tinggi
- Kehamilan
- Penggunaan penghambat natrium glukosa contrasporter 2 (SGLT2)
- Diabetes mellitus yang tidak terkontrol.
2. Jelaskan beberapa pilihan terapi farmakologi untuk penyakit ini, baik topical
maupun systemic !
Ada banayak pilihat terapi untuk pengobatan Vulvovaginal Candidiasis, perawatan
terutama aterdiri dari sediaan oral (resep), sediaan topical yang dijual bebas, dan
suppositoria vagina. Azoles merupakan golongan obat antijamur yang paling umum
digunakan untuk emngobati Vulvovaginal Candidiasis dan memiliki keamanan relative.
Namun, masih menunjukkan aktivitas statis, sehingga membutuhkan fungsi kekbalan
tubuh yang efisien.
Yang dijual bebas :
- Clotrimazole krim 1% - 4%, untuk penggunaan sehari-hari (1-7 hari)
- Mikonazol krim 2% - 4%, selama 3 – 7 hari
- Tioconazole 6,5 % salep intravaginal, 1 pengaplikasian.
- Suppositoria 100 mg – 1000 mg, selama 1-7 hari

Dalam resep :

- Butoconazole krim 2%, dioleskan secara intravaginal


- Terconazole 0.4 % - 0.8 %, digunakan setiap hari (7 hari)
- Suppositoria vagina 80 mg, 1 x sehari selama 3 hari.
- Fluconazole 150 mg, dosis oral tunggal.
Pasien dengan vulvovaginal candidiasis berulang, sering diresepkan untuk durasi
pengobatan lebih lama dari topical awal, (missal : 7-14 hari) atau terapi oral dengan dosisi
100 mg – 200 mg, digunakan setiap 72 jam. Wanita yang menderita penyakit ini dengan
parah, atau berulang, dapat menggunalan obat azole seiiap minggu untuk mencegah gejala
selanjutnya.

3. Pada ororfaringeal candidiasis, apa factor resiko penyakit ini ?


Pada perspektif history : penyakit ini meliputi infeksi lidah dan mukosa mulut lainnya,
dengan ditandai adanya pertumbuhan jamur berlebih serta invasi ke permukaan jaringan.
Pathogen : sampai sejauh ini, C. albicans merupakan [enyebab utama hingga mencapai
95% kasus. Meski dianggap pathogen, C. albicans merupakan organisme komensal yang
menjajah mukosa mulut serta mudah diisolasi dari rongga mulut individu yang sehat.
Local Factors :
- Hipofungsi Saliva.
Air liur diperkaya dengan protein antimikroba yang membantu membatasi perlekatan
C.albicans ke mulut.hipofungsi saliva dapat meningkat dikarenakan kekbalan tubuh
yang lemah, (missal: HIV), dan terapi iatrogenic, seperti kemoterapi.
- Memakai Gigi Tiruan.
Pemakaian gigi pallsu yang berkepenajangan, kebersihan gigi palsu, dan trauma
mukosa. Lingkungan mikro bantalan gigi palsu memiliki oksigen yang rendah,
sebagian besar tanpa air liur,, dan memiliki PH asam rendah.
- Terapi Kosrtikosteroid Tipikal
Pada penyakit mukosa mulut yang parah. Diperlukan terapi kortikosteroid sistemik.
Pasien dapat diberikan kortikosteroid topical dan sistemik untuk jangka waktu yang
lama, dan seringkali memerlukan profilaksis antijamur.
- Merokok
Penggunaan rokok tembakau, diketahui memiliki kadar kandil oral yang jauh leboh
tinggi. Terjadi penurunan laju aliran saliva, sehingga mengakibatkan PH renda dan
membuat lingkungan asam yang mendukung pertumbuhan candida.
Faktor Sistemik :

- Immunosence Terkait Usia.


Pasien lanjut usia terbukti memiliki tingkat aktivitas pertahanan dari pelindung saliva
lebih rendah. Untuk bayi pada usia ekstrim juga beresiko lebih tinggi.
- Antibiotic Spectrum Luas.
Diakibatkan penipisan bakteri pada oral local, dapat mengubah lingkungan candida
untuk berkembang biak.
- Infeksi HIV dan AIDS
Pasien HIV memiliki tingkat perlindungan antimikroba yang lebih rendah.
- Systemic Immunocompromised
Seperti gangguan kekebalan sistemik akibat aplasia timus, candidiasis mukotan kronis
sindrom, terapi sitotoksik, diabetes mellitus, hipotiroidsme, dsb.
- Kekurangan gizi
Seperti malnutrisi, malabsorbsi, dan gangguan makan.secara khsusu, kekurangan
hematinic dan diet tinggi karbohidrat. Kekurangan tsb dikaitkan dnegan peningkatan
resiko zat besi, magnesium, asam folat, dan vitamin (A,B6,B12, dan C).
4. Jelaskan terapi tiopikal dan sistemik pada pasien terdiagnosis orophyangeal
candidiasis !
Pengobatan Lini Pertama :
- Nistatin (topical)
Tidak terdapat interaksi obat dan efek samping signifikan.
- Ampotherisin B
Dikenal dengan lozenge (fungilin 10 mg), dan suspense oral 100 mg/ml. diberikan 3 –
4 kali sehari. Obat ini menginhibisi adhesi jamur candida pada sel epitel. Efek samping
pada obat ini yaitu, adanya toksisitas pada ginjal.
- Klotrimazol
Obat ini mengurangi pertumbuhan jamur dengan menginhibisi ergosterol.
Dikontraindikasikan pada infeksi sistemik. Tersedia dalam bentuk tablet 10 mg dan
krim. Efek yang timbul pada obat ini, yaitu rasa sensasi tidak nyaman pada mulut, dsb.
Pengobatan Lini Kedua :

- Ketoconazole
Memblok sintesis ergosterol pada membrane sel fungal dan diserap dari GI serta
dimetabolisme di hepar. Dosis yang dianjurkan : 200 mg – 400 mg, dalam penggunaan
1 atau 2 x sehari selama 2 minggu. Efek samping : mual, muntah, kerusakan hepar, dsb.
- Fluconazole
Menginhibisis sitokrom p450 fungal. Diberikan dalam dosis 50 mg – 100 mg kapsul,
pada penggunaan 1 x dalam sehari 2 – 3 minggu. Efek amping : mual, nyeri kepala.
- Itrakonazol
Antifungal spectrum luas dan dikontraindikasikan pada pasien hamil serta memiliki
penyakit hati. Dosis yang dianjurkan ialah 100 mg diminum 2 x sehari selama 2
minggu. Efek samping utamanya, ialah mual, neuropati, dan alergi.

Terapi kandidiasis orofaringeal pada pasien HIV/AIDS

Obat yang sering diberikan dari golongan azoles, ialah flukonazol dan itrakonazol,
klotrimazole, dan suspense amphoterin B, (ampptherin B diberikan secara intravena pada
kasus yang berat). Untuk fluconazole, dia dipilih karena mudah diserap melalui usus
dengan pemberian oral. Flukozasol selanjutnya akan disekresikan dalam air liur dengan
kadar yang tinggi. Untuk efektifitas nystatin topical, tergsntung pada lamanya kontak
suspense dan mukosa yang terkena. Oleh sebab itu, setelah oemberian obat dianjurkan
untuk tidak makan atau minum selama 20 menit. Respons terapi biasanaya terlihat dalam
5 hari pertama. Jika gagal dengan topical, maka digunakan flukonazol oral. Namun jika
masih tidak berespons, dapat digunakan flukonazol dosis tinggi, yaitu 400 – 800 mg/hari,
atau dengan terapi alternative, serta lakukan tes sensitivitas terhadap antijamur.
5. Sebutkan terapi topical dan ssitemik untuk tine cruris, tinea manuum, dan tine
unguium !

Tine Cruris Tine Manum Tine Unguium


Topikal Sistemic Topikal Sistemic Topikal Sistemic
Ketokonazole Ketoconazole
Miconazole Ketoconazole Amorolfolin Griseofulvin
2% 1 x 200 mg
Clotrimazole Itraconazole Mikonazole Bifonazol-Urea Itrakonazol
Ketoconazole Fluconazole Siklopiroksolamin Terbinafin
Oxiconazole Flukonazol
Econazole

Tine Cruris
Secara medikamentosa :
- Flukonazole 150 mg 1 x seminggu selama 4 minggu, terbukti efektif dalam penggunaan
untuk tinea kruris, sebab 74% pasien sembuh.
- Itrakonazol dapat diberikan dalam dosis 400 mg/hari sebagai dua dosis harian, dan 200
mg untuk satu minggu.
Tine manuum
Terapi topical lebih disukai karena adanya resiko interaksi obat dan efek samping dari
perawatan oral. Terapi topical dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi dan diteruskan
sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi sembuh.
- Ketokonazol 1 x 200 mg, bekerja baik pada suasana asam, dan disarankan diminum
setelah makan.
Tinea Unguium
- Bifonazol – Urea
Kombinasi derivate azol, yaitu S. bifonazol 1 % dengan urea 40% dalam bentuk salep.
- Siklopiroksolamin
Derivate piridon spketum antijamur luas.
Pada systemic :
- Griseofulvin untuk dewasa 500 – 100 mg/hari.
- Itrakonazole dosis kontinyu 200 mg/hari selama 3 bulan, atau dengan dosis denyut
400mg/hari salaam seminggu setiap bulan dalam 2-3 bulan.
- Terbinafin 250 mg/hari secara kontinyu 3 bulan untuk hasil baik
- Flukonazole.
Digunakan sebagai alternative itrakonazole dan terbinafin, tetapi dosis optimal belum
daapt ditentukan. Satu analisis literature menunjukkan bahwa dosis 150 mg dalam masa
terapi 6 bulan atau lebih, dapat memberikan hasil yang baik pada tinea unguium.
6. Sebutkan perbedaan penggunaan terapi Paramomycin dan Metronidazole pada
Amebiasis !

Paramomycin
Merupakan antibiotic golongan aminoglycoside yang eberisfat amebisid, dan bekerja
dengan mengganggu sintetsis protein mikroorganisme dengan berikatan di subunit ribosom
30S. BPOM meneyetujui penggunaan paramomycin sebagai terapi amebiasis usus ringan
sampai sedang yang disbeebkan Entamoeba histolytica. Paramomycin hanya efektif untuk
kasus amebiasis intestinal, bukan amebiasis ektarintestinal karena paramomycin tidak
diserap oleh usus. Oleh karena itu, efek samping sistemik paramomycin relative minimal.
Untuk paramomycin, digunakan untuk amebicid luminal, yang bekerja dalam lumen usus
dan disebut kontak amebicid.
Dosis : 500 mg selama 5 hari.
Metonidazole
Digunakan pada amebicid lumen dan jaringan usus. Digunakan metronidazole, karena
beresiko invasi amebic ke usus mukosa tinggi meski tidak mengganggu gerakan peristaltic,
dianjurkan penambahan jaringan amebicid. Dosis : 35 – 50 mg/kgBB atau 50 mg - 5 hari.
Untuk amebicid ringan – sedang : 500 mg untuk 5 – 10 hari
Untuk amebiasis parah : 750 mg untuk 5 – 10 hari
Ektraintestinal amebiasis, : 750 mg untuk 5 – 10 hari.
7. Sebutkam perbedaan regimen terapi pada malaria Falciparum & Malaria Vivaks !
Pengobatan malaria tanpa komplikasi pada malaria falciparum dan malaria vivaks,
menggunakan ACT ditambah primakuin.
Pada malaria falciparum : Diberikan 0,25 mg/kgBB diberikan pada hari pertama.
Malaria vivaks : Dosis sama, yaitu 0.25 mg/kgBB namun selama 14 hari.
8. Kapan Artesunate digunakan ?
Artesunate merupakan obat antimalarial derivate artemisinin. Di inonesia tersedia dalam
bentuk tablet dan injeksi. Untuk injeksi artesunate, digunakan untuk pengobatan malaria
berat atau malaria dengan komplikasi terutama di rumah sakit. Pengobatan artesunate
dilakukan intramuscular atau intravena.
Penggunaan :
Artesunate 9tablet) digunakan sebagai bagian dari kombinasi artesunate dan amodakuin.
Menggantikan klorokuin sebagai lini pertama untuk malaria falciparum tanpa komplikasi.
Sebagai pengobatan tanpa komplikasi :
Artesunat diberikan dengan dosis harian tunggal 4mg/kgBB selama 3 hari.
Artesunate parenteral, tersedia dalam vial 60mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut
dalam ampul yang berisi 0.6 ml natrium bikarbonat 5 %.
9. Kapan permethrin 1 % dan 5 % digunakan untuk terapi ?
Permethrin 1% merupakan salah satu agnn topical yang tergolong aman dan
efektif dalam pengobatan pdikulosis capitis. Sedangkan permethrin 5%,
digunakan dalam pengobatan scabies.
10. Bagaimana edukasi penggunaan Permehtrin Cream 5% untuk pasien ?
Permethripin 5% dioleskan tidak hanya pada bagian yang sakit, namun
dioleskan pada seluruh bagian tubuh. Cukup digunakan satu kali selama satu
hari, lalu dikontrol satu minggu kemudian

-
DAFTAR PUSTAKA

1. Willems M. H., Ahmed S. Salman., et. al. 2020. Vulvovaginal Candidiasis: A Current
Understanding and Burning Questions. Journal of Fungi 6, 27
2. Vila T, Sultan S. Ahmed, et. al. 2020. Oral Candidiasis: A Disease of Opportunity. Jpurnal
of Fungi 6, 15
3. Williams D., Lewis M. 2011. Pathogenesis and Treatmet of Oral Candidiasis. Journal of
Oral Microbiology 3: 5771
4. Siregar L M. 2015. Kandidiasis Orofaring Pada HIV/AIDS. Cakradonya Dent J 7 (2)
5. Hakim L, Ramadhan R. M. 2015. Oral Candidiasis. Majority, Vol 4: (8)
6. Yossela T. 2015. Diagnosis and Treatmet of Tinea Cruris. J Majority, Vol 4: (2)
7. Kaltsum U. 2014. Holistik Approach to Management of Dermatophytosis (Tinea Manum
The Right, Tinea Acorporis, Tinea Cruris, nd Sinistra) In Women Age 43 Years with Labor
Jobs Daily Wash. J Medulla Unila, Vol 3: (1)
8. Gunawan A. 2016. Peranana Paramomycin untuk Amebiassi. Continung Professional
development Vol 43, 4
9. M Juariah N. Abdulla M. dkk. 2005. Intestinal Amebiasis: Diagnosis and Management.
The Indonesian Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy
10. Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan RI. 2017. Buku
Saku Penatalaksaan Kasus Malaria.
11. BPOM. 2016. Kejadian Tidak Diinginkan Setelah Pemberian Artesunate Injeksi pada Lima
Pasien di Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Jakarta
12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Pengobatan Malaria.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 044.
13. N Handayani, L Ikaditya. 2019. Analisis Biaya Efektif Terapi Skabies Permetrhin 5% dan
Salep 2-4. Media Informasi Vol 15, 2
14. Dewi Rosmala S, Paramitasari R A. dkk. 2019. Perbandingan Efektifitas Terapi Losion
Permethrin 15 Dengan Krim Permenthrin 5% Pada Pengobatan Skabies di Pondok
Pesantren Daarul Qur’an Surakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Vol
32

Anda mungkin juga menyukai