Anda di halaman 1dari 19

Mata Kuliah Filsafat Fisika

ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN KLASIK

Disusun Oleh :

Asina Sofia Harianja 8196175004


Selvia Anggriani 8196175001

Dosen Pengampu :
Drs. Togi Tampubolon, M.Si.,Ph.D
Prof. Dr. Nurdin Bukit, M.Si

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pemikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Medan, Mei 2020

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................................. 2
1.3. Tujuan ................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Aliran-aliran Klasik Dalam Pendidikan ........................................................... 3
2.2. Aliran-aliran Pendidikan Klasik ....................................................................... 3
2.2.1. Aliran Empirisme ..................................................................................... 3
2.2.2. Aliran Nativisme ...................................................................................... 8
2.2.3. Aliran Naturalisme.................................................................................... 9
2.2.4. Aliran Konvergensi .................................................................................. 13

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gagasan dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis sesuai dengan dinamika manusia
dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini, maupun di masa depan pendidikan itu selalu mengalami
perkembangan seiring dengan perkembagan sosial-budaya dan perkembangan iptek.
Pemikiran-prmikiran yang membawa pembaharuan pendidikan itu disebut aliran-aliran
pendidikan. Oleh karena itu setiap calon tenaga kependidikan, harus memahami berbagai
aliran-aliran itu agar dapat menangkap makna setiap gerak dinamika pemikiran-pemikiran
dalam pendidikan itu. Nana S. Sukmadinata (1997) mengemukakan 4 (empat) teori
pendidikan, yaitu pendidikan klasik, pendidikan pribadi,teknologi pendidikan dan
pendidikan interaksional.
Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, memandang bahwa
pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan meneruskan warisan
budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan dari pada proses. Isi
pendidikan atau materi diambil dari khazanah ilmu pengetahuan yang ditemukan dan
dikembangkan para ahli tempo dulu yang telah disusun secara logis dan sistematis. Dalam
prakteknya, pendidik mempunyai peranan besar dan lebih dominan, sedangkan peserta didik
memiliki peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari pendidik.
Pendidikan klasik menjadi sumber bagi pengembangan model kurikulum subjek akademis,
yaitu suatu kurikulum yang bertujuan memberikan pengetahuan yang solid serta melatih
peserta didik menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”, Proses Pendidikan klasik lebih
menggunakan pemikiran-pemikiran dahulu atau dimulai dari zaman yunani kuno sampai kini.
Makalah yang berjudul “aliran-aliran filsafat pendidikan versi klasik” ini akan
membahas tentang beberapa aliran-aliran yang terdapat pada filsafat pendidikan versi klasik.
Aliran-aliran tersebut adalah aliran nativisme, aliran naturalisme, aliran empirisme, dan aliran
konvergensi yang merupakan benang-benang merah yang menghubungkan pemikiran
pendidikan pada masa lalu, kini, dan mungkin yang akan datang. Yang memiliki varisi
pendapat tentang pendidikan mulai dari yang pesimis hingga yang optimis.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana aliran nativisme ?
2. Bagaimana aliran naturalisme?
3. Bagaimana aliran empirisme?
4. Bagaimana aliran konvergensi?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui aliran nativisme.
2. Untuk mengetahui aliran naturalisme
3. Untuk mengetahui aliran empirisme
4. Untuk mengetahui aliran Konvergensi

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Aliran-Aliran Klasik Dalam Pendidikan


Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan sejak dulu, kini, dan masa yang akan datang
terus berkembang. Hasil-hasil dari pemikiran itu disebut aliran atau gerakan baru dalam
pendidikan. Aliran atau gerakan tersebut mempengaruhi pendidikan diseluruh dunia,
termasuk juga di Indonesia. Teori pendidikan klasik berlandaskan pada filsafat klasik, yang
memandang bahwa pendidikan berfungsi sebagai upaya memelihara, mengawetkan dan
meneruskan warisan budaya. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan
dari pada prosesnya. Isi pendidikan atau bahan pengajaran diambil dari sari ilmu
pengetahuan yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli di bidangnya dan
disusun secara logis dan sistematis. Misalnya teori fisika, biologi, matematika, bahasa,
sejarah dan sebagainya.
Perbedaan padangan tentang faktor dominan dalam perkembangan manusia tersebut
menjadi dasar perbedaan pendangan tentang peran pendidikan terhadap manusia, mulai dari
yang paling pesimis sampai yang paling optimis. Aliran-aliran itu pada umumnya
mengemukakan satu faktor dominan tertentu saja dan dengan demikian suatu aliran dalam
pendidikan akan mengajukan gagasan untuk mengoptimalkan faktor tersebut untuk
mengembangkan manusia.

2.2. Aliran-Aliran Pendidikan Klasik


Aliran-aliran klasik terdiri atas aliran empiris, nativisme, naturalisme, dan
konvergensi.Aliran ini menghubungkan pemikiran dimasa lalu, sekarang, dan mungkin di
masa yang akan datang. Aliran ini memicu munculnya berbagai argumen-argumen tentang
pendidikan, mulai dariyang pesimis hingga yang paling optimis. Selain itu, muncul pula
beragam gerakan baru dalam pendidikan yang pengaruhnya masih terasa sampai sekarang.
Yaitu gerakan pengajaran alamsekitar, pengajaran pusat perhatian, sekolah kerja, dan
pengajaran proyek. Kemunculan gerakan baru tersebut memunculkan beragam pro dan kontra
dalam masyarakat.

2.2.1. Aliran Empirisme


Aliran ini menganut paham yang berpendapat bahwa segala pengetahuan, keterampilan
dan sikap manusia dalam perkembanganya ditentukan oleh pengalaman (empiris) nyata

3
melalui alat inderanya baik secara langsung berinteraksi dengan dunia luarnya maupun
melalui proses pengolahan dalam diri dari apa yang didapatkan secara langsung (Joseph,
2006).Bisa di katakan juga aliran yang menganggap bahwa manusia itu dalam hidup dan
perkembangan pribadinya semata-mata ditentukan oleh dunia luar, sedangkan pengaruh-
pengaruh dari dalam (factor keturunan) dianggapnya tidak ada. Aliran ini bertolak dengan
lockean tradition, yang mementingan stimulasi eksternal dan perkembangan manusia, dan
menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan
permbawaan tidak dipentingkan.
Jadi segala kecakapan dan pengetahuanya tergantung, terbentuk dan ditentukan oleh
pengalaman. Sedangkan pengalaman didapatkan dari lingkungan atau dunia luar melalui
indra, sehingga dapat dikatakan lingkunganlah yang membentuk perkembangan manusia atau
anak didik. Bahwa hanya lingkunganlah yang mempengaruhi perkembangan anak.
John Locke (dalam Joseph: 2006) tak ada sesuatu dalam jiwa yang sebelumnya tak ada
dalam indera. Ini berarti apa yang terjadi, apa yang mempegaruhi apa yang membentuk
perkembangan jiwa anak didik adalah lingkungan melalui pintu gerbang inderanya yang
berarti tidak ada yang terjadi dengan tiba-tiba tanpa melalui proses penginderaan.
Aliran ini dipelopori oleh seorang filsuf inggris bernama John Locke (1704-1932) yang
mengembangkan teori “tabula rasa”, yakni anak lahir didunia bagaikan kertas putih yang
bersih. Menurut pandangan empirisme pendidik memegang peranan yang sangat penting
sebab pendidik dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan diterima
oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. hal ini juga banyak mempengaruhi pola pikir
orang Indonesia, sebagai contoh, banyak orang tua yang memaksa anaknya untuk tumbuh
kearah yang mereka inginkan tanpa menghiraukan bakat, pembawaan, serta cita-cita anak itu
sendiri.
Aliran empirisme di pandang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan dasar yang di bawa
anak sejak lahir di anggap tidak menentukan, menurut kenyataan dalam kehidupan sehari-hari
terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya tidak
mendukung. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam
diri yang berupa kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan
yang dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah ada dalam dirinya. Meskipun
demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat yang memandang
manusia sebagai makhluk yang pasif dan dapat diubah, umpamanya melalui modifikasi
tingkah laku. Hal itu tercermin pada pandangan scientific psycology Skinner ataupun dengan

4
behavioral. Behaviorisme itu menjadikan prilaku manusia tampak keluar sebagai sasaran
kajianya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata-
mata. Meskipun demikian, pandangan-pandangan behavioral ini juga masih bervariasi dalam
menentukan faktor apakah yang paling utama dalam proses belajar itu sebagai berikut:
a. Pandangan yang menekankan peranan pengamatan dan imitasi.
b. Pandangan yang menekankan peranan dari dampak ataupun balikan dari sesuatu perilaku.
c. Pandangan yang menekankan peranan stimulus atau rangsangan terhadap perilaku.
Seperti yang akan dikemukakan pada butir atau aliran konvergensi pada bagian ini,
beberapa pendapat dalam pandangan behavioral tersebut tidak lagi sepenuhnya ala ”Tabula
Rasa” dari J. Locke, karena telah mulai diperhatikan pula faktor-faktor internal dari manusia.
Namun aliran ini dapat dibenarkan/diperkuat dengan contoh berikut : Ada 2 anak
kembar, mereka dianggap mempunyai kesanggupan dan sifat-sifat yang sama.kemudian
keduanya dipisahkan semenjak lahir yang satu dibesarkan di lingkungan desa dan dididik
oleh keluarga petani, yang satu lagi dibesarkan di kota dan dididik oleh keluarga kaya raya.
Bakat dan kesanggupan keduanya juga berbeda yang satu menjadi guru, sedangkan
yang satu lagi menjadi saudagar. Yang menyebabkan perbedaan itu adalah pendidikan dan
lingkungan yang berbeda tadi.
Ajaran-ajaran pokok empirisme yaitu:
1. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami.
2. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau
rasio.
3. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
4. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari
data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika.
5. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan
pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas
untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman
6. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-
satunya sumber pengetahuan.

5
A. Tokoh-Tokoh Empirisme
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes
(1588-1679), namun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke
dan David Hume.
1) John Locke (1632-1704)
Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli
politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu
essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun
1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai
reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah
rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui
panca indera. Dengan ungkapan singkat Locke : “Segala sesuatu berasal dari pengalaman
inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui
pengalamanlah kertas itu terisi.”
Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal
budi) dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).

2) David Hume (1711-1776)


David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang
sama. Hume seorang nyang menguasai hukum, sastra dan juga filsafat. Karya tepentingnya
ialah an encuiry concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the
principles of moral yang terbit tahun 1751.
Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat yaitu I never
catch myself at any time without a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap
pengalaman saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan
pengalaman tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju
selangkah dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari pengalaman,
yaitu melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang
disistematiskan ) dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini
merupakan usaha analisias agar empirisme dapat di rasionalkan teutama dalam pemunculan
ilmu pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan “(observasi ) dan uji coba
(eksperimentasi), kemudian menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian dan
akhirnya pengetahuan, rangkaian pemikiran tersebut dapat di gambarkan sebagai berikut:

6
B. Beberapa Jenis Empirisme
1) Empirio kritisisme
Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik.
Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin
“membersihkan” pengertian pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas,
dan sebagainya, sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan
konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau sensasi-sensasi
(pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide
Barkeley dan Hume tatapi secara sembunyi-sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat
netral filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
2) Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan problem
filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan berikut :
a. Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan prinsip
kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
b. Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-
proposisi mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data indera yang
ada seketika
c. Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya
tidak mengandung makna.
3) Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai
pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara demikian itu, dianggap
bukan pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan
melawan kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak
yang belum dapat menerima pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa
memberikan kepada kita suatu pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka
mengatakan bahwa pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika
tidak ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar
untukkeraguan. Dalam situasi semacam iti, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin
(I feel certain), tetapi aku yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada
pernyataan empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk
setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.

7
2.2.2. Aliran Nativisme
Istilah Nativisme dari asal kata natives yang artinya terlahir. Nativisme adalah sebuah
doktrin filosofis yang berpangaruh besar terhadap pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran
ini adalah Arthur Schopenhauer(1788-1869), seoran filosofis Jerman. Aliran ini identik
dengan pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam. Aliran ini
berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah di tentukan oleh faktor-faktor yang di
bawa manusia sejak lahir,pembawaan yang telah terdapat pada waktu lahir itulah yang
menentukan hasil perkembangannya. Aliran nativisme bertolak dari Leibnitzian Tradition
yang menekankan kemampuandalam diri anak, sehingga factor lingkungan termasuk factor
pendidikan, kurang berpengaruhterhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut
sudah ditentukan oleh pembawaanyang sudah diperoleh sejak lahir.
Menurut aliran nativisme, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan.
Dalam ilmu pendidikan pandangan seperti ini di sebut pesimistis pedagogis.Pendidikan yang
tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk
perkembangan anak itu sendiri.
Bagi nativisme lingkungan lingkungan sekitar tidak mempengaruhi perkembangan
anak, penganut aliran ini menyatakan bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat maka
dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai pembawaan baik maka dia akan
baik. pembawaan baik dan buruk ini tidak dapat di ubah dari luar. Meskipun dalam kenyataan
sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang tuanya (secara fisik) dan ana juga mewarisi
bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-
satunya factor yang menentukan perkembangan masih banyak factor yang dapat
mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan.
Jadi menurut pemaparan di atas telah jelas bahwa pendidikan menurut aliran nativisme
tidak bisa mengubah perkembangan seorang anak atau tidak mempunyai pengaruh sama
sekali. Karena menurut mereka baik buruknya seoang anak di tentukan oleh pembawaan
sejak lahir, dan peran pendidikan di sini hanya sebatas mengembangkan bakat saja. Misalnya:
seorang pemuda sekolah menengah mempunyai bakat musik, walaupun orang tuanya sering
menasehati bahkan memarahinya supaya mau belajar, tapi fikiran dan perasaanya tetap
tertuju pada musik dan dia akan tetap berbakat menjadi pemusik.
Seorang filsuf dari aliran ini, G. Leibnitz menyatakan bahwa dalam diri manusia
terdapat suatu inti pribadi yang mendorong manusia untuk menentukan pilihan sendiri.
Pernyataan inilah yang merupakan pokok acuan dari aliran nativisme. Namunsebenarnya,
factor hereditas dan lingkungan merupakan dua hal yang penting dalam perkembangan anak.

8
I. Faktor Perkembangan Manusia Dalam Teori Nativisme
1. Faktor genetic adalah faktor gen dari kedua orangtua yang mendorong adanya suatu
bakat yang muncul dari diri manusia. Contohnya adalah Jika kedua orangtua anak itu
adalah seorang penyanyi maka anaknya memiliki bakat pembawaan sebagai seorang
penyanyi yang prosentasenya besar.
2. Faktor Kemampuan Anak adalah faktor yang menjadikan seorang anak mengetahui
potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Contohnya adalah adanya kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah yang mendorong setiap anak untuk mengembangkan
potensi yang ada dalam dirinya sesuai dengan bakat dan minatnya.
3. Faktor Pertumbuhan Anak adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan
minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika
pertumbuhan anak itu normal maka dia kan bersikap enerjik, aktif, dan responsive
terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal
maka anak tersebut tidak bisa mngenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.

II. Tujuan Teori Nativisme


Didalam teori ini menurut G. Leibnitz: Monad “Didalam diri individu manusia terdapat
suatu inti pribadi”. Sedangakan dalam teori Teori Arthur Schopenhauer (1788-1860)
dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir atau bakat.
Sehingga dengan teori ini setiap manusia diharapkan:
1) Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
2) Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi
3) Mendorong manusia dalam menetukan pilihan
4) Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang.
5) Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki

2.2.3. Aliran Naturalisme


Naturalisme merupakan teori yang menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan
realitas. Istilah “nature” telah dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari
dunia fisik yang dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang
dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam. Istilah
naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan

9
dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada (wujud) di atas atau di luar alam
( Harold H. Titus e.al. 1984).
Aliran ini memiliki persamaan dengan nativisme, dipeolopori oleh seorang filsuf
prancis J.J. Rousseau (1712- 1778). Berbeda dengan schoperhauer, Rousseau berpendapat
bahwa semua anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik. Pembawaan rossedu
juga berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malah dapat merusak
pembawaan anak yang baik itu. Karena itu,Jean Jaquest Rousseau menciptakan konsep
pendidikan alam, artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut
alamnya, manusia jangan banyak mencampurinya.
Aliran ini disebut juga negativism, karena berpendapat bahwa pendidik wajib
membiarkan pertumbuhan anak pada alam, jadi dengan kata lain pendidikan tidak diperlukan.
Namun aliran ini sangat berbanding terbalik dengan kenyataan, karena makin lama
pendidikan semakin diperlukan.
Aliran ini mempunyai kesamaan dengan teori nativisme bahkan kadang-kadang
disamakan. Padahal mempunyai perbedaan-perbedaan tertentu. Ajaran dalam teori ini
mengatakan bahwa anak sejak lahir sudah memiliki pembawaan sendiri-sendiri baik bakat
minat, kemampuan, sifat, watak dan pembawaan-pembawaan lainya. Pembawaan akan
berkembang sesuai dengan lingkungan alami, bukan lingkungna yang dibuat-buat. Dengan
kata lain jika pendidikan diartikan sebagai usahan sadar untuk mempengaruhi perkembangan
anak seperti mengarahkan, mempengaruhi, menyiapkan, menghasilkan apalagi menjadikan
anak kea rah tertentu, maka usaha tersebut hanyalah berpengaruh jelek
terhadapperkembangan anak. Tetapi jika pendidikan diartikan membiarkan anak berkembang
sesuai dengan pembawaan dengan lingkungan yang tidak dibuat-buat (alami) makan
pendidikan yang dimaksud terakhir ini betrpengaruh positif terhadap perkembangan anak.
Jean Jaquest Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang
serba dibuat-buat (artificial) sehingga kebaikan anak-anak yang di peroleh secara alamiah
sejak saat kelahirannya itu dapat tampak secara spontan dan bebas. Jean Jaquest Rousseau
juga berpendapat bahwa jika anak melakukan pelanggaran terhadap norma-norma, hendaklah
orang tua atau pendidik tidak perlu untuk memberikan hukuman, biarlah alam yang
menghukumnya. Jika seorang anak bermain pisau, atau bermain api kemudian terbakar atau
tersayat tangannya, atau bermain air kemudian ia gatal-gatal atau masuk angin. Ini adalah
bentuk hukuman alam. Biarlah anak itu merasakan sendiri akibatnya yang sewajarnya dari
perbuatannya itu yang nantinya menjadi insaf dengan sendirinya

10
 Hukum alam memiliki ciri sebagai berikut :
1) Segalanya berkembang dari alam.
2) Perkembangan alam serba teratur, tidak meloncat-loncat melainkan terjadi secara
bertahap.
3) Alam, berkembang tidak tergesa-gesa melainkan menunggu waktu yang tepat, sambil
mengadakan persiapan.

 Dimensi filsafat pendidikan Naturalisme


1. Dimensi utama dan pertama dari pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme di bidang
pendidikan adalah pentingnya pendidikan itu sesuai dengan perkembangan
alam.Alam berkembang dengan teratur dan menurut aturan waktu tertentu. Tidak
pernah terjadi dalam perkembangan alam, seekor kupu-kupu tiba-tiba dapat terbang
tanpa terlebih dahulu mengalami proses perkembangan mulai dari ulat menjadi
kepompong dan seterusnya berubah menjadi kupu-kupu. Begitu juga perkembangan
alam yang lain, buah apapun di dunia, selalu bermula dari bunga.
2. Dimensi kedua dari filsafat pendidikan Naturalisme yang juga dikemukakan oleh
Comenius adalah penekanan bahwa belajar itu merupakan kegiatan melalui Indra.
Seperti yang disarankan oleh Wolfgang Ratke pada para guru. Guru, kata Ratke
pertamakali hendaknya mengenalkan benda kepada anak lebih dahulu, baru setelah
itu penjelasan yang diperinci (exposition) tentang benda tersebut.
3. Dimensi ketiga dari filsafat pendidikan Naturalisme adalah pentingnya pemberian
pemahaman pada akal akan kejadian atau fenomena dan hukum alam melalui
observasi. Observasi berarti mengamati secara langsung fenomena yang ada di alam
ini secara cermat dan cerdas. Seperti yang dialami Copernicus, bahwa pemahaman
kita akan menipu kita, apabila kita berfikir bahwa mataharilah yang mengelilingi
bumi, padahal sebenarnya bumilah yang mengelilingi matahari.
4. Dimensi terakhir dari percikan pemikiran filsafat pendidikan Naturalisme juga
dikembangkan oleh Jean Jacques Rousseau berkebangsaan Prancis yang naturalis
mengatakan bahwa pendidikan dapat berasal dari tiga hal, yaitu ; alam, manusia dan
barang. Bagi Rousseau seorang anak harus hidup dengan prinsip-prinsip alam
semesta.

11
 Implikasi Naturalisme di Bidang Pendidikan
Fenomena menarik di bidang pendidikan saat ini adalah lahirnya berbagai model
pendidikan yang menjadikan alam sebagai tempat dan pusat kegiatan pembelajarannya.
Pembelajaran tidak lagi dilakukan di dalam kelas yang dibatasi oleh ruang dan waktu, tetapi
lebih fokus pada pemanfaatan alam sebagai tempat dan sumber belajar. Belajar di dan dengan
alam yang telah menyediakan beragam fasilitas dan tantangan bagi peserta didik akan sangat
menyenangkan. Tinggal kemampuan kita bagaimana “mengekploirasi” sumber daya alam
menjadi media, sumber dan materi pembelajaran yang sangat berguna.
Jika di dalam kelas subyektifitas peserta didik tertekan oleh otoritas guru, maka di
alam, guru dan peserta didik dapat dengan leluasa menciptakan hubungan yang lebih akrab
satu sama lain. Dari hubungan yang akrab ini lebih lanjut terjadi hubungan emosional yang
mendalam antara guru dengan peserta didiknya. Dalam kondisi seperti ini, subyektifitas
peserta didik dengan sendirinya akan mengalir dalam diskusi dengan guru di mana telah
tercipta suasana belajar yang kondusif.
Menyatunya para siswa dengan alam sebagai tempat belajar dapat memuaskan
keingintahuannya (curiousity), sebab mereka secara langsung face to face berhadapan dengan
sumber dan materi pembelajaran secara riil. Hal yang sangat jarang terjadi pada pembelajaran
di dalam kelas.
Naturalisme dalam filsafat pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah dari
seorang anak adalah kedua orang tuanya. Oleh karena itu, pendidikan bagi naturalis dimulai
jauh hari sebelum anak lahir, yakni sejak kedua orang tuanya memilih jodohnya. Tokoh
filsafat pendidikan naturalisme adalah John Dewey, disusul oleh Morgan Cohen yang banyak
mengkritik karya-karya Dewey. Baru kemudian muncul tokoh-tokoh seperti Herman Harrell
Horne, dan Herbert Spencer yang menulis buku berjudul Education: Intelectual, Moral, and
Physical. Herbert menyatakan bahwa sekolah merupakan dasar dalam keberadaan
naturalisme. Sebab, belajar merupakan sesuatu yang natural, oleh karena itu fakta bahwa hal
itu memerlukan pengajaran juga merupakan sesuatu yang natural juga. Paham naturalisme
memandang guru tidak mengajar subjek, melainkan mengajar murid.
Terdapat lima tujuan pendidikan paham naturalisme yang sangat terkenal yang
diperkenalkan Herbert Spencer melalui esai-esainya yang terkenal berjudul “Ilmu
Pengetahuan Apa yang Paling Berharga?”. Kelima tujuan itu adalah (1) Pemeliharaan diri;
(2) Mengamankan kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan
sosial dan politik; (5) Menikmati waktu luang.

12
Spencer juga menjelaskan enam prinsip dalam proses pendidikan beraliran naturalisme.
Delapan prinsip tersebut adalah (1) Pendidikan harus menyesuaikan diri dengan alam; (2)
Proses pendidikan harus menyenangkan bagi anak didik; (3) Pendidikan harus berdasarkan
spontanitas dari aktivitas anak; (4) Memperbanyak imlu pengetahuan merupakan bagian
penting dalam pendidikan; (5) Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan
fisik, sekaligus otak; (6) Praktik mengajar adalah seni menunda; (7) Metode instruksi dalam
mendidik menggunakan cara induktif; (Hukuman dijatuhkan sebagai konsekuensi alam akibat
melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal itu harus dilakukan secara simpatik.
(J. Donald Butler :tt)

2.2.4. Aliran Konvergensi


Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa
Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan
baik maupun pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses
perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama
mempunyai peranan penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang
dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai dengan perkembangan bakat
tersebut. Sebaliknya lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak
yang optimal kalau memang dalam dirinya tidak terdapat bakat yang diperlukan dalam
mengembangkan bakat tersebut. Sebagai contoh, hakikat kemampuan anak manusia
berbahasa dengan kata-kata adalah juga hasil konvergensi.
Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungan, anak
belajar berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam
mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena itu tiap anak manusia mula-mula
menggunakan bahasa lingkungannya, misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Iggris,
dan sebagainya. Kemampuan dua orang anak (yang tinggal dalam satu lingkungan yang
sama) untuk mempelajari bahasa mungkin tidak sama. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan
kuantitas pembawaan dan perbedaaan situasi lingkungan, biarpun lingkungan kedua orang
anak tersebut bahasa yang sama. Oleh karena itu Stren berpendapat bahwa hasil pendidikan
itu tergantung dari pembawaan dan lingkungannya, seakan-akan dua garis menuju satu titik
pertemuan.
Karena itu teori W. Stren disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat kesatu
titik). Jadi menurut teori konvergensi
a) Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.

13
b) Pendidikan di artikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak
didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya
potensi yang kurang baik.
c) Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan. Aliran
konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat
dalam memahami tumbuh kembang manusia.
William Stern mengatakan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dibawa sejak lahir
itu merupakan petunjuk-petunjuk nasib manusia yang akan datang dengan ruang permainan.
Dalam ruang permainan itulah terletak pendidikan dalam arti yang sangat luas. Tenaga-
tenaga dari luar dapat menolong tetapi bukanlah ia yang menyebabkan perkembangan itu,
karena ini datangnya dari dalam yang mengandung dasar keaktifan dan tenaga pendorong.
Sebagai contoh : anak dalam tahun pertama belajar mengoceh, baru kemudian becakap-
cakap, dorongan dan bakat itu telah ada, di meniru suara-suara dari ibunya dan orang
disekelilingnya. Ia meniru dan mendebgarkan dari kata-kata yang diucapkan kepadanya,
bakat dan dorongan itu tidak akan berkembang jika tidak ada bantuan dari luar yang
merangsangnya. Dengan demikian jika tidak ada bantuan suara-suara dari luar atau kata-kata
yang di dengarnya tidak mungkin anak tesebut bisa bercakap-cakap.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pendidikan klasik merupakan aliran pendidikan pada awal masa perkembangan
pendidikan didunia.Aliran klasik pendidikan terdiri atas aliran empiris, nativisme,
naturalisme, dan konvergensi.Semua aliran tersebut memiliki makna dan tujuan serta
pandangan yang berbeda terhadap sebuah objek pendidikan.
1. Aliran nativisme mengungkapkan bahwa hasil pendidikan dan perkembangan manusia itu
ditentukan oleh pembawaan yang diperolehnya sejak anak itu dilahirkan.
2. Aliran naturalisme mengungkapkan bahwa pada hakekatnya semua anak manusia adalah
baik pada waktu dilahirkan yaitu dari sejak tangan sang pencipta namun rusak setelah
berada di tangan manusia atau karena dipengaruhi oleh lingkungan
3. Aliran empirisme mengungkapkan bahwa perkembangan anak menjadi manusia dewasa
itu ditentukan oleh lingkungannya atau oleh pendidikan dan pengalaman yang
diterimanya sejak kecil. Doktrin aliran empirisme yang sangat masyhur adalah “tabula
rasa” yang berarti batu tulis atau lembaran yang kosong. Doktrin ini menekankan arti
penting pengalaman, lingkungan dan pendidikan, faktor orang tua dan keluarga terutama
sifat dan keadaan mereka sangat menentukan arah perkembangan masa depan anak. Sifat
orang tua merupakan gaya khas dalam bersikap dan memperlakukan anak.
4. Aliran Konvergensi Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan
anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan
yang sangat penting.Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai
pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Meskipun demikian
terdapat variasi mengenai factor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan
tumbuhh kembang itu.

15
DAFTAR PUSTAKA

Barnadib, Imam. 1987. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode. Yogyakarta:

Andi Offset

Durant, Will. (1965). The sory of phylosophy. New york : The free press

Gandhi, Teguh. 2013. Filsafat Pendidikan Madzhab-Madzhab Filsafat Pendidikan.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Ihsan, A.Fuad. Filsafat Ilmu. 2010. Jakarta: Rineka Cipta

Muis, Imam. 2004. Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme

John Dewey. Yogyakarta: Safira Insani Press

Pidarta, made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta

Purba, Edward & Yusnadi. 2015. Filsafat Pendidikan. Medan: UNIMED PRESS

Sadulloh, Uyoh. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta, CV

16

Anda mungkin juga menyukai