Anda di halaman 1dari 5

Patogenesis malaria

Patogenesis malaria berat sangat kompleks, melibatkan faktor parasit,


faktor pejamu, dan faktor sosial lingkungan. Ketiga faktor tersebut saling
terkait satu sama lain, dan menentukan manifestasi klinis malaria yang
bervariasi mulai dari yang paling ringan (asimptomatik) hingga yang
paling berat yakni malaria dengan komplikasi gagal organ.4 Perhatian
utama dalam patogenesis malaria berat adalah sekuestrasi eritrosit berisi
parasit stadium matang ke dalam mikrovaskular organ-organ vital. Faktor
lain seperti induksi sitokin TNF-α dan sitokin-sitokin lainnya oleh toksin
parasit malaria dan produksi nitrit oxide (NO) juga diduga mempunyai
peranan penting dalam patogenesis malaria berat.1 Perkembangan malaria
berat merupakan hasil dari kombinasi faktorfaktor spesifik parasit seperti
adhesi dan sekuestrasi dalam pembuluh darah dan dilepaskannya molekul-
molekul bioaktif bersamaan dengan respon peradangan pejamu.12
Interaksi sel dalam patogenesis malaria.

PATOGENESIS DBD
Virus Dengue yang ditularkan olehnyamuk Aedes menyerang organ RES
sepertisel kupfer di sinusoid hepar,
endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsumtulang serta paru-paru.
Dalam peredarandarah virus akan difagosit oleh
monosit.Setelah genom virus masuk kedalam sel maka dengan bantuan organel-
organel sel genom virus akan memulaimembentuk komponen-
komponenstrukturalnya.setelah berkembang biak didalam sitoplasma sel maka virus
akandilepaskan dari sel.Diagnosis pasti dengan uji
serologis pada infeksi virus dengue sulit dilakukankarena semua flavivirus
memiliki epitope pada selubung protein yang menghasilkan“cross reaction”
atau reaksi silang.Infeksi oleh satu serotipe virus DENmenimbulkan imunitas
protektif terhadapserotipe tersebut, tetapi tidak ada “cross protektif”
terhadap serotipe virus yang lain.Virion dari virus DEN
ekstraseluler terdiri dari protein C (capsid), M (membran)dan E
(envelope). Virus intraseluler terdiridari protein pre-membran atau pre-
M.Glikoprotein E merupakan epitope pentingkarena: mampu membangkitkan
antibodispesifik untuk proses netralisasi, mempunyaiaktifitas hemaglutinin,
berperan dalam prosesabsorbsi pada permukaan sel,
(reseptor  binding), mempunyai fungsi fisiologis antaralain untuk
fusi membran dan perakitan virion.Secara in vitro antibodi terhadapvirus
DEN mempunyai 4 fungsi fisiologis:netralisasi virus, sitolisis
komplemen,Antibodi Dependent Cell-mediatedCytotoxicity (ADCC) dan
AntibodiDependent Enhancement.Secara invivo antibodi terhadap virusDEN
berperan dalam 2 hal yaitu:a . A n t b o d i n e t r a l i s a s i m e m i l i k i
s e r o t i p e spesifik yang dapat mencegah infeksiinfeksi
virus. b.Antibodi non netralising memiliki peran cross-reaktif dan dapatme
ningkatkan infeksi yang berperandalam patogenesis DBD dan DSSPerubahan
patofidiologis dalam DBDdan DSS dapat dijelaskan oleh 2 teori
yaituhipotesis infeksi sekunder (teori secondaryheterologous infection)
dan hipotesisantibody dependent enhancement (ADE).Teori infeksi sekunder
menjelaskan bahwaapabila seseorang mendapatkan
infeksi primer dengan satu jenis virus, maka akanterdapat kekebalan
terhadap infeksi virus jenis tersebut untuk jangka waktu yang lama.Pada
infeksi primer virus dengueantibodi yang terbentuk dapat menetralisir virus
yang sama (homologous). Namun jika
 
orang tersebut mendapat infeksi sekunder dengan jenis virus yang lain, maka
virustersebut tidak dapat dinetralisasi dan terjadiinfeksi berat. Hal ini
disebabkanterbentuknya kompleks yang infeksius antaraantibodi
heterologous yang telah dihasilkandengan virus dengue yang
berbeda.Selanjutnya ikatan antara kompleksvirus-antibodi (IgG) dengan reseptor
Fc gama pada sel akan menimbulkan peningkataninfeksi virus DEN. Kom
pleks antibodimeliputi sel makrofag yang beredar danantibodi tersebut
akan bersifat opsonisasi daninternalisasi sehingga makrofag akan mudahterinfeksi
sehingga akan memproduksi IL-1,IL-6 dan TNF α dan juga “Platelet
ActivatingFactor”Selanjutnya dengan peranan TNFαakan terjadi kebocoran
dinding pembuluhdarah, merembesnya plasma ke jaringantubuh karena
endothel yang rusak, hal inidapat berakhir dengan syok.Proses ini juga
menyertakankomplemen yang bersifat vasoaktif
dan prokoagulan sehingga menimbulkankebosoranplasma dan
perdarahanyang dapatmengakibatkan syok hipovolemik.Pada bayi dan
anak-anak berusiadibawah 2 tahun yang lahir dari ibu denganriwayat pernah
terinfeksi virus DEN, makadalam tubuh anak tersebut telah terjadi
“Non Neutralizing Antibodies” sehingga sudaht e r j a d i p r o s e s   “ E n h a n
c i n g ”   y a n g   a k a n memacu makrofag sehingga mengeluarkanIL-6 dan TNF α
juga PAF. Bahan-bahanmediator tersebut akan mempengaruhi sel-selendotel
pembuluh darah dan sistemhemostatik yang akan mengakibatkankebocoran
plasma dan perdarahan.Pada teori kedua (ADE) , terdapat 3hal yang
berkontribusi terhadap terjadinyaDBD dan DSS yaitu antibodies
enhanceinfection, T-cells enhance infection, sertalimfosit T dan monosit.
Teori ini menyatakan bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis
virus tertentu, maka antiboditersebut dapat mencegah penyakit, tetapisebaliknya
apabila antibodi yang terdapatdalam tubuh tidak dapat
menetralisir  penyakit, maka justru dapat menimbulkan penyakit
yang berat.Disamping kedua teori tersebut,masih ada teori-teori lain yang
berusahamenjelaskan patofisiolog DBD,
diantarnyaadalah teori virus yang mendasarkan pada perbedaan keempat seroti
pe virus Dengueyang ditemukan berbeda antara satu daerahdengan yang lainnya.
Sedangkan teoriantigen-antibodi mendasarkan padakenyataan bahwa
terjadi penurunan aktifitassistem komplemen yang ditandai
dengan penurunan C3, C4, dan C5. teori jugadidukung dengan adanya
pengaruh kompleksimun pada penderita DBD terhadap aktifitaskomponen
sistem imun.Penelitian oleh Azaredo El dkk, 2001membuktikan bahwa
patogenesis DBD/DSSumumnya disebabkan oleh disregulasi
responimunologik. Monosit/makrofag yangterinfeksi virus Dengue akan
mensekresimonokin yang berperan dalam patogenesisdan gambaran klinis
DBD/DSS.Penelitian invitro oleh Ho LJ dkk 2001 menyebutkan bahwa
Dendritic Cellyang terinfeksi virus dengue dapatmengekspresi antigen HLA
B7-1, B7-2,HLA-DR, CD11b dan CD83.Dendritic Cellyang terinfeksi virus
dengue ini sanggupmemproduksi TNF-α dan IFN-γ namun tidak mensekresi IL-
6 dan IL-2. Oberholzer dkk,2002 menjelaskan bahwa IL-10 dapatmenekan
proliferasi sel T.Pada infeksi fase akut
terjadi penurunan populasi limfosit CD2+, CD4+,dan CD8+. Demikian
pula juga didapati penurunan respon prroliferatif dari sel-selmononuklear. Di
dalam plasma pasienDBD/DSS terjadi peningkatan konsentrasiIFN-γ, TNF-α
dan IL-10. peningkatan TNF-
α berhubungan dengan manifestasi perdarahansedangkan IL-10
berhubungan dengan penurunan trombosit. Sehingga dapatdisimpulkan
bahwa terjadi penekanan jumlahdan fungsi limfosit T, sedangkan
sitokin proinflamasi TNF-α berperan penting dalamkeparahan dan patogenesis
DBD/DSS, danmeningkatnya IL-10 akan menurunkan fungsilimfosit T dan
trombosit.Lei HY dkk, 2001
menyatakan bahwa infeksi virus dengue akanmempengaruhi sistem imun
tubuh berupa perubahan rasio CD4/CD8, overproduksi darisitokin dan
dapat menginfeksi sel-selendothel dan hepatosit yang akanmenyebabkan
terjadinya apoptosis dandisfungsi dari sel-sel tersebut. Demikian
pulasistem koagulasi dan fibrinolisis yang ikutteraktivasi. Kerusakan
trombosit akibat darireaksi silang otoantibodi anti-trombosit,karena
overproduksi IL-6 yang berperan
 
 besar dalam terbentuknya antibodi anti-trombosit dan anti-sel endotel,
sertameningkatnya level dari tPA dan defisiensikoagulasi.Sehingga dapat
disimpulkan bahwakebocoran plasma pada DBD/DSSmerupakan akibat dari proses
kompleks yangmelibatkan aktivasi komplemen, induksikemokin dan
kematian sel apoptosis.Dugaan bahwa IL-
8 berperan penting dalamkebocoran plasma dibuktikan secara invitrooleh
Bosch dkk (2002) melalui kultur primer monosit manusia yang diinfeksi
oleh virusDEN-2, diperkirakan hal ini disebabkanaktifasi dari NF-kappa 8.
Penelitian dariBethel dkk (1998) terhadap anak di vietnamdengan DBD
dan DSS menyebutkan terjadi penurunan level IL-6 dan soluble
intercelluler molecule-1 pada anak dengan DSS. Ini berarti ada kehilangan
protein dalam sirkulasikarena kebocoran plasma

PATOGENESIS FLU BURUNG

Mutasi genetik virus avian influenza seringkali terjadi sesuai dengan


kondisi dan lingkungan replikasinya. Mutasi gen ini tidak saja untuk
mempertahankan diri akan tetapi juga dapat meningkatkan sifat
patogenisitasnya. Penelitian terhadap virus H5N1 yang diisolasi dari
pasien yang terinfeksi pada tahun 1997, menunjukkan bahwa mutasi
genetik pada posisi 627 dari gen PB2 yang mengkode ekspresi polymesase
basic protein (Glu627Lys) telah menghasilkan highly cleavable
hemagglutinin glycoprotein yang merupakan faktor virulensi yang dapat
meningkatkan aktivitas replikasi virus H5N1 dalam sel hospesnya (Hatta
M, et. al. 2001). Disamping itu adanya substitusi pada nonstructural
protein (Asp92Glu), menyebabkan H5N1 resisten terhadap interferon dan
tumor necrosis factor α (TNF-α) secara invitro (Seo SH, et.al. 2002).
Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah
terjadi penempelan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di
permukaan sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan
akan mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan
dengan menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat
bereplikasi membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat
menginfeksi kembali sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan
terhadap spesimen klinik yang diambil dari penderita ternyata avian
influenza H5N1 dapat bereplikasi di dalam sel nasofaring (Peiris JS,et.al.
2004), dan di dalam sel gastrointestinal (de Jong MD, 2005, Uiprasertkul
M,et.al. 2005). Virus H5N1 juga dapat dideteksi di dalam darah, cairan

serebrospinal, dan tinja pasien (WHO,2005). Fase penempelan


(attachment) adalah fase yang paling menentukan apakah virus bisa masuk
atau tidak ke dalam sel hospesnya untuk melanjutkan replikasinya. Virus
influenza A melalui spikes hemaglutinin (HA) akan berikatan dengan
reseptor yang mengandung sialic acid (SA) yang ada pada permukaan sel
hospesnya. Ada perbedaan penting antara molekul reseptor yang ada pada
manusia dengan reseptor yang ada pada unggas atau binatang. Pada virus
flu burung, mereka dapat mengenali dan terikat pada reseptor yang hanya
terdapat pada jenis unggas yang terdiri dari oligosakharida yang
mengandung N-acethylneuraminic acid α-2,3-galactose (SA α-2,3Gal),
dimana molekul ini berbeda dengan reseptor yang ada pada manusia.
Reseptor yang ada pada permukaan sel manusia adalah SA α2,6-galactose
(SA α-2,6-Gal), sehingga secara teoritis virus flu burung tidak bisa
menginfeksi manusia karena perbedaan reseptor spesifiknya. Namun
demikian, dengan perubahan hanya 1 asam amino saja konfigurasi
reseptor tersebut dapat dirubah sehingga reseptor pada manusia dikenali
oleh HPAI-H5N1. Potensi virus H5N1 untuk melakukan mutasi inilah
yang dikhawatirkan sehingga virus dapat membuat varian-varian baru dari
HPAI-H5N1 yang dapat menular antar manusia ke manusia (Russel CJ
and Webster RG.2005, Stevens J. et. al. 2006).

Anda mungkin juga menyukai