Anda di halaman 1dari 15

peristiwa-peristiwa pada masa orde baru

1.      Tritura (tri tuntutan rakyat)

Aksi yang di lakukan oleh Gerakan 30 September segera diketahui oleh masyarakat
bahwa PKI terlibat di dalamnya. Oleh karena itu banyak elemen masyarakat yang
melakukan demonstrasi menuntut kepada pemerintah untuk membubarkan PKI dan
ormasnya. Akan tetapi pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tegas terhadap
PKI.
Pada tanggal 10 Januari 1966 KAMI dan KAPPI mempelopori kesatuan-kesatuan aksi
yang tergabung dalam front Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut Tritura. Adapun
tuntutan tersebut adalah :
a.     Pembubaran PKI
b.     Pembersiahan kabinet dari unsur-unsur G 30 S/PKI
c.      Penurunan harga/perbaikan ekonomi
Ketiga tuntutan diatas menginginkan perubahan di bidang politik, yakni pembubaran PKI
besrta ormasnya dan pembersihan kabinet dari unsur G 3o S/PKI. Selain itu juga
keinginan adanya perubahanekonomi yakni penurunan harga.

2.     Surat Perintah Sebelas Maret

Aksi untuk menentang terhadap G 30 S/PKI semakin meluas menyebabkan


pemerintah merasa tertekan. Olekh karena itu setelah melakukan pembicaraan dengan
beberapa anggota kabinet dan perwira ABRI di istana Bogor pada tanggal 11 Maret 1966,
Presiden Sukarno akhirnya menyetujui memberikan perintah kepada Letnan Jendral
Suharto sebagai Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan
keadaan dan wibawa pemerintah. Surat mandat ini terkenal dengan nama Surat Perintah
Sebelas Maret 1966 (supersemar).

3.     Sidang Umum MPRS

Sidang Umum IV MPRS yang di selenggarakan pada tanggal 17 Juni 1966 telah
menghasilkan beberapa ketetapan yang dapat memperkokoh tegaknya orde baru antara
lain sebagai berikut :
a.     Ketetapan MPRS No. IX tentang pengukuhan Surat Perintah Sebelas Maret.
b.     Ketetapan MPRS No. XXV tentang Pembubaran PKI dan ormasnya serta larangan
menyebar ajaran marxisme- komunisme Indonesia.
c.      Ketetapan MPRS No. XXIII tentang Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi, keungan,
dan Pembangunan.
d.     Ketetapan MPRS No. XIII tentang Pembentukan Kabinet Ampera yang di tugaskan
kepada Pengemban tap MPRS no. IX.
4.     Nawaksara
MPRS meminta pertanggungjawaban terhadap Presiden Sukarno dalam sidang
umum MPRS 1966 atas terjadinya pemberontakan G30S/PKI, kemerosotan ekonomi dan
moral. Untuk memenuhi permintaan MPRS tersebut maka presiden Sukarno
menyampaikan amantnya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nwaksara (sembilan
pasal). Amanat tersebut oleh MPRS dipandang tidak memenuhi harapan rakyat.
Oleh karena itu pada tanggal 10 Januari 1966 Presiden Sukarno memberikan
pelengkap Nawaksara. Akan tetapi isisnya juga tidak bisa memuaskan banyak pihak.
Pada tanggal 22 Februari 1967 Presiden Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada
pengemban ketetapan MPRS No. IX, Jendral Suharto. Peristiwa penyerahan kekuasaan
yang di lakauakan atas prakarsa Presiden Soekarno ini merupakan peristiwa penting
dalam upaya mengatasi situasi konflik pada waktu itu. Penyerahan kekuasaan ini ternyata
mendapat tanggapan yang positif dari masyarakat umum dan ABRI.

5.     Politik Luar Negeri

Politik luar negeri Indonesia pada masa yang condong kepada salah satu blok.
Pada msa Demokrasi Terpimpin merupakan pengalaman pahit bagi bangsa Indonesia.
Oleh karena itu orde baru bertekad untuk mengoreksi bentuk-bentuk penyelewengan
politik luar negeri Indonesia pada masa orde lama.
Memihak kepada salah satu blok dinyatakan salah oleh MPRS. Indonesia harus
kembali ke politik luar negeri yang bebas dan aktif serta tidak memencilkan diri.
Landasan kebijakan politik luar negeri : Tap No. XII/ MPRS / 1966. Menurut rumusan
MPRS bahwa politik luar negeri RI mengabdiakn diri kepada kepentingan nasional.
Untuk mewujudkan politik luar negeri yang aktif dan bebas dilakukan langkah-
langkah sebagai berikut :
a.     Menghentikan politik konfrontasi dengan malaisia setelah di tanda tanganinya
persetujuan pada tanggal 11 agustus 1966, sejak 31 agustus1967 kedua pemerintah telah
membuka hubungan.
b.     Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 september 1966.
c.      Indonesia ikut memprakarsai terbentuknya ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967.
6.     Pemilihan Umum

Pemilihan umum pada masa orde baru pertama kali 3 Juli 1971. Pada waktu itu
pemilu menggunakan sistem distrik, distrik yaitu partai-partai harus memeperebutkan
perwakilan yang d sediakan untuk suatu daerah.
Pemilu tahun 1977 diikuti 10 kontestan, yaitu : PKRI, NU, Parmusi, Parkindo, Murba,
PNI, dan Golkar. Pemilu berikutnya pada tanggal 2 Meia 1977 diikuti 3 organisasi yaitu :
PPP, Golkar, dan PDI. Selanjutnya pemuli-pemilu di Indonesia selama orde baru selalu di
menangkan oleh partai Golkar (golongan karya).

7.     Sidang MPR Tahun 1973


Dengan pemilu I 1971, maka untuk pertama kali RI mempunayai MPR tetap, yaitu
bukan MPRS. Pimpinan MPR dan DPR hasil pemilu I adalah idham chalid. Selanjutnya
MPR ini mengadakan sidang pada bulan Maret 1973 yang menghasilkan beberapa
keputusan yang diantaranya sebagai berikut :
a.     Tap IV /MPR /73 tentang garis besar haluan negara sebagai pengganti manipol.
b.     Tap IX /MPR /73 tentang pemilihan Jendral Soeharto sebagai presiden RI.
c.      Tap XI /MPR /73 tentang pemilihan Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai wakil
presiden RI.
Denagn demikian RI telah memiliki presiden dan wakil presiden sesuai dengan amanat
UUD 1945.
Penataan Kehidupan Politik

Jenderal Besar Soeharto Penguasa Orde Baru

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966 merupakan dasar legalitas dimulainya
pemerintahan Orde Baru di Indonesia. Orde Baru merupakan tatanan seluruh kehidupan rakyat,
bangsa, dan negara, yang diletakan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Dan juga dapat dikatakan bahwa Orde Baru merupakan koreksi terhadap
penyelewangan pada masa lampau, dan berusaha untuk menyusun kembali kekuatan bangsa
untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa. Melalui
Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966, Letjen Soeharto ditugaskan oleh MPRS untuk
membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya muncul dualisme kepemimpinan nasional. Berdasarkan
Keputusan Presiden No. 163 tanggal 25 Juli 1966 dibentuklah Kabinet Ampera.Dalam kabinet
baru tersebut Soekarno tetap sebagai presiden dan sekaligus menjabat sebagai pimpinan kabinet.
Tetapi ketika kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan Presiden tetap
dipegang Soekarno, dan Letjen Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang memiliki
kekuasaan eksekutif dalam kabinet Ampera yang disempurnakan. Sesuai dengan Ketetapan
MPRS No. XIII/MPRS/1966, menyebabkan kekuasaan pemerintahan di tangan Soeharto
semakin besar sejak awal tahun 1967. Pada 10 Januari 1967[rujukan?] Presiden Soekarno
menyerahkan Pelengkap pidato pertanggungjawaban presiden yang disebut PelNawaksara, tidak
diterima oleh MPRS berdasarkan Keputusan Pimpinan MPRS No. 13/B/1967. Dan pada tanggal
20 Februari diumumkan tentang penyerahan kekuasaan kepada pengemban Ketetapan MPRS
No. IX/MPRS/1966. Sebagai tindak lanjut lembaga tertinggi Negara ini mengeluarkan Ketetapan
No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967, yang secara resmi mencabut seluruh
kekuasaan pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno[rujukan?], dan mengangkat Soeharto
sebagai pejabat presiden Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS itu,
situasi konflik yang telah menyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional dapat teratasi. Dan
pada tanggal 27 Maret 1968 Soeharto diangkat sebagai presiden Republik Indonesia berdasarkan
Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968, sampai presiden lama.[rujukan?] Langkah-langkah yang
dilakukan adalah:[rujukan?]
Pembentukan Kabinet Pembangunan

Kabinet pertama pada masa peralihan kekuasaan adalah Kabinet Ampera dengan tugasnya Dwi
Darma Kabinat Ampera yaitu menciptakan stabilitas politik dan stabilitasekonomi sebagai
persyaratan untuk melaksanakan pembangunan nasional.[rujukan?] Program Kabinet Ampera
terkenal dengan nama Catur Karya Kabinet Ampera yakni[rujukan?]

 Memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan


 Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu yang ditetapkan, yaitu tanggal 5 Juli 1968
 Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional
 Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya
 Setelah MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menetapkan Soeharto sebagai presiden RI untuk
masa jabatan lima tahun, maka dibentuklah

Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut Panca Krida yang meliputi:

1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi


2. Menyusun dan melaksanakan Pemilihan Umum
3. Mengikis habis sisa-sisa Gerakan 30 September
4. Membersihkan aparatur Negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.

Pembubaran PKI dan Organisasi massanya

Dalam rangka menjamin keamanan, ketenangan, serta stabilitas pemerintahan, Soeharto sebagai
pengemban Supersemar telah mengeluarkan kebijakan:[rujukan?]

 Membubarkan PKI pada tanggal 12 Maret 1966 yang diperkuat dengan Ketetapan MPRS No
IX/MPRS/1966
 Menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia
 Pada tanggal 8 Maret 1966 mengamankan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30
September 1965.

Penyederhanaan Partai Politik

Pada tahun 1973 setelah dilaksanakan pemilihan umum yang pertama pada masa Orde Baru
pemerintahan pemerintah melakukan penyederhaan dan penggabungan (fusi) partai- partai
politik menjadi tiga kekuatan social politik. Penggabungan partai-partai politik tersebut tidak
didasarkan pada kesamaan ideology, tetapi lebih atas persamaan program. Tigakekuatan social
politik itu adalah:[rujukan?]

 Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan
PERTI
 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai
Murba, IPKI, dan Parkindo
 Golongan Karya
Penyederhanaan partai-partai politik ini dilakukan pemerintah Orde Baru dalam
upayamenciptakan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengalaman sejarah pada masa
pemerintahan sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa perpecahan yang terjadi dimasa
Orde Lama, karena adanya perbedaan ideologi politik dan ketidakseragaman persepsiserta
pemahaman Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia.

Pemilihan Umum

Selama masa Orde Baru pemerintah berhasil melaksanakan enam kali pemilihan umum, yaitu
tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu yang diselenggarakan
selama masa pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu memperoleh mayoritas suara dan
memenangkan Pemilu.[rujukan?] Pada Pemilu 1997 yang merupakan pemilu terakhir masa
pemerintahan Orde Baru, Golkar memperoleh 74,51 % dengan perolehan 325 kursi di DPR, dan
PPP memperoleh 5,43 %dengan peroleh 27 kursi.[rujukan?] Dan PDI mengalami kemorosotan
perolehan suara hanya mendapat11 kursi. Hal disebabkan adanya konflik intern di tubuh partai
berkepala banteng tersebut, dan PDI pecah menjadi PDI Suryadi dan PDI Megawati Soekarno
Putri yang sekarang menjadi PDIP .Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama masa
pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia telah berjalan
dengan baik.[rujukan?] Apalagi Pemilu berlangsung dengan asas LUBER (langsung, umum, bebas,
dan rahasia). Namun dalamkenyataannya Pemilu diarahkan untuk kemenangan salah satu
kontrestan Pemilu yaituGolkar.Kemenangan Golkar yang selalu mencolok sejak Pemilu 1971
sampai dengan Pemilu 1997 menguntungkan pemerintah di mana perimbangan suara di MPR
dan DPR didominasi oleh Golkar. Keadaan ini telah memungkinkan Soeharto menjadi Presiden
Republik Indonesia selama enam periode, karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh
anggota MPR. Selain itu setiap pertanggungjawaban, rancangan Undang-undang, dan usulan
lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan MPR dan DPR tanpa catatan.[rujukan?]

Peran Ganda (Dwi Fungsi) ABRI

Untuk menciptakan stabilitas politik, pemerintah Orde Baru memberikan peran ganda kepada
ABRI, yaitu peran Hankam dan sosial. Peran ganda ABRI ini kemudian terkenal dengan sebutan
Dwi Fungsi ABRI. Timbulnya pemberian peran ganda pada ABRI karena adanya pemikiran
bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan POLRI dalam
pemerintahan adalah sama. di MPR dan DPR mereka mendapat jatah kursi dengan cara
pengangkatan tanpa melalui Pemilu.[rujukan?] Pertimbangan pengangkatan anggota MPR/DPR dari
ABRI didasarkan pada fungsinya sebagai stabilitator dan dinamisator.Peran dinamisator
sebanarnya telah diperankan ABRI sejak zaman Perang Kemerdekaan. Waktu itu Jenderal
Soedirman telah melakukannya dengan meneruskan perjuangan, walaupun pimpinan
pemerintahan telah ditahan Belanda. Demikian juga halnya yang dilakukanSoeharto ketika
menyelamatkan bangsa dari perpecahan setelah G 30 S PKI, yangmelahirkankan Orde Baru.
Boleh dikatakan peran dinamisator telah menempatkan ABRI pada posisiyang terhormat dalam
percaturan politik bangsa selama ini.[rujukan?]

Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)


Pada tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai pedoman
untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).[rujukan?] Untuk
mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen,
maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada
semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman yang sama
mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya pemahaman yang sama terhadap
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan
terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada
dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.[rujukan?] Dan sejak tahun 1985 pemerintah
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dan kehidupan berorganisasi. Semua bentuk
organisasi tidak boleh menggunakan asasnya selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai
sebagai asas tunggal merupakan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila
menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.
Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi
lainnya dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers Pancasila,
hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya. Dan Pancasila dianggap
memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh diperdebatkan.[rujukan?]

Penataan Politik Luar Negeri

Pada masa Orde Baru politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan. Dan
MPR mengeluarkan sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia.
Pelaksanaan politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada kepentingannasional, seperti
pembangunan nasional, kemakmuran rakyat, kebenaran, serta keadilan.[rujukan?]

Kembali menjadi anggota PBB

Pada tanggal 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB). Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah sadar
bahwa banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota pada tahun 1955-1964.
[rujukan?]
Kembalinya Indonesia menjadi anggota PBB disambut baik oleh negara-negara Asia
lainnya bahkan oleh PBB sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai
Ketua Majelis Umum PBB untuk masa siding tahun 1974. Dan Indonesia juga
memulihkanhubungan dengan sejumlah negara seperti India, Thailand, Australia, dan negara-
negara lainnya yang sempat renggang akibat politik konfrontasi Orde Lama.

Normalisasi Hubungan dengan Negara lain

Pemulihan Hubungan dengan Singapura

Dengan perantaraan Dubes Pakistan untuk Myanmar, Habibur Rachman, hubungan Indonesia
dengan Singapura berhasil dipulihkan kembali.[rujukan?] Pada tanggal 2 Juni 1966 pemerintah
Indonesia menyampaikan nota pengakuan atas Republik Singapura kepada Perdana Menteri Lee
Kuan Yew.[rujukan?] Dan pemerintah Singapura menyampaikan nota jawaban kesediaan untuk
mengadakan hubungan diplomatik dengan Indonesia.

Pemulihan Hubungan dengan Malaysia

Penandatanganan persetujuan normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia

Normalisasi hubungan Indonesia dengan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan di


Bangkok pada 29 Mei- 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Isi perjanjian
tersebut adalah:[rujukan?]

 Rakyat Sabah diberi kesempatan menegaskan kembali keputusan yang telah merekaambil
mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
 Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatik.
 Tindakan permusuhan antara kedua belah pihak akan dihentikan.

Dan pada tanggal 11 Agustus 1966 penandatangan persetujuan pemulihan hubungan Indonesia-
Malaysia ditandatangani di Jakarta oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak
(Malaysia).

Pembekuan Hubungan dengan RRC

Pada tanggal 1 Oktober 1967 Pemerintantah Republik Indonesia membekukan hubungan


diplomatik dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Keputusan tersebut dilakukan karena RRC
telah mencampuri urusan dalam negeri Indonesia dengan cara memberikan bantuan kepada G 30
S PKI baik untuk persiapan, pelaksanaan, maupun sesudah terjadinya pemberontakan tersebut.
[rujukan?]
Selain itu pemerintah Indonesia merasa kecewa dengan tindakan teror yang dilakukan
orang-orang Cina terhadap gedung, harta, dan anggota-anggota Keduataan Besar Republik
Indonesia di Peking. Pemerintah RRC juga telah memberikan perlindungan kepada tokoh-tokoh
G 30 S PKI di luar negeri, serta secara terang-terangan menyokong bangkitnya kembali PKI.
Melalui media massanya RRC telah melakukan kampanye menyerang Orde Baru. Dan pada 30
Oktober 1967 Pemerintah Indonesia secara resmi menutup Kedutaan Besar di Peking.[rujukan?]
Penataan Kehidupan Ekonomi

Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi

Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang kacau sebagai peninggalan pemerintah Orde Lama,
pemerintah Orde Baru melakukan langkah-langkah:

 Memperbaharui kebijakan ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh
Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.[rujukan?]
 MPRS mengeluarkan garis program pembangunan, yakni program penyelamatan, program
stabilisasi dan rehabilitasi.

Program pemerintah diarahkan pada upaya penyelamatan ekonomi nasional, terutama stabilisasi
dan rehabilitasi ekonomi. Yang dimaksud dengan stabilisasi ekonomi berarti mengendalikan
inflasi agar harga barang-barang tidak melonjak terus. Dan rehabilitasi ekonomi adalah
perbaikan secara fisik sarana dan prasarana ekonomi. Hakikat dari kebijakan ini adalah
pembinaan sistem ekonomi berencana yang menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi ke
arah terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Langkah-langkah yang
diambil Kabinet Ampera yang mengacu pada Ketetapan MPRS tersebut adalah:

 Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan


kemacetan. Adapun yang menyebabkan terjadinya kemacetan ekonomi tersebut adalah:

1. Rendahnya penerimaan negara.


2. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara.
3. Terlalu banyak dan tidak efisiennya ekspansi kredit bank.
4. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri.
5. Penggunaan devisa bagi impor yang sering kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.

 Debirokrasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian


 Berorientasi pada kepentingan produsen kecil

Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut, maka pemerintah Orde Baru


menempuh cara-cara :[rujukan?]

 Mengadakan operasi pajak


 Melaksanakan sistem pemungutan pajak baru, baik bagi pendapatan perorangan maupun
kekayaan dengan cara menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
 Menghemat pengeluaran pemerintah (pengeluaran konsumtif dan rutin), serta menghapuskan
subsidi bagi perusahaan Negara.
 Membatasi kredit bank dan menghapuskan kredit impor.

Program stabilsasi ini dilakukan dengan cara membentung laju inflasi. Dan pemerintah Orde
Baru berhasil membendung laju inflasi pada akhir tahun 1967-1968, tetapi harga bahan
kebutuhan pokok naik melonjak. Sesudah dibentuk Kabinet Pembangunan pada bulan Juli 1968,
pemerintah mengalihkan kebijakan ekonominya pada pengendalian yang ketat terhadap gerak
harga barang khususnya sandang, pangan, dan kurs valuta asing. Sejak saat itu ekonomi nasional
relatif stabil, sebab kenaikan harga bahan-bahan pokok dan valuta asing sejak tahun 1969 dapat
dikendalikan pemerintah.[rujukan?]

Program rehabilitasi dilakukan dengan berusaha memulihkan kemampuan berproduksi. Selama


sepuluh tahun terakhir masa pemerintahan Orde Lama, Indonesia mengalami kelumpuhan dan
kerusakan pada prasarana social dan ekonomi. Lembaga perkreditan desa, gerakan koperasi, dan
perbankan disalahgunakan dan dijadikan alat kekuasaan oleh golongan dan kelompok
kepentingan tertentu. Dampaknya lembaga (negara) tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai
penyusun perbaikan tata kehidupan rakyat.[rujukan?]

Kerjasama Luar Negeri

 Pertemuan Tokyo

Selain mewariskan keadaan ekonomi yang sangat parah, pemerintahan Orde Lama juga
mewariskan utang luar negeri yang sangat besar yakni mencapai 2,2-2,7 miliar, sehingga
pemerintah Orde Baru meminta negara-negara kreditor untuk dapat menunda pembayaran
kembali utang Indonesia. Pada tanggal 19-20 September 1966 pemerintah Indonesia
mengadakan perundingan dengan negara-negara kreditor di Tokyo.[rujukan?] Pemerintah Indonesia
akan melakukan usaha bahwa devisa ekspor yang diperoleh Indonesia akan digunakan untuk
membayar utang yang selanjutnya akan dipakai untuk mengimpor bahan-bahan baku. Hal ini
mendapat tanggapan baik dari negara-negara kreditor. Perundinganpun dilanjutkan di Paris,
Perancis dan dicapai kesepakatan sebagai berikut[rujukan?]

1. Pembayaran hutang pokok dilaksanakan selama 30 tahun, dari tahun 1970 sampai dengan 1999.
2. Pembayaran dilaksanakan secara angsuran, dengan angsuran tahunan yang sama besarnya.
3. Selama waktu pengangsuran tidak dikenakan bunga.
4. Pembayaran hutang dilaksanakan atas dasar prinsip nondiskriminatif, baik terhadap negara
kreditor maupun terhadap sifat atau tujuan kredit.

 Pertemuan Amsterdam

Pada tanggal 23-24 Februari 1967 diadakan perundingan di Amsterdam, Belanda yang bertujuan
membicarakan kebutuhan Indonesia akan bantuan luar negeri serta kemungkinan pemberian
bantuan dengan syarat lunas, yang selanjutnya dikenal dengan IGGI (Intergovernmental Group
for Indonesia). Pemerintah Indonesia mengambil langkah tersebut untuk memenuhi
kebutuhannya guna pelaksanaan program-program stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta
persiapan-persiapan pembangunan.[rujukan?] Di samping mengusahakan bantuan luar negeri
tersebut, pemerintah juga berusaha dan telah berhasil mengadakan penangguhan serta
memperingan syarat-syarat pembayaran kembali (rescheduling) hutang-hutang peninggalan Orde
Lama.[rujukan?] Melalui pertemuan tersebut pemerintah Indonesia berhasil mengusahakan bantuan
luar negeri.

Pembangunan Nasional
 Trilogi Pembangunan

Setelah berhasil memulihkan kondisi politik bangsa Indonesia, maka langkah selanjutnya yang
ditempuh pemerintah Orde Baru adalah melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan
nasional yang diupayakan pemerintah waktu itu direalisasikan melalui Pembangunan Jangka
pendek dan Pembangunan Jangka Panjang.[rujukan?] Pambangunan Jangka Pendek dirancang
melalui Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Setiap Pelita memiliki misi pembangunan dalam
rangka mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sedangkan Pembangunan Jangka
Panjang mencakup periode 25-30 tahun. Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya
pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat,
bangsa, dan Negara. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam upaya mewujudkan tujuan
nasional yang tertulis dalam pembukaan UUD 1945 yaitu:[rujukan?]

1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah Indonesia


2. Meningkatkan kesejahteraan umum
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial

Pelaksanaan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru berpedoman pada
Trilogi Pembangunan dan Delapan jalur Pemerataan. Inti dari kedua pedoman tersebut adalah
kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil. Isi
Trilogi Pembangunan adalah :[rujukan?]

1. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat.
2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Dan Delapan Jalur Pemerataan yang dicanangkan pemerintah Orde Baru adalah:[rujukan?]

1. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat khususnya pangan, sandang dan perumahan.
2. Pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan dan pelayanan kesehatan
3. Pemerataan pembagian pendapatan.
4. Pemerataan kesempatan kerja
5. Pemerataan kesempatan berusaha
6. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya bagi generasi muda
dan kaum wanita.
7. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh wilayah Tanah Air
8. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

 Pelaksanaan Pembangunan Nasional

Seperti telah disebutkan di muka bahwa Pembangunan nasional direalisasikan melalui


Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka
Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru,
pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:[rujukan?]

o Pelita I

Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan
sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah
pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan
kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan
untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena
mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.[rujukan?]


o Pelita II

Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita
II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat,
dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal
pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan
menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.[rujukan?]


o Pelita III

Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984.[rujukan?] Pelaksanaan
Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah
pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.


o Pelita IV

Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini
adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang
dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita
IV ini yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi.[rujukan?] Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.


o Pelita V

Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan
pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi
yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun.[rujukan?] Posisi perdagangan luar
negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik
dibanding sebelumnya.


o Pelita VI

Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini
ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan
kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai
penggerak pembangunan.[rujukan?] Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda
negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik
dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan
terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.

Warga Tionghoa

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga
pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai
secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski
kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat
yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin.[rujukan?] Mereka pergi hingga
ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan
catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan
menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang
sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di
sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai
kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan
pengaruh komunisme di Tanah Air.[rujukan?] Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari
mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan
oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[rujukan?].

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk
menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.[rujukan?]

Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari
media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa".
Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah
yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan,
Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.[rujukan?] Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan
dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan
terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan
bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai
daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk
konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua
yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber
alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

 Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996
telah mencapai lebih dari AS$1.565[rujukan?]
 Sukses transmigrasi
 Sukses KB
 Sukses memerangi buta huruf
 Sukses swasembada pangan
 Pengangguran minimum
 Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
 Sukses Gerakan Wajib Belajar
 Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
 Sukses keamanan dalam negeri
 Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
 Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri [rujukan?]

Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru


[rujukan?]

1. Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme


2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara
pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke
pusat
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama
di Aceh dan Papua
4. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
5. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin)
6. Pelanggaran HAM kepada masyarakat non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa)
7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibredel
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius"
10. Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
11. Menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang, hal ini
kesalahan paling fatal Orde Baru karena tanpa birokrasi yang efektif negara pasti hancur. [rujukan?]
12. Menurunnya kualitas tentara karena level elit terlalu sibuk berpolitik sehingga kurang
memperhatikan kesejahteraan anak buah.
13. Pelaku ekonomi yang dominan adalah lebih dari 70% aset kekayaaan negara dipegang oleh
swasta
14. Dan Lain Sebagainja

Krisis finansial Asia

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas
lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga
minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh.[rujukan?] Rupiah jatuh, inflasi
meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin
para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang
meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya
untuk masa bakti ketujuh.[rujukan?] Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie,
untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya
Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".[rujukan?] Masih adanya tokoh-tokoh
penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat
beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era
Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari Orde Baru ke
Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni Soviet dan
Yugoslavia.[rujukan?] Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan pondasi baru
yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.

Lihat pula

Anda mungkin juga menyukai