Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH SISTEM PELAYANAN GAWAT DARURAT

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Gawat
Darurat Dan Manajemen Bencana
Dosen Pengajar :
1. Emi Lindayani, M.Kep.,Ners
2. Ayu Prameswari, M.Kep.,Ners

Disusun oleh :

Kelompok 1 (3A)

Ai Siti Nahidah 1800437

Dhea Rosyadah 1800638

Indriyani Intan Dewata 1800108

Muhamad Reza Herdianto 1800317

Najmi Luthfiani Gumilar 1800091

Vevi Haerunnisa 1800354

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

KAMPUS SUMEDANG

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat
sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan makalah yang berjudul “Sistem Pelayanan Gawat
Darurat”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Sumedang, 7 September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2
BAB II KAJIAN TEORI .................................................................................... 3
2.1 Sistem Pelayanan Gawat Darurat .............................................................. 3
2.2 Langkah-Langkah Penilaian Korban/TRIAGE ......................................... 10
2.3 Kegawatdaruratan Anak: Aspiksia ............................................................ 22
2.4 Kegawatdaruratan Ibu Hamil: Ekslamsia ................................................. 27
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 35
3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 35
3.2 Saran .......................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 37

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejadian gawat darurat dapat terjadi kapan pun dan dimana pun. Maka
dari itu diperlukan penanganan segera agar tidak menimbulkan kecacatan
permanen. Kejadian gawat darurat dapat disebabkan antara lain karena bencana
alam maupun non ala. Bencana non alam diantaranya adalah kebakaran,
kecelakaan dan penyakit. Kegawatan adalah suatu kondisi atau situasi keadaa
ancaman bahaya ataupun sudah terjadi dampak buruk dari bahaya tersebut yang
mengakibatkan kerusakan lebih lanjut. Kondisi khusus yang memerlukan suatu
tindakan tertentu di luar prosedur dan aturan sehri-hari disebut gawat darurat
(gadar) atau emergency. Kegawatdaruratan sehari-hari dapat berupa kecelakaan di
tempat kerja, di jalan raya, atau dalam rumah tangga yang memrlukan pertolongan
segera untuk menghindari kematian atau kecacatan.
Pertolongan pertama dapat dilakukan the golden hour period, yaitu
periode dimana apabila dilakukan pertolongan pada periode tersebut akan
memberikan hasil yang baik. The golden hour period adalah jumlah waktu sejak
terjadinya cidera sampai terapi definitive yang diperlukan untuk memaksimalkan
survival dari suatu cidera/trauma (Pusponegoro, 2016 dalam Nurmalia dan
Budiono, 2020)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa sistem pelayanan gawat darurat?
2. Apa saja langkah-langkah penilaian korban/Triage?
3. Bagaimana kegawatdaruratan anak: asfiksia?
4. Bagaimana kegawatdaruratan ibu hamil: ekslamsia?

1
1.3 Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Makalah ini dibuat bertujuan untuk menyelesaikan tugas Keperawatan Gawat
Darurat Dan Manajemen Bencana dan agar mahasiswa dapat memahami
tentang sistem pelayanan gawat darurat.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui sistem pelayanan gawat darurat.
2. Untuk mengetahui langkah-langkah penilaian korban/TRIAGE.
3. Untuk mengetahui kegawatdaruratan anak: asfiksia.
4. Untuk mengetahui kegawatdaruratan ibu hamil: ekslamsia.

2
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Sistem Pelayanan Gawat Darurat


2.1.1 Pengertian Pelayanan Gawat Darurat
Pelayanan gawat darurat (emergency care) adalah bagian dari pelayanan
kedokteran yang dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera (imediatlely) untuk
menyelamatkan kehidupannya (life saving). Unit kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan gawat darurat disebut dengan nama Unit Gawat Darurat (emergency Unit.
Tergantung dari kemampuan yang dimilki, keberadaan UGD tersebut dapat beraneka
macam. Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan adalah hak asasi setiap orang dan
merupakan kewajiban yang harus dimiliki oleh semua orang.
Pemerintah dan segenap masyarakat serta anda rekan mahasiswa sebagai
bagian dari tenaga kesehatan bertanggung jawab dalam memelihara dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan. Sejak tahun 2000 Kementerian Kesehatan RI telah
mengembangkan konsep Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)
yang memadukan penanganan gawat darurat mulai dari tingkat pra rumah sakit sampai
tingkat rumah sakit dan rujukan antar rumah sakit dengan pendekatan lintas program
dan multisektoral yang menekankan respon cepat dan tepat, berprinsip menyelamatkan
nyawa dan mencegah kecacatan (Time saving is live and limb saving).Pelayanan
kegawatdaruratan memerlukan penanganan secara terpadu dan pengaturan dalam satu
sistem.
Maka diperlukan suatu Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu sehari-
hari (SPGDT-S) dan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu dalam keadaan
bencana (SPGDT-B). Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)
adalah sebuah sistem yang merupakan koordinasi berbagai unit kerja (multisektor) dan
didukung berbagai kegiatan profesi (multidisiplin dan multiprofesi) untuk
menyelenggarakan pelayanan terpadu bagi penderita gawat darurat baik dalam
keadaan sehari-hari maupun bencana serta kejadian luar biasa. Untuk dapat menunjang

3
sistem yang baik diperlukan sumber daya manusia yang terampil dan terlatih dalam
menangani penderita dengan gawat darurat.

2.1.2 Tujuan
Berdasarkan definisi dari pelayanan gawat darurat maka tujuan dari pelayanan
tersebut yaitu untuk memberikan pertolongan pertama bagi pasien yang datang dan
menghindari berbagai resiko seperti kematian, menanggulangi korban kecelakaan, atau
bencana lainnya yang langsung membutuhkan tindakan. Selain tujuan umum tersebut
adapun tujuan utama dari pelayan gawat darurat yaitu :
1. Memberikan pelayanan komunikatif, cepat dan tepat selama 24 jam terus menerus
2. Tercapainya suatu pelayanan kesehatan yang optimal, terarah dan terpadu bagi
setiap anggota masyarakat yang berada dalam keadaan gawat darurat
3. Mencegah kematian dan cacat pada pasien gawat darurat sehingga dapat hidup dan
berfungsi kembali dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
4. Menerima dan merujuk pasien gawat darurat melalui sistem rujukan untuk
memperoleh penanganan yang lebih
5. Menanggulangi korban bencana
6. Menanggulangi “False Emergency“.
7. Mengembangkan dan menyebar luaskan Ilmu Kedokteran Gawat Darurat (PPGD).
8. Mencegah kematian & cacat (to save life and limb)
9. Merujuk ke tempat yg lebih memadai
10. Menanggulangi bencana
11. Pendekatan SPGDT → pelayanan optimal, terarah dan terpadu

2.1.3 Komponen Pelayanan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT)


Sebagai Koordinator SPGDT adalah Badan Nasional Penanggulangan
Bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Tingkat I dan II. Sistem
penanggulangan pasien gawat darurat yang terdiri dari unsur pra RS, RS dan antar RS.
Berpedoman pada respon cepat yang melibatkan masyarakat awam umum dan khusus,
petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan sistem komunikasi. Prinsip dari

4
SPGDT adalah memberikan pelayanan yang cepat, cermat dan tepat dimana tujuannya
adalah untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan, terutama hal ini
dilakukan sebelum dirujuk ke rumah sakit yang dituju. Ada 3 fase pelayanan yaitu :
1. Sistem Pelayanan Pra Rumah Sakit
a. Singkirkanlah benda-benda berbahaya yang dapat menimbulkan risiko
jatuhnya korban lagi. Boleh menolong apabila kondisi telah aman.
b. Lakukan triase atau memilah dan menentukan kondisi korban serta
memberikan pertolongan pertama sebelum petugas yang lebih kompeten
datang.
c. Lakukan fiksasi atau stabilisasi sementara.
d. Lakukan evakuasi, yaitu korban dipindahkan ke tempat yang lebih aman atau
sarana pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kondisi korban.
e. Persiapkan masyarakat dan tenaga kesehatan melalui pelatihan siaga bencana.
Dalam sistem pelayanan pra rumah sakit dilakukan dengan membentuk dan mendirikan
PSC (Public Safety Center) yaitu unit kerja yang memberikan pelayanan umum
terutama yang bersifat gawat darurat. Selain itu pelayanan pra rumah sakit dilakukan
pula dengan membentuk satuan khusus dalam penanganan bencana yang kemudian
dikenal dengan BSB (Brigade Siaga Bencana), pelayanan ambulan dan subsistem
komunikasi. Pelayanan sehari-hari meliputi :
a. PSC (Public Safety Center)
Pusat pelayanan yang menjamin kebutuhan masyarakat dalam hal-hal
kegawatdaruratan, termasuk pelayanan medis yang dapat dihubungi dalam waktu
singkat dan dimanapun berada. Pengorganisasian dibawah pemerintah daerah, SDM
terdiri dari berbagai unsur, antara lain unsur kesehatan (ambulan), unsur Pemadam
Kebakaran, unsur Kepolisian serta masyarakat yang berperan serta dalam upaya
pertolongan bagi masyarakat. (gabungan dari AGD 118, SAR/PK 113, Polisi 110).
Merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan, yang bertujuan untuk mendapatkan
respons cepat (quick response) terutama pelayanan pra RS.
b. BSB (Brigade Siaga Bencana)

5
BSB (Brigade Siaga Bencana) adalah unit khusus yang disiapkan dalam
penanganan kegiatan pra rumah sakit, khususnya berhubungan dengan kegiatan
pelayanan kesehatan dalam penanganan bencana. Pengorganisasian dibentuk di
jajaran kesehatan (Kemenkes, Dinkes, Rumah Sakit), petugas medis (dokter dan
perawat) dan petugas non medis (sanitarian, gizi, farmasi, dll). Pembiayaan
didapat dari instansi yang ditunjuk dan dimasukkan dalam anggaran rutin
(APBN/APBD).
a. Pelayanan Ambulans (Ambulance Service) Adalah menyelenggarakan
kegiatanpelayanan terpadu dalam satu koordinasidengan memberdayakan
ambulan milik Puskesmas, milik klinik atau Rumah Bersalin (RB), milik
Rumah Sakit maupun milik institusi non kesehatan seperti PT Jasa Marga,
Polisi. Pengkoordinasian melalui satu center/pusat pelayanan yang disepakati
bersama untuk mobilisasi ambulan terutama bila terjadi korban massal.
b. Komunikasi, dalam kegiatan pelayanan kasus gawat darurat sehari-hari
memerlukan sebuah sub sistem komunikasi yang terdiri dari jaring
penyampaian informasi, jaring koordinasi dan jaring pelayanan gawat darurat
sehingga seluruh kegiatan dapat berlangsung dalam satu sistem terpadu.
c. Pembinaan, dilakukan melalui berbagai jenis pelatihan untuk meningkatkan
kemampuan keterampilan bagi tenaga medis (dokter dan perawat) maupun
awam khusus, pembinaan juga dilakukan melalui penyuluhan bagi masyarakat
awam dll Sistem pelayanan pada keadaan bencana.
 Koordinasi dan komando, dalam keadaan bencana diperlukan kegiatan
yang melibatkan unit-unit kegiatan dari lintas sektor. Kegiatan akan efektif
dan efisien bila berada dalam satu koordinasi.
 Eskalasi dan mobilisasi sumber daya, kegiatan penanganan bencana dan
terjadinya korban masal mengharuskan dilakukannya eskalasi atau
berbagai peningkatan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
mobilisasi SDM, mobilisasi fasilitas dan sumber daya lain
sebagai pendukung pelayanan kesehatan bagi korban bencana.

6
 Simulasi, dalam penyelenggaraan kegiatan diperlukan ketentuan-ketentuan
baik berupa prosedur tetap (protap) maupun petunjuk pelaksanaan (juklak)
atau petunjuk teknis (juknis). Ketentuan-ketentuan tersebut perlu diuji
melalui simulasi agar dapat diketahui apakah semua rancangan dapat
diimplementasikan pada kenyataan yang sebenarnya di lapangan.
 Pelaporan, monitoring dan evaluasi, penangananbencanayang telah
dilakukanharus didokumentasikan dalam bentuk laporan dengan
sistematika yang disepakati. Data tersebut digunakan untuk melakukan
monitoring maupun evaluasi keberhasilan maupun kegagalan suatu
kegiatan, sehingga kegiatan selanjutnya akan lebih baik dan berhasil.

2. Sistem Pelayanan Medik di Rumah Sakit


Pada tahap ini, tindakan pertolongan terhadap korban dilakukan oleh petugas
kesehatan dalam sebuah tim dengan multi disiplin ilmu. Tujuan pertolongan yang
anda berikan di rumah sakit adalah :
a. Memberikan pertolongan profesional pada korban.
b. Memberikan bantuan hidup dasar dan lanjut.
c. Melakukan stabilisasi dan pertahankan hemodinamik secara akurat.
d. Melakukan rehabilitasi agar produktivitas korban pasca perawatan di rumah
sakit dan pulang kembali dapat setara seperti sebelum terkena musibah atau
bencana
e. Memberikan pendidikan kesehatan dan latih korban/penderita Hal-hal dibawah
ini diperlukan untuk memberikan pelayanan medis di rumah sakit sesuai
dengan kewenangan masing-masing :
a. Pada pelayanan di rumah sakit diperlukan sarana, prasarana, UGD, HCU,
ICU, kamar jenazah, unit penunjang lain : radiologi, laboratorium klinik,
farmasi, gizi, ruang rawat inap dan lain-lain.
b. Diperlukan “Hospital Disaster Plan”, (perencanaan dari suatu rumah sakit
untuk menghadapi kejadian bencana) baik perencanaan untuk bencana yang
terjadi di dalam rumah sakit (intra hospital disaster plan) dan perencanaan

7
rumah sakit dalam menghadapi bencana yang terjadi di luar rumah sakit
(extra hospital disaster plan).
c. Pelayanan di UGD, adalah pelayanan pertama bagi kasus gawat darurat
yang memerlukan organisasi yang baik, pembiayaan termasuk sumber
pembiayaan, SDM yang baik dan terlatih, mengikuti perkembangan
teknologi pada pelayanan medis.
d. BSB yang berada di rumah sakit adalah satuan tugas khusus terutama untuk
memberi pelayanan medis pada saat kejadian bencana yang terjadi di rumah
sakit maupun di luar rumah sakit. Juga pada kejadian lain yang
menyebabkan korban massal.
e. Penunjang diagnostik, dan penunjang dalam pengobatan terdiri dari
berbagai sarana dan prasarana yang merupakan pendukung dalam
pelayanan gawat darurat sehari- hari maupun dalam keadaan bencana.
f. Transportasi intra hospital, adalah kegiatan pendukung untuk pelayanan
gawat darurat yang perlu mendapat perhatian untuk memberikan pelayanan
antar unit pelayanan (UGD, HCU, ICU, kamar bedah) diperlukan prosedur,
peralatan dan SDM yang memiliki pengetahuan cukup.
g. Pelatihan, simulasi dan koordinasi adalah kegiatan yang menjamin
peningkatan kemampuan SDM, kontinuitas dan peningkatan pelayanan
medis.

3. Sistem Pelayanan Medik Antar Rumah Sakit


a. Jejaring rujukan dibuat berdasarkan kemampuan rumah sakit dalam memberikan
pelayanan baik dari segi kuantitas kemampuan menerima pasien maupun
kualitas pelayanan yang dihubungkan dengan kemampuan SDM dan kesediaan
fasilitas medis maupun perkembangan teknologi.
b. Evakuasi, adalah transportasi yang terutama ditujukan dari rumah sakit lapangan
menuju ke rumah sakit rujukan atau transportasi antar rumah sakit dikarenakan
adanya bencana yang terjadi pada satu rumah sakit dimana pasien harus
dievakuasikan ke rumah sakit lain.

8
c. Sistem Informasi Manajemen, diperlukan pada suatu rumah sakit yang
menghadapi kompleksitaspermasalahandalampelayanan. Diperlukan puladalam
audit pelayanan dan hubungannya dengan sistem penunjang termasuk
manajemen keuangan.
d. Koordinasi dalam pelayanan terutama pelayanan rujukan diperlukan pemberian
informasi keadaan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan sebelum pasien
ditransportasikan ke rumah sakit tujuan.

2.1.4 Prinsip Umum


1. Setiap Rumah Sakit wajib memiliki pelayanan gawat darurat yang memiliki
kemampuan:
a. Melakukan pemeriksaan awal kasus – kasus gawat darurat
b. Melakukan resusitasi dan stabilisasi (life saving)
2. Pelayanan di Instalasi Gawat darurat Rumah sakit harus dapat memberikan
pelayanan 24 jam dalam sehari dan tujuh hari dalam seminggu
3. Bebagai nama untuk instalasi / unit pelayanan gawat darurat di rumahsakit
diseragamkan menjadi Instalasi Gawat Darurat (IGD) \
4. Rumah sakit tidak bokleh meminta uang muka pada saat menangani kasus gawat
darurat
5. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 menit setelah sampai di IGD
6. Organisasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) didasarkan pada organisasi
multidisiplin, multiprofesi, dan terintegrasi, dengan struktur organisasi fungsional
yang terdiri dari unsur pimpinan dan unsure pelaksanan, yang bertanggung jawab
dalam pelaksanaan pelayanan terhadap pasien gawat darurat di Instalasi Gawat
Darurat (IGD), dengan wewenang penuh dipimpin oleh dokter
7. Setiap rumah sakit wajib berusaha untuk menyesuaikan pelayanan gawat
daruratnya minimal sesuai dengan klasifikasi berikut.

2.1.5 Penanggulangan Cepat & Tepat


1. Kesiapsiagaan

9
2. Triase
3. Survey primer
4. Resusitasi
5. Evaluasi
6. Survey sekunder
7. Evaluasi
8. Pemantauan berkelanjutan
9. Terapi definitif
Keberhasilan penanggulangan pasien gawat darurat tergantung dari terlaksananya 4
kecepatan, yaitu :
 Kecepatan ditemukannya adanya pasien gawat darurat.
 Kecepatan dan respon petugas
 Kemampuan dan kualitas petugas
 Kecepatan minta tolong

2.2 Langkah-Langkah Penilaian Korban/Triage


2.2.1 Pengertian Triage
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu cara
yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang
paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan semua pasien yang
memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas penanganannya (Kathleen dkk,
2008).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas
penanganan dan sumber daya yang ada. Triage adalah suatu sistem
pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi
klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage, perawat dan
dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan
memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.

10
Triage berasal dari bahasa prancis trier bahasa inggris triage dan diturunkan
dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah pasien
berdasar beratnya cedera atau penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat
darurat. Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep
pengkajian yang cepat dan berfokus dengan suatu cara yang memungkinkan
pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien
terhadap 100 juta orang yang memerlukan perawatan di UGD setiap tahunnya.
(Pusponegoro, 2010).

2.2.2 Prinsip TRIAGE


Menurut Brooker, 2008. Dalam prinsip triase diberlakukan system prioritas,
prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus didahulukan mengenai
penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul dengan seleksi
pasien berdasarkan : 1) Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit;
2) Dapat mati dalam hitungan jam; 3) Trauma ringan; 4) Sudah meninggal.
Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan:
 Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
 Menilai kebutuhan medis
 Menilai kemungkinan bertahan hidup
 Menilai bantuan yang memungkinkan
 Memprioritaskan penanganan definitive
 Tag Warna
1. Prinsip dalam pelaksanaan triage :
1) Triase harus cepat dan tepat Kemampuan untuk merespon secara cepat,
terhadap keadaan yang menganca nyawa merupakan suatu yang sangan
penting pada bagian kegawatdaruratan.
2) Pemeriksaan harus adekuat dan akurat Akurasi keyakinan dan ketangkasan
merupakan suatu element penting pada proses pengkajian.

11
3) Keputusan yang diambil berdasarkan pemeriksaan Keamanan dan keefektifan
perawatan pasien hanya dapat direncanakan jika ada informasi yang adekuat
dan data yang akurat.
4) Memberikan intervensi berdasarkan keakutan kondisi Tanggung jawab utama
dari perawat triase adalah untuk mengkaji dan memeriksa secara akurat
pasien, dan memberikan perawatan yang sesuai pada pasien, termasuk
intervensi terapiutik, prosedur diagnostic, dan pemeriksaan pada tempat yang
tepat untuk perawatan.
5) Kepuasan pasien tercapai
 Perawat triase harus melaksanakan prinsip diatas untuk mencapai
kepuasan pasien.
 Perawat triase menghindari penundaan perawatan yang mungkin akan
membahayakan kesehatan pasien atau pasien yang sedang kritis.
 Perawat triase menyampaikan support kepada pasien, keluarga pasien,
atau teman (Department Emergency Hospital Singapore, 2009)

Prinsip umum lain dalam asuhan keperawatan yang di berikan oleh perawat
di ruang gawat darurat antara lain :
a) Penjaminan keamanan diri perawatan dan klien terjaga, perawat harus
menerapkan prinsip universal precaution, mencegah penyebaran infeksi
dan memberikan asuhan yang nyaman untuk klien.
b) Cepat dan tepat dalam melakukan triage, menetapkan diagnose
keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi yang berkelanjutan .
c) Tindakan keperawatan meliputi resusitasi dan stabilisasi diberikan
untuk mengatasi masalah biologi dan psikologi klien.
d) Penjelasan dan pendidikan kesehatan untuk klin dan keluarga diberikan
untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kerjasama perawat
dan klien.
e) System monitoring kondisi klien harus dapat dijalankan

12
f) Sisten dokumentasi yang dipai dapat digunakan secara mudah, cepat dan
tepat.
g) Penjaminan tindakan keperawatan secara etik dan legal keperawatan
perlu dijaga.
2. Tipe Triage
Ada beberapa tipe triage, yaitu :
1) Daily triage
Daily triage adalah triage yang selalu dilakukan sebagai dasar pada system
kegawat daruratan. Triage yang terdapat pada setiap rumah bsakit berbeda-
beda, tapi secara umum ditujukan untuk mengenal, mengelompokan pasien
menurut yang memiliki tingkat keakutan dengan tujuan untuk memberikan
evaluasi dini dan perawatan yang tepat. Perawatan yang paling intensif
dberikan pada pasien dengan sakit yang serius meskipun bila pasien itu
berprognosis buruk.
2) Mass Casualty incident
Mass Casualty incident merupakan triage yang terdapat ketika sestem
kegawatdaruratan di suatu tempat bencana menangani banyak pasien tapi
belum mencapai tingat ke kelebihan kapasitas. Perawatan yang lebih intensif
diberikan pada korban bencana yang kritis. Kasus minimal bisa di tunda
terlebih dahulu.
3) Disaster Triage
Ada ketika system emergensi local tidak dapat memberikan perawatan intensif
sesegera mungkin ketika korban bencana sangat membutuhkan. Filosofi
perawatan berubah dari memberikan perawatan intensif pada korban yang
sakit menjadi memberikan perawatan terbaik untuk jumlah yang terbesar.
Fokusnya pada identifikasi korban yang terluka yang memiliki kesempatan
untuk bertahan hidup lebih besar dengan intervensi medis yang cepat. Pada
disaster triage dilakukan identifikasi korban yang mengalami luka ringan dan
ditunda terlebih dahulun tanpa muncul resko dan yang mengalami luka berat

13
dan tidak dapat bertahan. Prioritasnya ditekankan pada transportasi korban
dan perawatan berdasarkan level luka.
4) Military Triage
Sama dengan tiage lainnya tapi berorientasi pada tujuan misi disbanding
dengan aturan medis biasanya. Prinsip triage ini tetap mengutamakan
pendekatan yang paling baik karena jika gagal 7 untuk mencapai tujuan misi
akan mengakibatkan efek buruk pada kesehatan dan kesejahteraan populasi
yang lebih besar.
5) Special Condition triage
Digunakan ketika terdapat faktor lain pada populasi atau korban. Contohnya
kejadian yang berhubungan dengan senjara pemusnah masal dengan radiasi,
kontaminasi biologis dan kimia. Dekontaminasi dan perlengkapan pelindung
sangat dibutuhkan oleh tenaga medis. (Oman, Kathleen S., 2008;2)
Tipe Triage Di Rumah Sakit
a. Tipe 1 : Traffic Director or Non Nurse
1) Hampir sebagian besar berdasarkan system triage
2) Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah
3) Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya
4) Tidak ada dokumentasi
5) Tidak menggunakan protocol
b. Tipe 2 : Cek Triage Cepat
1) Pengkajian cepat dengan melihat yang dilakukan perawat beregristrasi
atau dokter
2) Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama
3) Evaluasi terbatas
4) Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera
mendapat perawatan pertama
c. Tipe 3 : Comprehensive Triage
1) Dilakukan oleh perawat dengan pendidikan yang sesuai dan
berpengalaman

14
2) 4 sampai 5 sistem katagori
3) Sesuai protocol

Beberapa tipe sistem triage lainnya :


a. Traffic Director Dalam sistem ini, perawat hanya mengidentifikasi keluhan
utama dan memilih antara status “mendesak” atau “tidak mendesak”. Tidak
ada tes diagnostik permulaan yang diintruksikan dan tidak ada evaluasi yang
dilakukan sampai tiba waktu pemeriksaan.
b. Spot Check Pada sistem ini, perawat mendapatkan keluhan utama bersama
dengan data subjektif dan objektif yang terbatas, dan pasien dikategorikan
ke dalam salah satu dari 3 prioritas pengobatan yaitu “gawat darurat”,
“mendesak”, atau “ditunda”. Dapat dilakukan beberapa tes diagnostik
pendahuluan, dan pasien ditempatkan di area perawatan tertentu atau di
ruang tunggu. Tidak ada evaluasi ulang yang direncanakan sampai dilakukan
pengobatan.
c. Comprehensive Sistem ini merupakan sistem yang paling maju dengan
melibatkan dokter dan perawat dalam menjalankan peran triage. Data dasar
yang diperoleh meliputi pendidikan dan kebutuhan pelayanan kesehatan
primer, keluhan utama, serta informasi subjektif dan objektif. Tes diagnostik
pendahuluan dilakukan dan pasien ditempatkan di ruang perawatan akut atau
ruang tunggu, pasien harus dikaji ulang setiap 15 sampai 60 menit (Iyer,
2004).

2.2.3 Klasifikasi dan Penentuan Prioritas


Ada banyak klasifikasi triage yang digunakan, adapun beberapa klasifikasi
umum yang dipakai :
a. Three Categories Triage System Ini merupakan bentuk asli dari system
triase, pasien dikelompokkan menjadi :
 Prioritas utama
 Prioritas kedua
 Prioritas rendah

15
Tipe klasifikasi ini sangat umum dan biasanya terjadi kurangnya spesifitas
dan subjektifitas dalam pengelompokan dalam setiap grup
b. Four Categories Triage System Terdiri dari :
 Prioritas paling utama (sesegera mungkin, kelas 1, parah dan harus
sesegera mungkin)
 Prioritas tinggi (yang kedua, kelas 2, sedang dan segera)
 Prioritas rendah (dapat ditunda, kelas 3, ringan dan tidak harus segera
dilakukan)
 Prioritas menurun (kemungkinan mati dan kelas 4 atau kelas 0)
c. Start Method (Simple Triage And Rapid Treatment)
ada triase ini tidak dibutuhkan dokter dan perawat, tapi hanya dibutuhkan
seseorang dengan pelatihan medis yang minimal. Pengkajian dilakukan
kdengan sangat cepat selama 60 detik pada bagian berikut :
1) Ventilasi / pernapasan
2) Perfusi dan nadi (untuk memeriksa adanya denyut nadi)
3) Status neurology.
Tujuannya hanya untuk memperbaiki masalah-masalah yang mengancam
nyawa seperti obstruksi jalan napas, perdarahan yang massif yang harus
diselesaikan secepatnya. Pasien diklasifikasikan sebagai berikut :
1) The Walking Wounded Penolong ditempat kejadian memberikan
instruksi verbal pada korban, untuk berpindah. Kemudian penolong
yang lain melakukan pengkajian dan mengirim korban ke rumahsakit
untuk mendapat penanganan lebih lanjut
2) Critical/ Immediate Dideskripsikan sebagai pasien dengan luka yang
serius, dengan keadaan kritis yang membutuhkan transportasi ke
rumahsakit secepatnya, dengan criteria pengkajian :
 respirasi >30x/menit
 tidak ada denyut nadi
 tidak sadar/kesadaran menurun

16
3) Delayed Digunakan untuk mendeskripsikan pasien yang tidak bisa yang
tidak mempunyai keadaan yang mengancam jiwa dan yang bisa
menunggu untuk beberapa saat untuk mendapatkan perawatan dan
transportasi, dengan criteria:
 Respirasi
 Ada denyut nadi
 Sadar/ respon kesadaran normal
4) Dead Digunakan ketika pasien benar-benar sudah mati atau mengalami
luka dan mematikan seperti luka tembak di kepala (Departement
Emergency Hospital Singapore, 2009).
Berdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage didasarkan pada
keluhan utama, riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan umum
pasien serta hasil pengkajian fisik yang terfokus. Menurut Comprehensive
Speciality Standart, ENA tahun 1999, penentuan triase didasarkan pada
kebutuhan fisik, tumbuh kembang dan psikososial selain pada factor-faktor yang
mempengaruhi akses pelayanan kesehatan serta alur pasien lewat system
pelayanan kedaruratan. Hal-hal yang harus dipertimbangkan mencakup setiap
gejala ringan yang cenderung berulang atau meningkat keparahannya.
Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam system triage adalah
kondisi klien yang meliputi :
a) Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
b) Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi
memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.
c) Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh
gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / Pernafasan, Circulation /
Sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal atau cacat
(Wijaya, 2010)
Berdasarkan prioritas keperawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :

17
Tabel 1. Klasifikasi Triage
KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa /
adanya gangguan ABC dan perlu
tindakan segera, misalnya cardiac
arrest, penurunan kesadaran, trauma
mayor dengan perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi
tidak memerlukan tindakan darurat.
Setelah dilakukan resusitasi maka
ditindaklanjuti oleh dokter spesialis.
Misalnya : pasien kanker tahap lanjut,
fraktur, sickle cell dan lainnya
Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam
nyawa tetapi memerlukan tindakan
darurat. Pasien sadar, tidak ada
gangguan ABC dan dapat langsung
diberikan terapi definitive. Untuk
tindak lanjut dapat ke poliklinik,
misalnya laserasi, fraktur minor
/ tertutup, otitis media dan lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan
tidak memerlukan tindakan gawat.
Gejala dan tanda klinis ringan /
asimptomatis. Misalnya penyakit kulit,
batuk, flu, dan sebagainya.

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)


KLASIFIKASI KETERANGAN

18
Prioritas I (MERAH) Mengancam jiwa atau fungsi vital,
perlu resusitasi dan tindakan bedah
segera, mempunyai kesempatan hidup
yang besar. Penanganan dan
pemindahan bersifat segera yaitu
gangguan pada jalan nafas, pernafasan
dan sirkulasi. Contohnya sumbatan
jalan nafas, tension pneumothorak,
syok hemoragik, luka terpotong pada
tangan dan kaki, combutio (luka bakar
tingkat II dan III > 25 %
Prioritas II (KUNING) Potensial mengancam nyawa atau
fungsi vital bila tidak segera ditangani
dalam jangka waktu singkat.
Penanganan dan pemindahan bersifat
jangan terlambat. Contoh : patah
tulang besar, combutio (luka bakar)
tingkat II dan III < 25 %, trauma thorak
/ abdomen, laserasi luas, trauma bola
mata.
Prioritas III (HIJAU) Perlu penanganan seperti pelayanan
biasa, tidak perlu segera. Penanganan
dan pemindahan bersifat terakhir.
Contoh luka superficial, luka-luka
ringan.
Prioritas 0 (HITAM) Kemungkinan untuk hidup sangat
kecil, luka sangat parah. Hanya perlu
terapi suportif. Contoh henti jantung
kritis, trauma kepala kritis.

19
Table 3. klasifikasi berdasarkan tingkat keakutan
TINGKAT KEAKUTAN

KELAS I Pemeriksaan fisik rutin (misalnya memar minor); dapat


menunggu lama tanpa bahaya.

KELAS II Nonurgen / tidak mendesak (misalnya ruam, gejala flu);


dapat menunggu lama tanpa bahaya.

KELAS III Semi-urgen / semi mendesak (misalnya otitis media);


dapat menunggu sampai 2 Jam sebelum pengobatan.

KELAS IV Urgen / mendesak (misalnya fraktur panggul, laserasi


berat, asma); dapat menunggu selama 1 jam.

KELAS V Gawat darurat (misalnya henti jantung, syok); tidak boleh


ada keterlambatan pengobatan ; situasi yang mengancam
hidup

2.2.4 Proses Triage


Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus
mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan
pengkajian, misalnya terlihat sekilas kearah pasien yang berada di brankar sebelumm
mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak
lebih dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama.
Perawat triage bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan
yang tepat, misalnya bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan
monitor jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama
kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat
utama sedikitnya sekali setiap 60 menit.

20
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat
darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit/lebih bila perlu. Setiap pengkajian
ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru dapat mengubah
kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya kebutuhan
untuk memindahkan pasien yang awalnya berada di area pengobatan minor ke tempat
tidur bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami sesak nafas, sinkope,
atau diaphoresis (Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda-tanda objektif bahwa ia
mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani
terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data
subjektif sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data
pengkajian kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari
pasien (data primer).
Alur dalam proses Triage
1. Pasien datang diterima petugas / paramedic UGD
2. Diruang triase dilakukan anamneses dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas)
untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3. Bila jumlah penderita / korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat
dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD)
4. Penderita dibedakan menurut kegawatannya dengan memberi kode warna :
1) Segera – Immediate (MERAH). Pasien mengalami cedera mengancam jiwa
yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya
:Tension pneumothorax, distress pernafasan (RR<30x/menit), perdarahan
internal, dsb
2) Tunda – Delayed (KUNING). Pasien memerlukan tindakan definitive tetapi
tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol,
fraktur tertutup pada ekstremitas dengan perdarahan terkontrol, luka bakar
<25% luas permukaan tubuh, dsb.

21
3) Minimal (HIJAU). Pasien mendapat cidera minimal, dapat berjalan dan
menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : laserasi minor,
memar dan lecet, luka bakar superfisial.
4) Expextant (HITAM). Pasien mengalami cidera mematikan dan akan
meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya : luka bakar derajat 3
hampir diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
5. Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna:
merah, kuning, hijau, hitam.
6. Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan pengobatan
diruang tindakan UGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut,
penderita/korban dapat dipindahkan ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah
sakit lain.
7. Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis
lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran
setelah pasien dengan kategori triase merah selesai ditangani.
8. Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau
bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat
diperbolehkan untuk pulang.
9. Penderita kategori triase hitam (meninggal) dapat langsung dipindahkan ke
kamar jenazah (Rowles, 2007).

2.3 Kegawatdaruratan Anak: Asfiksia


2.3.1 Pengertian Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera
setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami
asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibu, tali
pusat atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan (Asuhan Persalinan
Normal.2015:144).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam

22
uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor- faktor yang timbul dalam kehamilan,
persalinan atau segera setelah bayi lahir. Akibat- akibat asfiksia akan bertambah buruk
apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan
dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi
gejala- gejala lanjut yang mungkin timbul, Manggiasih, V.A dan Pongki, jaya
(2016:362).

2.3.2 Klasifikasi
Menurut Manggiasih, V.A dan Pongki Jaya (2016:364), yaitu:
1) Bayi normal atau tidak asfiksia: skor APGAR 8- 10. Bayi normal tidak memerlukan
resusitasi dan pemberian oksigen secara terkendali
2) Asfiksia ringan: Skor APGAR 5- 7. Bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan
tindakan istimewa tidak memerlukan pemberian oksigen dan tindakan resusitasi.
3) Asfiksia sedang: Skor APGAR 3- 4. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung lebih dari 100 kali/ menit, tonus oto kurang baik atau baik, sianosis, reflek
iritabilitas tidak ada dan memerlukan tindakan resusitasi serta pemberian oksigen
sampai bayi dapat bernafas normal.
4) Asfiksia berat: Skor APGAR 0- 3. Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan
pemberian oksigen terkendali, karena selalu disertai sianosis, maka perlu diberikan
natrikus dikalbonas 7,5 % dengan dosis 2,4 ml/kgBB dan cairan glukosa 40% 1-2
ml/kgBB, diberikan via vena umbilical. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung kurang dari 100 kali/ menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan kadang-
kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada.

2.3.3 Tujuan
Mengenal dengan tepat bayi baru lahir dengan asfiksia neonatorum, mengambil tindakan
yang tepat dan melakukan pertolongan kegawatdaruratan bayi baru lahir yang
mengalami asfiksia neonatorum (IBI. 2006:106).
a. Proses
Menurut IBI (2006:106)

23
1) Selalu mencuci tangan dan gunakan sarung tangan bersih/DTT sebelum
menangani bayi baru lahir. Ikuti praktik pencegahan infeksi yang baik pada saat
merawat dan melakukan resusitasi pada bayi baru lahir.
2) Ikuti langkah pada standar 13 untuk perawatan segera bayi baru lahir.
3) Selalu waspada untuk melakukan resusitasi bayi baru lahir pada setiap
kelahiran bayi, siapkan semua peralatan yang diperlukan dalam keadaan bersih,
tersedia dan berfungsi dengan baik.
4) Segera setelah bayi lahir, nilai keadaan bayi, letakkan di perut ibu dan segera
keringkan bayi dengan handuk bersih yang hangat. Setelah bayi kering, selimuti
bayi termasuk bagian kepalanya dengan handuk baru yang bersih dan hangat.
5) Nilai bayi dengan cepat untuk memastikan bahwa bayi bernafas/ menangis
sebelum menit pertama nilai APGAR, jika bayi tidak manangis dengan keras,
bernafas dengan lemah atau bernafas cepat dan dangkal, pucat atau biru dan
atau lemas.
a) Baringkan terlentang dengan benar pada permukaan yang datar, kepala
sedikit di tengadahkan agar jalan nafas terbuka. Bayi harus tetap diselimuti.
Hal ini penting sekali untuk mencegah hipotermi pada bayi baru lahir.
b) Hisap mulut dan kemudian hidung bayi dengan lembut dengan bola karet
penghisap DTT atau penghisap Delee DTT/ steril. (Jangan memasukkan
alat penghisap terlalu dalam pada kerongkongan bayi. Penghisap yang
terlalu dalam akan menyebabkan brakikardi, denyut jantung yang tidak
teratur atau spasme pada laring/ tenggorokkan bayi).
c) Berikan stimulasi taktil dengan lembut pada bayi (gosok punggung bayi,
atau menepuk dengan lembut atau menyentil kaki bayi, keduanya aman dan
efektif untuk menstimulasi bayi).
Nilai ulang keadaan bayi. Jika bayi mulai menangis atau bernafas dengan
normal, tidak diperlukan tindakan lanjutan. Lanjutkan dengan perawatan
bagi bayi baru lahir yang normal bayi tetap tidak bernafas dengan normal
(40- 60 kali per menit) atau menangis, teruskan dengan ventilasi.
6) Melakukan ventilasi pada bayi baru lahir :

24
a) Letakkan bayi di permukaan yang datar, diselimuti dengan baik.
b) Periksa kembali posisi bayi baru lahir, kepala harus sedikit ditengadahkan.
c) Pilih masker yang ukurannya sesuai (no. 0 untuk bayi yang kecil / no. 1
untuk bayi yang lahir cukup bulan). (Gunakan ambubag dan masker atau
sungkup).
d) Pasang masker dan periksa pelekatannya. Pada saat dipasang di muka bayi
masker harus menutupi dagu, mulut dan hidung.
e) Lekatkan wajah bayi dan masker.
f) Remas kantung ambu/ bernafaslah kedalam sungkup.
g) Periksa perlekatannya dengan cara ventilasi dua kali dan amati apakah
dadanya mengembang. Jika dada bayi mengembang, mulai ventilasi dengan
kecepatan 4 sampai 60 kali/menit.
h) Jika dada bayi tidak mengembang :
(1) Perbaiki posisi bayi dan tengadahkan kepala lebih jauh.
(2) Periksa hidung dan mulut apakah ada darah, mucus atau cairan ketuban
lakukan penghisapan jika perlu.
(3) Remas kantung ambu lebih keras untuk meningkatkan tekanan
ventilasi.
i) Ventilasi bayi selama 1 menit, lalu hentikan. Nilai dengan cepat apakah bayi
bernafas spontan (30 sampai 60 kali/ menit) dan tidak ada pelekukan dada
atau dengkuran, tidak perlu resusitasi lebih lanjut. Teruskan dengan langkah
awal perawatan bayi baru lahir.
j) Jika bayi belum bernafas atau pernafasannya lemah, teruskan ventilasi.
Bawa bayi ke rumah sakit atau puskesmas, teruskan ventilasi bayi selama
perjalanan.
k) Jika bayi mulai menangis, hentikan ventilasi, amati bayi selama 5 menit.
Jika pernafasan sesuai batas normal (30- 60 kali/ menit), teruskan dengan
langkah awal perawatan bayi baru lahir.
l) Jika pernafasan bayi kurang dari 30 kali/ menit teruskan ventilasi dan bawa
ke tempat rujukan.

25
m) Jika terjadi pelekukan dada yang sangat dalam, ventilasi dengan oksigen
jika mungkin. Segera bawa bayi ke tempat rujukkan, teruskan ventilasi.
n) Lanjutkan ventilasi sampai tiba di tempat rujukkan, atau sampai keadaan
bayi membaik atau selama 30 menit. (Membaiknya ditandai dengan warna
kulit merah muda, menangis atau bernafas spontan).
7) Kompresi dada:
a) Jika memungkinkan, dua tenaga kesehatan terampil diperlukan untuk
melakukan ventilasi dan kompresi dada.
b) Kebanyakan bayi akan membaik hanya dengan ventilasi.
c) Jika ada dua tenaga kesehatan terampil dan pernafasan bayi lemah atau
kurang dari 30 kali/ menit dan detak jantung kurang dari 60 kali/ menit
setelah ventilasi selama 1 menit, tenaga kesehatan yang kedua dapat mulai
melakukan kompresi dada dengan kecepatan 3 kompresi dada berbanding
1 ventilasi.
d) Harus berhati- hati pada saat melakukan kompresi dada, tulang rusuk bayi
peka dan mudah patah, jantung dan paru- prunya mudah terluka.
e) Lakukan tekanan pada jantung dengan cara meletakkan kedua jari tepat di
bawah garis putting bayi, di tengah dada). Dengan jari- jari lurus, tekan dada
sedalam 1- 1.5 cm.
8) Setelah bayi bernafas normal, periksa suhu. Jika dibawah 36.5ºC, atau
punggung sangat dingin, lakukan penghangatan yang memadai, ikuti standar
13. (Penelitian menunjukkan, bahwa jika tidak terdapat alat- alat, kontak kulit
dengan mendekapkan bayi kepada ibunya rapat ke dada, agar kulit ibu
bersentuhan dengan kulit bayi, lalu selimuti ibu yang sedang mendekap
bayinya).
9) Perhatikan warna kulit bayi, pernafasan dan nadi bayi selama 2 jam. Ukur suhu
tubuh bayi setiap jam hingga normal (36,5 ºC - 37,5 ºC).
10) Jika kondisinya memburuk, rujuk ke fasilitas rujukan terdekat dengan tetap
melakukan penghangatan.

26
11) Pastikan pemantauan yang sering pada bayi selama 24 jam selanjutnya. Jika
tanda- tanda kesulitan bernafas kembali terjadi, persiapkan untuk membawa
bayi segera ke rumah sakit yang paling tepat.
12) Ajarkan pada ibu, suami/ keluarganya tentang tanda bahaya dan tanda-
tandanya pada bayi baru lahir. Anjurkan ibu, suami/ keluarganya agar
memperhatikan bayinya dengan baik- baik. Jika ada tanda- tanda sakit atau
kejang, bayi harus segera dirujuk ke rumah sakit atau menghubungi bidan
secepatnya.
13) Catat dengan seksama semua perawatan yang diberikan.

2.4 Kegawatdaruratan Ibu Hamil: Eklampsia


2.4.1 Pengertian Kegawatdaruratan
Kegawatdaruratan adalah kejadian yang tidak diduga atau terjadi secara tiba-tiba,
seringkali merupakan kejadian yang berbahaya (Dorlan, 2011). Kegawatdaruratan
dapat juga didefinisikan sebagai situasi serius dan kadang kala berbahaya yang terjadi
secara tiba-tiba dan tidak terduga dan membutuhkan tindakan segera guna
menyelamatkan jiwa/nyawa (Campbell, 2000).
Sedangkan kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang
mengancam jiwa yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan
kelahiran. Terdapat sekian banyak penyakit dan gangguan dalam kehamilan yang
mengancam keselamatan ibu dan bayinya (Chamberlain, Geoffrey, & Phillip Steer,
1999). Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab
utama kematian ibu janin dan bayi baru lahir (Saifuddin, 2002). Masalah kedaruratan
selama kehamilan dapat disebabkan oleh komplikasi kehamilan spesifik atau penyakit
medis atau bedah yang timbul secara bersamaan.

2.4.2 Pengertian Ekslampsia


Eklampsia adalah kejang pada kehamilan dengan gejala preeklampsia.
Preeklampsia merupakan suatu kumpulan gejala pada ibu hamil ditandai dengan

27
peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140/90 mmHg dan proteinuria pada usia
kehamilan ≥ 20 minggu. Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum,
eklampsia intrapartum, dan eklampsia pospartum. Kejadian eklampsia sekitar 2-8%
diseluruh dunia dan merupakan penyebab kematian 500.000 ibu melahirkan setiap
tahunnya. Angka kejadian eklampsia di Indonesia mencapai128.273 kasus setiap
tahun.
Pada eklamsia selain tanda tanda preeklamsia juga disertai adanya kejang.
Preeklamsia/Eklamsia merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu di dunia.
Tingginya angka kematian ibu pada kasus ini sebagian besar disebabkan karena tidak
adekuatnya penatalaksanaan di tingkat pelayanan dasar sehingga penderita dirujuk
dalam kondisi yang sudah parah, sehingga perbaikan kualitas di pelayanan kebidanan
di tingkat pelayanan dasar diharapkan dapat memperbaiki prognosis bagi ibu dan
bayinya

2.4.3 Jenis-Jenis Eklampsia


Menurut saat terjadinya eklampsia kita mengenal istilah :
1. Eklampsia antepartum ialah eklampsia yang terjadi sebelum persalinan
2. Eklampsia intrapartum ialah eklampsia sewaktu persalinan
3. Eklampsia postpartum ialah eklampsia setalah persalinan

2.4.4 Gejala Eklampsia


Eklampsia selalu didahului oleh gejala – gejala preeklampsia yang berat seperti :
1. Sakit kepala yang keras
2. Penglihatan kabur
3. Nyeri diulu hati
4. Kegelisahan dan hyperrefleksi sering mendahuli serangan kejang
Serangan dapat dibagi dalam 4 tingkat :
a. Tingkat invasi (tingkat permulaan)
Mata terpaku, kepala dipalingkan kesatu pihak, kejang –kejang hals terlihat
pada muka. Tingkat ini berlangsung beberapa detik.

28
b. Tingkat kontraksi (tingkat kejang tonis)
Seluruh badan menjadi kaku, kadang- kadang terjadi ephistholonus, lamanya
15 sampai 20 detik.
c. Tingkat konvulsi (tingkat kejang clonis)
Terjadilah kejang yang timbul hilang, rahang membuka dan menutup begitu pla
mata, otot –otot muka dan otot badan berkontraksi dan berelaksasi berulang.
Kejang ini sangat kuat hingga pasien dapat terlempar dari temapt tidur atau
lidahnya tergigit. Ludah yang berbuih bercampur darah keluar dari mulutnya,
mata merah, muka biru, berangsur kejang berkurang dan akhirnya berhenti.
Lamanya ± 1 menit.
d. Tingkat coma
Setelah kejang clonis ini pasien jatuh dalam coma. Lamanya coma ini dari
beberapa menit sampai berjam –jam. Kalau pasien sadar kembali maka ia
tidak ingat sama sekali apa yang telah terjadi.

2.4.5 Gejala klinis :


1. Kehamilan lebih 20 minggu atau persalinan atau masa nifas
2. Tanda – tanda pre eklampsia (hipertensi, edema dan proteinuria)
3. Kejang dan atau koma
4. Kadang – kadang disertai gangguan fungsi organ.
Setelah beberapa waktu, terjadi serangan baru dan kejadian yang dilukiskan
diatas berulang lagi kadang –kadang 10 – 20 kali. Sebab kematian eklampsia adalah
odema paru –paru, apoplexy dan acidosis. Atau pasien mati setelah beberapa hari
karena pneumoni aspirasi, kerusakan hati atau gangguan faal ginjal. Kadang–
kadang terjadi eklampsia tanpa kejang ;gejala yang menonjol ialah coma. Eklampsia
se,acam ini disebut eklampsia sine eklampsia dan terjadi pada kerusakan hati yang
berat. Karena kejang merupakan gejala yang khas dari eklampsia maka eklampsia
sine eklampsia sering dimasukkan preeklampsia yang berat. Pada eklampsia tekanan
darah biasanya tinggi sekitar 180/110 mmHg.

29
Nadi kat dan berisi tetapi kalau keadaan sudah memburuk menjadi kecil dan
cepat. Demam yang tinggi memburuk prognosa. Demam ini rupa–rupanya cerebral.
Pernafasan biasanya cepat dan berbunyi, pada eklampsia yang berat ada cyanosis.
Proteinuria hamper selalu ada malahan kadang – kadang sangat banyak juga
odema biasanya ada. Pada eklampsia antepartum biasanya persalianan mulai setelah
beberapa waktu. Tapi kadang –kadang pasien berangsr baik tidak kejang lagi dan
sadar sedangkan kehamilan ters berlangsung.
Eklampsia yang tidak segera disusul dengan persalinan disebut eklampsia
intercurrent. Dianggap bahwa pasien yang sedemikian bukan sembuh tapi jatuh ke
tingkat yang lebih ringan ialah dari eklampsia ke dalam keadaan preeklampsia. Jadi
kemngkinan eklampsia tetap mengancam pasien semacam ini sebelum persalianan
terjadi.
Setelah persalianan keadaan pasien berangsr baik, kira – kira dalam 12 – 24
jam. Juga kalau anak mati didalam kandungan sering kita lihat bahwa beratnya
penyakit berkurang. Proteinria hilang dalam 4 – 5 hari sedangkan tekanan darah
normal kembali dalam kira –kira 2 minggu. Ada kalanya pasien yang telah
menderita eklampsia menjadi psychotis, biasanya pada hari ke 2 atau ke 3
postpartum dan berlangsung 2 – 3 mingg. Prognosa pada munya baik, penyulit
laiannya ialah hemiplegic dan ganguuan penglihatan karena odema retina.

2.4.6 Patologi Eklampsia


Pada wanita yang mati karena eklampsia terdapat kelainan pada hati, ginjal,
otak, dan paru – paru dan jantung. Pada umumnya dapat ditemukan necrose,
haemorrhagia, odema, hyperaemia atau ischaemia dan thrombosis. Pada placenta
terdapat infakt – infarct karena degenarasi syncytium. Perubahan lain yang terdapat
ialah retensi air dan natrium, haemokonsentrasi dan kadang – kadang acidosis.

2.4.7 Etiologi eklampsia

30
Sebab eklampsia belum diketahui benar, salah satu teori yang dikemukakan
ialah bahwa eklampsia disebabakan ischaemia rahim dan plasenta (ischaemia
uteroplacenta). Selama kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak. Pada
molahydatidosa, hidramnion, kehamilan ganda, multipara, pada akhir kehamilan,
pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes, perdarahan darah
dalam dinding rahim kurang, maka keluarlah zat- zat dari plasenta atau decidua yang
menyebabkan vasospasmus dan hypertensi.

2.4.8 Diagnose Eklampsia


Untuk diagnose eklampsia harus dikesampingkan keadaan –keadaan lain
dengan kejang dan coma seperti ureami, keracunan, epilepsy, hysteri, ebcephalitis,
meningitis, tumor otak,dan atrofi kuning akut dari hati. Diagnose eklampsia lebih
24 jam postpartum harus dicurigai.

2.4.9 Prognosis Eklampsia


Eklampsia adalah suatu keadaan yang sangat berbahaya maka prognosa kurang
baik untuk ibu maupun anak. Prognosa juga dipengaruhi oleh paritas artinya
prognosa bagi multiparae lebih buruk, dipengaruhi juga oleh umur terutama kalau
umur melebihi 35 tahun dan juga oleh keadaan pada waktu pasien masuk rumah
sakit. Juga diurese dapat dipegang untuk prognosa jika diurese lebih dari 800 cc
dalam 24 jam atau 200 cc tiap 6 jam maka prognosa agak baik. Sebaiknya oliguri
dan anuri merupakan gejala yang buruk.

2.4.10 Perawatan eklampsia


Perawatan dasar eklampsia ialah terapi suportif untuk stabilisasi fungsi vital,
yang harus selalu diingat airway, breathing, circulation (ABC), mengatasi dan
mencegah kejang, mengatasi hipoksemia dan asidemia, mencegah trauma pada
pasien pada waktu kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada waktu
krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yang tepat dan dengan cara yang
tepat.

31
Perawatan medikamentosa dan perawatan suportif eklampsia merupakan
peraatan yang sangat penting. Tujuan utama pengobatan medikamentosa
eklampsia ialah mencegah dan menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi
penyulit, khususnya hiprtensi krisis, mencapai stabilisasi ibu seoptimal mungkin
sehingga dapat melahirkan janin pada saat dan dengan cara yang tepat.
1. Pengoatan medikamentosa
a. Obat anti kejang
Obat anti kejang yang menjadi pilihan utama ialah magnesium sulfat.
Bila dengan jenis obat ini kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat jenis
lain, misalnya thiopental. Diazepam dapat dipakai sebagai alternative pilihan,
namun mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi, pemberian diazepam
hanya dilakukan oleh mereka yang telah berpengalaman. Pemberian
diuretikum hendaknya selalu disertai dengan memonitor plasma elektrolit.
Obat kardiotinika ataupun obat-obat anti hipertensi hendaknya selalu
disiapkan dan diberikan benar-benar atas indikasi.
b. Magnesium sulfat (MgSO4)
Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya sama seperti pemberian
magnesium sulfat pada preeclampsia berat. Pengobatan suportif terutama
ditujukan untuk gangguan fungsi organ-organ penting, misalnya tindakan-
tindakan untuk memperbaiki asidosis, mempertahankan pentilasi paru-paru,
mengatur tekanan darah, mencegah dekompensasi kordis.
Pada penderita yang mengalami kejang dan koma, nursing care sanga penting,
misalnya meliputi cara-cara perawatan penderita dalam suatu kamar isolasi,
mencegah aspirasi, mengatur infuse penderita, dan monitoring produksi urin.
c. Perawatan pada waktu kejang
Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan pertama pertologan ialah
mencegah penderita mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut.
Dirawat di kamar isolasi cukup terang, tidak di kamar gelap, agar bila terjadi
sianosis segera dapat diketahui. Penderita dibaringkan di tempat tidur yang
lebar, dengan rail tempat tidur harus dipasang dan dikunci dengan kuat.

32
Selanjutnya masukkan sudap lidah ke dalam mulut penderita dan jangan
mencoba melepas sudap lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan
gigi. Kepala direndahkan dan daerah orofarim diisap. Hendaknya dijaga agar
kepala dan ekstremitas penderita yang kejang tidak terlalu kuat menghentak-
hentak benda keras disekitarnya. Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup
kendor, guna menghindari fraktur. Bila penderita selesai kejang-kejang,
segera beri oksigen45.
d. Perawatan koma
Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat beraksi atau
mempertahankan diri terhadap suhu yang ekstrim, posisi tubuh yang
menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena hilangnya reflex muntah. Ahaya
terbesar yang mengancam penderita koma, ialah terbuntunya jalan napas atas.
Setiap penderita EKLAMPSIA yang jatuh dalm koma harus dianggap bahwa
jalan napas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain.
Oleh karena itu, tindakan pertama-tama pada penderita yang jatuh, (tidak
sadar), ialah menjaga dan mengusahakan agar jalan napas atas tetap terbuka.
Untuk menghindari terbuntunya jalan napas atas oleh pangkal lidah dan
epiglottis dilakukan tindakan sebagai berikut. Cara yang sederhana dan cukup
efektif dalam menjaga terbukanya jalan napas atas, ialah dengan maneuver
head tilt-neck lift, yaitu kepala direndahkan dan leher dalam posisi ekstensi ke
belakang atau head tilt- chain lift, dengan kepala direndahkan dan dagu ditarik
ke atas, atau jaw-thrust, yaitu mandibula kiri-kanan di ekstensikan ke atas
sambil mengangkat kepala ke belakang. Tindakan ini kemudian dapat
dilanjutkan dengan pemasangan orophary haringeal airway46 . hal penting ke
dua yang perlu diperhatikan ialah bahwa penderita, akan kehilangan reflex
muntah sehingga kemungkinan terjadinya aspirasi bahan lambung sangat
besar. Lambung ibu hamil harus selalu dianggap sebagai lambung penuh.
Oleh karena itu, semua benda yang ada dalam rongga mulut dan tenggorokan,
baik berupa lender maupun sisa makanan, hars segera diiasap secara
intermiten. Penderita ditidurkan dalam posisi stabil untuk drainase lendir.

33
Monitoring kesadaran dan dalamnya, memakai Glasgow, coma
escale.pada perawatan koma perlu diperhatikan pencehgahan dekubitus dan
makanan penderita. Pada koma yang lama, bila nutrisi tidak mungkin; dapat
diberikan melalui nasograstrik tube (NGT).
e. Perawatan edema paru
Bila terjadi edema paru sebaiknya penderita di rawat di ICU karena
membutuhkan perawatan animasi dengan respirator.
2. Pengobata obstetric
Sikap terhadap kehamilan ialah semua kehamilan dengan EKLAMPSIA harus
diakhiri, tanpa memandang kehamilan dan keadaan janin. Persalinan diakhiri
bila sudah mencapai stabilisasi (pemulihan). Hemodinamika dan metabolism
ibu.
Pada perawatan pasca persalinan, bila persalinan terjadi pervaginam,
monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.
Penanganan kejang
1. Selalu ingat ABC (airway, breathing, circulation)
2. Beri obat anti kejang
3.Beri oksigen 4-6 liter per menit
4.Lindungi pasien dari kemungkinan trauma, tetapi jangan diikat terlalu keras
5.Baringkan pasien pada sisi kiri untuk mengurangi resiko aspirasi
6. Setelah kejang, aspirasi mulut dan tenggorokan jika perlu

34
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pelayanan kesehatan kegawatdaruratan adalah hak asasi setiap orang dan
merupakan kewajiban yang harus dimiliki oleh semua orang. Pelayanan gawat
darurat (emergency care) adalah bagian dari pelayanan kedokteran yang
dibutuhkan oleh penderita dalam waktu segera (imediatlely) untuk menyelamatkan
kehidupannya (life saving). Unit kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat disebut dengan nama Unit Gawat Darurat (emergency Unit.
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan
tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan
prioritas penanganan dan sumber daya yang ada. Triage adalah suatu sistem
pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan berat ringannya kondisi
klien/kegawatannya yang memerlukan tindakan segera. Dalam triage, perawat dan
dokter mempunyai batasan waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan
memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
Asfiksia adalah keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan
mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan
keadaan ibu, tali pusat atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan.
Kegawatdaruratan obstetri adalah kondisi kesehatan yang mengancam jiwa
yang terjadi dalam kehamilan atau selama dan sesudah persalinan dan kelahiran.
Eklampsia adalah kejang pada kehamilan dengan gejala preeklampsia.
Preeklampsia merupakan suatu kumpulan gejala pada ibu hamil ditandai dengan
peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140/90 mmHg dan proteinuria pada usia
kehamilan ≥ 20 minggu.

35
3.2 Saran
Saran yang diberikan oleh penulis adalah sebaiknya rumah sakit harus
mematuhi ketentuan dalam perundang-undangan untuk memberikan pertolongan
pertama bagi pasien kegawatdaruratan. Kemudian rumah sakit harus memiliki rutin
pengawasan terhadap tenanga kesehatan yang khususnya di sistem
kegawatdaruratan. Untuk mahasiswa keperawatan dianjurkan untuk banya belajar
mengenai pelayanan sistem kegawatdaruratan supaya kelak menjadi perawat yang
cekatan dan handal terutama dalam kegawatdaruratan.

36
DAFTAR PUSTAKA

Bagian Obstetric Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Bandung. 1984.Obstetric Patologi. Bandung :Elstar Offset

Kathleen, S. O., Jane, K., Linda J. S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi.
Jakarta: EGC.

Nurmalia, Pradita dan Irwan Budiono. 2020. Program Public Safety Center (PSC) 119
Mataram Emergency Medical Service (MEMS). Vol. 4 No. 2.
Rawihardjo, sarwono. (2010). Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bna Pustaka

Sujiantini, M.Keb. dkk. 2009. Asuahan Patologi Kebidanan. Yogyakarta : Nuha


Medika
Hadi, akhmad baequni. 2016. GAMBARAN PENGETAHUAN DAN PENERAPAN
TRIAGE OLEH PERAWAT DI INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD Dr.
SOEDIRMAN KEBUMEN. Gombong: sekolah tinggi kesehatan
Muhammadiyah.
[https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/91067/Aulia%20Elma
%20Nafia%20Istizhada152310101313.pdf?sequence=1&isAllowed=y] diakses
pada tanggal 7 september 2020
Isthizhada, aulia elma navia. 2019. Gambaran Respon Time lama Triage di inatalasi
Gawat darurat (IGD) Ruamah Sakit Baladhika Husada Jember. Jember:
universitas jember.
[http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/22/1/AKHMAD%20BAEQUNI%20HADI
%20NIM.%20A11200738.pd] diakses pada tanggal 7 september 2020

Partana, I Putu Dharma, dkk. 2016. Keperawatan kegawatdaruratan Triage. Denpasar:


kementrian kesehatan RI politeknik Kesehatan Denpasar.
[file:///C:/Users/USER/Downloads/KEPERAWATAN%20KEGAWATDARUR
ATAN%20_TRIAGE_.pdf] diakses pada tanggal 7 september 2020

37

Anda mungkin juga menyukai