Anda di halaman 1dari 4

Refleksi Hari Kesiapsiagaan Bencana

Oleh : Indra Yusuf

Setiap tanggal 26 April diperingati sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana. Hari

Kesiapsiagaan Bencana diperingati secara nasional di seluruh daerah Indonesia sejak tahun

2017. Pada tanggal tersebut, setiap daerah akan melaksanakan simulasi kesiapsiagaan

bencana. Latar belakang penetapan tanggal tersebut sebagai Hari Kesiapsiagaan Bencana

dikarenakan bertepatan dengan lahirnya UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan

bencana.

Ternnyat dibalik kekayaan sumberdaya alam yang melimpah baik hayati, mineral

maupun barang tambang, negeri kita menyimpan potensi bencana yang sangat besar.

Memang negeri kita dikenal dengan sebutan zamrud kahtulistiwa, tapi kita juga harus ingat

negeri kita dikenal juga sebagai “the ring of fire” atau negeri yang terdapat di cincin api.

Semua itu tidak lepas dari karakteristik, unsur fisik dan topologis Indonesia. Langkah bijak

yang perlu dilakukan adalah dengan mengelola sumberdaya alam yang ada dengan prinsip

ekoefisien, sementara kewaspadaan kita tingkatkan dalam menghadapi potensi bencana.

Secara geologis wilayah kepulauan Indonesia terletak pada pertemuan 3 (tiga)

lempeng tektonik utama dunia, yaitu lempeng Pasifik, lempeng Eurasia dan lempeng Indo

Australia. Akibat kondisi geologis yang tersebut wilayah Indonesia rawan terhadap bencana

geologi yakni, gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan tanah longsor.

Sedangkan secara astronomis letak wilayah Indonesia berada pada 6º LU-11º LS dan

96º BT-141º BT. Pengaruh yang ditimbulkan dari letak astronomis tersebut adalah wilayah

Indonesia memiliki tipe iklim tropis dengan dua musim. Kondisi atau letak geografisnya

yang diapit oleh dua benua dan dua samudera turut mempengaruhi karakteristik musim di
Indonesia. Sehingga sering terjadi fenomena dinamika cuaca yang cukup ekstrim baik pada

musim kemarau maupun musim hujan.

Hal inilah yang menjadikan wilayah Indonesia juga tergolong rawan terhadap bencana

hidrometeorologi. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang dipengaruhi oleh unsur-

unsur cuaca/iklim, seperti faktor curah hujan, kelembaban udara, tekanan udara dan

kecepatan angin. Beberapa bencana hidrometeorologi yang sering melanda wilayah Indonesia

diantaranya adalah banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia tentu memiliki garis pantai

terpanjang pula. Dengan garis pantai sepanjang 54.716 km, kita memiliki potensi bidang

kelautan yang sangat besar baik hayati maupun non hayati. Namun garis pantai sepanjang itu

juga sekaligus sebagai bentuk ancaman terhadap bencana tsunami dan rob.

Sementara keadaan demografis kita, dengan jumlah penduduk besar tentu sebuah

ancaman yang beresiko memakan korban dalam jumalah banyak jika terjadi bencana nanti.

Menurut proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2018

adalah sebanyak 265 juta lebih. Di tingkat global, Indonesia menempati peringkat empat

penduduk terbanyak dunia. Setelah China, India, dan Amerika.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 148,4 juta

warga Indonesia tinggal di daerah rawan gempa bumi, 5 juta di daerah rawan tsunami, 1,2

juta penduduk di daerah rawan erupsi gunung api, 63,7 juta jiwa di daerah rawan banjir, serta

40,9 juta jiwa tinggal di daerah rawan longsor. Artinya lebih dari separuhnya penduduk

Indonesia tinggal di daerah rawan bencana.

Lebih lanjut BNPB menyatakan bahwa terdapat 250.000 atau 75 persen sekolah di

Indonesia yang berada di daerah rawan bencana, baik bencana gempa bumi, tsunami, banjir,

tanah longsor dan lainnya dengan tingkatan sedang hingga tinggi.


Dalam 15 tahun terakhir, terdapat 46.648 sekolah yang terdampak. Data ini hanya

dihimpun berdasarkan skala bencana menengah dan besar yang memberikan dampak

signifikan pada sektor pendidikan Indonesia. Sementara provinsi yang paling banyak

memiliki sekolah di daerah rawan bencana adalah Jawa Barat dengan total sekolah 4.800

sekolah.

Dengan demikian memberikan sosialisasi atau pendidikan mitigasi bencana alam bagi

siswa disetiap satuan pendidikan yang rawan bencana mendesak dilakukan. Untuk rencana

jangka panjang tentu perlu dimasukan pengetahuan tentang kebencanaan atau mitigasi

bencana dalam kurikulum sekolah.

Meningkatkan kesiapsiagaan bencana perlu dibangun disetiap jenjang pendidikan.

Karena wilayah Indonesia memiliki potensi dan resiko bencana alam, bencana non alam dan

bencana sosial yang tinggi. Ditinjau dari unsur fisik dan topologisnya wilayah Indonesia

menunjukan tingkat bahaya (hazard) dan kerentanan vulnerability) yang tinggi. Kondisi

demografi pun turut meningkatkan indeks resiko bencana Indonesia. Sementara kapasitas

(capacity) masyarakat dalam menghadapi bencana dinilai masih rendah.

Kejadian bencana seringkali memiliki pengaruh yang besar terhadap dunia

pendidikan. Karena setiap kali bencana terjadi terdapat banyak fasilitas dan infrastruktur

pendidikan yang rusak, sehingga mengganggu kegiatan pembelajaran. Berdasarkan data

BNPB dalam 15 tahun terakhir, terdapat 46.648 sekolah yang terdampak.

Oleh karena itu pengetahuan kebencanaan dan pendidikan mitigasi bencana perlu

diberikan di setiap satuan pendidikan. Ada beberapa upaya untuk mengenalkan pengetahuan

kebencanaan dan mitigasi bencana kepada para peserta didik disetiap satuan pendidikan.

Memasukan materi pendidikan mitigasi bencana kedalam kurikulum sekolah merupakan

kebutuhan bagai masyarakat yang tinggal dinegeri yang selalu dibayang-bayangi bencana.
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

yang dimaksud dengan kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan

berdaya guna.

Kesiapsiagaan merupakan dasar dari upaya pengurangan risisko bencana yang bersifat

aktif sebelum terjadinya bencana. Kesiapsiagaan bencana harus di ukur, sehingga dapat

diketahui bagaimana tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam mengahadapi kemungkinan

terjadinya bencana di lingkungannya. Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana dapat

diukur dengan menggunakan parameter kesiapsiagaan. Parameter kesiapsiagaan digunakan

untuk mempermudah dalam pengukuran kesiapsiagaan individu.

Berdasarkan Framework Kesiapsiagaan bencana yang dibuat oleh LIPI dan Unesco,

kesiapsiagaan peserta didik dalam menghadapi bencana dapat diukur dengan parameter 1)

Pengetahuan dan sikap 2) Rencana tanggap darurat, 3) Sistem Peringatan Dini, dan 4)

Mobilitas Sumberdaya. Sementara hasil survei di Jepang, pada kejadian gempa Great

Hanshin Awaji 1995, menunjukkan bahwa presentase korban selamat disebabkan oleh diri

sendiri sebesar 35%, anggota keluarga 31,9 %, teman/tetangga 28,1%, orang lewat 2,60%,

tim SAR 1,70 %, dan lain-lain 0,90%. Berdasarkan ilustrasi tersebut, sangat jelas bahwa

faktor yang paling menentukan adalah penguasaan pengetahuan yang dimiliki oleh “diri

sendiri” untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman risiko bencana. Kemudian, diikuti oleh

faktor bantuan anggota keluarga, teman, bantuan Tim SAR, dan di sekelilingnya.

Latihan kesiapsiagaan diartikan sebagai bentuk latihan koordinasi, komunikasi dan

evakuasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (pemerintah dan masyarakat

umum). Seluruh pihak yang terlibat mensimulasikan situasi bencana sesungguhnya

menggunakan skenario bencana yang dibuat mendekati atau sesuai kondisi nyata.

Anda mungkin juga menyukai